Semenjak tersiar kabar Kang Wirna menikah denganku, di kampungnya mungkin sudah terjadi kegaduhan. Kang Wirna pun terlihat tidak nyaman. Namun di hadapanku ia berusaha bersikap tenang. Aku menunggu saja reaksi darinya. Aku memilih seperti tidak terlalu memikirkan hal itu.Ponsel Kang Wirna tidak lagi dikunci. Aku bebas melakukan apa saja di ponsel miliknya jika siang hari atau saat Kang Wirna ada di rumah. Namun aku masih menahan diri tidak terlalu over acting. Cukup melihat dan memperhatikan sikap Kang Wirna yang tampak gelisah.Pada suatu hari aku mengajak Kang Wirna bertamu ke rumah temanku karena ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan temanku itu. Beberapa menit berbincang dengan temanku, Kang Wirna permisi untuk membeli rokok. Satu jam lebih Kang Wirna belum juga kembali. Hatiku mulai curiga kalau dirinya menelepon Sarmini. Namun kemarahanku tidak kuperlihatkan di hadapan temanku.“Mungkin sepeda motor Kang Wirna mogok lagi.” Kataku kepada temanku setelah hampir dua jam aku m
“Begitulah ceritanya!” ujarku kepada Risma setelah aku selesai menceritakan semua kejadian-kejadian yang tengah terjadi dalam rumah tanggaku dengan Kang Wirna, kepada sahabatku Risma lewat pembicaraan video call siang itu. Kang Wirna sedang tidak berada di rumah, ia sedang menemui Siregar untuk meminjam uang kepada rentenir itu.Wajah Risma kulihat menegang. Aku tahu ia cukup terkejut mendengar ceritaku yang panjang lebar seperti yang diceritakan Kang Wirna kepadaku semalam.“Hm, aku melihatmu dengan Kang Wirna seakan datang dari dua dunia yang berbeda bahkan berlawanan arah.” Komentar Risma akhirnya terdengar juga setelah cukup lama ia merenung berdiam diri.Risma juga memanggil Kang Wirna dengan embel-embel ‘Kang’ walau umur Kang Wirna jauh di bawah usianya. Itu sebagai penghargaannya kepadaku, temannya. Kepada Kang Wirna, aku meminta ia menyapa Risma dengan panggilan ‘Kak’. Itu sebagai panggilan penghargaan kepada orang yang lebih tua, agar tercipta komunikasi yang saling mengharga
Di atas sebatang kayu tumbang aku duduk termenung. Sinar matahari yang sangat menyengat siang itu terhalang oleh daun pohon petai Cina yang tumbuh merimbun.“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan dalam menjalani skenario yang telah engkau suguhkan ke jalan hidupku ini.” desahku dengan mata membasah.Untuk kehilangan Kang Wirna aku sungguh tidaklah sanggup. Kang Wirna adalah suami terbaik yang ada di muka bumi ini. Setidaknya itu menurutku.Kuingat kejadian sekitar sebulan yang lalu. Kala itu sekitar pukul sepuluh malam, kami pulang berziarah untuk sekedar membaca doa dan surat Yassin di pusara seorang syekh atau ulama yang sudah meninggal. Di tengah jalan kami harus berhenti karena ban belakang motor yang kami kendarai bocor. Kang Wirna menuntun sepeda motor sewaan itu dan aku membantu mendorong dari belakang.Sekitar lima belas menit mendorong sepeda motor tersebut, kami menemukan pondok kecil di pinggir jalan yang masih buka menerima jasa tempel ban. Kang Wirna segera menyerahkan sep
“Sudah kenyang, Bi?” tanyaku setelah nasi ludes di piringku.“Tambah Mi!” seru Kang Wirna.“Oh, Abi banyak makan sekarang. Pasti sebentar lagi badan Abi makin berisi dan makin tampan.” ucapku sambil memasukkan nasi dan lauk pauk serta sayur ke piring.Kang Wirna bangkit dan menuju kran air lalu mencuci tangannya. “Sekarang aja Abi sudah agak gemuk Mi! Kata teman-teman Abi, Abi makin bersih dan terurus.” Kang Wirna duduk kembali di atas dipan dan menjulurkan tangannya meminta piring yang aku pegang. Aku pikir Kang Wirna ingin melanjutkan makan sendiri dan aku menyerahkan piring itu kepadanya.“Oh, teman Abi bilang begitu ya? Syukurlah Bi.” sahutku sambil memperhatikan tangan Kang Wirna menjumput nasi dengan jari tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menenteng piring.“Aak... Mi!” ujar Kang Wirna membuka mulutnya sendiri namun tangannya menyodorkan sesuap nasi ke mulutku. Ternyata ia memerintahkan aku membuka mulutku karena ia ingin gantian menyuapiku.Kupandangi wajahnya sejenak l
