Share

Tatapan Tanpa Penglihatan

“Bisa speker ini diperbaiki secepat mungkin?” tanyaku kepada seorang lelaki pemilik usaha serpis elektronik. Aku menyerahkan speker berbentuk kotak yang besarnya kira-kira 50cm persegi, kepadanya.

“Butuh kapan, Bu?” tanya tukang serpis elektronik itu balik bertanya kepadaku sambil memeriksa bagian yang rusak pada speker tersebut.

“Malam ini. Sekitar jam 8 saya jemput. Bisa?” 

Lelaki itu terdiam sejenak sambil terus mengutak-atik benda dihadapannya. Setelah puas memeriksa speker milik Kang Wirna, lelaki itu mengangkat wajahnya menatapku sambil menggelengkan kepala dengan lemah.

“Speker ini sudah terlalu usang, Bu. Beberapa bagian kabelnya sudah lapuk dan gulungan tembaganya juga kacau balau.” jawabnya.

Pusing sudah aku mendengar keterangan dari lelaki yang masih muda itu. Mana aku tahu masalah speker. Yang aku pahami hanyalah bagaimana memasak makanan enak yang membuat perut kenyang dan menulis cerita dengan bahasa yang indah agar pembaca senang. Karena usahaku memang membuka dapur online dan diselingi dengan menulis cerita yang aku kirim ke sebuah platform novel online kesayanganku.

“Hm, lalu apa yang harus saya lakukan? 

Lelaki itu berpikir sejenak.

“Bagaimana kalau Ibu beli saja speker yang hampir sama dengan speker ini? Kebetulan saya punya satu dan kualitasnya jauh lebih bagus dari yang ini.” Dia menawarkan.

Aku tertarik dan menyuruhnya untuk memperlihatkan speker yang ia ceritakan barusan. Dengan segera ia mengambil barang itu dan meletakkan di atas meja yang terletak di antara kami berdua.

“Hm, memang bagus. Suaranya juga sangat jernih dengan suara bass menggema benar-benar mantap dan sungguh enak menyentuh gendang telinga.” pujiku di dalam hati setelah lelaki tukang serpis itu menyalakan speker tersebut. 

“Berapa harganya?” tanyaku tak sabar sambil meraba-raba speker berwarna hitam lengkap dengan tali penggantung yang lebih bersih dan masih terlihat baru. Aku rasa speker ini didapatkan oleh lelaki itu dari seseorang yang berprofesi pengamen seperti Kang Wirna.

Lelaki itu menyebutkan sebuah angka sebagai harga penawaran speker tersebut. Aku sedikit menawarnya lalu didapatlah sebuah kesepakatan harga. Ku bayar speker itu dan langsung kubawa. Sementara speker milik Kang Wirna yang sudah rusak juga tidak lupa aku ambil kembali dan rencananya akan kusimpan di rumahku saja.

Tak berapa lama kemudian aku sudah mengemudikan mobilku di jalan. Sinar sore terlihat sangat cerah dari pantulan cahaya matahari yang sudah sangat condong ke barat.

“Masih sore, sebaiknya aku antarkan saja speker ini langsung ke tempat Kang Wirna agar aku tidak perlu keluar lagi nanti malam.” kata hatiku. Tanpa banyak pertimbangan lagi aku segera melaju menuju rusun tempat Kang Wirna dan Haris bertempat tinggal. 

Setengah jam kemudian aku sudah sampai di bawah blok rusun yang ditempati Kang Wirna. Dari jauh aku melihat serombongan anak lelaki berlarian menuju suatu arah yang berlawanan dengan tempat aku berdiri.

“Ayo main bolaa...!” kudengar salah seorang di antara mereka berteriak lantang. Dan suaranya itu memaksaku untuk melihat lebih tajam lagi ke arah rombongan anak-anak tersebut. Karena suara yang kudengar adalah suara Haris, anak Kang Wirna. Aku memang sudah sangat hafal suaranya karena aku sudah cukup sering berbicara langsung dengan bocah itu.

Ya benar! Aku melihat seorang bocah bertangan buntung berlari sambil mengapit bola dengan satu tangannya yang lain. Haris bersama lima orang temannya berlari menuju sebuah lapangan yang sepengetahuanku sedikit jauh dari tempat itu.

“Haris pergi main bola? Lalu... Ooh.. Kang Wirna tinggal sendirian? Bagaimana kalau ia butuh sesuatu? Siapa yang akan membantunya sedangkan matanya tidak bisa melihat?” berbagai pertanyaan melintas begitu saja di benakku. Entah karena masih cinta atau hanya sekedar kasihan saja, tiba-tiba hatiku dilanda resah yang teramat sangat. Tanpa bisa kutahan kakiku sudah bergerak cepat melangkah menuju tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai 5 tempat Kang Wirna berada.

