“Aduuuh Miii...! Sakiiit...!” teriak Kang Wirna mengelus betisnya bekas cubitanku.“Kalau sakit, duduk!” sahutku seraya memerintah dan mengerlingkan mataku kepadanya.Bagaikan anak kecil Kang Wirna segera duduk dan membuka mulutnya. Kuberikan suapan terakhir dan aku bersiap untuk berdiri lalu bergegas menuju dapur.“Allahu Akbar Allahu Akbar...!”Suara adzan dzuhur bergema dari mesjid yang tidak jauh dan tidak terlalu dekat dari rumah kontrakan kami yang sederhana namun penuh cinta.Kuletakkan piring di dalam baskom yang biasa kuperuntukkan untuk mengumpulkan piring kotor. Sekarang hanya satu piring saja yang baru berada di sana yaitu piring bekas makan Kang Wirna.Ketika aku menundukkan kepalaku, tidak terasa air mata semakin deras menuruni pipiku. Luka dihati dan perpisahan yang sudah di ambang pintu membuat aku benar-benar gamang. Aku kini sangat mencintai Kang Wirna. Tidak sanggup rasanya aku kehilangan kasih sayangnya yang sangat manis namun ternyata mengandung racun yang sungguh
Sekonyong-konyong Kang Wirna kembali berdiri. Dipeluknya tubuhku dengan erat bahkan aku dibuatnya susah untuk bernafas.“Abi mencintai Ami. Sungguh...!!” diangkatnya wajahnya yang tadi ia tempelkan di leherku.“Kita selesaikan baik-baik ya Mi. Abi mohon, berilah Abi kesempatan terakhir untuk memperbaiki semuanya. Abi tahu kalau Abi salah telah membohongi Ami, tapi Abi memang tidak pernah lagi menganggap dia istri Abi. Kalau toh ada Abi menelpon kepadanya, itu hanya untuk berbicara dengan anak-anak Abi saja.” Panjang lebar Kang Wirna berusaha meyakinkanku.“Sudah....?” tanyaku dingin.“Miii...!”“Minggir!” teriakku sambil mendorong dada Kang Wirna. Kembali Kang Wirna terjajar. Pelukannya terlepas. Kini aku bebas untuk mengemasi barang-barangku. Aku sibuk mondar-mandir keluar masuk kamar mengambil baju-bajuku. Aku hanya bermaksud membawa pakaianku saja. Barang-barang yang lain walaupun itu milikku, biarlah dipakai oleh Kang Wirna. Toh dirinya tidak punya apa-apa selain beberapa pasang b
Entah berapa lama aku tertidur. Saat kubuka mataku kulihat Kang Wirna sedang khusuk berdoa di atas sejadah di ruang tamu yang kami jadikan tempat sholat berjamaah berdua.“Oh, sudah Ashar..!” gumamku yang teringat bahwa aku baru menunaikan sholat dzuhur tadinya. Aku berusaha turun dari kasur yang berlapis dua sehingga agak tinggi. Tempat tidur kami hanya dua batang spring bed ukuran lajang yang aku lapiskan. Itu cukup buat kami tidur berdua karena tubuh suamiku tidaklah besar. Kang Wirna tidak mau jika kedua spring bed itu aku susun sejajar agar lapang. Selain karena kamar kami sempit, Kang Wirna bilang, “jika kasurnya kecil kita akan tidur berdempetan terus. Abi nggak bisa jauh-jauh dari Ami.”Ya sudahlah. Kekurangan ekonomi yang kami miliki malah kami manfaatkan untuk mengambil kebahagiaan. Intinya kami mensyukuri apa pun keadaan kami.“Eh, Ami sudah bangun.” Kang Wirna menyapa dari ruang tamu. Kulihat tidak ada lagi koperku di ruang tamu itu. Semua sudah rapi. Aku yakin Kang Wirna p
Kugeliatkan tubuhku di atas kasur dan kurasakan tubuhku mulai terasa segar. Aku ingin pipis dan perlahan aku bangkit lalu berjalan ke kamar mandi. Setelah melepas hajat kecil yang tadi menyakitkan perutku, kini sudah semakin sangat lega kurasa.Aku duduk di ruang tamu yang hanya beralaskan karpet plastik tipis dan tidak memiliki kursi tamu. Hanya duduk di lantai yang terasa cukup dingin.Dari teras rumah aku dengarkan Kang Wirna terus bercakap-cakap dengan memakai bahasa daerah. Aku mencoba mencari tahu arti ucapan-ucapannya melalui nalarku.Aku tidak mengerti sama sekali.Namun dari intonasi yang aku dengarkan, sepertinya Kang Wirna tengah memberikan pengertian kepada seseorang. “Apakah Kang Wirna sedang berbicara dengan istrinya?” Hatiku terbakar cemburu namun aku berusaha menenangkan diriku. Kubiarkan saja masalah ini berjalan seperti air mengalir. Ke manakah muaranya? Kita lihat saja nanti, begitulah kesimpulanku.Kulihat jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh malam hari. Da
