Aku menelan saliva berat. "Kita akan bahas ini nanti ya, Mas. Saya akan pikirkan lebih jauh lagi. Kamu sabar ya. Jangan tergesa-gesa. Bukankah yang indah itu memang membutuhkan waktu." Aku mengusap bahu Yusuf berharap agar lelaki di sampingku ini akan mengerti.Yusuf mengangguk. Walau dia mengaku tak mau menunggu lama, tapi dia mengangguk tanpa ragu. "Saya tunggu keputusan kamu, Mia," ucapnya.Aku mengukir senyuman. Kupeluk tangan lelakiku yang sangat aku cintai. Aku bersender di bahunya tanpa ragu. Yusuf mengantarkanku sampai ke rumah. Dia memastikan aku masuk lalu Yusuf pergi dengan kendaraan roda empatnya. Aku melambaikan tangan lalu masuk ke dalam rumah.Keresahan ini tak berhenti di situ. Yusuf memang bukanlah lelaki yang pertama yang hadir dalam kehidupanku, tapi dia benar-benar membuat perasaanku selalu saja resah. Semalaman ini aku resah lagi. Ini bahkan bukan kali pertama Yusuf membuatku tak dapat tidur.Aku menempelkan ponselku pada daun telinga berniat menghubungi, Siska. S
Aku pun masih belum mendapat jawaban yang pasti tentang perasaan ini. Keresahan ini masih tetap sama namun aku selalu berusaha menetralkannya di hadapan Yusuf.Aku bekerja sebagai mana biasanya. Sebagai asisten aku selalu mengurus semua keperluan Yusuf. Bak suami sendiri saja, pola makannya pun selalu aku perhatikan.Perhatian yang lebih selalu Yusuf tunjukan kepadaku. Dia seakan tak mau kalau aku terlihat cape. Hari ini contohnya, dia dengan tegas melarangku mengendarai motor saat ke kantor. Itu terbukti dari datangnya supir pribadi yang menjemput ke rumah. Berkali-kali aku menolak perintahnya yang berlebihan itu, namun berkali-kali juga dia menekan demi kebaikan. Akhirnya aku berangkat menaiki mobil yang menjemput atas suruhan Yusuf. Hari ini kota Jakarta terasa panas, mungkin hanya malam hari saja beberapa orang bisa merasakan kesejukan angin yang dingin. Aku segera menyalakan AC saat berada di ruangan Yusuf. Aku akan segera mempersiapkan berkas presentase untuk meeting hari ini.
Aku terkejut mendengarnya. tapi itu memang sebuah pilihan masing-masing wanita. Sementara Khaila terus saja merengek manja meminta melahirkan dengan caesar saja. Dia merintih kesakitan padahal baru juga pembukaan satu, prosesnya masih lama dan panjang.Yusuf yang tak akan tega melihat Khaila kesakitan dia langsung mengurus-urus berkas proses melahirkan caesar untuk Khaila. Sementara aku menemani Khaila di ruangannya. Dia terus saja merintih kesakitan. Aku mengelus pinggangnya. Kali ini dia pasrah tak marah-marah karena saat pinggangnya di elus, mungkin sedikit mengurangi rasa sakit pada parut bagian bawahnya.Akhirnya Yusuf telah selesai mengurus semua berkas Khaila di rumah sakit dibantu drivernya yang kesana-kemari.Kini Khaila telah dibawa ke ruangan VVIV. Tindakan caesar akan dilakukan beberapa jam lagi. Khaila harus istirahat dulu. Aku terus ada di sampingnya berusaha menenangkan Khaila. Dia tak marah-marah dalam keadaan saat ini. Tak lama setelah itu, Bu Anjani tiba di rumah sa
Tangisan Khaila tak berhenti di situ. Dia terus saja dengan deraian air mata di pipinya. Dalam dekapan Yusuf, tangisan dengan suara terseguk-seguk masih kudengar."Harusnya Mas Reynaldi tak boleh meninggal. Dia harus menyaksikan kelahiran anaknya. Semua itu gara-gara pelakor itu!" lirih Khaila masih dalam dekapan kakaknya.Aku mengusap dada. Khaila masih belum bisa move on dari keadaan. Dia masih menyalahkan masa lalu dan menuduhku pelakunya.Dalam tangisan Khaila, aku turut sendu. Memutar bola mata menahan air mata agar tidak turut tumpah.Tangisan histeris Khaila berakhir karena pingsan. Dia tak sadarkan diri. Semuanya panik melihat Khaila terkulai lemas.Yusuf segera berlari memanggil Dokter. Aku dan Bu Anjani berusaha menyadarkan, Khaila. Di waktu yang bersamaan pula datang sepasang suami istri paruh baya masuk ke dalam ruangan. Bu Anjani bilang kalau mereka mertua Khaila yakni orang tua almarhum Reynaldi."Khaila, ada apa dengannya?" Wanita paruh yang baru saja masuk langsung mem
