Kekesalan yang bertubi-tubi yang aku rasakan ingin aku tumpahkan kepada sahabatku, Risma. Di dunia ini sepertinya hanya Risma yang benar-benar mengerti perasaanku. Setelah sholat Isya aku menghubungi Risma. Waktu seperti ini adalah waktu yang biasa kami gunakan untuk mengobrol. Karena setelah sholat Isya tidak ada kegiatan penting lagi yang akan datang secara mendadak yang memaksa kami harus menjeda percakapan. Apalagi Kang Wirna sedang pergi bekerja, aku punya waktu yang cukup untuk bercurhat ria dengan sahabat dari kecilku itu.Aku mengelus layar ponselku dan mulai memanggil Risma dengan sambungan video call.“Assalamualikum.” Wajah Risma menyembul di layar ponselku seiring ucapan salam darinya.“Walaikumsalam.” jawabku malas.“Udah makan? Kok lemes?” Risma bertanya.“Lagi pengen makan orang!” jawabku ketus.Huahahhaa.....Si Somplak itu malah tertawa ngakak. Syukur saja dia jauh, kalau ia berada di dekatku pasti sudah kumasukkan remasan kertas koran ke dalam mulutnya yang terbuka l
“Ya, pokoknya mulai besok kamu buat kayak gitu ya? Dengan begitu mudah-mudahan kita bisa membuka tabir rahasia fitnahan ini.” ucap Risma bagaikan komandan detektif saja.Ya sudah, dia kuangkat menjadi Kapten dan aku cukup Brigadir sajalah. 😌🤭 “Un..!”“Hmm...” kudongakkan kepalaku menatap wajah Risma di layar ponselku.“Tadi apa katamu?”“Kata yang mana?” jawabku balik nanya, mengerutkan keningku.“Tadi kamu bilang bisa jadi Kang Wirna-lah sutradara dari drama fitnahan ini. Benar begitu?” Risma bertanya untuk memastikan.Aku mengendikkan bahuku. Jujur, rekaman fitnah itu telah membuat penalaranku begitu liar mengembara bahkan terasa sulit aku kendalikan.“Aku tidak menuduh seperti itu, tapi semua kemungkinan kan bisa saja terjadi. Karena....“Karena apa, Un?” kejar Risma.“Karena saat aku ngobrol dengan Sarmini waktu itu, Sarmini bilang padaku kalau Kang Wirna ngomong kepadanya bahwa dirinya telah aku dukunin. Katanya aku punya keluarga yang bisa jampi-jampi gitu.”“Astagaaaaa....!
Malam berlalu semakin larut. Aku tidak bisa memejamkan mataku karena suara riuh di atas atap dapur kembali datang mengganggu. Suara-suara itu kini makin sering kali datang tanpa aku tahu apa penyebabnya. Bahkan kepada tetangga yang langsung bersebelahan rumah denganku telah aku tanyakan masalah tersebut. Namun sayang, tidak satu pun dari mereka yang mendengar suara gaduh itu.Hm, apakah hanya halusinasiku saja? Tapi tidak mungkin, aku bahkan mendatangi dapur dan memandang atap dapur yang tidak dilapisi plafon tersebut. Suaranya semakin riuh namun atap itu tidak bergerak sama sekali. Jangankan bergerak, bergetar pun tidak.“Apakah benar kata Risma bahwa santet telah bekerja?” pikirku dalam hati. Aku menatap layar ponselku yang kubawa ikut serta ke dalam dapur. Pukul 01.20 dini hari. Malam memang terasa sangat sunyi.Namun aku yang memang sudah terbiasa tidur pada dini hari pagi, belum merasakan kantuk sedikit pun. Ku henyakkan bokongku di atas dipan dan kulanjutkan pekerjaanku menulis
Subuh datang menjelang rasa badanku tidak nyaman. Tidur yang tidak nyenyak membuat badan terasa lemas. Lapat kudengar seruan adzan dari mushola perumahan tempat aku tinggal. Namun rasa malas entah mengapa semakin menggayuti badanku. Aku tertidur kembali beberapa jenak lamanya.Adzan berganti qomat. Aku merasa semakin malas namun ada bisikan hati lain yang melarangku untuk kembali tidur.Kulirik Kang Wirna yang masih terlelap menelentang. Kucoba membangunkannya dengan menggoyang-goyang lengannya.“Bi, bangun! Sudah subuh.” ucapku perlahan.“Abi nggak enak badan Mi. Ami saja subuh ya.” sahutnya seperti menggigau.Aku memaklumi. Mungkin saja lambungnya masih sakit. Apalagi semalam ia bermimpi sangat buruk. Ya sudah, aku sholat subuh sendiri saja tanpa seorang Imam di depanku. Rasanya sangat canggung dan menyedihkan.Namun ternyata kemalasan Kang Wirna beribadah bukan sampai disitu saja. Bahkan melewatkan semua waktu sholat sudah menjadi biasa baginya. Hal itu berjalan hampir dua minggu.
