Yusuf tak menjawab. Dia hanya mengedipkan kedua matanya, kemudian kembali memejamkan kedua matanya. Terlihat seperti lemas tak berdaya seperti sebelumnya-sebelumnya.Kulihat telapak tangannya masih diletakan diatas punggung tanganku. Tak ada genggaman yang seperti biasanya. Tangan Yusuf lemas. Ada apa sebenarnya dengan dia, mengapa keadaannya jadi kacau seperti ini.Sampai saat aku bisa bertemu dengan Dokter ketika jadwal pemeriksaan Yusuf pagi hari telah tiba. Aku resah semalaman karena Yusuf terus saja tertidur lemas. Ini tak seperti biasanya. Tak ada makanan yang masuk ke dalam perut Yusuf walau aku telah berusaha mencoba menyuapinya.Aku menceritakan keadaan resahku semalaman pada Dokter pribadi Yusuf yang kebetulan pukul delapan sudah datang memeriksakan keadaan Yusuf."Pola makan tidak sehat dan sepertinya akhir-akhir ini Pak Yusuf banyak beban pikiran sampai stres. Itulah penyebab awal asam lambung Pak Yusuf naik sehingga berimbas pada jantungnya yang memang sudah bermasalah se
"Makan dulu ya. Buka mulutnya dong." Yusuf sedikit membuka mulutnya. Dia memakan sarapan yang aku berikan. Walau sedikit lemas dan layu, aku lihat ada senyuman yang menggaris tipis di bibirnya. Aku sedikit lega. Yusuf yang awalnya bersi kukuh tak mau makan, kini akhirnya menghabiskan sarapannya sampai suapan paling akhir kuberikan."Kamu sudah makan, Mia?" Usia meneguk air minum, Yusuf bertanya penuh perhatian."Jangan pikirkan saya. Saya sehat dan aman. Saya akan makan saat lapar. Yang paling penting, Mas Yusuf. Harus cepat pulih." Aku berbicara dengan lembut.Kulihat Yusuf kembali mengukir senyum. Nada bicaranya juga tak bergetar lemas seperti sebelumnya. Kini terdengar lebih bertenaga.Dia mampu menggenggam tanganku lagi. Aku yang sedari tadi duduk di kursi dekat ranjangnya menyeringai senang bukan karena genggamannya, tapi karena kini tangan Yusuf sudah kembali ada tenaganya."Mia, apa kamu sudah tidak marah lagi?" Yusuf bertanya. Telapak tangan kanannya masih menggenggam tangank
"Khaila, apa-apaan ini! Tolong jangan seperti ini." Aku berusaha menahan tubuhku yang diseret paksa oleh Khaila, ke arah pintu keluar."Pergi dari sini!" Sambil terus saja bersaha mendorong tubuhku keluar ruangan, Khaila memaksa dengan sedikit tenaganya.Bisa saja aku melawan Khaila. Kekuatan Khaila tak ada apa-apanya dibandingkan aku yang tak hamil. Tapi, aku tak dapat melawan Khaila. Dia tengah hamil. Aku juga tahu, kalau Khaila baru saja sembuh dari depresi akut yang menyerang otaknya.Aku menurut saja. Tak bisa membantah. Khaila menutup rapat pintu ruangan Yusuf. Aku berdiri di luar tanpa bisa berusaha kembali masuk.Ada apa dengan, Khaila? Mengapa wajahnya nampak murka terhadapku. Bukankah sekarang Khaila dengan sembuh dari depresinya, lalu mengapa dia begitu murka saat melihatku. Apa yang salah denganku?Aku mengatur napas berusaha tenang. Aku harus mengalah. Lagi pula, aku tak bisa membuat bising di rumah sakit. Kaki ini belum bisa melangkah. Aku masih berdiri menatap pintu mas
Satu hari telah berlalu. Aku masih saja tak mendengar kabar dari Yusuf. Dia juga tak terlihat di ruangan kantornya. Aku tak menemukan Yusuf di kantor. Apa Yusuf belum pulang dari rumah sakit?Keresahan ini tak bisa kubiarkan. Saat nomor telepon Bu Anjani tak bisa dihubungi, aku tak mau menunggu lama. Aku berinisiatif pergi ke rumah sakit sajaLangkahku tak bisa dicegah. Aku dalam perjalanan menuju rumah sakit harapan kita. Perjalananku juga cukup lancar tak terhalang macet.Tak butuh waktu lama, aku telah tiba di depan rumah sakit. Segera kuparkirkan kendaraan roda duaku. Dengan langkah yang cepat segera ku susuri koridor rumah sakit, naik lift hingga sampai di depan pintu ruangan Yusuf.Aku mengatur napas terlebih dahulu. Aku hanya berharap, jika di dalam ada Khaila semoga adik kandung Yusuf itu tak akan marah-marah seperti kemarin lusa.Kuputar handle pintu lalu membukanya. Tak ada suara yang menyambut kedatanganku. Kulanjutkan langkah lebih ke dalam ruangan. Tak ada siapa-siapa. Ra
