Aku kemudian duduk di atas ranjang yang masih belum kuganti. Aku menutup wajah ini dengan kedua telapak tangan. Rasanya, sulit sekali mencerna setiap kata yang Yusuf ucapkan. Aku sudah sulit percaya lagi kepadanya laki-laki mana pun termasuk Yusuf yang telah membohongiku.Aku juga seakan melupakan rencana awal yang akan menjebloskan pelaku pembakar rumah ke dalam penjara. Padahal sebelumnya aku cukup anusias untuk melakukannya. Saat kuketahui pelakunya adalah Yusuf, langkah kaki ini seakan berat untuk melaporkannya. Aku tak kuasa melanjutkan rencana awal. Aku memilih menyudahi semuanya. Melupakan kisah sedih. Mengikhlaskan rumahku yang telah hangus. Saat ini Tuhan telah mengganti dari arah rejeki yang tak pernah kusangka, yakni lewat menulis.Sampai esok hari, aku masih dalam keraguan. Aku meminta saran dari Siska sebagai masukan lewat sambungan telepon. Tapi, Siska tak memberikan jawaban yang spesipik. Dia lebih memintaku mendengarkan kata hati. Padahal, kata hatiku tengah risau tak
"Yusuf, how are you?" Wanita seksi nan cantik yang baru saja kuketahui bernama Jenifer menyapa Yusuf dengan ramah dan nada suara yang lembut."Kabar saya baik. Silahkan duduk," balas Yusuf pada wanita itu. Namun kulihat Yusuf menampilkan wajah biasa saya.Tak mau berdiam diri dan mengganggu Yusuf dengan tamunya, aku kemudian pamit keluar sesegera mungkin."Kamu mau kemana, Mia?" Seketika pertanyaan Yusuf menahan langkahku."Maaf, Pak. Saya akan kembali ke ruangan saya. Masih ada pekerjaan yang harus saja handle," jawabku apa adanya."Pekerjaan apa?" Yusuf kembali bertanya seakan tak tahu saja dengan pekerjaanku."Besok pagi akan ada jadwal meeting dengan cliant dari Bali, Pak. Saya akan persiapkan berkas dan yang lain-lainnya hari ini," jawabku lagi dengan lancar. Sebenarnya ada yang mengganjal di dalam dada, namun berusaha kutelan agar Yusuf yang curiga."Oh baiklah," ucap Yusuf mengiyakan. Lalu dia duduk di dekat wanita cantik itu.Sementara aku, tentu aku langsung pergi. 'Ingat, Mi
Jangan sampai Yusuf berpikir yang aneh-aneh. Pertanyaanku pada office girl tadi biasa saja, bukan sesuatu yang lebih."Ikut ke ruangan saya dan kita akan bahas bersama dengan, Jenifer," ajak Yusuf seraya menadahkan tangan. Dia pikir aku akan ikut dengannya."Tapi, Pak. Saya masih belum selesai dengan tugas saya. Saya harus menyiapkan tempat dan lain-lainnya untuk meeting besok." Aku membuat alasan yang memang benar seperti itu adanya."Tapi kamu tidak berpikir yang aneh-aneh kan?" Yusuf masih saja menatap, membuatku mengalihkan tatapan ke arah yang lain."Berpikir aneh apa, Pak. Di sini saya kan hanya bekerja, saya tidak akan berpikir yang aneh di luar pekerjaan," balasku sedikit sadis.Aku rasa Yusuf seperti menghela napas kesal sambil menggaruk kening yang bisa dipastikan tidak gatal. Orang bersih seperti dia mana mungkin gatal-gatal."Ya sudah, saya kembali ke ruangan saya. Tolong laporan berkasnya jika sudah siap," pintanya sambil pamit."Iya, Pak." Aku mengiyakan saja.Yusuf kemu
Yusuf sudah berdiri saat aku membuka pintu ruangannya. Dia berpindah tempat duduk ke sofa yang lebih panjang di dekat meja kerjanya."Ini makan siangnya, Pak." Kuletakan paper bag berwarna coklat yang isinya jatah makan siang untuk Yusuf, di atas meja.Aku segera membalikan badan dan berniat akan segera keluar dari ruangan Yusuf."Kamu mau kemana?" tanya Yusuf menahan langkahku."Saya mau ke luar, Pak," jawabku segera. Aku sudah sampai pintu dan bersiap akan menutupnya.Yusuf nampak membuka isi papar bag berwarna coklat. "Ini ada dus porsi. Mengapa tak makan berdua saja di sini?""Saya sudah makan, Pak," jawabku berbohong. Padahal jatah makan siangku belum sempat kumakan."Lalu, mengapa ini ada dua porsi?" Yusuf lagi-lagi bertanya membuat langkahku masih tertahan."Saya pikir untuk cliant, Pak Yusuf. Saya tidak tahu kalau ternyata tamunya sudah pulang," jawabku lagi, dengan nada datar tanpa ekpsresi. Ada sesuatu yang tengah kutahan di dalam dada."Ya sudah, temani saya makan, Mia," pi
Benda bundar di dinding ruangan telah menunjukan pukul dua siang. Aku segera berkemas usai pekerjaan selesai. Ada sekertaris dan orang kepercayaan Yusuf yang lainnya di kantor. Aku berjalan dengan langkah yang berat rasanya.Kulajukan kendaraan roda duaku menuju rumah sakit harapan kita dimana Yusuf kini dirawat. Jika ini suatu kebohongan, mengapa isi dadaku terasa sendu dan lemas. Tapi, entah mengapa aku berharap ini suatu kebohongan agar atasanku itu dalam keadaan sehat-sehat saja.Perjalanan yang harusnya sampai dalam waktu lima menit, nyatanya harus tertunda. Aku melewati durasi yang jauh berbeda. Laju sepeda motorku tersendat di tengah perjalanan terjebak macet."Sial!" Aku menghentakan kepalan tangan si atas setang motor. Sudah setengah jam lebih aku tak dapat menyalip karena macetnya cukup parah sehingga tak ada celah untuk menyalip.Berkali-kali aku melirik benda bundar yang melilit pergelanga tangan. Sekedar memastikan waktu saja. Rasa khawatir terus saja menyeruak tajam.Set
Yusuf tak menjawab. Dia hanya mengedipkan kedua matanya, kemudian kembali memejamkan kedua matanya. Terlihat seperti lemas tak berdaya seperti sebelumnya-sebelumnya.Kulihat telapak tangannya masih diletakan diatas punggung tanganku. Tak ada genggaman yang seperti biasanya. Tangan Yusuf lemas. Ada apa sebenarnya dengan dia, mengapa keadaannya jadi kacau seperti ini.Sampai saat aku bisa bertemu dengan Dokter ketika jadwal pemeriksaan Yusuf pagi hari telah tiba. Aku resah semalaman karena Yusuf terus saja tertidur lemas. Ini tak seperti biasanya. Tak ada makanan yang masuk ke dalam perut Yusuf walau aku telah berusaha mencoba menyuapinya.Aku menceritakan keadaan resahku semalaman pada Dokter pribadi Yusuf yang kebetulan pukul delapan sudah datang memeriksakan keadaan Yusuf."Pola makan tidak sehat dan sepertinya akhir-akhir ini Pak Yusuf banyak beban pikiran sampai stres. Itulah penyebab awal asam lambung Pak Yusuf naik sehingga berimbas pada jantungnya yang memang sudah bermasalah se
"Makan dulu ya. Buka mulutnya dong." Yusuf sedikit membuka mulutnya. Dia memakan sarapan yang aku berikan. Walau sedikit lemas dan layu, aku lihat ada senyuman yang menggaris tipis di bibirnya. Aku sedikit lega. Yusuf yang awalnya bersi kukuh tak mau makan, kini akhirnya menghabiskan sarapannya sampai suapan paling akhir kuberikan."Kamu sudah makan, Mia?" Usia meneguk air minum, Yusuf bertanya penuh perhatian."Jangan pikirkan saya. Saya sehat dan aman. Saya akan makan saat lapar. Yang paling penting, Mas Yusuf. Harus cepat pulih." Aku berbicara dengan lembut.Kulihat Yusuf kembali mengukir senyum. Nada bicaranya juga tak bergetar lemas seperti sebelumnya. Kini terdengar lebih bertenaga.Dia mampu menggenggam tanganku lagi. Aku yang sedari tadi duduk di kursi dekat ranjangnya menyeringai senang bukan karena genggamannya, tapi karena kini tangan Yusuf sudah kembali ada tenaganya."Mia, apa kamu sudah tidak marah lagi?" Yusuf bertanya. Telapak tangan kanannya masih menggenggam tangank
"Khaila, apa-apaan ini! Tolong jangan seperti ini." Aku berusaha menahan tubuhku yang diseret paksa oleh Khaila, ke arah pintu keluar."Pergi dari sini!" Sambil terus saja bersaha mendorong tubuhku keluar ruangan, Khaila memaksa dengan sedikit tenaganya.Bisa saja aku melawan Khaila. Kekuatan Khaila tak ada apa-apanya dibandingkan aku yang tak hamil. Tapi, aku tak dapat melawan Khaila. Dia tengah hamil. Aku juga tahu, kalau Khaila baru saja sembuh dari depresi akut yang menyerang otaknya.Aku menurut saja. Tak bisa membantah. Khaila menutup rapat pintu ruangan Yusuf. Aku berdiri di luar tanpa bisa berusaha kembali masuk.Ada apa dengan, Khaila? Mengapa wajahnya nampak murka terhadapku. Bukankah sekarang Khaila dengan sembuh dari depresinya, lalu mengapa dia begitu murka saat melihatku. Apa yang salah denganku?Aku mengatur napas berusaha tenang. Aku harus mengalah. Lagi pula, aku tak bisa membuat bising di rumah sakit. Kaki ini belum bisa melangkah. Aku masih berdiri menatap pintu mas
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe