Hari ini memang tak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Aku berangkat ke kantor. Pikiran mulai merasa tenang setelah mendapatkan masukan dari Siska semalam.Aku sudah berada di ruangan kantorku. Jam di dinding sudah menunjukan pukul sembilan pagi. Aku tak melihat tanda-tanda kedatangan Yusuf yang biasanya menyapaku.Tak terlihat wajah Yusuf yang biasanya tersenyum indah di depan ruanganku. Gegas aku bangkit dari tempat duduk. Merasa ada yang hilang di hari ini. Aku berjalan menuju ruangan Yusuf. Kuketuk pintu sebelum masuk. Di dalam ruangan terasa hening. Tak kudengar sahutan perintah apa pun dari dalam.Sempat kumelirik ponsel yang ada pada genggaman tanganku. Tak ada dering panggilan masuk atau pun pesan singkat yang biasa Yusuf kirimkan.Ada apa dengan Yusuf?Gegas kutarik handle pintu lalu masuk ke dalam ruangan yang mewah dan luas. Ruangan yang akhir-akhir ini sudah tak asing lagi bagiku. Ruangan yang sering aku masuki setelah menjadi asisten Yusuf.Ruangan ini tampak kosong.
Aku sedikit tercengang melihat keadaan Yusuf. Rasa khawatir di dalam dada ini terasa kian membara."Pak Yusuf!" Asisten rumah tangga Yusuf nampak menghampiri majikannya itu dengan segera. Ia menepuk-nepuk pipi Yusuf dengan pelan mungkin bertujuan membangunkannya. Tapi aku lihat Yusuf tak mau membuka kelopak matanya yang terlihat rapat tanpa menanggapi apa-apa.Aku segera mendekat kemudian bertanya, "Pak Yusuf, kenapa?" "Saya tidak tahu, Bu. Pak Yusuf tak bangun-bangun dari pagi." Asisten rumah tangga itu nampak menjawab dengan sendu. Sepertinya dia tengah menahan kesedihannya."Ya Tuhan. Bagaimana ini, Mba?" Aku turut cemas.Aku meletakan punggung tangan ini di atas kening Yusuf yang masih saja tertidur."Tapi suhu tubuhnya terasa biasa saja," ucapku setelah menyentuh kening Yusuf."Apa mungkin karena Pak Yusuf belum makan ya, Bu?" Wanita muda yang entah siapa namanya malah bertanya lagi kepadaku. Dia asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Yusuf, terlihat benar-benar cemas.Sama
"Pak Yusuf, maafkan saya. Bangunlah, Pak. Saya mohon. Saya tidak mau melihat Bapak seperti ini. Bangunlah, Pak. Saya tidak mau kehilangan, Bapak." Tak terasa ucapan itu keluar begitu saja dengan sendirinya dari mulut ini. Aku sampai tak kuasa menahan air mata yang terus saja mengalir di pipi. Aku tak dapat menahan kesedihan.Sepertinya aku sadar, lelaki yang terbaring lemas di depanku nyatanya telah membuat perasaan ini resah. Dia telah membuatku takut kehilangannya. Ya Tuhan, sepertinya memang ada perasaan lebih di dalam dada ini yang belum aku sadari."Bu Mia, sabar ya. Saya yakin Pak Yusuf akan sembuh lagi kok. Apalagi kalau sudah tahu dengan perasaan, Bu Mia. Pak Yusuf pasti sembuh." Asisten rumah tangga itu tampak menyeringai senang padahal Yusuf dalam keadaan kritis. Aku juga sudah tak melihat wajah Dokter yang tadi. Mungkin dia langsung pulang setelah memasang alat-alat medis pada tubuh Yusuf."Kok kamu bisa seyakin itu, Mba?" Aku bertanya pada asisten rumah tangga Yusuf. Aku m
"Kok kamu malah nangis lagi?" Yusuf menghapus air mata yang tak sengaja jatuh lagi di pipi."Saya kan sudah bilang, Pak. saya masih takut untuk melangkah lagi," jawabku dengan bibir gemetar. Aku seperti serba salah. Ada rasa cinta di dalam dada, tapi rasa takut menutupinya."Saya tidak memaksa kamu, Mia. Kita jalani hubungan ini dahulu. Saya akan tunggu sampai kamu siap." Yusuf berbicara dengan serius. Ia masih menggenggam tangan ini yang tak mampu aku lepaskan. Ada getaran yang bisa aku rasakan saat Yusuf menggenggam tanganku.Tiba-tiba aku mengangguk tanpa paksaan. Aku menganggukan kepala dengan sendirinya. Aku memang tak bisa menolak. Hati ini menegaskan kalau aku pun memiliki perasaan yang sama seperti Yusuf."Terima kasih, Mia. Terima kasih atas kesempatan dan kepercayaan yang kamu berikan," ucap Yusuf.Dia lebih mendekat ke arahku. Dia memelukku dengan penuh kehangatan. Membelai rambut ini penuh kasih sayang. Aku bisa merasakan cintanya yang begitu dalam, walau tetap saja rasa
Aku menengok kiri dan kanan dari sudut rumah yang luas ini, tak nampak wanita yang bernama Khaila dalam pandangan."Khaila sedang ke rumah, Anjani. Dia rindu dengan ponakannya. Perutnya juga sudah terlihat membesar. Dia kini merasa senang dan tidak sabar ingin segera melahirkan" jelas Yusuf."Syukurlah. Saya merasa senang mendengarnya," balasku.Aku manggut-manggut paham. Setelah melihat Yusuf tampak lebih baik lagi. Aku langsung pamit pada Yusuf."Oh iya, Pak. Sepertinya ini sudah sore dan saya akan segera pulang," pamitku."Kok pulang?" Yusuf nampak tak rela."Ya iyalah, masa tidak pulang," timpalku sambil menggelengkan kepala."Kamu naik motor?" Dia bertanya lagi seolah tak tahu. Padahalkan dia selalu tahu kalau sepeda motorku selalu menemani kemana-mana."Ya, Pak. Motor kesayangan selalu ada bersama saya," jawabku mengukir senyum.Aku masih tak menyangka lelaki di dekatku ini bisa berubah drastis selembut ini. Seperti mimpi tapi nyata."Saya akan membeli mobil untuk kamu, agar kam
"Permisi, Tuan, Nona. Bolehkah saya ikut bergabung?" Aku sudah berdiri di antara pria dan wanita tadi. Mereka berdua mengalihkan perhatiannya kepadaku. Tanpa senyuman. Tampak menelaah diriku dari atas rambut sampai ujung kaki."Maaf, anda siapa?" Wanita yang belum kuketahui namanya nampak bertanya kepadaku.Kusodorkan sebelah telapak tangan kanan. "Perkenalkan saya, Tari."Aku sengaja menyamarkan nama. Kugunakan nama belakang agar mereka tak akan curiga atau mencari profilku lewat sosial media.Wanita itu menerima jabat tanganku. "Saya, Rosa." "Oh senang berkenalan dengan anda, Nona Rosa." Aku berjabat tangan dengan wanita yang sudah kuketahui bernama Rosa. Kemudian aku mengalihkan sodoran tangan ini kepada pria di hadapan Rosa."Saya, Rusli," ucap pria itu seraya berjabat tangan denganku. Aku mengukir senyum ramah walau dipaksakan agar terlihat real. Aku juga menyebutkan namaku sebagai mana telah kusebutkan tadi pada Rosa."Bolehkah saya duduk bersama kalian berdua?" Aku bertanya m
Hampir satu menit lebih aku melakukan perbincangan telepon dengan singkat bersama Siska. Kuakhiri sambungan telepon itu. Kumasukan ponsel pintarku ke dalam tas selempang lalu berjalan kembali ke kursi di antara Rusli dan Rosa. Pasangan sejoli berinisal R yang sepertinya terlihat cocok."Mohon maaf ya, Nona Rosa dan Tuan Rusli. Agak lama," ucapku seraya duduk, kepada keduanya. Senyuman manis nan ramah masih terukir jelas di bibir ini."Mba Tari, bisa menjawab pertanyaan saya yang tadi sempat tertunda," titah Rusli tanpa basa-basi. Tatapannya nanar membuat hati terasa bergetar cemas."Oh tentu saja." Aku menunjukan antusiasku.Kulihat Siska sudah masuk ke dalam area brown caffe. Sepertinya dia mulai memainkan perannya. Siska duduk di kursi yang tepat berada di depan Rusli dan Rosa. Telinganya terlihat dipasang earphone seolah tengah mendengarkan musik. Sedikit menggoyang-goyangkan kepalanya mungkin agar terlihat tengah menikmati alunan musik di dalam earphone.'Bagus, Sis. Akhirnya kamu
"Tidak!" Dengan tegasnya pria sangar bernama Rusli itu menjawab. "Anda berkata, kalau anda hanya butuh referensi untuk naskah anda. Tidak dengan siapa pelakunya dan siapa korbannya!" imbuhnya lagi dengan tegas.Aku mengatur napas ketakutan. Ucapan Rusli si pria sangar itu sungguh menakutkan. Tapi, aku tetap berusaha tenang. Ini tempat ramai. Lagi pula ada Siska di dekat tempat dudukku yang siap membantu jika aku dalam bahaya."Baiklah, Tuan Rusli. Saya minta maaf. Mungkin pertanyaan saya lebih ke ramah privacy anda. Oke, silahkan lanjutkan ceritanya, Tuan. Saya akan siap mencatatnya."Aku yang berpura-pura mengetik di layar ponsel mencatat kata demi kata yang Rusli jelaksan. Aku hanya berharap Rusli akan keceplosan mengatakan lokasi rumah yang dia bakar dan siapa dalangnya.Di sela-sela menulis, aku menyempatkan mengirimkan pesan whatsup pada Siska. Aku meminta Siska tetap standby merekam percakapan Rusli dan Rosa setelah aku pergi nanti.Hampir tiga puluh menit sudah Rusli bercerita