"Khaila, bagaimana kabar kamu?" Jenifer belaga akrab. dia juga menyapa bayi yang ada di dalam box bayi."Sedikit membaik, Mba. Terima kasih ya sudah mau datang menjenguk." Khaila membalas sapaan Jenifer dengan ramahnya. Padahal tadi saat aku menyapanya, dia masih saja acuh tak acuh.Biarkan mereka asik dengan obropannya. Sementara aku, aku langsung menawarkan Yusuf sarapan. Ini sudah pukul sembilan, Yusuf belum sarapan dan dia pasti sudah kelaparan."Mas, makan dulu ya." Bukan basa-basi lagi, karena aku langsung menyiapkan makanan untuk sarapan."Kebetulan saya lapar, beruntung ada kamu yang pengertian dengan perut saya. Khaila, apa kamu mau sekalian sarapan. Mia, juga membawa sarapan untuk kamu nih." Yusup menawarkan makan pada Khaila.Sementara aku, tak membiarkan Yusuf makan dengan tangannya sendiri karena aku yang menyuapinya langsung.Khaila tak menjawab tawaran Yusuf, dia hanya menggelengkan kepala saja sebagai tanda menolak. Lalu Jenifer, aku melihat dia mendengus kesal dengan
Khaila terdiam. Dia seperti ragu harus berkata apa. "Makan dulu ya, lupakan tentang amarah. Kamu harus sehat. Anak kamu butuh asi. Kebetulan menu makan siangnya ada sayur katuk. Sengaja agar asi kamu segera lancar," rayuku lagi, tetap berusaha agar Khaila mau makan.Dia melirik anaknya yang tertidur di dalam box. Kemudian menoleh ke arahku. Bibirnya gemetar seperti hendak bicara namun tertahan."Saya akan makan sendiri." Akhirnya dia bicara."Biarkan saya saja yang suapin ya. Kamu kan masih lemas." Aku tetap bersi kukuh dengan niatku.Khaila diam. Ia meraba perut bagian bawahnya sedikit merintih. Mungkin bekas jaitan caesarnya kembali terasa."Saya akan siapin. Biasanya kalau setelah caesar memang jangan banyak bergerak." Aku mulai menyendok makanan untuk Khaila. Beruntung aku berinisiatif memesam sayur katuk tadi pagi.Akhirnya Khaila membuka mulutnya. Dia bersedia saat sesendok makanan aku sodorkan ke depannya. Khaila memamakannya. Aku menghela napas lega. Usahaku berhasil. Aku me
Kehangatannya kini bisa kembali kurasakan. Getaran jantungnya menembus jantungku. Kedua tangannya menggenggam tanganku, membuat raga ini hanya bisa diam seolah terkunci.Beberapa detik berlalu, dia melepaskan ciumannya. Yusuf mengusap bibirku yang basah dengan jemari tangannya."Seandainya waktu bisa diatur. Sungguh saya tidak ingin menunda waktu terlalu lama. Saya ingin memiliki kamu seutuhnya," bisik Yusuf. Hanya beberapa senti meter saja dia berada di depanku."Iya, Mas. Kita tunggu waktu yang tepat ya. Semua akan indah pada waktunya. Percayalah. Saya juga mencintai kamu, tanpa alasan," balasku dengan berbisik pula. Aku ingin dia yakin betapa getaran di dalam dada ini tak bisa dihentikan saat bersamanya. Aku seperti sudah bangkit dari masa lalu yang pedih. Aku benar-benar telah jatuh cinta pada lelaki yang kini mendekapku begitu erat.Tak lama, suara tangisan bayi kembali terdengar nyaring memecah gendang telinga dan kami berdua tersentak. Aku dan Yusuf langsung berlari menuju kama
Aku dan RT setempat langsung berjalan dengan langkah yang cepat menuju kembali ke rumahku usai laporan selesai.Kami tak hanya berdua, ada beberapa orang di belakangku termasuk Reyno yang kebetulan lewat mungkin hendak berangkat ke kantor.Kami berberondong-bondongan. Semua menyisir area rumahku untuk menemukan bukti, namun nihil. Kami tak menemukan apa pun. Yang ada hanya deretan sampah kotor yang tercium bau busuknya.Bukan hanya aku, beberapa warga juga menyangka kalau kajadian itu seperti disengaja oleh pihak yang tak bertanggung jawab."Apa Mba Mia punya musuh? Atau sedang bertikai dengan seseorang?" Reyno bertanya dengan perhatiannya. Dia masih saja berdiri di depan rumahku bersamaan dengan RT dan yang lainnya."Saya tidak punya musuh, kecuali yang membenci saya. Saya kan tidak tahu siapa saja orang yang benci terhadap saya. Saya tidak bisa membaca pikiran seseorang," jawabku.Pikiranku memang tertuju pada Jenifer, karena hanya dia yang saat ini terus saja membuat masalah dengan
Aku menghela napas kesal. Tega sekali mereka mencap aku sebagai janda gatal. Padahal aku belum pernah menggoda satu laki-laki beristri mana pun di dunia ini, termasuk suami mereka.Mereka kemudian pulang dengan membawa emosi yang bisa diredam dengan satu amplop yang berisi uang kertas."Mba Mia, mohon maaf. Jangan dengarkan ucapan istri saya." Salah satu pria yang merasa suami si ibu tadi nampak merasa tak enak kepadaku."Tidak apa-apa kok, Pak." Aku berusaha tersenyum walau terpaksa."Saya ucapkan terima kasih ya pada Bapak-bapak semuanya," sambungku yang dibalas anggukan kepala oleh mereka.Wajah kelima laki-laki yang membantuku membersih rumah tampak ditekuk. Sepertinya mereka tidak enak karena kelakuan istrinya tadi. Mereka pergi dengan langkah lesu meninggalkan rumahku. Padahal aku tidak apa-apa. Meski pun ucapan ibu-ibu tadi cukup menusuk jantung karena menyebutku dengan panggilan janda gatal. Seperti apa sih janda gatal yang mereka maksud?Tak mau ambil pusing. Teras rumah suda
Di sebelahku, Jenifer tampak memiringkan bibirnya. Dia tersenyum sinis seperti penuh kemenangan."Mia, kamu lihat ini." Yusuf menyodorkan layar ponsel yang tengah memutar suatu video hasil kamera jahanam ke hadapanku.Mataku terbelalak. Tak ada suara percakapan dalam vidio itu. Vidio yang memutarkan suasana di super market tadi saat aku tengah membantu pria bernama Bastian. Bagaimana bisa paparazi mengambil adegan demi adegan yang menonjolnya saja sementara suara yang bisa memperjelas, nyaris hening tak terdengar sama sekali."Jelaskan sama saya, Mia. Siapa pria itu?" Yusuf meluruskan jari telunjuknya pada layar ponsel yang menampilkan wajah Bastian.Aku mengulum senyum emosi. "Saya tidak mengenal dia," jawabku segera."Kenapa kalian terlihat dekat, Mia? Kalian terlihat akrab. Belanja bersama-sama, salam-salaman beradu pandang. Kalian sedang jatuh cinta?" Yusuf yang nampak terbawa emosi.Aku menggelengkan kepala. "Saya tidak kenal, Mas. Dia hanya-""Mungkin hanya temannya, Yusuf. Atau
"Ada apa?" tanyaku ketus membuang pandangan ke arah yang lain.Yusuf meraih tanganku seketika pula kuhempaskan."Saya mau minta maaf, Mia," ucapnya tanpa berpaling dari menatapku."Minta maaf untuk apa?" Aku pura-pura tak paham."Saya minta maaf karena sempat curiga dengan kamu," tutur Yusuf memelas."Tidak perlu." Aku segera meraih pintu dan bersiap akan menutupnya kembali. Sayangnya, pintu tak bisa ditutup karena terganjal sepatu Yusuf yang langsung menahan niatku."Mia, saya belum selesai bicara." Yusuf memasang nada suara paling lembut seantero negeri.Aku memasang senyum tipis sangat kesal. "Bicara soal apa, Mas? Mau nuduh lagi? Saya cape, Mas. Sudah saya katakan jangan datang ke rumah saya lagi. Apa kurang jelas?!" Nada suaraku naik satu oktav. Tak biasanya seperti ini."Iya saya tahu saya salah. Semuanya telah terbukti kalau kamu tidak bersalah, Mia. Seseorang telah memanipulasi keadaan," jelas Yusuf segera."Siapa?" tanyaku segera karena penasaran."Jenifer," jawabnya dengan
"Apa lagi?!" Aku menghela napas pendek saat berhenti melangkah."Maafkan saya, Mia. Sungguh saya berjanji tak akan mengulangi hal itu lagi." Yusuf berusaha kembali meraih tanganku. Ingin kuhempaskan lagi tapi lagi-lagu dia mempererat genggamannya."Maaf, Mas-" Ucapanku tercekat seiringan dengan air mata yang terus saja mengalir. Aku benar-benar cengeng."Tolong jangan bicara seperti itu lagi, Mia." Yusuf menatapku kian dalam."Saya kecewa, Mas. Tidak dipercaya oleh pasangan itu rasanya sakit, Mas. Sakit sekali." Aku mengusap pipi yang basah agar segera mengering.Sementara Yusuf, dia tak mau melepaskan genggaman tangannya. Tatapannya begitu dalam mengiba maaf dariku. Kesalahan besarnya adalah karena tidak percaya denganku, dan rasanya lebih menyakitkan dari pada belati yang menancap hati."Saya janji, saya tak akan mengulangi hal itu lagi. Saya tak akan mengulangi kebodohan yang ke dua kalinya. Catat janji saya, Mia," tekannya begitu berusaha meyakinkanku. Aku membalas tatapan Yusuf.