Seminggu sudah aku mendapat kebebasan untuk mengutak-atik ponsel suamiku, aku tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sana. Namun foto profil di whatsaap suamiku membuat diriku kurang nyaman. Yah, tidak nyaman jika foto profil itu hanya menampilkan gambar sebuah laptop. Mengapa bukan foto kami berdua? Sedangkan aku telah merubah foto profil semua laman medsosku dan semua aplikasi komunikasiku. Bahkan aku juga mengubah status lajang menjadi nikah dilaman informasi facebookku. Banyak foto kami berdua yang aku share di sana. Itu aku lakukan agar hubunganku dengan Kang Wirna tidak menjadi rahasia. Namun Kang Wirna tidak melakukan itu walau sudah lebih dari tiga bulan kami menikah.Ingin aku mengganti foto profil di whaatsaap Kang Wirna, namun aku tidak mau lancang tanpa meminta izin dulu kepadanya. Aku harus meminta izin dulu kepada Kang Wirna sebelum aku melakukan itu semua.“Bi, kok foto profil Abi gambar laptop? Mengapa tidak gambar kita berdua?”Kutanyakan itu kepadanya setelah ka
‘Bodoh’Kata itu pasti ditujukan untuk Kang Wirna. Rasanya tidak pantas seorang adik bicara sekasar itu kepada kakaknya sendiri. Apa pun kesalahan yang dilakukan oleh Kang Wirna. Apa pun itu Kang Wirna adalah kakak kandungnya. Apalagi menyangkut urusan pribadi Kang Wirna sendiri. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tapi aku memaklumi, "lain orang tua dan lingkungan tentu lain pula karakter manusia yang dihasilkan" pikirku.Aku mempunyai sembilan orang kakak karena aku adalah anak bungsu, belum sekali pun aku berani mengucapkan kata sekasar itu kepada kakak-kakakku. Kalau aku marah aku memilih untuk diam. Terutama untuk urusan pribadi kami diajarkan untuk tidak ikut campur, baik itu ke atas mau pun ke bawah. Kita semua sudah dewasa berhak menentukan sikap sendiri tanpa didikte keluarga bahkan orang tua. Itu versi didikan keluargaku.Tapi okelah, itu urusan keluarga mereka. Aku tidak mau komentar banyak.Kini aku mulai mencium ada yang tidak beres dengan semua ini. Kang Wirna mengaku kep
“Kalau sedang marah istri tidak segan-segan membuka pintu kebun binatang dan menyebut nama hewan itu satu persatu yang ditujukan kepada suaminya. Suaminya... Yah . Suaminya... Anak laki-laki orang yang bekerja demi kesenangan hidupnya.” tandas Kang Wirna agak sedikit berapi-api.Aku termenung mendengar penuturan Kang Wirna. Memang ada benarnya juga. Banyak dari istri yang kurang memperhatikan dan melayani suaminya dengan baik dan tulus. Saat suaminya mulai berpaling, istri akan marah besar dan menuding wanita yang telah membuat suaminya jatuh cinta adalah pelakor. Padahal suami juga butuh perhatian dan kasih sayang. Ujung-ujungnya anaklah yang jadi korbannya bahkan dijadikan senjata ampuh yang mematikan untuk memaksa suaminya kembali. Namun, banyak pula para suami yang memiliki istri baik namun tetap selingkuh hanya karena melihat bokong perempuan lain lebih bahenol. Ia lupa kalau istrinya di rumah tidak sempat berdandan karena mengurus dirinya dan anak-anak hasil kerja sama mereka.
Debar jantungku terasa lebih cepat. Jemari tanganku menggigil. Kenyataan buruk bagaikan sesosok hantu besar dan hitam seakan telah berdiri nyata di hadapanku. Aku yakin bahwa aku akan kehilangan Kang Wirna. Mengingat itu tanganku terasa lunglai. Ponselku jatuh ke lantai seiring dua tetes air mata jatuh di pipiku.Cukup lama aku tergugu...Ting ...Notifikasi ponselku berdenting. Kuhapus air mataku dan kupungut benda pipih yang tadi aku abaikan di lantai.Sebuah pesan masuk dari Tati. Kini ada empat pesan darinya yang belum aku buka.(Walaikumsalam)(Mbak siapanya Kang Wirna?)Dua pesan dikirim hampir bersamaan. Aku tahu Tati melihat foto profilku dengan Kang Wirna. Lima menit setelah itu Tati mengirim pesan lagi.(Suruh Kang Wirna nelp Emak. Emak ada di rumah sakit)Tiga pesan tersebut dikirim beberapa jam yang lalu. Saat itu aku sedang berbicara dengan Kang Wirna di kamar.(Mbak)Pesan terakhir berumur lima menit.Kuputuskan untuk membalas pesan itu. Apa pun yang akan terjadi terjadil
“Aduuuh Miii...! Sakiiit...!” teriak Kang Wirna mengelus betisnya bekas cubitanku.“Kalau sakit, duduk!” sahutku seraya memerintah dan mengerlingkan mataku kepadanya.Bagaikan anak kecil Kang Wirna segera duduk dan membuka mulutnya. Kuberikan suapan terakhir dan aku bersiap untuk berdiri lalu bergegas menuju dapur.“Allahu Akbar Allahu Akbar...!”Suara adzan dzuhur bergema dari mesjid yang tidak jauh dan tidak terlalu dekat dari rumah kontrakan kami yang sederhana namun penuh cinta.Kuletakkan piring di dalam baskom yang biasa kuperuntukkan untuk mengumpulkan piring kotor. Sekarang hanya satu piring saja yang baru berada di sana yaitu piring bekas makan Kang Wirna.Ketika aku menundukkan kepalaku, tidak terasa air mata semakin deras menuruni pipiku. Luka dihati dan perpisahan yang sudah di ambang pintu membuat aku benar-benar gamang. Aku kini sangat mencintai Kang Wirna. Tidak sanggup rasanya aku kehilangan kasih sayangnya yang sangat manis namun ternyata mengandung racun yang sungguh
Sekonyong-konyong Kang Wirna kembali berdiri. Dipeluknya tubuhku dengan erat bahkan aku dibuatnya susah untuk bernafas.“Abi mencintai Ami. Sungguh...!!” diangkatnya wajahnya yang tadi ia tempelkan di leherku.“Kita selesaikan baik-baik ya Mi. Abi mohon, berilah Abi kesempatan terakhir untuk memperbaiki semuanya. Abi tahu kalau Abi salah telah membohongi Ami, tapi Abi memang tidak pernah lagi menganggap dia istri Abi. Kalau toh ada Abi menelpon kepadanya, itu hanya untuk berbicara dengan anak-anak Abi saja.” Panjang lebar Kang Wirna berusaha meyakinkanku.“Sudah....?” tanyaku dingin.“Miii...!”“Minggir!” teriakku sambil mendorong dada Kang Wirna. Kembali Kang Wirna terjajar. Pelukannya terlepas. Kini aku bebas untuk mengemasi barang-barangku. Aku sibuk mondar-mandir keluar masuk kamar mengambil baju-bajuku. Aku hanya bermaksud membawa pakaianku saja. Barang-barang yang lain walaupun itu milikku, biarlah dipakai oleh Kang Wirna. Toh dirinya tidak punya apa-apa selain beberapa pasang b
Entah berapa lama aku tertidur. Saat kubuka mataku kulihat Kang Wirna sedang khusuk berdoa di atas sejadah di ruang tamu yang kami jadikan tempat sholat berjamaah berdua.“Oh, sudah Ashar..!” gumamku yang teringat bahwa aku baru menunaikan sholat dzuhur tadinya. Aku berusaha turun dari kasur yang berlapis dua sehingga agak tinggi. Tempat tidur kami hanya dua batang spring bed ukuran lajang yang aku lapiskan. Itu cukup buat kami tidur berdua karena tubuh suamiku tidaklah besar. Kang Wirna tidak mau jika kedua spring bed itu aku susun sejajar agar lapang. Selain karena kamar kami sempit, Kang Wirna bilang, “jika kasurnya kecil kita akan tidur berdempetan terus. Abi nggak bisa jauh-jauh dari Ami.”Ya sudahlah. Kekurangan ekonomi yang kami miliki malah kami manfaatkan untuk mengambil kebahagiaan. Intinya kami mensyukuri apa pun keadaan kami.“Eh, Ami sudah bangun.” Kang Wirna menyapa dari ruang tamu. Kulihat tidak ada lagi koperku di ruang tamu itu. Semua sudah rapi. Aku yakin Kang Wirna p
Kugeliatkan tubuhku di atas kasur dan kurasakan tubuhku mulai terasa segar. Aku ingin pipis dan perlahan aku bangkit lalu berjalan ke kamar mandi. Setelah melepas hajat kecil yang tadi menyakitkan perutku, kini sudah semakin sangat lega kurasa.Aku duduk di ruang tamu yang hanya beralaskan karpet plastik tipis dan tidak memiliki kursi tamu. Hanya duduk di lantai yang terasa cukup dingin.Dari teras rumah aku dengarkan Kang Wirna terus bercakap-cakap dengan memakai bahasa daerah. Aku mencoba mencari tahu arti ucapan-ucapannya melalui nalarku.Aku tidak mengerti sama sekali.Namun dari intonasi yang aku dengarkan, sepertinya Kang Wirna tengah memberikan pengertian kepada seseorang. “Apakah Kang Wirna sedang berbicara dengan istrinya?” Hatiku terbakar cemburu namun aku berusaha menenangkan diriku. Kubiarkan saja masalah ini berjalan seperti air mengalir. Ke manakah muaranya? Kita lihat saja nanti, begitulah kesimpulanku.Kulihat jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh malam hari. Da