Aku menatap bola mata Yusuf. Akan kupastikan dia tidak berbohong dengan jawabannya."Jawab, Mas? Kenapa kamu melakukan itu semua? Apa salahku?" tanyaku lagi lirih.Yusuf menurunkan tatapannya. Dia menunduk lesu. Dadanya tampak kembang kempis mengatur napas. Sepertinya dia tak akan bisa lagi mengelak dari pertanyaanku. Padahal aku yakin dia bisa lari dan meninggalkanku. Tapi aku tak melihat itu dari tatapannya. Dia menunduk dalam diam. Seperti tengah mencerna jawaban yang akan dia keluarkan."Jawab, Mas!" tekanku lagi."Maafkan saya, Mia. Kesalah pahaman membuat saya khilaf," desisnya menjawab dengan berbisik. Nada suaranya berat. Dia seperti kesulitan berbicara."Khilaf! Apa maksudnya?" Aku bertanya lagi tanpa memberi jeda."Dulu, saya pikir kamu dan anak kamu bersekongkol. Saya pikir kamu adalah pelaku utama yang membuat Khaila depresi. Saya merasa hancur saat melihat Khaila setiap hari histeris dalam kesedihannya. Hidup dan masa depan Khaila seolah hancur. Saya sebagai kakaknya mera
Ya Tuhan, aku tidak pernah berniat membohongi, Mia. Perasaan ini benar adanya. Sungguh saya mencintainya tanpa alasan. Aku masih berada di dalam mobil. Menatap rumah Mia yang sudah sepi dengan pintu yang tertutup rapat. Berat sekali rasanya untuk pergi meninggalkan rumah Mia dalam keadaan dia yang tengah marah dan salah paham seperti itu.Harusnya tadi aku menahan langkah Mia yang begitu cepat keluar dari mobil meninggalkanku. Tapi, melihat raut wajah kekecewaan yang tampak di wajah Mia, membuatku merasa sangat malu pada diriku sendiri.Aku memang telah berbuat jahat pada wanita yang aku cintai. Tapi sungguh, kala itu karena aku masih salah menduga. Aku emosi dan tak berpikir ulang.Sampai malam yang semakin larut, aku tak melihat Mia membuka jendela atau sedikit saja mengintai ke arahku. Tak kulihat Mia dari balik Jendela. Wanitaku pasti bersedih dan kecewa atas kenyataan yang mungkin tak pernah dia duga.Jarum pada benda bundar yang melilit pergelangan tangan telah menunjukan pukul
Hari ini aku memutuskan untuk tidak masuk kantor. Aku masih belum siap bertemu Yusuf dengan kekecewaan yang telah dia berikan kepadaku.Suara ponsel berdering berkali-kali sebagai panggilan masuk dari, Yusuf. Aku tak memperdulikannya. Jawaban dan maaf Yusuf semalam seakan menyatakan bahwa cinta dan sayang yang akhir-akhir ini sering dia katakan, hanyalah dusta semata. Dia bukan mencintaiku, melainkan hanya kasihan kepadaku. Dia bukan menyayangiku, melainkan hanya merasa bersalah kepadaku atas perbuatannya.Rasa gejolak panas kian membara di dalam dada. Kebohongan Yusuf serta merta membuat isi dadaku terasa hancur. Untuk yang kesekian kalinya, ponselku masih saja mengeluarkan suara deringnya. Sungguh mengganggu telingaku. Sepertinya memang harus kumatikan agar siapa pun tak bisa menghubungiku termasuk Yusuf.Namun saat kulihat layar benda pipih itu, ternyata sang penelepon bukanlah Yusuf, melainkan Bu Anjani.Ya Tuhan, aku tidak enak rasanya membiarkan Bu Anjani menunggu lama. Gegas ku
Aku berusaha mengukir senyum walau berat. "Tidak apa-apa, Bu," jawabku."Mba Mia, yakin?" Bu Anjani bertanya lagi. Sepertinya dia tak yakin dengan jawabanku.Aku masih mengulum senyum palsu. "Sudahlah, Bu Anjani. Mari kita bahas apa yang akan Bu Anjani bahas sekarang," pintaku."Baiklah."Bu Anjani nampak mengambil maff yang di dalamnya terdapat beberapa lembar kertas yang entah apa tulisannya.Bu Anjani mulai menjelaskan semua pembagian hasil yang akan aku terima. Sedikit terkejut dengan penjelasan Bu Anjani. Aku pikir uang yang akan aku dapat hanya beberapa juta saja karena aku hanya seorang penulis naskah tersembunyi yang sama sekali tidak terkenal. Tapi justru pikiranku salah. Bu Anjani memberikan jatah pembagian hasil kepadaku senilai seratus juta yang ditulis pada selembar cek. Aku membulatkan mata melihatnya. Sungguh tak kusangka kalau hobi menulisku akan dihargai dengan nilai ratusan juta. Mungkin bagi Bu Anjani uang senilai seratus juta itu tak seberapa, tapi bagiku itu lum
Aku mengatur napas begitu dalam. Kuturunkan tatapan. Aku kesulitan untuk bisa percaya lagi dengan, Yusuf."Maafkan saya, Bu Anjani. Saya butuh waktu banyak untuk bisa menerima kekecewaan ini," ucapku pelan. Sejujurnya aku merasa tidak enak hati pada Bu Anjani. Tapi perasaan kecewa di dalam dada tetap tak bisa disembunyikan.Seberapa besar apa pun Bu Anjani berusaha membujuk, tetap saja perasaanku sudah kecewa dan sulit untuk disembuhkan. Ini bukan perkara rumah yang hangus terbakar, melainkan kebohongan yang sengaja Yusuf tutupi selama ini."Iya, Mba Mia. Saya paham. Semoga suatu hari nanti, Mba Mia akan bisa mengetahui perasaan Mas Yusuf yang sebenarnya." Bu Anjani menatapku dalam seperti menaruh harapan besar kepadaku.Aku mengangguk saja seraya berusaha mengukir senyum tipis. "Oh iya, Mba Mia. Setelah ini, saya juga menunggu karya Mba Mia selanjutnya. Jika nanti Mba Mia memiliki naskah baru yang lebih fresh dan lebih seru lagi, Mba Mia bisa ajukan naskah itu pada saya. Semoga ker
Aku terdiam dalam beberapa saat. Siska memang benar, aku butuh pekerjaan. tapi, bukan pekerjaan dari belas kasihan orang lain. "Aku tahu. Tapi aku memutuskan akan mengundurkan diri. Aku tidak bekerja sama Yusuf. Aku khawatir hanya akan menambah luka di hati. Aku tak mau mengulangi kebodohanku. Aku tak mau jatuh terlalu dalam dengan perasaanku yang tidak waras," terangku seraya menatap ke arah ujung danau.Aku masih merasakan panasnya di dalam dada. Semilir angin yang sejuk, nyatanya tak mampu mendinginkan suasana hati yang masih saja terasa memanas."Bagaimana kalau sangkaan kamu salah, Mia. Bagaimana kalau Yusuf benar-benar mencintai kamu. Bagaimana kalau Yusuf tulus dengan perasaannya. Apa kamu tidak merasakan itu?" Siska sepertinya masih meragukan keputusanku."Aku sudah tidak bisa lagi membedakan mana tulus dan mana dusta. Yang aku tahu, Yusuf telah berbohong. Dia sama saja seperti pria yang pernah menyakitiku. Aku dengan posisi seperti ini lagi," lirihku.Aku bagaikan seorang wa
"Mia, akhirnya kamu datang. Duduklah," ucap Yusuf menyeringai senang.Kenapa dengannya? Kenapa dia harus senang dengan kedatanganku? Apa dia merasa bangga karena berhasil membohongiku? Entahlah, aku tak mau memikirkan hal itu lagi. Gegas aku melangkah lebih mendekat ke hadapan Yusuf. Aku mengambil amplop besar berwarna putih yang isinya adalah surat pengunduran diriku."Mia, duduklah dahulu. Saya mau bicara," pinta Yusuf saat melihatku masih berdiri dan mematung."Saya hanya sebentar, Pak," balasku datar. Tak ada senyuman ramah yang biasa kutampillan di hadapan Yusuf.Dengan cepat, Yusuf segera beranjak dari tempat duduknya. Dia mendekat ke arahku. Tatapannya sendu, namun aku tak perduli. Aku tak mau melihat tatapan itu lagi. Tatapan dusta penuh kebohongan."Mia, beri saya waktu menjelaskan. Saya tidak pernah berniat melukai kamu, Mia. Saya tidak pernah berniat membohongi kamu. Saya-" "Cukup, Pak!" Aku meluruskn jari telunjuk di depan wajahku sendiri, segera memotong ucapan Yusuf.
Ada bayangan yang melintas dalam halusinasiku. Sepasang insan yang tersenyum di pelupuk mata. Mereka sudah tiada mereka sudah tenang di alam sana. Aku sudah memaafkan dosa mereka. Kuhapus sesegera mungkin air mata yang lancang menerobos ketahananku. Kuperbaiki pandangan. Akhirnya bayangan sepasang insan tadi menghilang. Semoga senyuman mereka menandakan kebahagiaan mereka di alam sana. Aku akan pulang, pulang dengan kekecewaan.Aku akan merancang sebuah rencana mengenai usaha yang akan aku buka di kemudian hari. Meski sulit dan berat, hidup memang harus tetap kulewati. Aku juga memiliki perut yang harus ku isi di kala lapar. Aku tetap harus bekerja, berusaha mencari sesuap nasi demi menyambung hidup yang tak terlalu berwarna.***Satu hari berganti. Hari ini aku akan pergi membeli bahan-bahan kue. Aku akan tes kemampuanku membuat kue. Namun, langkahku pagi ini sedikit tersendat tatkala melihat kedatangan mantan mertua.Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah baruku. Pagi yang sun
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe