Subuh datang menjelang rasa badanku tidak nyaman. Tidur yang tidak nyenyak membuat badan terasa lemas. Lapat kudengar seruan adzan dari mushola perumahan tempat aku tinggal. Namun rasa malas entah mengapa semakin menggayuti badanku. Aku tertidur kembali beberapa jenak lamanya.Adzan berganti qomat. Aku merasa semakin malas namun ada bisikan hati lain yang melarangku untuk kembali tidur.Kulirik Kang Wirna yang masih terlelap menelentang. Kucoba membangunkannya dengan menggoyang-goyang lengannya.“Bi, bangun! Sudah subuh.” ucapku perlahan.“Abi nggak enak badan Mi. Ami saja subuh ya.” sahutnya seperti menggigau.Aku memaklumi. Mungkin saja lambungnya masih sakit. Apalagi semalam ia bermimpi sangat buruk. Ya sudah, aku sholat subuh sendiri saja tanpa seorang Imam di depanku. Rasanya sangat canggung dan menyedihkan.Namun ternyata kemalasan Kang Wirna beribadah bukan sampai disitu saja. Bahkan melewatkan semua waktu sholat sudah menjadi biasa baginya. Hal itu berjalan hampir dua minggu.
Hari ini adalah hari terakhir Kang Wirna bekerja di PT.W. Kepalaku pusing tujuh keliling memikirkan kelanjutan hidup kami. Sedangkan Kang Wirna masih bekerja saja hidup kami sudah susah. Karena selalu saja ada tagihan yang harus dibayarnya. Tiap sebentar masuk pesan yang mengingat tanggal pembayaran hutang, baik itu dari nomor pribadi mau pun dari aplikasi pinjaman online. Bahkan, adik laki-laki Kang Wirna ikut-ikutan menagih uang yang katanya untuk membayar cicilan hp milik Haris anak sulung Kang Wirna. Mungkin dia pikir Kakang-nya manager perusahaan yang bergaji besar. Hidup yang jauh dari kata cukup aku jalani dengan sabar. Dulunya aku sangat sering menikmati makan enak di restoran mewah atau sea food bersama anak-anakku. Namun sekarang aku dan Kang Wirna hanya bisa mendatangi tempat itu jika Baby atau anakku yang lain mengirimkan uang. Dan seperti biasa pula mereka akan bertanya aku makan apa dan dimana. Untuk itu aku selalu menjepret foto dan mengirimkan kepada anakku tersebut d
Hampir sebulan sudah Kang Wirna menganggur. Ia sudah kesana kemari mencari pekerjaan namun tidak membuahkan hasil. Sementara itu hidup semakin susah. Sewa rumah serta pembayaran air dan listrik sebentar lagi akan tiba.“Mi, untuk makan kita cari udang aja yuk Mi. Dulu Abi sering cari udang bersama teman-teman Abi hasilnya lumayan. Dapat se-kilo aja sudah cukup buat hidup kita sehari.” usul Kang Wirna.“Tapi dengan apa kita mencari udang Bi? Kita tidak punya alat sama sekali.” sahutku bingung.“Hm, duit kita masih ada kan Mi?”“Masih Bi. Itu Ami simpan buat kebutuhan kita sampai Abi dapat pekerjaan yang baru. Hemat-hemat...” sahutku.“Gini aja Mi. Kita pake saja sebagian buat bikin alat tangkap udang. Beli jaring lalu kita buat gandongan.”“Gandongan? Emang Abi bisa buatnya?” tanyaku.“Bisa Mi. Tapiiii ...“Tapi apa Bii.. ?”“Tapi Ami mau nggak temani Abi tangkap udang ke laut? Nangkapnya harus malam Mi.” tanya Kang Wirna ragu menatapku.Aku tersenyum dan mengusap rambutnya.“Ke dalam
Malam kini sudah beberapa jam menjelang. Kang Wirna sibuk dengan aplikasi baru yang berguna untuk memantau air laut.“Mi.. satu jam lagi kita berangkat! Air mulai pasang!” serunya dari dapur.“Oh ya Bi. Ami siapin dulu kantong dan segala macamnya. Minyak motor ada kan Bi?” sahutku dari dalam kamar.“Ada Mi! Abi yakin hari ini pasti kita bisa bawa udang satu baskom penuh Mi. Sebagian kita masak sebagian kita jual. Terus siangnya kita cari kerang sama cari burung Mi. Pokoknya selama nganggur kita cari apa saja yang bisa dijual.” Kembali kudengar ucapan Kang Wirna dari dapur sambil terus main sceter.“Oke Bi. Siap!” sahutku juga penuh semangat. Dalam hati aku sangat terharu melihat semangat Kang Wirna. Aku memang tidak tega untuk berburuk sangka kepadanya. Kalau aku pikir-pikir, benar apa kata Kang Wirna. Kalau memang dia mau meninggalkan aku seperti yang selalu dikatakan Sarmini, kenapa nggak kemarin-kemarin. Toh aku sudah dua kali pergi keluar kota semenjak menikah dengan Kang Wirna. L
“Ada apa Miii....?" Kang Wirna berteriak dari ujung sana. Jeritanku ternyata sampai ke telinganya.Aku masih berdiri terpaku. Air laut yang tadi sempat bergelombang kini kembali tenang. Kuatur nafas untuk mengurai rasa takut yang beberapa saat telah menguasai bathinku.“Tidak ..! Aku tidak boleh takut. Kalau sampai kesusahan ini berlanjut tanpa akhir, maka yang mungkin akan berakhir adalah rumah tanggaku dengan Kang Wirna. Tidak ..! Aku tidak mau itu terjadi.” Di dalam hati aku berbisik.“Nggak ada Biii...! Amaaan...!” teriakku membalas teriakan Kang Wirna.“Ooh... Lanjut jalan perlahan Mi! Jaringnya jangan diangkat terlalu tinggi.” Kang Wirna kembali berteriak.“Iya Biii...!” Kupandang lagi ke depan. Air laut kini sudah benar-benar tenang. Tidak nampak sedikit pun sisa-sisa tanda kehadiran makhluk air tadi yang kuyakin cukup besar.Perlahan aku melangkah lagi. Selangkah demi selangkah akhirnya kami sampai juga ke tepi. Bagaikan nelayan menarik pukat, kami juga menarik jaring ke ping
Aku tersentak di tengah malam. Kulihat Kang Wirna juga tertidur gelisah di sampingku. Kuperbaiki bantal yang menyangga kepalanya dan sesaat kemudian tidurnya terlihat lebih pulas. Dan aku melangkah menuju dapur tempat yang paling aku sukai untuk duduk merenung.“Oh, pukul 02.25.” gumamku setelah aku melirik penunjuk waktu di layar ponselku yang aku bawa serta ke atas dipan usang.Hatiku merasa tidak nyaman setelah Mak datang ke alam mimpiku beberapa saat yang lalu. Biasanya kalau aku bermimpi dengan Mak, itu pasti akan ada kejadian besar yang akan aku hadapi. Selama ini petunjuk mimpi itu tidak pernah meleset.“Uni akan menghadapi suatu masalah yang sangat besar. Bisa jadi ini adalah masalah terberat sepanjang hidup Uni. Mak harap Uni bersabar dan memperkuat iman.”Itulah yang dikatakan Mak lalu bayangan Mak menghilang sebelum aku sempat untuk bertanya.“Masalah apa yang dimaksud oleh Mak? Bukankah sekarang kami juga tengah menghadapi banyak masalah? Terutama masalah keuangan. Mak bil
Sore itu sebuah pesan masuk ke ponselku. Kebetulan ponsel Kang Wirna rusak karena jatuh ke dalam air danau ketika ia memancing malam dengan temannya. Jadi sejak saat itu semua pesan untuk Kang Wirna diterimanya melalui nomor whatsaapku. Sore itu Sarmini mengirim pesan ke ponselku memakai pesan suara. Lama aku tidak membukanya. Pesan itu aku buka setelah Kang Wirna berada di rumah agar Kang Wirna juga mendengarnya.“Uni, kamu tahu nggak. Wirna itu masih mengharap sama aku. Dia bilang kepadaku kalau dia akan meninggalkan kamu. Kemarin dia marah padaku karena aku membocorkan rahasia ini kepadamu. Katanya ‘aku akan meninggalkan si Uni itu. Tapi kamu jangan bilang-bilang. Nanti dokumenku ditahan sama dia dan aku tidak bisa pergi. Kamu sih pakai ngomong segala sama si Uni itu. Aku jadi kesulitan untuk pergi.”“Apa benar begini? Siapa yang menahan dokumen Abi?” tanyaku dengan nada marah kepada Kang Wirna."Jangan suka memfitnah Bi. Abi dan kawan-kawan Abi itu memang tak ada bedanya!" sambun
Semakin hari hubunganku dengan Kang Wirna semakin panas saja. Aku juga mulai tidak sabar menghadapi masalah-masalah yang selalu dibawa Kang Wirna ke dalam hidupku. Aku yang biasa hidup tenang dan jarang punya masalah merasa sangat terganggu. Aku mulai kesal dan ingin membalas semua perbuatan konco-konco Kang Wirna yang menjadi biang kerok semua masalah ini. Fitnah itu .. yah fitnah yang direkam itulah yang menjadi mala petaka.“Besok rekaman fitnah ini akan Ami bawa ke kantor polisi. Biar jelas siapa biang keroknya disana!” ujarku kepada Kang Wirna.“Itu lagi Mi. Buat apa diperpanjang terus.” sahut Kang Wirna tampak tidak senang.“Kenapa Abi yang takut? Jangan-jangan Abi malah terlibat dalam pembuatan drama fitnah keji ini.” balasku menatap Kang Wirna.“Ya Allah Miii... Kok Ami bisa berpikiran begitu. Sadar Mii.. Ami sudah terpengaruh...“Terpengaruh apa? Guna-guna lagi? Huh.. berpikir maju-lah sedikit Bi! Jangan apa-apa disangkut pautkan ke dukun.” ucapku memotong perkataan Kang Wi