Satu hari telah berlalu. Aku masih saja tak mendengar kabar dari Yusuf. Dia juga tak terlihat di ruangan kantornya. Aku tak menemukan Yusuf di kantor. Apa Yusuf belum pulang dari rumah sakit?Keresahan ini tak bisa kubiarkan. Saat nomor telepon Bu Anjani tak bisa dihubungi, aku tak mau menunggu lama. Aku berinisiatif pergi ke rumah sakit sajaLangkahku tak bisa dicegah. Aku dalam perjalanan menuju rumah sakit harapan kita. Perjalananku juga cukup lancar tak terhalang macet.Tak butuh waktu lama, aku telah tiba di depan rumah sakit. Segera kuparkirkan kendaraan roda duaku. Dengan langkah yang cepat segera ku susuri koridor rumah sakit, naik lift hingga sampai di depan pintu ruangan Yusuf.Aku mengatur napas terlebih dahulu. Aku hanya berharap, jika di dalam ada Khaila semoga adik kandung Yusuf itu tak akan marah-marah seperti kemarin lusa.Kuputar handle pintu lalu membukanya. Tak ada suara yang menyambut kedatanganku. Kulanjutkan langkah lebih ke dalam ruangan. Tak ada siapa-siapa. Ra
Bu Anjani segera menghapus air matanya. Dia tampak menenangkan diri. "Saya akan bantu. Mba Mia tunggu di sini ya. Saya akan buat suami saya membawa Khaila pulang terlebih dahulu," kata Bu Anjani dan aku segera mengangguk paham.Wanita cantik berparas india itu segera kembali ke depan ruang ICU dimana Khaila dan pria yang ternyata suaminya berada. Sementara aku, hanya mengintai di balik dinding penghalang. Jarak kami dekat, hanya saja aku memastikan kalau Khaila tak dapat mengetahui keberadaanku."Khaila, sebaiknya kamu pulang dahulu. Mas Dani, akan mengantarkan kamu." Suara nyaring Bu Anjani memerintah pada Khaila sehingga aku dapat mendengarnya."Tidak, Mba. Aku akan khawatir dengan keadaan, Mas Yusuf." Khaila langsung menolak. Kulihat dia menggelengkan kepala."Khaila, Mba akan menunggu Mas Yusuf di dini. Kamu harus istirahat. Kamu sedang hamil. Kamu harus jaga kesehatan demi calon anak kamu," pinta Bu Anjani sekali lagi nampak memaksa.Kulihat Khaila marapatkan bibirnya nampak kesa
Saat mencoba mengintai dari balik kaca tebal, kulihat beberapa petugas medis nampak berusaha menangani Yusuf yang tengah melawan masa kritisnya.Lagi, air mata mengalir deras tanpa bisa dihentikan walau sekejap.Setelah memakan waktu sekitar tiga puluh menit beberapa petugas medis yang berseragam serba putih nampak membuka pintu ruangan ICU dan segera keluar.Bersamaan dengan itu, aku dan Bu Anjani segera bangkit dari tempat duduk."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" Bu Anjani dengan wajah tegangnya. Aku pun sama.Dokter tugas mengukir senyum dengan santainya. "Tuhan telah memberikan keajaiban-Nya. Pak Yusuf sudah berhasil melewati masa kritisnya," jawab Dokter.Aku menghela napas lega. "Syukurlah." Sama halnya dengan Bu Anjani.Spontan aku dan Bu Anjani saling berpelukan karena bahagia atas kabar baik yang baru saja diterima. Tangisan yang sempat mengalir deras kini hilang dalam sekejap setelah kabar Yusuf membaik.Setelah itu, Yusuf langsung dipindahkan kembali ke ruangan rawat inap
Aku melebarkan senyuman saat mendengar kata-kata penuh semangat dari Yusuf. Setidaknya kini aku merasa senang. Yusuf sudah membaik. Sampai satu hari setelah itu, Yusuf sudah diperbolehkan pulang. Aku mengantarkan Yusuf ke rumahnya. Aku menyuruh seseorang membawa sepeda motorku ke rumah Yusuf. Sementara aku dan Yusuf menaiki mobil mewah Yusuf yang dikemudikan oleh sekertarisnya.Rumah Yusuf nampak sepi. Hanya ada beberapa pembantu berseragan hitam putih yang menyambut kedatangaku dan Yusuf. Di situ juga terlihat tiga orang pria berseragam hitam berdiri dengan tegap.Aku membantu Yusuf dan memapahnya. Kami berdua berjalan seiringan masuk ke dalam rumah Yusuf yang besar dan mewah. Tak kupedulikan tentang kemewahan isinya, aku mencintai Yusuf tanpa syarat. Perasaan ini tumbuh begitu saja tanpa perduli dengan apa yang Yusuf miliki.Rumah yang kuanggap sepi ternyata salah. Saat masuk ke dalam rumah, kedatangan kami juga disambut oleh Bu Anjani dan suaminya. Di sana juga terlihat, Khaila.S
