"Permisi, Tuan, Nona. Bolehkah saya ikut bergabung?" Aku sudah berdiri di antara pria dan wanita tadi. Mereka berdua mengalihkan perhatiannya kepadaku. Tanpa senyuman. Tampak menelaah diriku dari atas rambut sampai ujung kaki."Maaf, anda siapa?" Wanita yang belum kuketahui namanya nampak bertanya kepadaku.Kusodorkan sebelah telapak tangan kanan. "Perkenalkan saya, Tari."Aku sengaja menyamarkan nama. Kugunakan nama belakang agar mereka tak akan curiga atau mencari profilku lewat sosial media.Wanita itu menerima jabat tanganku. "Saya, Rosa." "Oh senang berkenalan dengan anda, Nona Rosa." Aku berjabat tangan dengan wanita yang sudah kuketahui bernama Rosa. Kemudian aku mengalihkan sodoran tangan ini kepada pria di hadapan Rosa."Saya, Rusli," ucap pria itu seraya berjabat tangan denganku. Aku mengukir senyum ramah walau dipaksakan agar terlihat real. Aku juga menyebutkan namaku sebagai mana telah kusebutkan tadi pada Rosa."Bolehkah saya duduk bersama kalian berdua?" Aku bertanya m
Hampir satu menit lebih aku melakukan perbincangan telepon dengan singkat bersama Siska. Kuakhiri sambungan telepon itu. Kumasukan ponsel pintarku ke dalam tas selempang lalu berjalan kembali ke kursi di antara Rusli dan Rosa. Pasangan sejoli berinisal R yang sepertinya terlihat cocok."Mohon maaf ya, Nona Rosa dan Tuan Rusli. Agak lama," ucapku seraya duduk, kepada keduanya. Senyuman manis nan ramah masih terukir jelas di bibir ini."Mba Tari, bisa menjawab pertanyaan saya yang tadi sempat tertunda," titah Rusli tanpa basa-basi. Tatapannya nanar membuat hati terasa bergetar cemas."Oh tentu saja." Aku menunjukan antusiasku.Kulihat Siska sudah masuk ke dalam area brown caffe. Sepertinya dia mulai memainkan perannya. Siska duduk di kursi yang tepat berada di depan Rusli dan Rosa. Telinganya terlihat dipasang earphone seolah tengah mendengarkan musik. Sedikit menggoyang-goyangkan kepalanya mungkin agar terlihat tengah menikmati alunan musik di dalam earphone.'Bagus, Sis. Akhirnya kamu
"Tidak!" Dengan tegasnya pria sangar bernama Rusli itu menjawab. "Anda berkata, kalau anda hanya butuh referensi untuk naskah anda. Tidak dengan siapa pelakunya dan siapa korbannya!" imbuhnya lagi dengan tegas.Aku mengatur napas ketakutan. Ucapan Rusli si pria sangar itu sungguh menakutkan. Tapi, aku tetap berusaha tenang. Ini tempat ramai. Lagi pula ada Siska di dekat tempat dudukku yang siap membantu jika aku dalam bahaya."Baiklah, Tuan Rusli. Saya minta maaf. Mungkin pertanyaan saya lebih ke ramah privacy anda. Oke, silahkan lanjutkan ceritanya, Tuan. Saya akan siap mencatatnya."Aku yang berpura-pura mengetik di layar ponsel mencatat kata demi kata yang Rusli jelaksan. Aku hanya berharap Rusli akan keceplosan mengatakan lokasi rumah yang dia bakar dan siapa dalangnya.Di sela-sela menulis, aku menyempatkan mengirimkan pesan whatsup pada Siska. Aku meminta Siska tetap standby merekam percakapan Rusli dan Rosa setelah aku pergi nanti.Hampir tiga puluh menit sudah Rusli bercerita
Perbicangan mengenai rencana malam ini sudah selesai. Siska langsung pulang ke rumahnya. sementara aku memilih merebahkan tubuh di atas ranjang. Aku juga sudah memindahkan rekaman bukti percakapan dengan Rusli tadi siang.Ah, sudah tidak sabar rasanya ingin segera besok dan melancarkan ancaman pada Rusli.Baru saja bola mata ini akan menutup, tiba-tiba suara ponselku mengeluarkan deringnya pertanda ada panggilan masuk.Gegas kuambil ponsel yang ada di atas nakas. Kulihat sang penelepon malam ini adalah Yusuf. Bibir ini mengulum senyum. Lelaki itu memang selalu membuat perasaanku berwarna.Tanpa pikir panjang, gegas kugeser tombol berwarna hijau pada layar ponselku. Kutempelkan benda pipih itu pada telinga."Hallo!" sapaku dengan lembut pada pria di sebrang sana."Hai, Mia. Kamu sudah tidur?" Yusuf terdengar bertanya dengan lembut."Belum sih," jawabku malu-malu. Bagaimana tidak, saat ini pria atasanku itu nyatanya telah menjadi kekasihku."Kenapa?" Yusuf bertanya lagi. Sepertinya dia
Sore ini dengan debaran jantung yang terasa tegang. Isi dada terasa resah dan penasaran. Kendaraan roda dua ku perlahan melaju membelah jalan raya yang masih terlihat ramai oleh lalu lalang kendaraan.Aku sengaja tak terlalu buru-buru dan lebih berhati-hati dalam mengendarai sepeda motorku.Dua orang pria bertubuh tinggi kekar telah berdiri di depan brown caffe saat aku sampai di sana. Mereka tak didampingi Siska. Sahabatku itu tak bisa mendampingiku karena suaminya baru saja tiba dari luar kota.Aku memarkirkan kendaraanku lalu berjalan sedikit mendekati dua pria sangar di depanku. Aku sedikit hapal wajah mereka karena sudah menerima kiriman poto dari Siska terlebih dahulu."Tolong kalian mencari tempat duduk tak jauh dari saya. Pastikan keamanan saya dari seorang pria yang akan saya temui sekarang," pintaku dengan tegas pada dua bodyguard kiriman Siska.Mereka menganggukan kepala dengan serentak. "Siap!" jawabnya dengan tegas."Berpura-pura tidak mengenal saya terlebih dahulu. Saya
Rusli terdiam dengan suara gigi bergemuluk. Tampaknya dia marah sambil sesekali melihat ke arah dua bodyguard yang ada di sampingku."Anda jangan macam-macam. Saya bisa menyeret anda detik ini juga ke kantor polisi." Salah satu bodygyard di sampingku tampak menimpali."Tuan Rusli, tenang saja. Nama anda akan aman. Saya jamin itu," tekanku lagi.Rusli memicingkan mata. Bentuk bibirnya juga masih tampak mengerut. "Bagaimana bisa saya percaya dengan penipu seperti anda!" sergahnya."Saya tidak suka basa-basi. Katakan sekarang juga, atau polisi yang akan lebih kejam menghukum perbuatan anda, Tuan Rusli!" Aku semakin dibuat kesal. Emosi memuncak seperti naik ke atas ubun-ubun."Tidak!" Dengan tegasnya Rusli masih mempertahankan jawaban yang sebenarnya.Aku kemudian mengambil selembar kertas surat perjanjian di atas materai. Isinya adalah sebuah perjanjian tertulis kalau Rusli akan aman jika dia berkata jujur karena aku tak akan memperkarakannya. Akan tetapi, aku tak akan tinggal diam jika
"Kamu tahu dari mana kalau Rusli pelakunya?" Yusuf bertanya lagi. Namun kali ini nada suaranya terdengar tenang. Tak seperti awal pertama datang tadi."Saya menyelidikinya sendiri, Mas. Saya hanya ingin membuktikan kalau perkiraan saya benar." Dengan kesalnya aku menahan emosi di dalam dada."Kamu cerdas juga, Mia. Kamu bisa tahu tentang Rusli dan mendapatkannya." Yusuf memujiku tapi tak membuatku merasa senang. Aku bahkan merasa bodoh sekali. Bisa dibilang telat mikir. Aku mengusap dahi. Isinya sedikit puyeng."Tapi sudahlah, Mia. Lupakan saja tentang, Rusli. Saya akan ganti rumah kamu. Saya akan belikan rumah baru untuk kamu," sambung Yusuf tiba-tiba mengejutkan bola mataku."Tidak perlu, Mas. Kamu tidak usah mengganti rumah saya yang terbakar karena bukan kamu pelakunya. Saya hanya ingin pelakunya ditangkap dan dihukum seberat-beratnya," tekanku."Iya saya tahu. Saya hanya ingin meringankan beban kamu. Saya rasa mengurus hal seperti itu akan sangat menguras tenaga dan pikiran kamu.
"Apa maksudnya?" Rosa bertanya seakan pura-pura tak paham."Saya yakin kamu paham dengan ucapan saya. Siapa yang menyuruh Rusli membakar rumah di golden residence?" Dengan tegas aku kembali bertanya.Rosa segera menggelenglan kepala. "Mana saya tahu. Yang saya tahu bos besar yang membayar Mas Rusli adalah pengusaha bernama, Pak Yusuf Zubair. Saya tidak tahu perintah Pak Yusuf yang mana," jawab Rosa dengan yakin.Sedikit lesu isi dada ini. Aku mengusap wajah dengan kasar. Ini bukan tentang Yusuf. Kekasihku tak tahu menahu soal kebakaran rumahku."Apa ada Bos besar yang lain yang membayar, Rusli?" Gegas kubertanya lagi. Aku masih saja belum menemukan jawaban apa-apa.Dengan pelan, Rosa kembali menggelengkan kepala dengan menampilkan wajah keheranan. "Saya tidak tahu lagi. Hanya Pak Yusuf Zubair, pengusaha yang terakhir kali mengucurkan dana yang sangat besar kepada Mas Rusli," terang Rosa. Raut wajahnya menampilkan kejujuran. Aku bisa menerkanya.Lagi, aku menggelengkan kepala. Mengapa