“Jaa..jadi... Pengamen buta itu suami Uni? Yang sering Uni ceritakan dulu kepada Vista?” Dua pertanyaan meluncur sekaligus dari mulut Vista begitu aku menceritakan keadaan Kang Wirna yang sedang terluka secara singkat dan cepat.“Kok dia jadi buta gitu, Un? Uni tidak pernah cerita kalau suami Uni itu buta. Dan...“Ah sudahlah Vista, lain waktu kita bahas masalah ini. Sekarang bagaimana caranya kita bisa menolong Kang Wirna yang tengah terluka. Uni khawatir terlalu banyak darah yang keluar membuat Kang Wirna pingsan.” ungkapku cemas.Tapi wajah Vista kulihat biasa saja. Ia malah melipat kedua tangannya di dada.“Biarin saja dia pingsan. Kalau perlu mati sekalian! Laki-laki kayak gitu nggak usah dikasihani, Uni! Selama ini dia ngelunjak karena Uni terlalu baik kepadanya. Nah tuh lihat sekarang, dia sudah buta dan itu pasti adalah karma dari sumpahnya kepada Uni.” ceracau Vista dengan masih melipat tangan di dada. Vista memang sedikit banyaknya tahu tentang masalahku dengan Kang Wirna.
Tanpa aku sadari tanganku sudah meraba hendel pintu dan perlahan menariknya. Suara kepanikan beberapa orang laki-laki yang menggotong tubuh Kang Wirna kini jelas masuk ke ruang mobilku.“Bagaimana ini? Dengan apa laki-laki ini kita bawa ke rumah sakit?” Orang satu berteriak.“Kita gotong ke puskesmas saja. Biar nanti orang puskesmas yang mengambil tindakan selanjutnya.” Orang kedua menyahut.“Tapi puskesmas juga jauh dari sini..!” orang ketiga menimpali.Terdengar perdebatan ringan di antara mereka.Bla..blaa..blaa...Suara menjadi semakin bising dengan kedatangan beberapa ibu-ibu dan bapak-bapak yang ikut mengerumuni. Kini sudah puluhan orang berkumpul mengerumuni Kang Wirna. Sementara itu Haris terus saja menangis dan meratap.“Bapaaak... Bapaak.. Bangun Paak...! Huhuhu....”Dengan membuang semua rasa ragu yang mengganggu di hatiku, kukuatkan tekad untuk mendatangi orang-orang yang menggotong tubuh Kang Wirna itu. Aku sungguh sangat khawatir dengan keadaan Kang Wirna. Apakah Kang Wi
“Siapa keluarga pasien?” dokter itu bertanya.“Saya Dok! Saya istrinya..!” jawabku tegas.Kulihat Vista membuang wajah tidak suka. Dan sekilas wajah Haris tampak heran mendengar pengakuanku itu.“Uni, tidak perlu Uni mengaku sebagai istrinya segala. Malu-maluin Uni. Bilang saja tetangga atau Uni cuma kasihan melihat orang terlantar.” Vista langsung membisikiku.“Sudahlah Vista, tidak ada guna menutupi kenyataan. Seburuk-buruknya dia, dia masih suami Uni. Dia belum menceraikan Uni dan Uni belum pula minta cerai kepadanya.” jawabku tersenyum. Aku tidak marah melihat Vista terlalu membenci Kang Wirna. Aku mengerti perasaannya, karena Vista adalah saksi hidup yang melihat betapa hati dan jiwaku hancur karena ditinggalkan Kang Wirna tiga tahun yang lalu.“Tapi Un...“Ssssttt....! Sudah ya! Uni mau ke ruang Dokter dulu. Pergilah ke depan dan tunggu Mois di sana! Mungkin dia akan kebingungan mencari kita di rumah sakit yang cukup besar ini.” Lanjutku sambil sedikit mengacak rambut di kepala
“Mari Bu!” Perawat mempersilahkan aku masuk ke sebuah ruangan yang dilengkapi berbagai macam alat medis. Perempuan berwajah manis itu mulai memberikan beberapa intruksi dan melakukan tindakan. Aku hanya pasrah saja menerima apa yang ia lakukan kepadaku. Dan tidak lama kemudian darahku sudah dialirkan ke sebuah kantong khusus dengan menggunakan selang kecil.“Sudah Bu!”Entah sudah beberapa lama aku terbaring di tempat itu dan entah berapa pula darahku yang sudah dikuras. Aku segera bangkit dan menurunkan lengan bajuku dan bersiap meninggalkan ruangan itu.“Boleh saya menjenguk suami saya, Sus?” tanyaku sebelum berlalu.“Boleh Bu! Ibu silahkan masuk ke ruangan flamboyan nomor 27. Suami Ibu sudah dipindahkan kesana.” sahut sang suster dengan ramah.“Dari sini Ibu jalan lurus, nanti ada belokan ke kanan Ibu ikuti dan disanalah ruangan flamboyan 27.” Sambungnya sambil menunjuk arah yang harus aku tuju.“Baik Sus, terima kasih!” ujarku sambil meninggalkan senyuman manisku untuknya.Aku me
Vista sibuk mengetik angka-angka yang disebutkan oleh Kang Wirna. Kalau tidak salah itu adalah nomor kontak milik Tati. Aku ingat dari empat angka terakhir yang disebutkan oleh Kang Wirna karena nomor kontak itu pernah aku simpan di ponselku sebelum Kang Wirna memblokir dan menghapusnya.“Baiklah Pak, saya akan memanggil dengan panggilan video agar mereka bisa melihat langsung keadaan Pak Wirna.” ucap Vista yang dijawab anggukkan lemah kepala Kang Wirna. Aku tahu dirinya tidak begitu yakin kalau keluarganya akan memberikan perhatian lebih. Dulu sewaktu Kang Wirna masih bersamaku, dirinya pernah curhat tentang keluarganya yang tidak begitu care kepada dirinya.Namun pada kesempatan kali ini aku mau lihat langsung apakah yang diceritakan Kang Wirna itu benar atau hanya sekedar drama.Tuuut...tuuut....tuuuut...Panggilan dimulai dan aku segera mengambil jarak agar wajahku tidak tertangkap oleh kamera ponsel milik Vista.“Hallooo... Assalamulaikum...!”Kudengar Vista membuka pembicaraan de
“Hai, Mois! Maaf harus menunggu lama.” Sapaku kepada Mois begitu aku dan Vista sudah berdiri di hadapannya.Mois mengangkat wajahnya. Entah mengapa pandangan mata lelaki itu kini tidak seperti biasanya. Bahkan aku melihat bagaikan ada bara api disana. Semoga aku salah.“Hm, aku memang ditakdirkan untuk lama menunggumu, Amel! Gimana? Sudah ketemu dengan suami yang kamu nanti-nanti?” sahut Mois agak janggal di telingaku. Kali ini ucapannya berapikan cemburu. Ooh, semoga aku salah menduga. Aku tidak mau kalau Mois bermain hati denganku. Aku lelah dengan yang namanya cinta. Aku hanya ingin hidup tenang dan banyak teman saja.“Hm, pertemuan ini memang diluar dugaanku Mois. Aku tidak menyangka akan bertemu dengan Kang Wirna dalam keadaan seperti ini.” ucapku sambil menduduki sebuah kursi di depan meja Mois. Vista juga duduk di sebuah kursi di sebelahku.“Tapi kamu merindukannya bukan? Lalu bagaimana perasaanmu melihat keadaannya sekarang? Kasihan..? Senang..? Atau gimana? Yang jelas secara
POV MoisPERNIKAHAN YANG KANDASNama panggilan atau nama kerenku Mois. Padahal nama asliku cukup kuno hehhe.. Abdul Muis. Nama yang diberikan oleh ibuku sejak aku lahir ke dunia ini. Walau pun namaku tergolong kuno, tapi aku tetap berterima kasih kepada ibuku yang telah memberikan nama yang mempunyai arti sangat baik itu. Ibuku tentu menginginkan aku menjadi seorang laki-laki yang sholeh. Namun seiring berjalannya waktu, teman-temanku tidak lagi memanggil namamu ‘Muis’. Aku lebih akrab disapa ‘Mois’. Kata teman-temanku, aku tidak cocok dipanggil Muis karena sikapku yang cendrung keras.Oke wellKetika aku berumur 26 tahun.Aku mencintai seorang gadis cantik bernama Nana. Dimataku Nana begitu sempurna. Wajahnya imut dan hidungnya mancung serta kulitnya sangat putih dan bersinar benar-benar membuat aku cinta mati kepada Nana. Aku benar-benar ingin cepat-cepat mempersunting dirinya. Takut keduluan orang... 😁Tidak terlalu lama berpacaran, hanya tiga bulan lebih beberapa hari saja, aku m
POV MOISSemenjak kegagalan pernikahanku dengan Nana, aku menjadi orang yang apatis pada semua wanita. Eit, ini bukan berarti aku mendadak jadi gay ya... Hahaha.. hanya saja aku belum bisa mempercayai wanita.Apalagi setahun setelah kegagalan pernikahanku itu, ibuku meninggal dunia. Beliau sepertinya ikut syok dengan apa yang telah menimpa pernikahanku dengan Nana.Sebelum meninggal, ibu pernah menyarankan aku untuk menikahi Vista. Namun aku tidak bisa melakukan itu karena aku sudah menganggap Vista bagaikan adikku sendiri.Sepeninggal mama, Vista menjadi tangan kananku di usaha Wedding Organizer (WO) peninggalan ibu. Dialah yang bertugas mengatur segala sesuatu di dalam sementara aku bertugas untuk memasarkan dan menentukan keputusan penting. Aku semakin sibuk mengurus usaha-usahaku. Belum lagi studio gym-ku yang semakin bertambah banyak jumlahnya. Jadi aku harus pandai-pandai mengatur waktu agar semua bisa berjalan dengan baik.Pada suatu hari aku tengah berada di kantor WO peningg
"Apa-apaan sih kamu, Wirna..?? Dasar laki-laki tak berguna!" teriak Sarmini langsung mendorong tubuh Wirna hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. Sarmini naik pitam lalu memungut sepotong kayu yang kebetulan ada ditempat itu lalu ia mengayunkan kayu itu ke kepala Wirna. "Plaaak...!"Kayu tersebut mendarat dengan keras namun bukan mengenai kepala Wirna tapi malah menghantam bahu Amelia yang lebih dulu menjatuhkan diri memeluk dan melindungi tubuh Wirna yang tak berdaya di tanah hingga pukulan Sarmini mengenai bahunya. "Oough..!" Amelia mengaduh tertahan. "Amii..! Oh ...!" Wirna berteriak keras lalu segera bangkit sembari memeluk tubuh Amelia dan mengusap bahu wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan mata membesar ia menatap Sarmini yang masih mengayun-ayunkan sepotong kayu ditangannya. "Apa sih kamu? Segitu kasarnya tak punya perasaan!" bentak Wirna sambil menunjuk wajah Sarmini. Beberapa orang yang sudah berkerumun di tempat itu mulai bergerak melerai dan sala
Kematian Haris membuat Wirna sangat terpukul. Ia tidak hentinya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuat Amelia menjadi iba. Bagaimana pun mereka berdua pernah saling mencintai walau hanya delapan bulan saja berumah tangga. Namun kasih sayang bukanlah tergantung lama atau singkatnya tempo bersama. Walau Amelia sudah tidak lagi mencintai Wirna, namun ia masih menyayangi layaknya kepada insan yang tengah ditimpa musibah. "Sudahlah! Jangan menangis lagi. Haris sudah tenang di alamnya." bisik Amelia lirih. Ia berdiri disamping Wirna yang masih berjongkok di sisi tanah yang masih berwarna merah yang telah mengubur jasad Haris. "Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" sahut Wirna juga lirih namun terdengar jelas oleh Amelia. Suara itu benar-benar mengandung luka yang dalam. "Baiklah, aku akan pergi!" sahut Amelia lalu memutar tubuh perlahan dan mulai melangkah meninggalkan pusara Haris dan tanpa ia sadari Sarmini mengikutinya dari belakang. "Kau benar-benar telah berhasil menghancurkan
"Bapak.. Ibu.." tersendat dan terbata-bata Haris memanggil Wirna dan Sarmini yang berada di samping tempat tidurnya. Kedua orang tuanya itu juga menangis sangat sedih menyaksikan penderitaan anak sulung mereka. "Haris, maafkan Bapak. Bapak yang bersalah Haris. huhuhu..." Wirna menggenggam kadang membelai tangan kanan Haris. Lelaki itu terlihat sangat terpukul didera penyesalan yang tiada berguna. Dalam hati ia yakin kalau apa yang terjadi kepada Haris saat ini adalah tebusan sumpah yang pernah ia ucapkan sendiri. Sementara itu mata Haris hanya memandang kosong ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. Sedangkan Sarmini mengelus lengan kiri Haris yang cacat. Hati ibu mana yang tidak teriris melihat putranya tak berdaya dan tergolek penuh luka. Kepala Haris diperban dengan selang terpasang dihidung dan beberapa peralatan medis lainnya yang menempel ditubuh kecil Haris. 'Pak, Bu. Berhentilah bertengkar. Setelah Haris pergi, tolong jaga Riski sebaik mungkin. Haris lelah dan ingin
Kepergian Mois membawa Amelia meninggalkan rumah sakit meninggalkan kekesalan dan kekecewaan di hati Salma. Entah sudah berapa kali wanita muda itu memaki-maki sendiri. "Nggak abis pikir deh sama pikiran Bang Mois. Kok dia malah lebih tertarik kepada perempuan tua itu dibanding aku yang jauh lebih muda dan lebih cantik. Huh..! Dunia sekarang emang makin edan, makin banyak saja lelaki muda yang lebih memilih pasangan lebih tua. Haah... gagal sudah usahaku untuk mendapatkan Bang Mois. Padahal aku sudah menyukainya sejak pertama bertemu di saat persiapan pesta pernikahanku dengan Mas Farzan empat tahun lalu. Andaikan aku lebih dulu mengenal Bang Mois tentu aku akan menolak ajakan Mas Farzan untuk menikah." Salma terus saja mengoceh dan bersungut-sungut di pojok sebuah ruangan rumah sakit yang mulai tenang. Tidak ada lagi gerombolan orang-orang berkerumun seakan tidak pernah ada keributan disana. Orang-Orang yang tadi berkerumun telah kembali ke urusan masing-masing. Ada yang kembali k
"Jangan berbuat sekasar itu! Kelewatan!" bentak lelaki yang tiba-tiba saja muncul itu terdengar berdesis bagaikan ular cobra yang siap menyemburkan bisanya. Suasana yang tadi riuh dan panas mendadak sunyi serta mencekam. Semua mata tertuju ke arah Sarmini dan lelaki asing yang terlihat bertatapan disertai pertentangan bathin. "Siapa kamu?" tanya Sarmini juga mendesis. Matanya menyipit dan ia berusaha melepaskan tangannya yang masih dicengkram lelaki dihadapannya tersebut. Namun si lelaki asing semakin memperkuat cengkramannya hingga Sarmini makin meringis. "Siapa aku tidaklah penting. Tapi jika kamu masih menyakiti Amelia, maka aku akan selalu muncul. Ingat itu!" ancam si lelaki tersebut lalu melemparkan tangan Sarmini ke samping. "Siapa laki-laki ini? Ia sangat tampan dan masih muda. Jangan-jangan dirinya adalah adik kandung Amelia." hati Sarmini bertanya-tanya seraya memandangi lelaki yang baru saja melepaskan cengkraman ditangannya. "Tapi mengapa ia terlihat seperti mencintai
Hari itu Amelia tidak datang ke kantor polisi untuk menemui Mois. Kabar dari rumah sakit membuat Amelia harus membatalkan rencananya untuk menemui calon suaminya yang sudah lima hari mendekam di dalam tahanan tersebut. Kasus Mois akan segera naik ke persidangan jika berita acara sudah dianggap sempurna. Dengan bergegas Amelia berjalan di koridor rumah sakit tempat Haris mendapat perawatan. Di sana sudah ada Wirna yang juga terlihat menunggu resah. "Ami!" sapa Wirna langsung menyambut kedatangan Amelia dengan sikap mesra. Ia kembali merengkuh bahu wanita itu dan berjalan bersama menuju ruang dokter. "Bagaimana keadaan Haris, Bi?" tanya Amelia cemas. Entah karena hatinya telah mencair terhadap Wirna atau hanya terbawa keadaan saja, tapi yang jelas sikap Amelia sangat jauh melunak kini terhadap Wirna. Mereka terlihat sangat kompak dan akur bahkan sepintas terlihat mesra layaknya seperti dulu sebelum mereka berpisah. "Ayolah kita ke ruangan Dokter! Abi juga belum sampai kesana. Tadi p
Pintu ruang tahanan terbuka lebar. Mois dikawal menuju sebuah ruangan tempat ia diizinkan untuk menerima tamu. "Pasti Amelia yang datang." terka hati Mois dengan menyunggingkan senyum bahagia dibibirnya. Dirinya sangat merindukan wanita yang dicintanya itu. "Silahkan!" ucap petugas polisi yang mengantar Mois ke ruang khusus tersebut. "Terima kasih!" sahut Mois mengangguk sopan. Pintu segera ditutup si petugas dan terdengar bunyi dari lubang kunci tanda pintu tersebut dikunci sang petugas dari luar. Mois membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sepasang kursi tamu yang ada di dalam ruang yang tidak begitu besar itu. Disana hanya ada dua buah kursi dengan posisi berhadapan yang dibatasi oleh sebuah meja yang tidak begitu lebar. Agak tercenung Mois melihat seorang wanita yang duduk menunggunya disana. Wanita itu bukan Amelia yang ia kira, tapi seorang perempuan bertubuh ramping dan terlihat lebih muda. Rambutnya tergerai indah berwarna coklat coca-cola. Bergegas Mois mendekat dan l
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn