"Khaila, mohon maaf. saya harus ke pantry." Tak mau melayani ocehan Khaila yang menyakitkan itu, aku memilih membalian badan untuk melanjutkan langkahku. Aku akan membuat makan siang untuk Yusuf."Wanita tidak tahu malu!" suara Khaila masih terdengar menghinaku.Namun, aku tak memperdulikannya. Aku tetap dengan langkahku. Kutelan pahit-pahit hinaan dari Khaila. Mungkin api di dalam hatinya masih menyala dan belum bisa padam seiring luka yang membara di dalam dadanya.Aku berusaha menetralkan perasaan. Mengesampingkan ego. Saat ini bukanlah saat yang tepat membela diri di hadapan Khaila. Semakin aku membela diri, sepertinya akan semakin memancing Khaila emosi dan aku tak mau menciptakan keributan di dekat Yusuf.Yusuf baru saja berhasil melewati masa kritis usai serangan jantung menyergapnya. Aku tak mau jantung Yusuf kembali kambuh. Aku ingin Yusuf segera pulih dan sehat kembali seperti sedia kala.Aku akan memasak ikan salmon dan sayuran yang akan dikukus saja. Berharap Yusuf akan me
Aku tetap dengan penolakanku. Bukan menolak rejeki dari, Tuhan. Namun, aku tidak mau belas kasihan orang.Kulihat wajah Reyno kecewa. "Baiklah, Mba Mia," ucapnya."Maaf ya, Pak. Jangan tersinggung. Saya hanya tidak ingin merepotkan siapa pun," balasku. Sejujurnya aku merasa tidak enak, tapi tetap saja aku tak bisa menerimanya."Iya, Mba Mia. Tidak apa-apa." Usai membayar belanjaannya di kasir, Reyno langsung pergi. Begitu pun dengan aku.Kulanjutkan perjalanan menuju rumah sederhanaku. Kedatanganku di sana bahkan disambut dengan kondisi rumah sedikit berdebu karena aku belum sempat membersihkan. Aku tak bisa diam dan berpangku tangan. Aku mengerjakan tugas pekerjaan rumah sebagai mana biasanya ibu rumah tangga.***"Saya ingin bicara dengan kamu." Pemandangan yang mengejutkan di kantor Zubair doang ini. Jenifer sudah berdiri di depanku seraya menyilangkan kedua tangannya menatapku nyalang.Hari ini aku masih menghandle pekerjaan Yusuf. Kekasihku itu belum stabil, belum bisa masuk kan
Aku tersentak. Dia, Jenifer. Nampak berani membentak padahal kami tak saling kenal. Aku kembali duduk bukan karena takut dengan perintahnya melainkan karena ingin tahu maksud wanita dengan rambut pirang ini."Apa maksud anda, Kak Jenifer? Mengapa anda berbicara seperti itu terus. Menghina, mencibir saya. Apa masalah anda dengan saya?" Aku tak merasa takut dengan bentakan Jenifer."Tentu saja kamu bermasalah dengan saya. Kamu telah berani mengambil Yusuf dari saya. Yusuf itu milik saya dan selamanya akan tetap menjadi milik saya!" tekan Jenifer dengan raut wajah penuh ambisi."Saya tidak mengambil Yusuf dari tangan siapa pun!" tegasku tak mau disalahkn.Jenifer nampak menarik sebelah bibirnya ke saamping, tersenyum sinis. "So polos!" cibirnya."Saya tidak punya banyak waktu kalau hanya sekedar membahas sesuatu yang tidak penting. Saya akan pergi saja sekarang," ucapku yang memilih akan segera pamit saja."Tunggu, Mia!" Jenifer kembali menahan niatku."Lepaskan, Yusuf. Tinggalkan, Yusuf
Aku manggut-manggut. Sepertinya aku paham alasan Jenifer memintaku menjauhi Yusuf."Kamu yakin hanya itu saja yang kamu ketahui?" Aku bertanya lagi pada Winda office girl. "Hanya itu saja. Saya tidak tahu apa-apa lagi," tegasnya kepadaku."Yakin?" Aku bertanya lagi tak yakin."Yakin, Bu." Winda tak berani membalas tatapanku. Dia terus menundukan wajahhya."Baiklah. Terima kasih ya atas informasinya. Kamu jangan khawatir, semuanya akan aman dan baik-baik saja," ucapku agar Winda merasa tenang."Iya, Bu. Terima kasih juga atas pengertiannya. Saya tidak mau kehilangan pekerjaan ini, Bu," balasnya yang mulai mengangkat wajah."Tenang saja. Semua aman," tekanku. Dia mengangguk kemudian pergi. Kami berdua berpisah dan melanjutkan aktivitas masing-masing.Aku semakin paham kalau Jenifer masih menginginkan Yusuf kembali. Pantas saja lagi-lagi Yusuf meminta aku berjanji tak akan meninggalkannya. Tapi, kini aku yakin dengan Yusuf. Dia seperti berusaha jujur kepadaku. Aku akan menghargai itu.B
Aku terperangah. Sama sekali tak menyangka kalau Yusuf akan benar-benar membelaku di hadapan Jenifer.Sementara Jenifer, tatapannya kian nyalang saja kepadaku."Kok kamu gitu, tega! Kita memiliki kerja sama, Yusuf. Projeck kerja sama kita lumayan besar. Masa kamu malah membela asisten itu dari pada aku," protes Jenifer pada Yusuf dengan nada manjanya."Apa hubungannya kerja sama dengan makan malam ini?" Yusuf nampak semakin menantang Jenifer. Dia sama sekali tak terlihat lemah di hadapan mantan kekasihnya."Mas, sudah." Aku berusaha melerai. Aku tidak mau Yusuf semakin emosi. Jantungnya, itu yang ku khawatirkan."Apa-apaan sih kamu. Sudah berani kamu memanggil Yusuf dengan sebutan, Mas!" Jenifer terkejut."Jenifer, saya tidak nyaman dengan sikap kamu," geram Yusuf.Jenifer nampak mengatur napasnya. "Oke! Aku minta maaf. Kita makan malam bersama ya," balasnya.Dengan sedikit terpaksa aku harus melewati makan malam ini dengan orang ketiga seperti Jenifer. Sungguh aneh wanita cantik dan
Jenifer terkulai lemas. Tanpa menunggu komando, Yusuf langsung memboponhnya memindahkan Jenifer ke atas sofa yang lebih panjang dan membaringkan dia di atas sofa.Aku paham, sebagai lelaki yang dilakukan Yusuf memang hal yang wajar. Menolong manusia memang harus, tanpa terkecuali."Jenifer!" Yusuf menepuk pipi Jenifer berusaha membangunkan wanita berambut pirang itu. Beberapa petugas cafe turut menghampiri dan membantu menyadarkan Jenifer. Entah apa yang Jenifer rasakan saat ini, aku merasa ragu dengan kondisinya. Kelopak matanya yang tertutup nampak bergetar. Terlihat seperti orang yang tengah pura-pura tidur.Tapi meski pun keraguanku amat pekat di dalam dada, aku tak berusaha mengahalangi Yusuf yang tengah membangunkan Jenifer.Salah satu pelayan cafe nampak mengoleskan minyak kayu putih pada dahi dan leher Jenifer sampai mengkilat. Dia juga mendekatkan minyak kayu putih itu pada hidung Jenifer, nampak berusaha membantu Yusuf dalam membangunkan Jenifer.Tak lama Jenifer bangun dan
Aku menggelengkan kepala. Sepertinya Yusuf sedikit konyol di malam ini. Dia terbahak-bahak melihatku. Menyusap pucuk rambut ini dengan lembut."Kamu tuh, Mia. Kadang aneh seperi anak baru gede. Padahal udah punya anak gede loh," ejek Yusuf."Apaan sih," aku menyodorkan bibir bagian bawah saat Yusuf mengejekku. Kemudian kami berdua masuk ke dalam mobil sambil cengengesan memang bak anak baru gede.Yusuf mulai melajukan kendaraan setelah aku selesai memakan safety belt."Mas, kamu sama Jenifer itu kenapa sih?" Aku pura-pura tidak tahu. Padahal sudah ada bocoran informasi dari Winda office girl tempo lalu."Kenapa apanya?" Yusuf pun malah berpura-pura tak paham."Aku bisa melihat ada sesuatu yang Jenifer rasakan sama kamu. Sepertinya kalian pernah jatuh cinta ya?" Tanpa basa-basi lagi aku kembali bertanya. Yusuf malah diam seakan fokus dengan setir mobilnya padahal aku yakin ada sesuatu yang tengah ia pikirkan."Kok diam sih, Mas. Katanya tak akan bohong lagi," sindirku sambil mengalihk
Aku menelan saliva berat. "Kita akan bahas ini nanti ya, Mas. Saya akan pikirkan lebih jauh lagi. Kamu sabar ya. Jangan tergesa-gesa. Bukankah yang indah itu memang membutuhkan waktu." Aku mengusap bahu Yusuf berharap agar lelaki di sampingku ini akan mengerti.Yusuf mengangguk. Walau dia mengaku tak mau menunggu lama, tapi dia mengangguk tanpa ragu. "Saya tunggu keputusan kamu, Mia," ucapnya.Aku mengukir senyuman. Kupeluk tangan lelakiku yang sangat aku cintai. Aku bersender di bahunya tanpa ragu. Yusuf mengantarkanku sampai ke rumah. Dia memastikan aku masuk lalu Yusuf pergi dengan kendaraan roda empatnya. Aku melambaikan tangan lalu masuk ke dalam rumah.Keresahan ini tak berhenti di situ. Yusuf memang bukanlah lelaki yang pertama yang hadir dalam kehidupanku, tapi dia benar-benar membuat perasaanku selalu saja resah. Semalaman ini aku resah lagi. Ini bahkan bukan kali pertama Yusuf membuatku tak dapat tidur.Aku menempelkan ponselku pada daun telinga berniat menghubungi, Siska. S