Hari ini adalah hari terakhir Kang Wirna bekerja di PT.W. Kepalaku pusing tujuh keliling memikirkan kelanjutan hidup kami. Sedangkan Kang Wirna masih bekerja saja hidup kami sudah susah. Karena selalu saja ada tagihan yang harus dibayarnya. Tiap sebentar masuk pesan yang mengingat tanggal pembayaran hutang, baik itu dari nomor pribadi mau pun dari aplikasi pinjaman online. Bahkan, adik laki-laki Kang Wirna ikut-ikutan menagih uang yang katanya untuk membayar cicilan hp milik Haris anak sulung Kang Wirna. Mungkin dia pikir Kakang-nya manager perusahaan yang bergaji besar. Hidup yang jauh dari kata cukup aku jalani dengan sabar. Dulunya aku sangat sering menikmati makan enak di restoran mewah atau sea food bersama anak-anakku. Namun sekarang aku dan Kang Wirna hanya bisa mendatangi tempat itu jika Baby atau anakku yang lain mengirimkan uang. Dan seperti biasa pula mereka akan bertanya aku makan apa dan dimana. Untuk itu aku selalu menjepret foto dan mengirimkan kepada anakku tersebut d
Hampir sebulan sudah Kang Wirna menganggur. Ia sudah kesana kemari mencari pekerjaan namun tidak membuahkan hasil. Sementara itu hidup semakin susah. Sewa rumah serta pembayaran air dan listrik sebentar lagi akan tiba.“Mi, untuk makan kita cari udang aja yuk Mi. Dulu Abi sering cari udang bersama teman-teman Abi hasilnya lumayan. Dapat se-kilo aja sudah cukup buat hidup kita sehari.” usul Kang Wirna.“Tapi dengan apa kita mencari udang Bi? Kita tidak punya alat sama sekali.” sahutku bingung.“Hm, duit kita masih ada kan Mi?”“Masih Bi. Itu Ami simpan buat kebutuhan kita sampai Abi dapat pekerjaan yang baru. Hemat-hemat...” sahutku.“Gini aja Mi. Kita pake saja sebagian buat bikin alat tangkap udang. Beli jaring lalu kita buat gandongan.”“Gandongan? Emang Abi bisa buatnya?” tanyaku.“Bisa Mi. Tapiiii ...“Tapi apa Bii.. ?”“Tapi Ami mau nggak temani Abi tangkap udang ke laut? Nangkapnya harus malam Mi.” tanya Kang Wirna ragu menatapku.Aku tersenyum dan mengusap rambutnya.“Ke dalam
Malam kini sudah beberapa jam menjelang. Kang Wirna sibuk dengan aplikasi baru yang berguna untuk memantau air laut.“Mi.. satu jam lagi kita berangkat! Air mulai pasang!” serunya dari dapur.“Oh ya Bi. Ami siapin dulu kantong dan segala macamnya. Minyak motor ada kan Bi?” sahutku dari dalam kamar.“Ada Mi! Abi yakin hari ini pasti kita bisa bawa udang satu baskom penuh Mi. Sebagian kita masak sebagian kita jual. Terus siangnya kita cari kerang sama cari burung Mi. Pokoknya selama nganggur kita cari apa saja yang bisa dijual.” Kembali kudengar ucapan Kang Wirna dari dapur sambil terus main sceter.“Oke Bi. Siap!” sahutku juga penuh semangat. Dalam hati aku sangat terharu melihat semangat Kang Wirna. Aku memang tidak tega untuk berburuk sangka kepadanya. Kalau aku pikir-pikir, benar apa kata Kang Wirna. Kalau memang dia mau meninggalkan aku seperti yang selalu dikatakan Sarmini, kenapa nggak kemarin-kemarin. Toh aku sudah dua kali pergi keluar kota semenjak menikah dengan Kang Wirna. L
“Ada apa Miii....?" Kang Wirna berteriak dari ujung sana. Jeritanku ternyata sampai ke telinganya.Aku masih berdiri terpaku. Air laut yang tadi sempat bergelombang kini kembali tenang. Kuatur nafas untuk mengurai rasa takut yang beberapa saat telah menguasai bathinku.“Tidak ..! Aku tidak boleh takut. Kalau sampai kesusahan ini berlanjut tanpa akhir, maka yang mungkin akan berakhir adalah rumah tanggaku dengan Kang Wirna. Tidak ..! Aku tidak mau itu terjadi.” Di dalam hati aku berbisik.“Nggak ada Biii...! Amaaan...!” teriakku membalas teriakan Kang Wirna.“Ooh... Lanjut jalan perlahan Mi! Jaringnya jangan diangkat terlalu tinggi.” Kang Wirna kembali berteriak.“Iya Biii...!” Kupandang lagi ke depan. Air laut kini sudah benar-benar tenang. Tidak nampak sedikit pun sisa-sisa tanda kehadiran makhluk air tadi yang kuyakin cukup besar.Perlahan aku melangkah lagi. Selangkah demi selangkah akhirnya kami sampai juga ke tepi. Bagaikan nelayan menarik pukat, kami juga menarik jaring ke ping