Seminggu waktu sudah berlalu. Aku tak hendak mengingat kembali masa-masa yang paling menyakitkan dikala Kang Wirna pergi sekitar 3 tahun yang lalu dan sampai sekarang belum aku ketahui apa sebab dan karenanya.
Sebagai seorang istri rasanya aku telah melakukan kewajibanku sebaik mungkin. Walau umurku lebih tua darinya 10 tahun, tapi masalah di ranjang aku tak mau sampai dirinya yang duluan meminta jatahnya. Aku selalu menawarkan tubuhku kepadanya dan ia dengan girang gembira menyambut penawaranku. Katanya, “Abi merasa sangat tersanjung dengan sikap Ami.”Aku selalu terbayang nasehat ibuku, “jika nanti kamu punya suami, jadilah pelacur di atas ranjang dan jadilah Ibu ketika dalam kesedihan serta jadilah teman di saat sedang keriangan. Jadilah istri segalanya buat suami jika tidak ingin hatimu luka dan kecewa.” kata ibuku di saat aku mulai memasuki usia remaja.Tapi sayang...😭Walau aku telah melakukan semua itu, namun aku tetap mengalami kelukaan dan kegagalan dalam berumah tangga. Dan ini adalah kegagalanku yang kedua kalinya.“Oh, aku harus segera tidur. Bukankah besok hari Minggu aku telah mengantongi banyak orderan?.” Aku menguap dan melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 02.21 dini hari. Itu artinya sebentar lagi waktu subuh juga akan tiba. Kusudahi kegalauan hatiku dan perlahan kututup kedua mataku. Beberapa saat kemudian aku sudah meninggalkan semua beban perasaanku bersama mimpi-mimpi yang segera datang menjamu.*Pukul 08.45 pagi di dapurku.“Ya Allah, santannya tidak cukup! Bukankah semalam Bu Indah pelanggan rutinku setiap minggu telah menambah orderannya dari satu kilo rendang menjadi dua kilo. Itu artinya aku harus menambah santannya juga walau daging memang masih banyak tersedia di dalam kulkas.Hari Minggu memang ada pasar kaget yang tidak jauh dari rumahku. Namun sejak bertemu Kang Wirna di pasar itu, aku telah memutuskan untuk mencari tempat belanja yang lain. Akhirnya aku berbelanja di hari Sabtu di pasar kaget lainnya yang agak sedikit jauh dari rumahku. Hal itu aku lakukan hanya untuk menghindari Kang Wirna yang aku yakini pasti setiap hari minggu mengamen di pasar kaget dekat rumahku.“Aku harus ke pasar sekarang! Orderan Bu Indah sudah harus selesai siang nanti.” ucapku sendiri lalu bergegas melaju dengan sepeda motorku menuju pasar kaget Minggu.Ku parkir sepeda motorku lalu dengan setengah berlari aku menuju tukang jualan santan langgananku. Tempatnya sekitar di pertengahan jalan yang digunakan untuk pasar mingguan tersebut. Mau tak mau aku harus berjalan kaki ke dalam karena pasar itu sudah mulai ramai.“Santannya satu kilo, Bu!” ucapku begitu aku sampai di kios penjualan santan langgananku.Karena banyak yang mengantri aku harus bersabar menunggu giliranku mendapatkan santan yang aku pesan.“Sabar ya Uni!” ucap penjual santan langganan itu kepadaku di tengah kesibukannya.Aku tersenyum dan mengangguk. Aku setia mengantri dengan berdiri di depan kios itu yang posisiku telah menginjak aspal jalan. Orang-orang semakin banyak berseliweran dan suara tawar menawar terdengar bersahutan.Dan...Suara itu aku dengar lagi. Suara seorang pengamen yang aku yakini adalah Kang Wirna.Yah.. itu pasti Kang Wirna. Tidak ada sedikit pun perubahan dari dirinya kecuali matanya yang kini tertutup keduanya dan juga tubuhnya yang lebih kurus.Duhai bulan separuh gambaran cintaku. Kini bersemi walau pernah berbagi. Kini mewangi walau tak harum lagi......Syair itu ia lagukan kembali. Hati dan pikiranku semakin terhipnotis oleh suaranya yang mendayu seakan menggambarkan kepiluan hatinya.Semakin lama suara itu semakin mendekat ditingkahi kesibukan pasar dipagi itu. Beberapa kali kata umpatan dan makian aku dengar ditujukan kepada Kang Wirna. Kata-kata itu dilontarkan oleh penarik becak barang yang tengah sibuk mengantar barang-barang dagangan ke dalam pasar.Tiba-tiba...Braaaak...!Terdengar suara agak kuat dan seiring dengan itu lagu yang dinyanyikan Kang Wirna langsung terhenti. Beberapa orang berlarian menuju ke pangkal jalan yang telah aku lewati sebelumnya.Lalu kembali terdengar pula makian seorang lelaki.“Pagi-pagi sudah mengamen! Tidak tahu orang masih sibuk mengantar barang ke pasar. Kalau mau mengamen tunggu agak siang!”Aku terlonjak dan spontan berlari ke arah suara gaduh itu. Bagaimana pun bencinya aku kepada Kang Wirna, namun di hatiku yang paling dalam aku menyimpan sebuah cinta yang tulus kepadanya. Sayangku kepadanya bukanlah permainan, seperti dirinya mempermainkan pernikahan kami.“Kang Wirna..?” aku terpekik namun segera pula aku menutup mulutku dengan kedua telapak tanganku. Aku tidak mau ada orang yang mendengarnya apalagi Kang Wirna.Di badan jalan yang agak becek aku melihat Kang Wirna terduduk dan speaker alat ia mencari nafkah pecah walau tidak terlalu berantakan. Namun aku yakin alat pengeras suara itu tidak lagi bisa digunakan.Dua orang lelaki yang tak lain adalah pedagang pasar membantu Kang Wirna berdiri setelah ditabrak sebuah becak barang. Anak lelaki yang selalu ikut dengannya terlihat berdiri di sudut jalan dengan wajah ketakutan. Sementara pengemudi becak tadi terus mengomel dan ogah untuk memberi ganti rugi atas kerusakan speaker Kang Wirna.Aku melihat Kang Wirna di ajak duduk di samping lapak orang berjualan cabe dan sayuran.“Nak...! Kemarilah!”Aku memanggil anak lelaki yang tengah berdiri dengan tubuh bergetar. Aku ingin bertanya beberapa hal kepadanya tanpa didengar Kang Wirna.“Kamu tinggal dimana?”“Di rusun, Bu!” jawabnya polos sambil menggoyangkan tangan kirinya yang buntung hingga siku. Aku tahu rusun yang dimaksud. Beberapa kali aku pernah ke sana.“Oh, bersama siapa tinggal di sana?” tanyaku.“Berdua dengan Bapak!” jawabnya.Aku mengangguk-angguk. Berarti benar anak kecil ini adalah anak Kang Wirna. Itu artinya Kang Wirna sudah kembali kepada mantan istrinya.“Mengapa mengamennya terlalu pagi? Bukankah pasar masih sangat ramai dilalui oleh becak barang yang mengantarkan barang dagangan.” Bocah itu menunduk dengan wajah semakin takut. Mungkin dirinya beranggapan bahwa aku memarahinya.“Kami belum makan dari semalam, Bu! Kami mengamen pagi-pagi untuk membeli sarapan.” ucap anak itu jujur.Duaarrr...Bagaikan petir menggelegar aku terlonjak. Aku tidak menduga separah ini kejadian yang menimpa Kang Wirna. Ku lirik Kang Wirna yang masih duduk di samping lapak orang berjualan cabe dan sayuran. Sementara pedagang itu sudah sibuk dengan pembelinya dan sudah melupakan kehadiran Kang Wirna di sana. Kang Wirna hanya bisa memeluk speakernya yang sudah rusak.Air mataku berderai...“Lantai berapa kamu tinggal, Nak?” “Lantai lima, Bu!” jawabnya.Oooh... Aku semakin menyadari kesulitan ekonomi Kang Wirna hingga ia harus tinggal di lantai teratas rusun itu. Karena harganya paling murah di banding lantai bawah. Aku tak bisa membayangkan Kang Wirna yang buta harus menapakkan kaki di setiap anak tangga menuju lantai lima.Hmm...Ku ambil uang seratus ribu di dompetku lalu aku berikan kepada anak itu.“Bawa Bapak pulang dan belilah makanan!” titahku kepadanya.Anak itu menerima uang dari tanganku dan wajahnya langsung sumringah. Ia mengucapkan beberapa kali kata terima kasih kepadaku.Aku mengangguk dan berlalu meninggalkan tempat itu menuju tempat penjual santan. Ku bayar belanjaanku dan aku langsung cabut pulang. Di badan jalan aku menyalip Kang Wirna yang berjalan lambat dituntun anaknya.Aku mendahuluinya tanpa kata dan tak pula menoleh ke belakang. Seperti aku meninggalkan masa laluku bersamanya.*****Dua jam berikutnya selesai sudah pesanan Bu Indah. Aku mulai mengemas rendang daging yang sudah aku dinginkan sekitar setengah jam ke dalam sebuah plastik. Kelezatan makanan khas kampung halamanku itu semerbak mewangi memenuhi ruang udara di dapurku.“Hm, semoga saja Bu Indah makin suka dan betah menjadi langganan.” gumamku sambil tersenyum puas dengan hasil kerjaku hari ini.Pagi-pagi aku sudah berjual beli seharga lima ratus ribu rupiah. Sudah barang tentu separo dari jumlah itu merupakan keuntungan untukku. Lumayan, toh aku tidak punya tanggungan lagi. Si bungsuku yang kini telah duduk di kelas 2 SMK sudah menjadi tanggungan kakak dan abangnya. Bahkan anak pertama dan keduaku itu masih memberi aku jatah uang setiap bulannya.“Bu Indah, pesanan segera meluncur!” ucapku riang melalui telepon selulerku.“Hmm... Indah jadi lapar, Uni. Kelezatan masakan Uni serasa sudah sampai di lidah Indah.” sahut Bu Indah yang memang pan
“Bisa speker ini diperbaiki secepat mungkin?” tanyaku kepada seorang lelaki pemilik usaha serpis elektronik. Aku menyerahkan speker berbentuk kotak yang besarnya kira-kira 50cm persegi, kepadanya.“Butuh kapan, Bu?” tanya tukang serpis elektronik itu balik bertanya kepadaku sambil memeriksa bagian yang rusak pada speker tersebut.“Malam ini. Sekitar jam 8 saya jemput. Bisa?”Lelaki itu terdiam sejenak sambil terus mengutak-atik benda dihadapannya. Setelah puas memeriksa speker milik Kang Wirna, lelaki itu mengangkat wajahnya menatapku sambil menggelengkan kepala dengan lemah.“Speker ini sudah terlalu usang, Bu. Beberapa bagian kabelnya sudah lapuk dan gulungan tembaganya juga kacau balau.” jawabnya.Pusing sudah aku mendengar keterangan dari lelaki yang masih muda itu. Mana aku tahu masalah speker. Yang aku pahami hanyalah bagaimana memasak makanan enak yang membuat perut kenyang dan menulis cerita denga
Dengan meraba-raba kusen pintu, Kang Wirna sepertinya mau masuk kembali ke rumahnya. Aku menunggu kesempatan untuk menyelinap ke rumah itu. Karena, kalau sampai ia menutup pintu atau bahkan menguncinya, itu akan membuat aku kehilangan kesempatan untuk mengintip kehidupan Kang Wirna secara nyata.Begitu tangan Kang Wirna meraih tepi daun pintu untuk menutupnya, aku perlahan menyelusup dirongga pintu yang cukup lebar dan melintas di bawah ketiaknya yang terbuka lebar. Hampir saja speker yang kubawa menyentuh tubuh Kang Wirna. Namun syukurlah, aku bisa masuk walau harus menahan nafasku. Gerakan Kang Wirna yang lambat juga memudahkan aku untuk menjalankan aksiku.Yes!Aku berhasil masuk tanpa Kang Wirna curiga. Ia menutup pintu rumahnya lalu menggeser pegangan kunci bantu hingga pintu itu tidak mungkin bisa dibuka dari luar. Syukur aku berhasil masuk. Kalau tidak, aku harus menunggu Haris pulang dulu baru bisa menyerahkan speker itu. Tidak mungkin aku memanggil Kang Wirna
Lebih kurang 4 tahun yang lalu...Aku terpaksa menutup warung makan milikku yang sebenarnya pada awalnya cukup ramai pengunjung dan memberikan hasil yang lumayan. Aku terpaksa melakukan itu karena keadaan ekonomi yang tengah kacau balau melanda kotaku bahkan mungkin negaraku dan bisa jadi seluruh dunia. Entah apa gerangan penyebabnya, aku tidak tahu.Pengangguran meningkat dimana-mana. Masa kerja permanen ditiadakan dan diganti dengan sistem kontrak. Keadaan itu berimbas ke segala penjuru roda usaha termasuk usahaku. Para pelangganku banyak yang pulang ke kampung halaman mereka karena tidak mampu lagi bertahan hidup di kota. Demikian juga para tetangga pelaku usaha yang kebanyakan adalah pembuat perabotan kayu, satu-persatu menutup usahanya. Para pekerja mereka terpaksa dilepaskan alias di PHK karena sang Bos tidak mampu lagi menggaji mereka.Komplek ruko tempat warung makan milikku berada, langsung berubah sepi seperti kuburan karena para pekerja di sana yang s
Lima bulan sudah aku mengenal Kang Wirna. Tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan kalau lelaki muda itu menaruh hati kepadaku walau sikapnya penuh perhatian namun masih pada taraf kewajaran.Seperti kebanyakan lelaki lain, Kang Wirna terlihat sangat segan kepadaku. Karena aku memang tipe perempuan yang tegas dan tidak suka berlebay ria kepada manusia yang berjenis laki-laki. Apa lagi kalau lelaki itu berusia di bawah usiaku. Sudah jelas intonasi bicaraku kepadanya seperti berbicara kepada adikku saja. Demikian pula kepada Kang Wirna dan beberapa teman-temannya yang sering datang bertandang ke kos-an kami. Walau pun aku suka bercanda, tapi aku menjaga jarak. Apakah itu perbuatan dan juga percakapan. Karena aku sadar bahwa diriku adalah seorang janda, aku paling tak suka kalau ada laki-laki yang berani berbicara kurang ajar kepadaku.Suatu hari..Aku pergi ke tempat anakku Dean karena dirinya dalam keadaan sakit. Kepada Kang Wirna aku titipkan kamar kos-ku karena aku
Hujan lebat mengguyur kota Batam saat Kang Wirna bersiap mengantarkan aku ke bandara Hang Nadim sore itu.Beberapa kali aku mendengar ia menarik nafas berat. Tatapan matanya juga tidak lagi ceria seperti biasanya.“Ada apa dengan Adikku..?” hatiku bertanya-tanya.Namun, ya sudahlah.. aku yakin dirinya hanya sedih karena kehilangan seorang kakak yang sering bersamanya. Bukankah Kang Wirna pernah bercerita kepadaku kalau dirinya adalah anak sulung? Nah kebetulan aku malah anak bungsu. Jadi pas sudah, Kang Wirna mendambakan seorang Kakak karena ia anak sulung, sedangkan aku butuh seorang adik karena memang aku anak bungsu. Perasaan adik dan kakak makin mantap di dalam hatiku. Aku sayang kepada Kang Wirna, namun kasih sayangku sebatas kakak kepada adiknya saja. Tidak lebih...“Bu, hati-hati di sana. Jangan lupa berkabar kepadaku.” Kang Wirna menyalamiku setelah kami sampai di parkiran sepeda motor yang dilengkapi atap.Pakaianku bas
Tanpa terasa dua minggu sudah aku bekerja di Jakarta. Aku cukup betah dengan pekerjaan yang tengah kujalani.Setiap malam Kang Wirna mengobrol denganku lewat Messenger atau via whatsaap. Kepadanya aku mengatakan bahwa aku sudah kerasan di Jakarta dan mungkin tidak akan kembali ke kota Batam dalam waktu yang agak lama.Aku tidak tahu apa yang dirasakan Kang Wirna begitu ia mendengar kabar itu dariku. Namun yang sering ia ungkapkan bahwa rumah kos yang biasa kami tempati terasa sangat sepi karena aku pergi. Ia juga mengatakan sudah tidak betah lagi tinggal di kota itu dan ingin pula mencari pekerjaan di Jakarta. Tidak lupa ia meminta alamatku di Jakarta.Aku dengan sabar mendengarkan curhatan hatinya dan berusaha memberikan masukan-masukan. Dan ini memang tidak aneh dalam perjalanan hidupku. Biasanya orang yang tidak mengenalku langsung akan beranggapan aku sombonglah, tidak suka bergaullah. Tapi kalau sudah mengenal lebih dekat biasanya susah melupakan. Entah mengapa bisa se
Setelah Kang Wirna berlalu, aku duduk bersantai di teras rumah. Tiba-tiba aku teringat sahabatku Risma dan aku ingin menelponnya untuk memberi tahu bahwa aku sudah kembali ke kota Batam dan sekaligus meminta maaf karena tidak sempat mampir ke rumahnya selama aku berada di Jakarta. Aku langsung menghubungi Risma dengan video call.“Haloo... Assalamualaikum!” jawab Risma. Wajahnya langsung menyembul di layar ponselku.“Halo Ris, apa kabar?”“Kabar baik, kamu gimana? Kok lama tidak ada kabar? Aku menghubungimu sampai ratusan kali tapi tidak pernah nyambung. Kamu sengaja offline apa gimana, Un?”Baru aku bertanya kabar tapi Risma sudah merepet panjang lebar.“Ponselku meninggal?” jawabku sederhana.“Hah? Ponsel meninggal? Bahasa dari mana itu?” teriaknya menatapku geli dari balik layar ponselku.“Bahasaku lah...” jawabku ber-acuh ria.“Trus sekarang hidup lagi atau sudah lahir ponsel baru?” tanya Risma mengikuti gaya bicara konyolku dan se