Tap..tap..tap..

Langkahku beriringan sangat cepat menaiki anak tangga. Speker yang baru aku beli kusandang di bahuku. Beberapa menit saja aku sudah sampai di tempat yang ingin aku tuju. Lantai tertinggi gedung itu tetap terlihat sangat sepi. Sungguh berbeda dengan keadaan lantai sebelumnya yang cukup ramai.

Bagaikan seorang maling yang sedang beraksi kudekati pintu unit yang ditempati Kang Wirna. Aku merasa sedikit bebas karena Haris tidak berada di rumah itu. Aku yakin Haris akan kembali dalam waktu yang cukup lama. Maklumlah, anak seumuran itu pasti sangat haus masa bermain dan bersenda gurau dengan teman-teman sebayanya.

Pintu unit itu tertutup tapi aku belum bisa memastikan apakah pintu itu juga terkunci atau hanya tertutup saja. Ku coba meraih hendel pintu tanpa khawatir Kang Wirna memergokiku karena aku sudah tahu kalau kini kedua mata Kang Wirna sudah buta. Kenapa bisa buta? Oh, aku belum tahu penyebabnya. Sabar... Sebentar lagi aku pasti mengetahuinya.

“Hariiis.... Hariiiss...!”

Kudengar suara Kang Wirna memanggil nama putranya. Tentu saja Haris tidak mungkin mendengarnya karena bocah itu sedang asyik bermain bola dengan teman-temannya.

Kupertajam pendengaranku dan aku urungkan untuk memutar hendel pintu rumah Kang Wirna. Aku hanya mematung di depan pintu. Entah mengapa... Hatiku sangat terasa pilu mendengar suara suami yang telah menikahiku secara siri itu lalu begitu saja meninggalkanku tanpa alasan apalagi keputusan. Terkadang aku ragu. Apakah aku masih istrinya atau tidak? Bukankah menurut aturan Islam bahwa istri yang ditinggalkan lebih dari 3 bulan tanpa kabar berita bisa menggugat cerai suaminya? Ooh, tapi aku tidak melakukan gugatan apa-apa. Bahkan jujur aku katakan bahwa aku masih berharap suamiku pulang dan aku siap untuk memaafkan serta melupakan kesalahannya.

Dreeet...

Tiba-tiba pintu terbuka dan wajah Kang Wirna muncul begitu saja persis di depan wajahku. Aku hampir saja menjerit karena terkejut namun langsung kubekap mulutku dengan kedua telapak tanganku. Kang Wirna telah memutus lamunanku tentang dirinya dengan membuka pintu itu.

“Hariis... Kamu di mana Haris?”

Kang Wirna memanggil-manggil nama putranya dan dia tiada menghiraukan kehadiranku yang hampir bertabrakan dengannya kalau saja aku tidak sedikit menggeser langkahku ke belakang.

“Hariiis...!”

“Oh, anak itu pasti sedang bermain.” ucap kang Wirna persis di hadapan wajahku. Bahkan hangat hembusan nafasnya pun tepat menerpa hidung dan bibirku yang hanya berjarak sekitar satu jengkal saja dari mulutnya.

“Kang Wirna...!” suara hatiku membathin pilu. Dua tetes air mata tanpa permisi meninggalkan kedua rongga mataku.

Inginnya aku memeluk tubuh kurus Kang Wirna dan menghapus sengsara dari hidupnya. Kuangkat kedua tanganku untuk meraba wajah suamiku yang terlihat jelas sarat oleh penderitaan.

Tapi... Oooh tidak...

Ku tarik kembali kedua tanganku.

Aku tidak akan melakukan itu....

Hm, jelas tidak! Karena lelaki buta yang kini berada persis di hadapanku ini adalah seorang laki-laki penipu! Laki-laki pembohong yang tega menipu istrinya sendiri. 

Yah.. itu betul...

Biarkan sajalah ia menderita sesuai dengan sumpah yang telah puluhan kali ia ucapkan di depanku. 

“Huh.. rasain!” makiku sambil mengusap pipiku yang sudah dibanjiri air mata. 

Aku dan Kang Wirna bertatapan agak lama. Itu sering kami lakukan dulu di saat tengah menjalani hidup yang penuh cinta berdua. Saat itu pasti lambang cinta berupa daun-daun talas berwarna merah muda berterbangan menyelubungi senyum bahagia kami berdua.

Namun saat ini tidak!

Kang Wirna memang menatapku.. tapi ia tidak melihatku.

Dan aku juga menatapnya, tapi aku tidak tahu apakah tatapan mataku masih tersirat rasa cinta atau malah memancarkan sinar dendam yang berbalut kesumat.

Sungguh... Aku tidak tahu!

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status