Aku telah memastikan, tak terlihat seorang pun di depan rumahku. Kuambil suatu benda diatas lantai yang dilempar seseorang tadi. Ternyata sebuah batu yang dibungkus oleh kertas. Aku buka dan kubaca tulisannya."Kamu telah mulai menggali kuburmu sendiri! Tinggal menunggu waktu, kamu akan terperosok ke dalam kuburan yang telah kamu gali sendiri!"Aku terkejut. Isi suratnya berupa ancaman. Aku melempar kertas itu ke sembarang arah. Dadaku bergetar. Aku berpikir dalam beberapa saat. Siapa yang melakukan itu?Kuusap wajah ini dengan kasar. Sepertinya aku tahu siapa yang melakukan ini. Hmm... dia pikir aku akan takut dengan ancaman murahannya ini.***"Mas, bagaimana keadaan, Khaila?"Pagi-pagi sekali aku sudah menelepon Yusuf untuk bertanya mengenai keadaan Khaila saat ini. Aku belum berangkat ke kantor dan baru saja hendak menyalakan mesin motor. Saat kuingat Khaila, aku langsung menelepon dan menempelkan benda pipihku pada telinga."Khaila sedikit membaik, Mia. Saya sudah memanggil psiki
"Khaila, bagaimana kabar kamu?" Jenifer belaga akrab. dia juga menyapa bayi yang ada di dalam box bayi."Sedikit membaik, Mba. Terima kasih ya sudah mau datang menjenguk." Khaila membalas sapaan Jenifer dengan ramahnya. Padahal tadi saat aku menyapanya, dia masih saja acuh tak acuh.Biarkan mereka asik dengan obropannya. Sementara aku, aku langsung menawarkan Yusuf sarapan. Ini sudah pukul sembilan, Yusuf belum sarapan dan dia pasti sudah kelaparan."Mas, makan dulu ya." Bukan basa-basi lagi, karena aku langsung menyiapkan makanan untuk sarapan."Kebetulan saya lapar, beruntung ada kamu yang pengertian dengan perut saya. Khaila, apa kamu mau sekalian sarapan. Mia, juga membawa sarapan untuk kamu nih." Yusup menawarkan makan pada Khaila.Sementara aku, tak membiarkan Yusuf makan dengan tangannya sendiri karena aku yang menyuapinya langsung.Khaila tak menjawab tawaran Yusuf, dia hanya menggelengkan kepala saja sebagai tanda menolak. Lalu Jenifer, aku melihat dia mendengus kesal dengan
Khaila terdiam. Dia seperti ragu harus berkata apa. "Makan dulu ya, lupakan tentang amarah. Kamu harus sehat. Anak kamu butuh asi. Kebetulan menu makan siangnya ada sayur katuk. Sengaja agar asi kamu segera lancar," rayuku lagi, tetap berusaha agar Khaila mau makan.Dia melirik anaknya yang tertidur di dalam box. Kemudian menoleh ke arahku. Bibirnya gemetar seperti hendak bicara namun tertahan."Saya akan makan sendiri." Akhirnya dia bicara."Biarkan saya saja yang suapin ya. Kamu kan masih lemas." Aku tetap bersi kukuh dengan niatku.Khaila diam. Ia meraba perut bagian bawahnya sedikit merintih. Mungkin bekas jaitan caesarnya kembali terasa."Saya akan siapin. Biasanya kalau setelah caesar memang jangan banyak bergerak." Aku mulai menyendok makanan untuk Khaila. Beruntung aku berinisiatif memesam sayur katuk tadi pagi.Akhirnya Khaila membuka mulutnya. Dia bersedia saat sesendok makanan aku sodorkan ke depannya. Khaila memamakannya. Aku menghela napas lega. Usahaku berhasil. Aku me
Kehangatannya kini bisa kembali kurasakan. Getaran jantungnya menembus jantungku. Kedua tangannya menggenggam tanganku, membuat raga ini hanya bisa diam seolah terkunci.Beberapa detik berlalu, dia melepaskan ciumannya. Yusuf mengusap bibirku yang basah dengan jemari tangannya."Seandainya waktu bisa diatur. Sungguh saya tidak ingin menunda waktu terlalu lama. Saya ingin memiliki kamu seutuhnya," bisik Yusuf. Hanya beberapa senti meter saja dia berada di depanku."Iya, Mas. Kita tunggu waktu yang tepat ya. Semua akan indah pada waktunya. Percayalah. Saya juga mencintai kamu, tanpa alasan," balasku dengan berbisik pula. Aku ingin dia yakin betapa getaran di dalam dada ini tak bisa dihentikan saat bersamanya. Aku seperti sudah bangkit dari masa lalu yang pedih. Aku benar-benar telah jatuh cinta pada lelaki yang kini mendekapku begitu erat.Tak lama, suara tangisan bayi kembali terdengar nyaring memecah gendang telinga dan kami berdua tersentak. Aku dan Yusuf langsung berlari menuju kama
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe