Aku tetap dengan penolakanku. Bukan menolak rejeki dari, Tuhan. Namun, aku tidak mau belas kasihan orang.Kulihat wajah Reyno kecewa. "Baiklah, Mba Mia," ucapnya."Maaf ya, Pak. Jangan tersinggung. Saya hanya tidak ingin merepotkan siapa pun," balasku. Sejujurnya aku merasa tidak enak, tapi tetap saja aku tak bisa menerimanya."Iya, Mba Mia. Tidak apa-apa." Usai membayar belanjaannya di kasir, Reyno langsung pergi. Begitu pun dengan aku.Kulanjutkan perjalanan menuju rumah sederhanaku. Kedatanganku di sana bahkan disambut dengan kondisi rumah sedikit berdebu karena aku belum sempat membersihkan. Aku tak bisa diam dan berpangku tangan. Aku mengerjakan tugas pekerjaan rumah sebagai mana biasanya ibu rumah tangga.***"Saya ingin bicara dengan kamu." Pemandangan yang mengejutkan di kantor Zubair doang ini. Jenifer sudah berdiri di depanku seraya menyilangkan kedua tangannya menatapku nyalang.Hari ini aku masih menghandle pekerjaan Yusuf. Kekasihku itu belum stabil, belum bisa masuk kan
Aku tersentak. Dia, Jenifer. Nampak berani membentak padahal kami tak saling kenal. Aku kembali duduk bukan karena takut dengan perintahnya melainkan karena ingin tahu maksud wanita dengan rambut pirang ini."Apa maksud anda, Kak Jenifer? Mengapa anda berbicara seperti itu terus. Menghina, mencibir saya. Apa masalah anda dengan saya?" Aku tak merasa takut dengan bentakan Jenifer."Tentu saja kamu bermasalah dengan saya. Kamu telah berani mengambil Yusuf dari saya. Yusuf itu milik saya dan selamanya akan tetap menjadi milik saya!" tekan Jenifer dengan raut wajah penuh ambisi."Saya tidak mengambil Yusuf dari tangan siapa pun!" tegasku tak mau disalahkn.Jenifer nampak menarik sebelah bibirnya ke saamping, tersenyum sinis. "So polos!" cibirnya."Saya tidak punya banyak waktu kalau hanya sekedar membahas sesuatu yang tidak penting. Saya akan pergi saja sekarang," ucapku yang memilih akan segera pamit saja."Tunggu, Mia!" Jenifer kembali menahan niatku."Lepaskan, Yusuf. Tinggalkan, Yusuf
Aku manggut-manggut. Sepertinya aku paham alasan Jenifer memintaku menjauhi Yusuf."Kamu yakin hanya itu saja yang kamu ketahui?" Aku bertanya lagi pada Winda office girl. "Hanya itu saja. Saya tidak tahu apa-apa lagi," tegasnya kepadaku."Yakin?" Aku bertanya lagi tak yakin."Yakin, Bu." Winda tak berani membalas tatapanku. Dia terus menundukan wajahhya."Baiklah. Terima kasih ya atas informasinya. Kamu jangan khawatir, semuanya akan aman dan baik-baik saja," ucapku agar Winda merasa tenang."Iya, Bu. Terima kasih juga atas pengertiannya. Saya tidak mau kehilangan pekerjaan ini, Bu," balasnya yang mulai mengangkat wajah."Tenang saja. Semua aman," tekanku. Dia mengangguk kemudian pergi. Kami berdua berpisah dan melanjutkan aktivitas masing-masing.Aku semakin paham kalau Jenifer masih menginginkan Yusuf kembali. Pantas saja lagi-lagi Yusuf meminta aku berjanji tak akan meninggalkannya. Tapi, kini aku yakin dengan Yusuf. Dia seperti berusaha jujur kepadaku. Aku akan menghargai itu.B
Aku terperangah. Sama sekali tak menyangka kalau Yusuf akan benar-benar membelaku di hadapan Jenifer.Sementara Jenifer, tatapannya kian nyalang saja kepadaku."Kok kamu gitu, tega! Kita memiliki kerja sama, Yusuf. Projeck kerja sama kita lumayan besar. Masa kamu malah membela asisten itu dari pada aku," protes Jenifer pada Yusuf dengan nada manjanya."Apa hubungannya kerja sama dengan makan malam ini?" Yusuf nampak semakin menantang Jenifer. Dia sama sekali tak terlihat lemah di hadapan mantan kekasihnya."Mas, sudah." Aku berusaha melerai. Aku tidak mau Yusuf semakin emosi. Jantungnya, itu yang ku khawatirkan."Apa-apaan sih kamu. Sudah berani kamu memanggil Yusuf dengan sebutan, Mas!" Jenifer terkejut."Jenifer, saya tidak nyaman dengan sikap kamu," geram Yusuf.Jenifer nampak mengatur napasnya. "Oke! Aku minta maaf. Kita makan malam bersama ya," balasnya.Dengan sedikit terpaksa aku harus melewati makan malam ini dengan orang ketiga seperti Jenifer. Sungguh aneh wanita cantik dan
Jenifer terkulai lemas. Tanpa menunggu komando, Yusuf langsung memboponhnya memindahkan Jenifer ke atas sofa yang lebih panjang dan membaringkan dia di atas sofa.Aku paham, sebagai lelaki yang dilakukan Yusuf memang hal yang wajar. Menolong manusia memang harus, tanpa terkecuali."Jenifer!" Yusuf menepuk pipi Jenifer berusaha membangunkan wanita berambut pirang itu. Beberapa petugas cafe turut menghampiri dan membantu menyadarkan Jenifer. Entah apa yang Jenifer rasakan saat ini, aku merasa ragu dengan kondisinya. Kelopak matanya yang tertutup nampak bergetar. Terlihat seperti orang yang tengah pura-pura tidur.Tapi meski pun keraguanku amat pekat di dalam dada, aku tak berusaha mengahalangi Yusuf yang tengah membangunkan Jenifer.Salah satu pelayan cafe nampak mengoleskan minyak kayu putih pada dahi dan leher Jenifer sampai mengkilat. Dia juga mendekatkan minyak kayu putih itu pada hidung Jenifer, nampak berusaha membantu Yusuf dalam membangunkan Jenifer.Tak lama Jenifer bangun dan
Aku menggelengkan kepala. Sepertinya Yusuf sedikit konyol di malam ini. Dia terbahak-bahak melihatku. Menyusap pucuk rambut ini dengan lembut."Kamu tuh, Mia. Kadang aneh seperi anak baru gede. Padahal udah punya anak gede loh," ejek Yusuf."Apaan sih," aku menyodorkan bibir bagian bawah saat Yusuf mengejekku. Kemudian kami berdua masuk ke dalam mobil sambil cengengesan memang bak anak baru gede.Yusuf mulai melajukan kendaraan setelah aku selesai memakan safety belt."Mas, kamu sama Jenifer itu kenapa sih?" Aku pura-pura tidak tahu. Padahal sudah ada bocoran informasi dari Winda office girl tempo lalu."Kenapa apanya?" Yusuf pun malah berpura-pura tak paham."Aku bisa melihat ada sesuatu yang Jenifer rasakan sama kamu. Sepertinya kalian pernah jatuh cinta ya?" Tanpa basa-basi lagi aku kembali bertanya. Yusuf malah diam seakan fokus dengan setir mobilnya padahal aku yakin ada sesuatu yang tengah ia pikirkan."Kok diam sih, Mas. Katanya tak akan bohong lagi," sindirku sambil mengalihk
Aku menelan saliva berat. "Kita akan bahas ini nanti ya, Mas. Saya akan pikirkan lebih jauh lagi. Kamu sabar ya. Jangan tergesa-gesa. Bukankah yang indah itu memang membutuhkan waktu." Aku mengusap bahu Yusuf berharap agar lelaki di sampingku ini akan mengerti.Yusuf mengangguk. Walau dia mengaku tak mau menunggu lama, tapi dia mengangguk tanpa ragu. "Saya tunggu keputusan kamu, Mia," ucapnya.Aku mengukir senyuman. Kupeluk tangan lelakiku yang sangat aku cintai. Aku bersender di bahunya tanpa ragu. Yusuf mengantarkanku sampai ke rumah. Dia memastikan aku masuk lalu Yusuf pergi dengan kendaraan roda empatnya. Aku melambaikan tangan lalu masuk ke dalam rumah.Keresahan ini tak berhenti di situ. Yusuf memang bukanlah lelaki yang pertama yang hadir dalam kehidupanku, tapi dia benar-benar membuat perasaanku selalu saja resah. Semalaman ini aku resah lagi. Ini bahkan bukan kali pertama Yusuf membuatku tak dapat tidur.Aku menempelkan ponselku pada daun telinga berniat menghubungi, Siska. S
Aku pun masih belum mendapat jawaban yang pasti tentang perasaan ini. Keresahan ini masih tetap sama namun aku selalu berusaha menetralkannya di hadapan Yusuf.Aku bekerja sebagai mana biasanya. Sebagai asisten aku selalu mengurus semua keperluan Yusuf. Bak suami sendiri saja, pola makannya pun selalu aku perhatikan.Perhatian yang lebih selalu Yusuf tunjukan kepadaku. Dia seakan tak mau kalau aku terlihat cape. Hari ini contohnya, dia dengan tegas melarangku mengendarai motor saat ke kantor. Itu terbukti dari datangnya supir pribadi yang menjemput ke rumah. Berkali-kali aku menolak perintahnya yang berlebihan itu, namun berkali-kali juga dia menekan demi kebaikan. Akhirnya aku berangkat menaiki mobil yang menjemput atas suruhan Yusuf. Hari ini kota Jakarta terasa panas, mungkin hanya malam hari saja beberapa orang bisa merasakan kesejukan angin yang dingin. Aku segera menyalakan AC saat berada di ruangan Yusuf. Aku akan segera mempersiapkan berkas presentase untuk meeting hari ini.
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe