Wajah Yusuf menatapku dalam. Aku memalingkan, segera membuang tatapannya."Saya tidak marah. Saya sadar diri. Saya bukanlah siapa-siapa. Saya tidak berhak marah. Hanya saja saya menyesali kebodohan saya," terangku ketus.Aku berusaha menyibukan diri, menurunkan barang-barang yang kubeli tadi dari sepeda motor. Aku tak mau lagi mendengar pembelaan Yusuf."Mia!" Yusuf berusaha meraih tanganku namun kembali kuhempaskan. Tatapanku sinis kepadanya."Kalau kamu tidak marah dan memaafkan saya, lalu kenapa sikap kamu masih saja seperti ini?" Yusuf nampak sabar memelas kepadaku. Hanya saja aku masih tak percaya dengannya."Lalu saya harus seperti apa?" ketusku."Tolong silahkan pulang, Mas. Jangan terus-menerus bermain drama di hadapan saya. Saya tidak akan termakan lagi oleh ucapan kamu." Aku yang masih berusaha mengusir Yusuf."Drama! Saya sedang tidak bermain drama, Mia. Tolong kamu lihat baik-baik mata saya, apa kamu bisa melihat kebohongan di mata saya?" Yusuf malah menantangku."Saya sud
Aku kemudian duduk di atas ranjang yang masih belum kuganti. Aku menutup wajah ini dengan kedua telapak tangan. Rasanya, sulit sekali mencerna setiap kata yang Yusuf ucapkan. Aku sudah sulit percaya lagi kepadanya laki-laki mana pun termasuk Yusuf yang telah membohongiku.Aku juga seakan melupakan rencana awal yang akan menjebloskan pelaku pembakar rumah ke dalam penjara. Padahal sebelumnya aku cukup anusias untuk melakukannya. Saat kuketahui pelakunya adalah Yusuf, langkah kaki ini seakan berat untuk melaporkannya. Aku tak kuasa melanjutkan rencana awal. Aku memilih menyudahi semuanya. Melupakan kisah sedih. Mengikhlaskan rumahku yang telah hangus. Saat ini Tuhan telah mengganti dari arah rejeki yang tak pernah kusangka, yakni lewat menulis.Sampai esok hari, aku masih dalam keraguan. Aku meminta saran dari Siska sebagai masukan lewat sambungan telepon. Tapi, Siska tak memberikan jawaban yang spesipik. Dia lebih memintaku mendengarkan kata hati. Padahal, kata hatiku tengah risau tak
"Yusuf, how are you?" Wanita seksi nan cantik yang baru saja kuketahui bernama Jenifer menyapa Yusuf dengan ramah dan nada suara yang lembut."Kabar saya baik. Silahkan duduk," balas Yusuf pada wanita itu. Namun kulihat Yusuf menampilkan wajah biasa saya.Tak mau berdiam diri dan mengganggu Yusuf dengan tamunya, aku kemudian pamit keluar sesegera mungkin."Kamu mau kemana, Mia?" Seketika pertanyaan Yusuf menahan langkahku."Maaf, Pak. Saya akan kembali ke ruangan saya. Masih ada pekerjaan yang harus saja handle," jawabku apa adanya."Pekerjaan apa?" Yusuf kembali bertanya seakan tak tahu saja dengan pekerjaanku."Besok pagi akan ada jadwal meeting dengan cliant dari Bali, Pak. Saya akan persiapkan berkas dan yang lain-lainnya hari ini," jawabku lagi dengan lancar. Sebenarnya ada yang mengganjal di dalam dada, namun berusaha kutelan agar Yusuf yang curiga."Oh baiklah," ucap Yusuf mengiyakan. Lalu dia duduk di dekat wanita cantik itu.Sementara aku, tentu aku langsung pergi. 'Ingat, Mi
Jangan sampai Yusuf berpikir yang aneh-aneh. Pertanyaanku pada office girl tadi biasa saja, bukan sesuatu yang lebih."Ikut ke ruangan saya dan kita akan bahas bersama dengan, Jenifer," ajak Yusuf seraya menadahkan tangan. Dia pikir aku akan ikut dengannya."Tapi, Pak. Saya masih belum selesai dengan tugas saya. Saya harus menyiapkan tempat dan lain-lainnya untuk meeting besok." Aku membuat alasan yang memang benar seperti itu adanya."Tapi kamu tidak berpikir yang aneh-aneh kan?" Yusuf masih saja menatap, membuatku mengalihkan tatapan ke arah yang lain."Berpikir aneh apa, Pak. Di sini saya kan hanya bekerja, saya tidak akan berpikir yang aneh di luar pekerjaan," balasku sedikit sadis.Aku rasa Yusuf seperti menghela napas kesal sambil menggaruk kening yang bisa dipastikan tidak gatal. Orang bersih seperti dia mana mungkin gatal-gatal."Ya sudah, saya kembali ke ruangan saya. Tolong laporan berkasnya jika sudah siap," pintanya sambil pamit."Iya, Pak." Aku mengiyakan saja.Yusuf kemu
Yusuf sudah berdiri saat aku membuka pintu ruangannya. Dia berpindah tempat duduk ke sofa yang lebih panjang di dekat meja kerjanya."Ini makan siangnya, Pak." Kuletakan paper bag berwarna coklat yang isinya jatah makan siang untuk Yusuf, di atas meja.Aku segera membalikan badan dan berniat akan segera keluar dari ruangan Yusuf."Kamu mau kemana?" tanya Yusuf menahan langkahku."Saya mau ke luar, Pak," jawabku segera. Aku sudah sampai pintu dan bersiap akan menutupnya.Yusuf nampak membuka isi papar bag berwarna coklat. "Ini ada dus porsi. Mengapa tak makan berdua saja di sini?""Saya sudah makan, Pak," jawabku berbohong. Padahal jatah makan siangku belum sempat kumakan."Lalu, mengapa ini ada dua porsi?" Yusuf lagi-lagi bertanya membuat langkahku masih tertahan."Saya pikir untuk cliant, Pak Yusuf. Saya tidak tahu kalau ternyata tamunya sudah pulang," jawabku lagi, dengan nada datar tanpa ekpsresi. Ada sesuatu yang tengah kutahan di dalam dada."Ya sudah, temani saya makan, Mia," pi
Benda bundar di dinding ruangan telah menunjukan pukul dua siang. Aku segera berkemas usai pekerjaan selesai. Ada sekertaris dan orang kepercayaan Yusuf yang lainnya di kantor. Aku berjalan dengan langkah yang berat rasanya.Kulajukan kendaraan roda duaku menuju rumah sakit harapan kita dimana Yusuf kini dirawat. Jika ini suatu kebohongan, mengapa isi dadaku terasa sendu dan lemas. Tapi, entah mengapa aku berharap ini suatu kebohongan agar atasanku itu dalam keadaan sehat-sehat saja.Perjalanan yang harusnya sampai dalam waktu lima menit, nyatanya harus tertunda. Aku melewati durasi yang jauh berbeda. Laju sepeda motorku tersendat di tengah perjalanan terjebak macet."Sial!" Aku menghentakan kepalan tangan si atas setang motor. Sudah setengah jam lebih aku tak dapat menyalip karena macetnya cukup parah sehingga tak ada celah untuk menyalip.Berkali-kali aku melirik benda bundar yang melilit pergelanga tangan. Sekedar memastikan waktu saja. Rasa khawatir terus saja menyeruak tajam.Set
Yusuf tak menjawab. Dia hanya mengedipkan kedua matanya, kemudian kembali memejamkan kedua matanya. Terlihat seperti lemas tak berdaya seperti sebelumnya-sebelumnya.Kulihat telapak tangannya masih diletakan diatas punggung tanganku. Tak ada genggaman yang seperti biasanya. Tangan Yusuf lemas. Ada apa sebenarnya dengan dia, mengapa keadaannya jadi kacau seperti ini.Sampai saat aku bisa bertemu dengan Dokter ketika jadwal pemeriksaan Yusuf pagi hari telah tiba. Aku resah semalaman karena Yusuf terus saja tertidur lemas. Ini tak seperti biasanya. Tak ada makanan yang masuk ke dalam perut Yusuf walau aku telah berusaha mencoba menyuapinya.Aku menceritakan keadaan resahku semalaman pada Dokter pribadi Yusuf yang kebetulan pukul delapan sudah datang memeriksakan keadaan Yusuf."Pola makan tidak sehat dan sepertinya akhir-akhir ini Pak Yusuf banyak beban pikiran sampai stres. Itulah penyebab awal asam lambung Pak Yusuf naik sehingga berimbas pada jantungnya yang memang sudah bermasalah se
"Makan dulu ya. Buka mulutnya dong." Yusuf sedikit membuka mulutnya. Dia memakan sarapan yang aku berikan. Walau sedikit lemas dan layu, aku lihat ada senyuman yang menggaris tipis di bibirnya. Aku sedikit lega. Yusuf yang awalnya bersi kukuh tak mau makan, kini akhirnya menghabiskan sarapannya sampai suapan paling akhir kuberikan."Kamu sudah makan, Mia?" Usia meneguk air minum, Yusuf bertanya penuh perhatian."Jangan pikirkan saya. Saya sehat dan aman. Saya akan makan saat lapar. Yang paling penting, Mas Yusuf. Harus cepat pulih." Aku berbicara dengan lembut.Kulihat Yusuf kembali mengukir senyum. Nada bicaranya juga tak bergetar lemas seperti sebelumnya. Kini terdengar lebih bertenaga.Dia mampu menggenggam tanganku lagi. Aku yang sedari tadi duduk di kursi dekat ranjangnya menyeringai senang bukan karena genggamannya, tapi karena kini tangan Yusuf sudah kembali ada tenaganya."Mia, apa kamu sudah tidak marah lagi?" Yusuf bertanya. Telapak tangan kanannya masih menggenggam tangank