Bu Anjani segera menghapus air matanya. Dia tampak menenangkan diri. "Saya akan bantu. Mba Mia tunggu di sini ya. Saya akan buat suami saya membawa Khaila pulang terlebih dahulu," kata Bu Anjani dan aku segera mengangguk paham.Wanita cantik berparas india itu segera kembali ke depan ruang ICU dimana Khaila dan pria yang ternyata suaminya berada. Sementara aku, hanya mengintai di balik dinding penghalang. Jarak kami dekat, hanya saja aku memastikan kalau Khaila tak dapat mengetahui keberadaanku."Khaila, sebaiknya kamu pulang dahulu. Mas Dani, akan mengantarkan kamu." Suara nyaring Bu Anjani memerintah pada Khaila sehingga aku dapat mendengarnya."Tidak, Mba. Aku akan khawatir dengan keadaan, Mas Yusuf." Khaila langsung menolak. Kulihat dia menggelengkan kepala."Khaila, Mba akan menunggu Mas Yusuf di dini. Kamu harus istirahat. Kamu sedang hamil. Kamu harus jaga kesehatan demi calon anak kamu," pinta Bu Anjani sekali lagi nampak memaksa.Kulihat Khaila marapatkan bibirnya nampak kesa
Saat mencoba mengintai dari balik kaca tebal, kulihat beberapa petugas medis nampak berusaha menangani Yusuf yang tengah melawan masa kritisnya.Lagi, air mata mengalir deras tanpa bisa dihentikan walau sekejap.Setelah memakan waktu sekitar tiga puluh menit beberapa petugas medis yang berseragam serba putih nampak membuka pintu ruangan ICU dan segera keluar.Bersamaan dengan itu, aku dan Bu Anjani segera bangkit dari tempat duduk."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" Bu Anjani dengan wajah tegangnya. Aku pun sama.Dokter tugas mengukir senyum dengan santainya. "Tuhan telah memberikan keajaiban-Nya. Pak Yusuf sudah berhasil melewati masa kritisnya," jawab Dokter.Aku menghela napas lega. "Syukurlah." Sama halnya dengan Bu Anjani.Spontan aku dan Bu Anjani saling berpelukan karena bahagia atas kabar baik yang baru saja diterima. Tangisan yang sempat mengalir deras kini hilang dalam sekejap setelah kabar Yusuf membaik.Setelah itu, Yusuf langsung dipindahkan kembali ke ruangan rawat inap
Aku melebarkan senyuman saat mendengar kata-kata penuh semangat dari Yusuf. Setidaknya kini aku merasa senang. Yusuf sudah membaik. Sampai satu hari setelah itu, Yusuf sudah diperbolehkan pulang. Aku mengantarkan Yusuf ke rumahnya. Aku menyuruh seseorang membawa sepeda motorku ke rumah Yusuf. Sementara aku dan Yusuf menaiki mobil mewah Yusuf yang dikemudikan oleh sekertarisnya.Rumah Yusuf nampak sepi. Hanya ada beberapa pembantu berseragan hitam putih yang menyambut kedatangaku dan Yusuf. Di situ juga terlihat tiga orang pria berseragam hitam berdiri dengan tegap.Aku membantu Yusuf dan memapahnya. Kami berdua berjalan seiringan masuk ke dalam rumah Yusuf yang besar dan mewah. Tak kupedulikan tentang kemewahan isinya, aku mencintai Yusuf tanpa syarat. Perasaan ini tumbuh begitu saja tanpa perduli dengan apa yang Yusuf miliki.Rumah yang kuanggap sepi ternyata salah. Saat masuk ke dalam rumah, kedatangan kami juga disambut oleh Bu Anjani dan suaminya. Di sana juga terlihat, Khaila.S
"Mas, saya ke kamar mandi dulu ya." Aku melonggarkan pelukannya."Di sana." Yusuf meluruskan jari telunjuknya ke arah pintu kamar mandi yang masih berada di ruangan kamarnya.Aku beranjak kemudian melangkah menuju kamar mandi. Begitu aku berada di dalam kamar mandi kudengar suara seorang perempuan masuk dan bicara dengan Yusuf."Aku sudah menjelaskan pada, Khaila. Mas tenang saja. Khaila, mulai memahami semua kekeliruannya." Suara Bu Anjani begitu jelas kudengar."Baguslah. Lagi pula, Mia memang tak bersalah kan. Dia pantas dibela." Kali ini suara Yusuf terdengar menimpali.Segera kutempelkan telinga ini pada pintu, berusaha mendengarkan dengan jelas perbicangan mereka."Tapi Khaila masih belum bisa mengatur sikapnya. Tolong pahami dia, Mas. Hari ini aku dan Mas Dani harus pulang. Sudah ada suster dan asisten rumah tangga yang siap membantu di sini. Mas jangan khawatir." Suara Bu Anjani lagi."Oke. Terima kasih, kamu sudah menyempatkan waktu." Yusuf terdengar menimpali lagi."Iya, Mas