Hari selanjutnya aku mulai sibuk merancang sketsa cerita yang hendak aku buat. Aku ingin memulai dengan cerita seorang patriot yang berjiwa nasionalisme saja. Kalau cerita tentang cinta aku lihat sudah sangat banyak berserakan di setiap platform novel online.Namun memulai sebuah usaha tentu bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali aku merasakan kecewa karena platform yang kuharap dapat mengubah nasibku ternyata tidak sesuai dengan harapanku.Tanpa putus asa aku terus mencari platform yang benar-benar bersahabat dan berlaku adil kepada penulisnya. Akhirnya aku menemukannya dan mulai kutuliskan kisah menarik sesuai dengan imajinasiku yang mulai liar mengembara.Waktu malam ketika Kang Wirna bekerja aku gunakan untuk menulis cerita. Sedangkan waktu siang adalah untuk mengurusnya dan melayani hasratnya yang selalu saja membara.Kusadari betul bahwa pasanganku lebih muda dariku. Menjaga stamina setiap hari wajib aku lakukan agar suamiku tidak kecewa. Dan hasilnya Kang Wirna benar-benar mera
Sampai tiga hari seterusnya hidupku dengan Kang Wirna terasa nyaman. Namun aku yakin ini belum berakhir. Sarmini tentu akan mencari cara untuk bisa menghubungi Kang Wirna semenjak ponsel Kang Wirna tidak bisa digunakan.Sore itu Sarmini mengirim banyak chat ke nomor ponselku. Isinya sudah tentu memaki-maki aku. Aku tidak membalas satu pun pesan darinya. Bahkan aku tidak lagi membacanya. Jika ada pesan masuk dari nomor tak dikenal aku segera menghapusnya tanpa membuka atau membaca terlebih dahulu. Aku menyibukkan diriku dengan membuat cerita yang kuharapkan bisa membantu keadaan yang sudah sangat darurat berhubung tiga bulan lagi Kang Wirna akan habis kontrak di PT.W. Setelah abis kontrak dipastikan Kang Wirna akan menganggur dan harus mencari pekerjaan yang baru. Aku memutar otak memeras pikiran mencari jalan keluar. Sementara Sarmini terus saja meneror lewat teman-teman Kang Wirna. Tak jarang teman tongkrongan Kang Wirna mengirim pesan lewat ponselku menyuruh Kang Wirna main ke rum
Aku berjalan ragu mendekati Kang Wirna yang masih memerah wajahnya bagaikan udang dicelupin minyak panas. Ia menatapiku dengan pandangan tegas. Aku dibuatnya keder juga. Aku baru tahu kalau Kang Wirna juga bisa marah seperti ini. Kalau dia bukan suamiku tentu tidak ada sedikit pun gentarku walau jika ia menggertakku. Namun karena jabatannya adalah suamiku, itulah yang membuat aku segan kepadanya.“Ini Bi...!” ucapku sambil menyodorkan ponselku.Kang Wirna menerimanya sekalian menarik tangan kiriku ke dalam kamar.“Duduk di sini dan tunggu Abi selesaikan satu persatu.” ucapnya tidak sekeras tadi. Aku yakin emosinya sudah mulai menurun walau pandangan matanya masih agak beringas.Kang Wirna terlihat mencari-cari nomor kontak di ponselku. Dan ketika telah menemukannya ia langsung menelepon. Aku belum tahu siapa yang Kang Wirna telepon. Aku hanya duduk mematung di atas kasur sedangkan Kang Wirna berjalan mondar-mandir dengan ponsel ditempelkan ke sebelah telinganya.“Halo... Haris panggil
Aku meninggalkan Kang Wirna di kamar kami untuk membuat minuman untuknya. Aku yakin dirinya cukup gerah dengan kejadian yang baru saja ia alami. Yang memberatkan dia pasti masalah anak-anaknya. Kuletakkan secangkir teh hangat di hadapan Kang Wirna seiring berderingnya nada panggilan di ponselku. Kulirik benda pipih yang tergeletak di atas lantai beralaskan karpet tipis di kamarku itu. Nomor baru lagi.“Aduuh... Siapa lagi ini? Sampai kapan masalah ini selesai?” keluhku dalam hati.Aku memandang Kang Wirna yang juga menatap ke arahku.“Jawablah Bi...!” ucapku.Otakku terasa sudah berbulu oleh masalah Kang Wirna yang datang silih berganti. Capek hati.“Halo...!” Kang Wirna menjawab seseorang yang menelpon di ponselku. Aku hanya diam dan sedikit tegang.“Cager Maak...!” ucap Kang Wirna.Aku langsung paham yang menelepon adalah Mak Kang Wirna atau Ibu mertuaku. Aku tidak berani berlancang ria ikut campur. Karena ini baru pertama kalinya aku dengar Kang Wirna berbicara dengan Mak di hadap