Aku menggelengkan kepala. Sepertinya Yusuf sedikit konyol di malam ini. Dia terbahak-bahak melihatku. Menyusap pucuk rambut ini dengan lembut."Kamu tuh, Mia. Kadang aneh seperi anak baru gede. Padahal udah punya anak gede loh," ejek Yusuf."Apaan sih," aku menyodorkan bibir bagian bawah saat Yusuf mengejekku. Kemudian kami berdua masuk ke dalam mobil sambil cengengesan memang bak anak baru gede.Yusuf mulai melajukan kendaraan setelah aku selesai memakan safety belt."Mas, kamu sama Jenifer itu kenapa sih?" Aku pura-pura tidak tahu. Padahal sudah ada bocoran informasi dari Winda office girl tempo lalu."Kenapa apanya?" Yusuf pun malah berpura-pura tak paham."Aku bisa melihat ada sesuatu yang Jenifer rasakan sama kamu. Sepertinya kalian pernah jatuh cinta ya?" Tanpa basa-basi lagi aku kembali bertanya. Yusuf malah diam seakan fokus dengan setir mobilnya padahal aku yakin ada sesuatu yang tengah ia pikirkan."Kok diam sih, Mas. Katanya tak akan bohong lagi," sindirku sambil mengalihk
Aku menelan saliva berat. "Kita akan bahas ini nanti ya, Mas. Saya akan pikirkan lebih jauh lagi. Kamu sabar ya. Jangan tergesa-gesa. Bukankah yang indah itu memang membutuhkan waktu." Aku mengusap bahu Yusuf berharap agar lelaki di sampingku ini akan mengerti.Yusuf mengangguk. Walau dia mengaku tak mau menunggu lama, tapi dia mengangguk tanpa ragu. "Saya tunggu keputusan kamu, Mia," ucapnya.Aku mengukir senyuman. Kupeluk tangan lelakiku yang sangat aku cintai. Aku bersender di bahunya tanpa ragu. Yusuf mengantarkanku sampai ke rumah. Dia memastikan aku masuk lalu Yusuf pergi dengan kendaraan roda empatnya. Aku melambaikan tangan lalu masuk ke dalam rumah.Keresahan ini tak berhenti di situ. Yusuf memang bukanlah lelaki yang pertama yang hadir dalam kehidupanku, tapi dia benar-benar membuat perasaanku selalu saja resah. Semalaman ini aku resah lagi. Ini bahkan bukan kali pertama Yusuf membuatku tak dapat tidur.Aku menempelkan ponselku pada daun telinga berniat menghubungi, Siska. S
Aku pun masih belum mendapat jawaban yang pasti tentang perasaan ini. Keresahan ini masih tetap sama namun aku selalu berusaha menetralkannya di hadapan Yusuf.Aku bekerja sebagai mana biasanya. Sebagai asisten aku selalu mengurus semua keperluan Yusuf. Bak suami sendiri saja, pola makannya pun selalu aku perhatikan.Perhatian yang lebih selalu Yusuf tunjukan kepadaku. Dia seakan tak mau kalau aku terlihat cape. Hari ini contohnya, dia dengan tegas melarangku mengendarai motor saat ke kantor. Itu terbukti dari datangnya supir pribadi yang menjemput ke rumah. Berkali-kali aku menolak perintahnya yang berlebihan itu, namun berkali-kali juga dia menekan demi kebaikan. Akhirnya aku berangkat menaiki mobil yang menjemput atas suruhan Yusuf. Hari ini kota Jakarta terasa panas, mungkin hanya malam hari saja beberapa orang bisa merasakan kesejukan angin yang dingin. Aku segera menyalakan AC saat berada di ruangan Yusuf. Aku akan segera mempersiapkan berkas presentase untuk meeting hari ini.
Aku terkejut mendengarnya. tapi itu memang sebuah pilihan masing-masing wanita. Sementara Khaila terus saja merengek manja meminta melahirkan dengan caesar saja. Dia merintih kesakitan padahal baru juga pembukaan satu, prosesnya masih lama dan panjang.Yusuf yang tak akan tega melihat Khaila kesakitan dia langsung mengurus-urus berkas proses melahirkan caesar untuk Khaila. Sementara aku menemani Khaila di ruangannya. Dia terus saja merintih kesakitan. Aku mengelus pinggangnya. Kali ini dia pasrah tak marah-marah karena saat pinggangnya di elus, mungkin sedikit mengurangi rasa sakit pada parut bagian bawahnya.Akhirnya Yusuf telah selesai mengurus semua berkas Khaila di rumah sakit dibantu drivernya yang kesana-kemari.Kini Khaila telah dibawa ke ruangan VVIV. Tindakan caesar akan dilakukan beberapa jam lagi. Khaila harus istirahat dulu. Aku terus ada di sampingnya berusaha menenangkan Khaila. Dia tak marah-marah dalam keadaan saat ini. Tak lama setelah itu, Bu Anjani tiba di rumah sa
Tangisan Khaila tak berhenti di situ. Dia terus saja dengan deraian air mata di pipinya. Dalam dekapan Yusuf, tangisan dengan suara terseguk-seguk masih kudengar."Harusnya Mas Reynaldi tak boleh meninggal. Dia harus menyaksikan kelahiran anaknya. Semua itu gara-gara pelakor itu!" lirih Khaila masih dalam dekapan kakaknya.Aku mengusap dada. Khaila masih belum bisa move on dari keadaan. Dia masih menyalahkan masa lalu dan menuduhku pelakunya.Dalam tangisan Khaila, aku turut sendu. Memutar bola mata menahan air mata agar tidak turut tumpah.Tangisan histeris Khaila berakhir karena pingsan. Dia tak sadarkan diri. Semuanya panik melihat Khaila terkulai lemas.Yusuf segera berlari memanggil Dokter. Aku dan Bu Anjani berusaha menyadarkan, Khaila. Di waktu yang bersamaan pula datang sepasang suami istri paruh baya masuk ke dalam ruangan. Bu Anjani bilang kalau mereka mertua Khaila yakni orang tua almarhum Reynaldi."Khaila, ada apa dengannya?" Wanita paruh yang baru saja masuk langsung mem
Aku telah memastikan, tak terlihat seorang pun di depan rumahku. Kuambil suatu benda diatas lantai yang dilempar seseorang tadi. Ternyata sebuah batu yang dibungkus oleh kertas. Aku buka dan kubaca tulisannya."Kamu telah mulai menggali kuburmu sendiri! Tinggal menunggu waktu, kamu akan terperosok ke dalam kuburan yang telah kamu gali sendiri!"Aku terkejut. Isi suratnya berupa ancaman. Aku melempar kertas itu ke sembarang arah. Dadaku bergetar. Aku berpikir dalam beberapa saat. Siapa yang melakukan itu?Kuusap wajah ini dengan kasar. Sepertinya aku tahu siapa yang melakukan ini. Hmm... dia pikir aku akan takut dengan ancaman murahannya ini.***"Mas, bagaimana keadaan, Khaila?"Pagi-pagi sekali aku sudah menelepon Yusuf untuk bertanya mengenai keadaan Khaila saat ini. Aku belum berangkat ke kantor dan baru saja hendak menyalakan mesin motor. Saat kuingat Khaila, aku langsung menelepon dan menempelkan benda pipihku pada telinga."Khaila sedikit membaik, Mia. Saya sudah memanggil psiki
"Khaila, bagaimana kabar kamu?" Jenifer belaga akrab. dia juga menyapa bayi yang ada di dalam box bayi."Sedikit membaik, Mba. Terima kasih ya sudah mau datang menjenguk." Khaila membalas sapaan Jenifer dengan ramahnya. Padahal tadi saat aku menyapanya, dia masih saja acuh tak acuh.Biarkan mereka asik dengan obropannya. Sementara aku, aku langsung menawarkan Yusuf sarapan. Ini sudah pukul sembilan, Yusuf belum sarapan dan dia pasti sudah kelaparan."Mas, makan dulu ya." Bukan basa-basi lagi, karena aku langsung menyiapkan makanan untuk sarapan."Kebetulan saya lapar, beruntung ada kamu yang pengertian dengan perut saya. Khaila, apa kamu mau sekalian sarapan. Mia, juga membawa sarapan untuk kamu nih." Yusup menawarkan makan pada Khaila.Sementara aku, tak membiarkan Yusuf makan dengan tangannya sendiri karena aku yang menyuapinya langsung.Khaila tak menjawab tawaran Yusuf, dia hanya menggelengkan kepala saja sebagai tanda menolak. Lalu Jenifer, aku melihat dia mendengus kesal dengan
Khaila terdiam. Dia seperti ragu harus berkata apa. "Makan dulu ya, lupakan tentang amarah. Kamu harus sehat. Anak kamu butuh asi. Kebetulan menu makan siangnya ada sayur katuk. Sengaja agar asi kamu segera lancar," rayuku lagi, tetap berusaha agar Khaila mau makan.Dia melirik anaknya yang tertidur di dalam box. Kemudian menoleh ke arahku. Bibirnya gemetar seperti hendak bicara namun tertahan."Saya akan makan sendiri." Akhirnya dia bicara."Biarkan saya saja yang suapin ya. Kamu kan masih lemas." Aku tetap bersi kukuh dengan niatku.Khaila diam. Ia meraba perut bagian bawahnya sedikit merintih. Mungkin bekas jaitan caesarnya kembali terasa."Saya akan siapin. Biasanya kalau setelah caesar memang jangan banyak bergerak." Aku mulai menyendok makanan untuk Khaila. Beruntung aku berinisiatif memesam sayur katuk tadi pagi.Akhirnya Khaila membuka mulutnya. Dia bersedia saat sesendok makanan aku sodorkan ke depannya. Khaila memamakannya. Aku menghela napas lega. Usahaku berhasil. Aku me