Rusli terdiam dengan suara gigi bergemuluk. Tampaknya dia marah sambil sesekali melihat ke arah dua bodyguard yang ada di sampingku."Anda jangan macam-macam. Saya bisa menyeret anda detik ini juga ke kantor polisi." Salah satu bodygyard di sampingku tampak menimpali."Tuan Rusli, tenang saja. Nama anda akan aman. Saya jamin itu," tekanku lagi.Rusli memicingkan mata. Bentuk bibirnya juga masih tampak mengerut. "Bagaimana bisa saya percaya dengan penipu seperti anda!" sergahnya."Saya tidak suka basa-basi. Katakan sekarang juga, atau polisi yang akan lebih kejam menghukum perbuatan anda, Tuan Rusli!" Aku semakin dibuat kesal. Emosi memuncak seperti naik ke atas ubun-ubun."Tidak!" Dengan tegasnya Rusli masih mempertahankan jawaban yang sebenarnya.Aku kemudian mengambil selembar kertas surat perjanjian di atas materai. Isinya adalah sebuah perjanjian tertulis kalau Rusli akan aman jika dia berkata jujur karena aku tak akan memperkarakannya. Akan tetapi, aku tak akan tinggal diam jika
"Kamu tahu dari mana kalau Rusli pelakunya?" Yusuf bertanya lagi. Namun kali ini nada suaranya terdengar tenang. Tak seperti awal pertama datang tadi."Saya menyelidikinya sendiri, Mas. Saya hanya ingin membuktikan kalau perkiraan saya benar." Dengan kesalnya aku menahan emosi di dalam dada."Kamu cerdas juga, Mia. Kamu bisa tahu tentang Rusli dan mendapatkannya." Yusuf memujiku tapi tak membuatku merasa senang. Aku bahkan merasa bodoh sekali. Bisa dibilang telat mikir. Aku mengusap dahi. Isinya sedikit puyeng."Tapi sudahlah, Mia. Lupakan saja tentang, Rusli. Saya akan ganti rumah kamu. Saya akan belikan rumah baru untuk kamu," sambung Yusuf tiba-tiba mengejutkan bola mataku."Tidak perlu, Mas. Kamu tidak usah mengganti rumah saya yang terbakar karena bukan kamu pelakunya. Saya hanya ingin pelakunya ditangkap dan dihukum seberat-beratnya," tekanku."Iya saya tahu. Saya hanya ingin meringankan beban kamu. Saya rasa mengurus hal seperti itu akan sangat menguras tenaga dan pikiran kamu.
"Apa maksudnya?" Rosa bertanya seakan pura-pura tak paham."Saya yakin kamu paham dengan ucapan saya. Siapa yang menyuruh Rusli membakar rumah di golden residence?" Dengan tegas aku kembali bertanya.Rosa segera menggelenglan kepala. "Mana saya tahu. Yang saya tahu bos besar yang membayar Mas Rusli adalah pengusaha bernama, Pak Yusuf Zubair. Saya tidak tahu perintah Pak Yusuf yang mana," jawab Rosa dengan yakin.Sedikit lesu isi dada ini. Aku mengusap wajah dengan kasar. Ini bukan tentang Yusuf. Kekasihku tak tahu menahu soal kebakaran rumahku."Apa ada Bos besar yang lain yang membayar, Rusli?" Gegas kubertanya lagi. Aku masih saja belum menemukan jawaban apa-apa.Dengan pelan, Rosa kembali menggelengkan kepala dengan menampilkan wajah keheranan. "Saya tidak tahu lagi. Hanya Pak Yusuf Zubair, pengusaha yang terakhir kali mengucurkan dana yang sangat besar kepada Mas Rusli," terang Rosa. Raut wajahnya menampilkan kejujuran. Aku bisa menerkanya.Lagi, aku menggelengkan kepala. Mengapa
"Apa!" Desisku dalam keterkejutan."Iya, Mia. Lihat dia sekarang. Fery benar-benar down. Dia bahkan jarang berbicara. Kadang dia memukul-mukuli dirinya sendiri karena menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi. Semua telah terjadi. Yang bisa dilakukan saat ini hanyalah melakukan mengobatan. Semoga dengan ini, Tuhan masih memberikan kesempatan pada Fery untuk bisa sembuh," terang ibunya Fery.Entah harus senang apa sedih dengan berita tak baik ini. Satu sisi Fery sudah terkena imbas atas kejahatannya kepadaku. Tapi sungguh sebagai manusia, aku merasa iba dan turut berduka dengan musibah yang dialami Fery. Penyakit kronis yang diidapnya cukup mematikan, begitu tutur ibunya.Padahal, aku sudah berniat ingin menjebloskannya ke dalam penjara setelah mendapatkan bukti kalau dia yang telah menyuruh Rusli membakar rumahku."Mia, maafkan semua kesalahan saya." Fery berdesis dari samping ibunya. Dengan suara lemas bergetar ia meminta maaf kepadaku.Kata maaf itu juga, merupakan ucapan yang kesekian kal
Yusuf membeliak ke arahku. Sepertinya dia terkesiap. Aku sampai turut serta kaget melihat ekspresi wajah Yusuf yang seperti itu."Apa maksud kamu, Mia?" Dengan tatapan serius Yusuf bertanya kepadaku."Ya tidak ada maksud apa-apa, Mas. Saya cuma ingin bertanya saja itu pun kalau Mas Yusuf membolehkan. Misi apa yang Mas Yusuf berikan pada Rusli kala itu?" Dengan hati-hati aku berbalik tanya."Kan sudah saya katakan. Saya ada misi dengan lawan saya. Itu tidak ada urusannya dengan kebakaran rumah kamu, Mia. Saya tidak pernah menyuruh Rusli membakar rumah kamu. Saya tekankan, sata tidak ada hubungannya dengan kebakaran rumah kamu!" Dengan tegasnya Yusuf tampak berusaha meyakinkanku.Aku sangat tercengang. Aku tak melemparkan tuduhan apa-apa pada Yusuf. Tapi, pria kekasihku ini tampak membela diri dengan yakinnya. Apa yang dia pikirkan? Apa Yusuf mengira kalau aku telah menuduhnya?"Maaf, Mas. Sungguh saya tidak bermaksud menuduh, Mas Yusuf. Saya hanya bertanya, berharap Mas Yusuf mampu men
Aku yang tercengang berusaha memperbaiki pandangan. Pandanganku tetap sama. Yang kulihat memang benar adanya. Pria yang bukan bersama Rosa adalah Rusli. Setelah sekian bulan dia menghilang, kini muncul kembali bersama wanita lain. Wanita itu bukanlah Rosa yang bersamanya dahulu.Kuambil ponsel pintarku. Kupotret Rusli dan wanita tak dikenal itu dengan kamera ponselku. Akan kusimpan siapa tahu suatu saat membutuhkannya. Aku memang tak lagi melanjutkan penyelidikan itu. Namun, tetap saja rasa penasaran kembali memanas saat melihat wajah Rusli yang seolah tak bersalah.Setelah acara musik selesai, Siska bergegas mengantarkanku pulang setelah kami makan malam bersama. Aku sungguh penasaran dengan Rusli.Saat selesai mandi, aku tak langsung tidur. Aku duduk di sofa ruang tengah seraya mengusap layar ponsel. Aku masih ingat saat sempat menyimpan nomor ponsel Rosa tempo lalu.Aku akan menelepon Rosa. Kutempelkan benda pipih itu pada telinga."Hallo, Mba Tari!" Suara Rosa yang langsung menyap
"Mas kok bicaranya seperti itu sih. Saya kan tidak kemana-mana," balasku yang merasa aneh pada Yusuf. Dia menatapku begitu dalam. Dia seolah takut kehilanganku."Tidak apa-apa, Mia. Saya hanya ingin kamu tahu saja kalau saya benar-benar tulus dengan ucapan saya," tekan Yusuf yang tampak berusaha meyakinkanku. Dia masih menggenggam tangan ini. Seperti sulit melepaskan.Bola mataku kembali berkaca-kaca mendengar ucapan Yusuf. Merasa turut sendu. "Iya, Mas. Terima kasih ya. Terima kasih atas cinta kamu. Percayalah, saya hanya butuh waktu saja untuk meyakinkan diri ini dari rasa trauma masa lalu," tuturku.Kulihat Yusuf mengangguk paham. "Iya saya paham, Mia. Saya hanya ingin kamu tahu saja dengan perasaan ini yang tidak main-main," lanjutnya.Yusuf seperti sudah tak malu-malu lagi mengungkapkan perasaannya di kantornya. Dia juga tak malu-malu menggandengku kemana pun. Padahal aku hanyalah wanita biasa yang bisa dibilang tak berkelas sepertinya."Hari ini, saya ingin mengantarkan kamu pu
"Siapa orangnya?" Aku bertanya segera. Aku sudah penasaran dengan jawaban Rosa."Berani bayar berapa?" Rosa menantangku.Aku baru saja ingat dengan Rosa yang mata duitan. Aku cukup memahaminya. Rosa pasti butuh uang sepeninggal Rusli. Dia yang ternyata sudah tak memiliki orang tua, nyatanya akan kebingungan setelah Rusli meninggalkannya bersama wanita lain."Saya hanya ada uang satu juta di dalam dompet. Itu pun kalau kamu bersedia menerimanya. Saya belum gajian, jadi balum memiliki uang," kilahku. Padahal saldo di ATM sudah terisi saat gajian kemarin. tapi, itu untuk biayaku sehari-hari. Rasanya tak bisa aku memberi banyak-banyak uang pada Rosa. "Tak apa. Rusli sudah pergi dengan wanita lain. Dia tak lagi perduli denganku, maka aku pun tak akan perduli dengannya," ucap Rosa mengandung dendam pada nada bicaranya.Aku menyeringai. Uang satu juta ternyata diterima Rosa. Semoga saja kebencian Rosa pada Rusli, bisa menguntungkanku."Jadi, siapa yang menyuruh Rusli membakar rumah di golde