Sore itu sebuah pesan masuk ke ponselku. Kebetulan ponsel Kang Wirna rusak karena jatuh ke dalam air danau ketika ia memancing malam dengan temannya. Jadi sejak saat itu semua pesan untuk Kang Wirna diterimanya melalui nomor whatsaapku. Sore itu Sarmini mengirim pesan ke ponselku memakai pesan suara. Lama aku tidak membukanya. Pesan itu aku buka setelah Kang Wirna berada di rumah agar Kang Wirna juga mendengarnya.“Uni, kamu tahu nggak. Wirna itu masih mengharap sama aku. Dia bilang kepadaku kalau dia akan meninggalkan kamu. Kemarin dia marah padaku karena aku membocorkan rahasia ini kepadamu. Katanya ‘aku akan meninggalkan si Uni itu. Tapi kamu jangan bilang-bilang. Nanti dokumenku ditahan sama dia dan aku tidak bisa pergi. Kamu sih pakai ngomong segala sama si Uni itu. Aku jadi kesulitan untuk pergi.”“Apa benar begini? Siapa yang menahan dokumen Abi?” tanyaku dengan nada marah kepada Kang Wirna."Jangan suka memfitnah Bi. Abi dan kawan-kawan Abi itu memang tak ada bedanya!" sambun
Semakin hari hubunganku dengan Kang Wirna semakin panas saja. Aku juga mulai tidak sabar menghadapi masalah-masalah yang selalu dibawa Kang Wirna ke dalam hidupku. Aku yang biasa hidup tenang dan jarang punya masalah merasa sangat terganggu. Aku mulai kesal dan ingin membalas semua perbuatan konco-konco Kang Wirna yang menjadi biang kerok semua masalah ini. Fitnah itu .. yah fitnah yang direkam itulah yang menjadi mala petaka.“Besok rekaman fitnah ini akan Ami bawa ke kantor polisi. Biar jelas siapa biang keroknya disana!” ujarku kepada Kang Wirna.“Itu lagi Mi. Buat apa diperpanjang terus.” sahut Kang Wirna tampak tidak senang.“Kenapa Abi yang takut? Jangan-jangan Abi malah terlibat dalam pembuatan drama fitnah keji ini.” balasku menatap Kang Wirna.“Ya Allah Miii... Kok Ami bisa berpikiran begitu. Sadar Mii.. Ami sudah terpengaruh...“Terpengaruh apa? Guna-guna lagi? Huh.. berpikir maju-lah sedikit Bi! Jangan apa-apa disangkut pautkan ke dukun.” ucapku memotong perkataan Kang Wi
“Mi, Abi mau pergi sebentar ya. Mau fotocopy buat bikin lamaran.” ucap Kang Wirna setelah percakapan dengan Mak selesai.“Oh iya Bi. Nanti tolong beliin Ami mixagrip. Kepala Ami pusing sekali.” jawabku sambil bergolek di atas kasur. Kepalaku akhir-akhir ini memang sering sakit.“Iya Mi. Nanti Abi beliin.” sahut Kang Wirna mengulurkan tangannya agar aku menyalaminya. Aku menyambut tangan Kang Wirna dengan posisi masih berbaring dan kucium punggung tangan suamiku itu.Kang Wirna lalu jongkok dan menangkup ke dua belah pipiku dan menciumiku puluhan kali. Sekilas aku melihat matanya membasah. Dalam hatiku terbersit rasa heran. Tidak biasanya Kang Wirna begini.“Abi berangkat ya Mi. Ami jangan sakit terus.” ucapnya sambil menyandang tas ransel berisi dokumen miliknya.“Iya Bi. Hati-hati.” sahutku tanpa sempat mengantar ke teras seperti biasa. Kepalaku sungguh sangat sakit. Aku hanya memandangi Kang Wirna berlalu yang menggunakan celana pendek selutut dan baju kaos oblong. Lalu aku terus ter
Pagi beranjak petang dan petang menyambut malam. Namun Kang Wirna tidak juga ada kabar beritanya.Aku teringat pesan yang sering dikirim oleh Sarmini bahwa suatu saat Kang Wirna akan pergi dariku.Suatu saat .. yah... Berarti dia begitu yakin bahwa suatu saat Kang Wirna akan pergi dariku. Hm.. aku mengangguk-angguk.Sudah satu hari satu malam Kang Wirna pergi, aku mulai menyadari kalau kepergian ini memang ia sengaja. Walaupun aku tidak tahu apa penyebab kepergiannya itu. Padahal tidak ada pertengkaran yang berarti yang terjadi di antara kami. Tapi memang kesulitan ekonomi belum berhasil kami atasi. Kang Wirna selalu gagal mendapatkan pekerjaan. Mungkin saja ini adalah salah satu kemungkinan penyebab dirinya pergi.Aku kembali merenung di atas dipan usang. Tempat yang biasa aku duduki dengan Kang Wirna berdua. Kupandangi seluruh permukaan dipan yang diisi oleh beberapa peralatan makan di atasnya.Aku teringat pada belatung-belatung yang berloncatan di atas piring semalam. Iih... Perut
Sampai pagi datang menjelang mataku tidak bisa dibawa tidur walau sepicing pun. Berbagai perasaan bercampur aduk dalam hatiku. Marah, benci, jijik tapi rindu.Ya... Aku merindukan perlakuan suamiku yang sangat lembut dan selalu manja penuh kasih sayang. Aku sungguh tidak bisa mempercayai sedikit pun kalau dirinya bisa pergi begitu saja meninggalkan aku. Padahal dalam keseharian Kang Wirna tak pernah mau jauh dariku. Kemana saja kami selalu berdua kecuali jika Kang Wirna bekerja. Bahkan bekerja pun, Kang Wirna selalu minta diantar dan dijemput olehku.Dan sikap Kang Wirna yang tidak mau jauhnya Kang Wirna dariku, membuat banyak mulut-mulut banci yang berkomentar miring terhadap keharmonisan rumah tangga kami. Kebanyakan mereka menghasut Kang Wirna dengan mengatakan aku mengguna-gunainya. Padahal dibelakang Kang Wirna mereka mencuri-curi pandang kepadaku. Memang manusia munafik.Guna-guna...? Dasar manusia-manusia sampah yang otaknya selalu iri melihat kebahagiaan orang lain lalu membua
Abah memperbaiki posisi duduknya lalu menyulut sebatang rokok yang aku bawakan untuknya. Satu hisapan dan satu hembusan asap mengepul membentuk bulatan terbang ke udara.“Disana!” Abah menunjuk bagian papan pelataran. Aku mengikuti arah telunjuk Abah dengan pandangan mataku. “Wirna menangis tersedu-sedan seakan-akan ada beban bathin yang tidak sanggup ia ceritakan.” Kata Abah melanjutkan ceritanya.Aku mengangkat wajahku lebih tinggi menatap keriputnya wajah Abah. Lalu kembali aku menoleh ke bagian pelataran yang Abah tunjuk tadi.“Wirna menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil. Abah belum pernah melihat ia menangis sampai segitunya sebelum ini.” Sambung Abah kembali menghisap rokok.“Ooh...!” tanpa sadar aku bergumam.“Bahkan!...Huk..huk..huk..” Abah terbatuk.Hening sesaat.“Bahkan apa Bah?” tanyaku hati-hati setelah Abah terlihat tenang.“Bahkan Abah seperti tidak melihat Wirna yang sesungguhnya akhir-akhir ini.” Sambung Abah yang langsung membuat mataku membesar.Aku tercenung.
Buuuk....“Aduuuuh....!”“Oooh....!” aku terlonjak sangat kaget mendengar bunyi gedebuk dan suara teriakan Kang Wirna dari dalam kamar mandi. Suara itu juga langsung membuyarkan ingatanku dari peristiwa-peristiwa yang telah aku lewati bersama Kang Wirna selama kami menjalani rumah tangga lebih kurang 8 bulan lamanya, sampai akhirnya Kang Wirna menghilang tanpa jejak.Aku tersadar dan mendapati diriku masih berada di unit rusun tempat Kang Wirna dan Haris tinggal. Entah sudah berapa lama aku terduduk di pojok ruang tamu yang tidak begitu besar itu. Aku tidak lagi memperhatikan apa yang dilakukan oleh Kang Wirna setelah dirinya memasukkan beberapa genggam beras ke dalam periuk rice cooker. Dan kini kulihat lampu rice cooker itu telah berwarna kuning tanda nasi sudah matang. Aroma nasi yang khas juga menyeruak memenuhi rongga udara.“Ada apa dengan Kang Wirna?” tanyaku dalam hati dan perlahan mendekati pintu kamar mandi yang terbuka sebagian. Di bagian lantai kamar mandi tersebut sekilas
“Jaa..jadi... Pengamen buta itu suami Uni? Yang sering Uni ceritakan dulu kepada Vista?” Dua pertanyaan meluncur sekaligus dari mulut Vista begitu aku menceritakan keadaan Kang Wirna yang sedang terluka secara singkat dan cepat.“Kok dia jadi buta gitu, Un? Uni tidak pernah cerita kalau suami Uni itu buta. Dan...“Ah sudahlah Vista, lain waktu kita bahas masalah ini. Sekarang bagaimana caranya kita bisa menolong Kang Wirna yang tengah terluka. Uni khawatir terlalu banyak darah yang keluar membuat Kang Wirna pingsan.” ungkapku cemas.Tapi wajah Vista kulihat biasa saja. Ia malah melipat kedua tangannya di dada.“Biarin saja dia pingsan. Kalau perlu mati sekalian! Laki-laki kayak gitu nggak usah dikasihani, Uni! Selama ini dia ngelunjak karena Uni terlalu baik kepadanya. Nah tuh lihat sekarang, dia sudah buta dan itu pasti adalah karma dari sumpahnya kepada Uni.” ceracau Vista dengan masih melipat tangan di dada. Vista memang sedikit banyaknya tahu tentang masalahku dengan Kang Wirna.