"Siapa orangnya?" Aku bertanya segera. Aku sudah penasaran dengan jawaban Rosa."Berani bayar berapa?" Rosa menantangku.Aku baru saja ingat dengan Rosa yang mata duitan. Aku cukup memahaminya. Rosa pasti butuh uang sepeninggal Rusli. Dia yang ternyata sudah tak memiliki orang tua, nyatanya akan kebingungan setelah Rusli meninggalkannya bersama wanita lain."Saya hanya ada uang satu juta di dalam dompet. Itu pun kalau kamu bersedia menerimanya. Saya belum gajian, jadi balum memiliki uang," kilahku. Padahal saldo di ATM sudah terisi saat gajian kemarin. tapi, itu untuk biayaku sehari-hari. Rasanya tak bisa aku memberi banyak-banyak uang pada Rosa. "Tak apa. Rusli sudah pergi dengan wanita lain. Dia tak lagi perduli denganku, maka aku pun tak akan perduli dengannya," ucap Rosa mengandung dendam pada nada bicaranya.Aku menyeringai. Uang satu juta ternyata diterima Rosa. Semoga saja kebencian Rosa pada Rusli, bisa menguntungkanku."Jadi, siapa yang menyuruh Rusli membakar rumah di golde
Saat ini, mentari terlihat sudah berada di ufuk barat. Kata hati mengantarkanku pada sebuah rumah yang mewah dan megah. Gerbang yang tinggi membuat sepeda motorku berhenti di depannya.Aku memanggil security yang bertugas menjaga gerbang. Wajahku mungkin terlihat layu. Aku masih berusaha menenangkan diri. Mengatur napas yang sedari memburu dan memanas di dalam dada.Gerbang yang tinggi telah dibuka oleh security yang sudah mengenal wajahku. Dengan sopan pria berseragam serba hitam itu membungkuk saat aku melewatinya.Tak ada yang aku pikirkan lagi selain mendatangi Yusuf detik ini juga. Aku harus mendapatkan kejelasan. Aku harus memastikan semuanya. Karena jika iya, maka alasan apa yang membuat Yusuf tega terhadapku.Kaki yang terasa lesu segera turun dari kendaraanku. Aku melangkah dengan berat menuju pintu utama. Belum sempat tangan ini menekan bell, tiba-tiba asisten rumah tangga di rumah Yusuf membuka pintu. Sepertinya sudah tahu dengan kedatanganku. Mungkin laporan dari security
Yusuf tiba-tiba terlihat cemas. Terlebih saat menyadari sikapku yang tiba-tiba dingin kepadanya. Dia berusaha meraih tanganku, namun segera kuhempaskan."Ada apa, Mia? Kamu kenapa?" Yusuf bertanya lagi seraya menampilkan wajah keheranan dan penasaran.Di waktu yang bersamaan pula, suara ponselku terdengar membunyikan dering panggikan masuk. Aku mencoba mengabaikan namun dering panggilan masuk tetap tak mau berhenti.Aku memutar bola mata kesalku. "Saya ambil handphone dulu, Mas," pamitku beranjak dari tempat duduk kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Kuambil ponsel di atas nakas. Kulihat layarnya. Sang penelepon berkali-kali itu ternyata, Siska. Sudah lima panggilan tak terjawab. Siska bahkan berusaha menelepon ulang. Khawatir ada yang penting, gegas kugeser tombol berwarna hijau dan menjawab telepon masuk dari Siska."Hallo, Sis!" Aku menyapa begitu benda pipih itu aku tempelkan pada telinga. Aku masih berdiri di kamar yang berada di dekat ruang tamu."Mia! Kamu kemana saja? Aku
"Bohong apa, Mia?" Yusuf bertanya lagi.Entah dia pura-pura tidak mengerti, atau memang tak mengerti. Entahlah, yang aku rasa di dalam hati ini hanyanya emosi yang seolah tengah membara namun berusaha kutahan.Rasanya, ini bukan saat yang tepat untuk membahas masalah dengan Yusuf. Saat ini kami sudah tiba di depan rumah duka yang sudah ramai oleh orang-orang yang melayat."Kenapa, Mia?" Yusuf bertanya lagi mungkin dia penasaran dengan jawabanku."Lupakan dulu, Mas. Jangan bahas sekarang. Bukan waktu yang tepat. Kita keluar ya," ajakku berusaha dengan tenang. Aku berusaha menelan dan mereda emosi di dalam dada. Aku memahami situasi saat ini.Aku dan Yusuf keluar dari mobil. Kami berjalan seiringan melewati deretan orang-orang yang menatap kami nanar. Kami masuk ke dalam rumah yang terpajang bendera kuning di depannya. Bendera yang menggambarkan duka pada isi rumah tersebut.Saat hendak masuk, kudengar suara sirine ambulance yang menahan langkahku. Aku dan Yusuf menghentikan langkah dan
Aku menatap bola mata Yusuf. Akan kupastikan dia tidak berbohong dengan jawabannya."Jawab, Mas? Kenapa kamu melakukan itu semua? Apa salahku?" tanyaku lagi lirih.Yusuf menurunkan tatapannya. Dia menunduk lesu. Dadanya tampak kembang kempis mengatur napas. Sepertinya dia tak akan bisa lagi mengelak dari pertanyaanku. Padahal aku yakin dia bisa lari dan meninggalkanku. Tapi aku tak melihat itu dari tatapannya. Dia menunduk dalam diam. Seperti tengah mencerna jawaban yang akan dia keluarkan."Jawab, Mas!" tekanku lagi."Maafkan saya, Mia. Kesalah pahaman membuat saya khilaf," desisnya menjawab dengan berbisik. Nada suaranya berat. Dia seperti kesulitan berbicara."Khilaf! Apa maksudnya?" Aku bertanya lagi tanpa memberi jeda."Dulu, saya pikir kamu dan anak kamu bersekongkol. Saya pikir kamu adalah pelaku utama yang membuat Khaila depresi. Saya merasa hancur saat melihat Khaila setiap hari histeris dalam kesedihannya. Hidup dan masa depan Khaila seolah hancur. Saya sebagai kakaknya mera
Ya Tuhan, aku tidak pernah berniat membohongi, Mia. Perasaan ini benar adanya. Sungguh saya mencintainya tanpa alasan. Aku masih berada di dalam mobil. Menatap rumah Mia yang sudah sepi dengan pintu yang tertutup rapat. Berat sekali rasanya untuk pergi meninggalkan rumah Mia dalam keadaan dia yang tengah marah dan salah paham seperti itu.Harusnya tadi aku menahan langkah Mia yang begitu cepat keluar dari mobil meninggalkanku. Tapi, melihat raut wajah kekecewaan yang tampak di wajah Mia, membuatku merasa sangat malu pada diriku sendiri.Aku memang telah berbuat jahat pada wanita yang aku cintai. Tapi sungguh, kala itu karena aku masih salah menduga. Aku emosi dan tak berpikir ulang.Sampai malam yang semakin larut, aku tak melihat Mia membuka jendela atau sedikit saja mengintai ke arahku. Tak kulihat Mia dari balik Jendela. Wanitaku pasti bersedih dan kecewa atas kenyataan yang mungkin tak pernah dia duga.Jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan telah menunjukan pukul
Hari ini aku memutuskan untuk tidak masuk kantor. Aku masih belum siap bertemu Yusuf dengan kekecewaan yang telah dia berikan kepadaku.Suara ponsel berdering berkali-kali sebagai panggilan masuk dari, Yusuf. Aku tak memperdulikannya. Jawaban dan maaf Yusuf semalam seakan menyatakan bahwa cinta dan sayang yang akhir-akhir ini sering dia katakan, hanyalah dusta semata. Dia bukan mencintaiku, melainkan hanya kasihan kepadaku. Dia bukan menyayangiku, melainkan hanya merasa bersalah kepadaku atas perbuatannya.Rasa gejolak panas kian membara di dalam dada. Kebohongan Yusuf serta merta membuat isi dadaku terasa hancur. Untuk yang kesekian kalinya, ponselku masih saja mengeluarkan suara deringnya. Sungguh mengganggu telingaku. Sepertinya memang harus kumatikan agar siapa pun tak bisa menghubungiku termasuk Yusuf.Namun saat kulihat layar benda pipih itu, ternyata sang penelepon bukanlah Yusuf, melainkan Bu Anjani.Ya Tuhan, aku tidak enak rasanya membiarkan Bu Anjani menunggu lama. Gegas ku
Aku berusaha mengukir senyum walau berat. "Tidak apa-apa, Bu," jawabku."Mba Mia, yakin?" Bu Anjani bertanya lagi. Sepertinya dia tak yakin dengan jawabanku.Aku masih mengulum senyum palsu. "Sudahlah, Bu Anjani. Mari kita bahas apa yang akan Bu Anjani bahas sekarang," pintaku."Baiklah."Bu Anjani nampak mengambil maff yang di dalamnya terdapat beberapa lembar kertas yang entah apa tulisannya.Bu Anjani mulai menjelaskan semua pembagian hasil yang akan aku terima. Sedikit terkejut dengan penjelasan Bu Anjani. Aku pikir uang yang akan aku dapat hanya beberapa juta saja karena aku hanya seorang penulis naskah tersembunyi yang sama sekali tidak terkenal. Tapi justru pikiranku salah. Bu Anjani memberikan jatah pembagian hasil kepadaku senilai seratus juta yang ditulis pada selembar cek. Aku membulatkan mata melihatnya. Sungguh tak kusangka kalau hobi menulisku akan dihargai dengan nilai ratusan juta. Mungkin bagi Bu Anjani uang senilai seratus juta itu tak seberapa, tapi bagiku itu lum