“Nih kopinya, Bi!” ujarku dengan intonasi melunak sambil menyodorkan secangkir kopi yang masih berasap ke hadapan Kang Wirna. Ia duduk di lantai kamar sementara ponselnya yang ada di hadapannya sering terdengar bunyi notifikasi dan demikian juga dengan ponselku. Namun dari ponselku, aku yakin hanya pesan dari grup saja.“Ya Mi!” jawab Kang Wirna lalu meraih ponselnya. Tanpa melihat pesan masuk terlebih dahulu, ia menekan tombol off yang ada di sisi benda pipih itu.“Matikan saja biar tidak mengganggu. Ponsel Ami juga!” titahnya. Aku mengangguk dan langsung mematikan ponselku juga.“Ceritalah Bi. Sebenarnya kenapa sih kok kita bisa sampai menikah dengan sangat tiba-tiba. Padahal dulu kita kan sudah seperti saudara atau Kakak beradik.” ucapku membuka pembicaraan.Kang Wirna belum menjawab, ia hanya meniup uap kopi yang masih mengepul dari cangkir yang aku suguhkan kepadanya.“Ami terkadang merasa bersalah Bi. Gara-gara Ami, Abi harus berpisah dengan istri Abi. Kalau Ami tahu cerita yan
Bukankah Anak Abi cuma ada dua orang? Yang sulung bernama Haris dan kecil bernama Yoga?Kang Wirna mengangguk. “Benar! Sekarang cuma ada dua orang karena anak sulung Abi sudah meninggal. Ia meninggal ketika sedang lucu-lucunya. Baru pandai manggil ‘Bapak’.” ucap Kang Wirna dengan mata menerawang seakan mengumpulkan kenangan pahit di masa lalu. Bahkan aku lihat matanya berlinang.Ooh...Aku tercekat ikut pilu.“Anak Abi meninggal karena sakit yang tidak jelas. Sudah banyak rumah sakit yang kami datangi serta Dokter, namun tidak ada yang bisa menjelaskan anak Abi sakit apa.” lanjutnya.“Padahal...” Kang Wirna tercekat. “’Padahal itu adalah anak Abi satu-satunya saat itu.” Akhirnya Kang Wirna benar-benar menangis.Ooh...Aku makin tercekat pilu. Aku dapat merasakan kesedihan Kang Wirna karena kehilangan anaknya. Beberapa bulan bergaul dengan Kang Wirna aku bisa merasakan kalau Kang Wirna sebenarnya sangat menyayangi anak-anaknya. Namun kepada Sarmini istrinya, Kang Wirna seakan menaruh
Semenjak tersiar kabar Kang Wirna menikah denganku, di kampungnya mungkin sudah terjadi kegaduhan. Kang Wirna pun terlihat tidak nyaman. Namun di hadapanku ia berusaha bersikap tenang. Aku menunggu saja reaksi darinya. Aku memilih seperti tidak terlalu memikirkan hal itu.Ponsel Kang Wirna tidak lagi dikunci. Aku bebas melakukan apa saja di ponsel miliknya jika siang hari atau saat Kang Wirna ada di rumah. Namun aku masih menahan diri tidak terlalu over acting. Cukup melihat dan memperhatikan sikap Kang Wirna yang tampak gelisah.Pada suatu hari aku mengajak Kang Wirna bertamu ke rumah temanku karena ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan temanku itu. Beberapa menit berbincang dengan temanku, Kang Wirna permisi untuk membeli rokok. Satu jam lebih Kang Wirna belum juga kembali. Hatiku mulai curiga kalau dirinya menelepon Sarmini. Namun kemarahanku tidak kuperlihatkan di hadapan temanku.“Mungkin sepeda motor Kang Wirna mogok lagi.” Kataku kepada temanku setelah hampir dua jam aku m
“Begitulah ceritanya!” ujarku kepada Risma setelah aku selesai menceritakan semua kejadian-kejadian yang tengah terjadi dalam rumah tanggaku dengan Kang Wirna, kepada sahabatku Risma lewat pembicaraan video call siang itu. Kang Wirna sedang tidak berada di rumah, ia sedang menemui Siregar untuk meminjam uang kepada rentenir itu.Wajah Risma kulihat menegang. Aku tahu ia cukup terkejut mendengar ceritaku yang panjang lebar seperti yang diceritakan Kang Wirna kepadaku semalam.“Hm, aku melihatmu dengan Kang Wirna seakan datang dari dua dunia yang berbeda bahkan berlawanan arah.” Komentar Risma akhirnya terdengar juga setelah cukup lama ia merenung berdiam diri.Risma juga memanggil Kang Wirna dengan embel-embel ‘Kang’ walau umur Kang Wirna jauh di bawah usianya. Itu sebagai penghargaannya kepadaku, temannya. Kepada Kang Wirna, aku meminta ia menyapa Risma dengan panggilan ‘Kak’. Itu sebagai panggilan penghargaan kepada orang yang lebih tua, agar tercipta komunikasi yang saling mengharga