Aku terdiam dalam beberapa saat. Siska memang benar, aku butuh pekerjaan. tapi, bukan pekerjaan dari belas kasihan orang lain. "Aku tahu. Tapi aku memutuskan akan mengundurkan diri. Aku tidak bekerja sama Yusuf. Aku khawatir hanya akan menambah luka di hati. Aku tak mau mengulangi kebodohanku. Aku tak mau jatuh terlalu dalam dengan perasaanku yang tidak waras," terangku seraya menatap ke arah ujung danau.Aku masih merasakan panasnya di dalam dada. Semilir angin yang sejuk, nyatanya tak mampu mendinginkan suasana hati yang masih saja terasa memanas."Bagaimana kalau sangkaan kamu salah, Mia. Bagaimana kalau Yusuf benar-benar mencintai kamu. Bagaimana kalau Yusuf tulus dengan perasaannya. Apa kamu tidak merasakan itu?" Siska sepertinya masih meragukan keputusanku."Aku sudah tidak bisa lagi membedakan mana tulus dan mana dusta. Yang aku tahu, Yusuf telah berbohong. Dia sama saja seperti pria yang pernah menyakitiku. Aku dengan posisi seperti ini lagi," lirihku.Aku bagaikan seorang wa
"Mia, akhirnya kamu datang. Duduklah," ucap Yusuf menyeringai senang.Kenapa dengannya? Kenapa dia harus senang dengan kedatanganku? Apa dia merasa bangga karena berhasil membohongiku? Entahlah, aku tak mau memikirkan hal itu lagi. Gegas aku melangkah lebih mendekat ke hadapan Yusuf. Aku mengambil amplop besar berwarna putih yang isinya adalah surat pengunduran diriku."Mia, duduklah dahulu. Saya mau bicara," pinta Yusuf saat melihatku masih berdiri dan mematung."Saya hanya sebentar, Pak," balasku datar. Tak ada senyuman ramah yang biasa kutampillan di hadapan Yusuf.Dengan cepat, Yusuf segera beranjak dari tempat duduknya. Dia mendekat ke arahku. Tatapannya sendu, namun aku tak perduli. Aku tak mau melihat tatapan itu lagi. Tatapan dusta penuh kebohongan."Mia, beri saya waktu menjelaskan. Saya tidak pernah berniat melukai kamu, Mia. Saya tidak pernah berniat membohongi kamu. Saya-" "Cukup, Pak!" Aku meluruskn jari telunjuk di depan wajahku sendiri, segera memotong ucapan Yusuf.
Ada bayangan yang melintas dalam halusinasiku. Sepasang insan yang tersenyum di pelupuk mata. Mereka sudah tiada mereka sudah tenang di alam sana. Aku sudah memaafkan dosa mereka. Kuhapus sesegera mungkin air mata yang lancang menerobos ketahananku. Kuperbaiki pandangan. Akhirnya bayangan sepasang insan tadi menghilang. Semoga senyuman mereka menandakan kebahagiaan mereka di alam sana. Aku akan pulang, pulang dengan kekecewaan.Aku akan merancang sebuah rencana mengenai usaha yang akan aku buka di kemudian hari. Meski sulit dan berat, hidup memang harus tetap kulewati. Aku juga memiliki perut yang harus ku isi di kala lapar. Aku tetap harus bekerja, berusaha mencari sesuap nasi demi menyambung hidup yang tak terlalu berwarna.***Satu hari berganti. Hari ini aku akan pergi membeli bahan-bahan kue. Aku akan tes kemampuanku membuat kue. Namun, langkahku pagi ini sedikit tersendat tatkala melihat kedatangan mantan mertua.Entah dari mana dia mengetahui alamat rumah baruku. Pagi yang sun
"Mia, tolong maafkan semua kesalahan Fery semasa hidupnya. Ibu sadar dia telah bersalah padamu," ucap ibunya Fery yang lagi-lagi mengiba dengan isak tangisnya dalam pelukanku."Tentu saja, Ibu. saya sudah memaafkan Fery. Saya sudah mengikhlaskan semua kesalahan, Fery. Saya bahkan berharap yang terbaik untuk almarhum," balasku. Tak kusangka kalau ibunya Fery benar-benar berubah baik kepadaku.Wanita paruh baya itu menyudahi tangisannya. Dia berusaha mengeringkan air mata yang membasahi pipinya. Dia melepaksan pelukan lalu mengukir senyuman."Terima kasih, Mia. Ibu sadar, kamu memang wanita baik. Ibu akan pulang dengan perasaan tenang. Ibu juga yakin, Fery pun akan tenang di alam sana," ucapnyaAku mengangguk seraya tersenyum. "Iya, Bu. Ibu harus kuat. Do'akan, Fery. Hanya do'a yang bisa menyelamatkannya," balasku lagi. Aku mengusap bahunya. Dia terlihat seperi almarhumah ibuku yang telah tiada.Wajah ibunya Fery sedikit tenang tak sekalut sebelumnya. Dia pamit kemudian pergi dengan kon
Wajah Yusuf menatapku dalam. Aku memalingkan, segera membuang tatapannya."Saya tidak marah. Saya sadar diri. Saya bukanlah siapa-siapa. Saya tidak berhak marah. Hanya saja saya menyesali kebodohan saya," terangku ketus.Aku berusaha menyibukan diri, menurunkan barang-barang yang kubeli tadi dari sepeda motor. Aku tak mau lagi mendengar pembelaan Yusuf."Mia!" Yusuf berusaha meraih tanganku namun kembali kuhempaskan. Tatapanku sinis kepadanya."Kalau kamu tidak marah dan memaafkan saya, lalu kenapa sikap kamu masih saja seperti ini?" Yusuf nampak sabar memelas kepadaku. Hanya saja aku masih tak percaya dengannya."Lalu saya harus seperti apa?" ketusku."Tolong silahkan pulang, Mas. Jangan terus-menerus bermain drama di hadapan saya. Saya tidak akan termakan lagi oleh ucapan kamu." Aku yang masih berusaha mengusir Yusuf."Drama! Saya sedang tidak bermain drama, Mia. Tolong kamu lihat baik-baik mata saya, apa kamu bisa melihat kebohongan di mata saya?" Yusuf malah menantangku."Saya sud
Aku kemudian duduk di atas ranjang yang masih belum kuganti. Aku menutup wajah ini dengan kedua telapak tangan. Rasanya, sulit sekali mencerna setiap kata yang Yusuf ucapkan. Aku sudah sulit percaya lagi kepadanya laki-laki mana pun termasuk Yusuf yang telah membohongiku.Aku juga seakan melupakan rencana awal yang akan menjebloskan pelaku pembakar rumah ke dalam penjara. Padahal sebelumnya aku cukup anusias untuk melakukannya. Saat kuketahui pelakunya adalah Yusuf, langkah kaki ini seakan berat untuk melaporkannya. Aku tak kuasa melanjutkan rencana awal. Aku memilih menyudahi semuanya. Melupakan kisah sedih. Mengikhlaskan rumahku yang telah hangus. Saat ini Tuhan telah mengganti dari arah rejeki yang tak pernah kusangka, yakni lewat menulis.Sampai esok hari, aku masih dalam keraguan. Aku meminta saran dari Siska sebagai masukan lewat sambungan telepon. Tapi, Siska tak memberikan jawaban yang spesipik. Dia lebih memintaku mendengarkan kata hati. Padahal, kata hatiku tengah risau tak
"Yusuf, how are you?" Wanita seksi nan cantik yang baru saja kuketahui bernama Jenifer menyapa Yusuf dengan ramah dan nada suara yang lembut."Kabar saya baik. Silahkan duduk," balas Yusuf pada wanita itu. Namun kulihat Yusuf menampilkan wajah biasa saya.Tak mau berdiam diri dan mengganggu Yusuf dengan tamunya, aku kemudian pamit keluar sesegera mungkin."Kamu mau kemana, Mia?" Seketika pertanyaan Yusuf menahan langkahku."Maaf, Pak. Saya akan kembali ke ruangan saya. Masih ada pekerjaan yang harus saja handle," jawabku apa adanya."Pekerjaan apa?" Yusuf kembali bertanya seakan tak tahu saja dengan pekerjaanku."Besok pagi akan ada jadwal meeting dengan cliant dari Bali, Pak. Saya akan persiapkan berkas dan yang lain-lainnya hari ini," jawabku lagi dengan lancar. Sebenarnya ada yang mengganjal di dalam dada, namun berusaha kutelan agar Yusuf yang curiga."Oh baiklah," ucap Yusuf mengiyakan. Lalu dia duduk di dekat wanita cantik itu.Sementara aku, tentu aku langsung pergi. 'Ingat, Mi
Jangan sampai Yusuf berpikir yang aneh-aneh. Pertanyaanku pada office girl tadi biasa saja, bukan sesuatu yang lebih."Ikut ke ruangan saya dan kita akan bahas bersama dengan, Jenifer," ajak Yusuf seraya menadahkan tangan. Dia pikir aku akan ikut dengannya."Tapi, Pak. Saya masih belum selesai dengan tugas saya. Saya harus menyiapkan tempat dan lain-lainnya untuk meeting besok." Aku membuat alasan yang memang benar seperti itu adanya."Tapi kamu tidak berpikir yang aneh-aneh kan?" Yusuf masih saja menatap, membuatku mengalihkan tatapan ke arah yang lain."Berpikir aneh apa, Pak. Di sini saya kan hanya bekerja, saya tidak akan berpikir yang aneh di luar pekerjaan," balasku sedikit sadis.Aku rasa Yusuf seperti menghela napas kesal sambil menggaruk kening yang bisa dipastikan tidak gatal. Orang bersih seperti dia mana mungkin gatal-gatal."Ya sudah, saya kembali ke ruangan saya. Tolong laporan berkasnya jika sudah siap," pintanya sambil pamit."Iya, Pak." Aku mengiyakan saja.Yusuf kemu