"Mas, saya ke kamar mandi dulu ya." Aku melonggarkan pelukannya."Di sana." Yusuf meluruskan jari telunjuknya ke arah pintu kamar mandi yang masih berada di ruangan kamarnya.Aku beranjak kemudian melangkah menuju kamar mandi. Begitu aku berada di dalam kamar mandi kudengar suara seorang perempuan masuk dan bicara dengan Yusuf."Aku sudah menjelaskan pada, Khaila. Mas tenang saja. Khaila, mulai memahami semua kekeliruannya." Suara Bu Anjani begitu jelas kudengar."Baguslah. Lagi pula, Mia memang tak bersalah kan. Dia pantas dibela." Kali ini suara Yusuf terdengar menimpali.Segera kutempelkan telinga ini pada pintu, berusaha mendengarkan dengan jelas perbicangan mereka."Tapi Khaila masih belum bisa mengatur sikapnya. Tolong pahami dia, Mas. Hari ini aku dan Mas Dani harus pulang. Sudah ada suster dan asisten rumah tangga yang siap membantu di sini. Mas jangan khawatir." Suara Bu Anjani lagi."Oke. Terima kasih, kamu sudah menyempatkan waktu." Yusuf terdengar menimpali lagi."Iya, Mas
"Khaila, mohon maaf. saya harus ke pantry." Tak mau melayani ocehan Khaila yang menyakitkan itu, aku memilih membalian badan untuk melanjutkan langkahku. Aku akan membuat makan siang untuk Yusuf."Wanita tidak tahu malu!" suara Khaila masih terdengar menghinaku.Namun, aku tak memperdulikannya. Aku tetap dengan langkahku. Kutelan pahit-pahit hinaan dari Khaila. Mungkin api di dalam hatinya masih menyala dan belum bisa padam seiring luka yang membara di dalam dadanya.Aku berusaha menetralkan perasaan. Mengesampingkan ego. Saat ini bukanlah saat yang tepat membela diri di hadapan Khaila. Semakin aku membela diri, sepertinya akan semakin memancing Khaila emosi dan aku tak mau menciptakan keributan di dekat Yusuf.Yusuf baru saja berhasil melewati masa kritis usai serangan jantung menyergapnya. Aku tak mau jantung Yusuf kembali kambuh. Aku ingin Yusuf segera pulih dan sehat kembali seperti sedia kala.Aku akan memasak ikan salmon dan sayuran yang akan dikukus saja. Berharap Yusuf akan me
Aku tetap dengan penolakanku. Bukan menolak rejeki dari, Tuhan. Namun, aku tidak mau belas kasihan orang.Kulihat wajah Reyno kecewa. "Baiklah, Mba Mia," ucapnya."Maaf ya, Pak. Jangan tersinggung. Saya hanya tidak ingin merepotkan siapa pun," balasku. Sejujurnya aku merasa tidak enak, tapi tetap saja aku tak bisa menerimanya."Iya, Mba Mia. Tidak apa-apa." Usai membayar belanjaannya di kasir, Reyno langsung pergi. Begitu pun dengan aku.Kulanjutkan perjalanan menuju rumah sederhanaku. Kedatanganku di sana bahkan disambut dengan kondisi rumah sedikit berdebu karena aku belum sempat membersihkan. Aku tak bisa diam dan berpangku tangan. Aku mengerjakan tugas pekerjaan rumah sebagai mana biasanya ibu rumah tangga.***"Saya ingin bicara dengan kamu." Pemandangan yang mengejutkan di kantor Zubair doang ini. Jenifer sudah berdiri di depanku seraya menyilangkan kedua tangannya menatapku nyalang.Hari ini aku masih menghandle pekerjaan Yusuf. Kekasihku itu belum stabil, belum bisa masuk kan
Aku tersentak. Dia, Jenifer. Nampak berani membentak padahal kami tak saling kenal. Aku kembali duduk bukan karena takut dengan perintahnya melainkan karena ingin tahu maksud wanita dengan rambut pirang ini."Apa maksud anda, Kak Jenifer? Mengapa anda berbicara seperti itu terus. Menghina, mencibir saya. Apa masalah anda dengan saya?" Aku tak merasa takut dengan bentakan Jenifer."Tentu saja kamu bermasalah dengan saya. Kamu telah berani mengambil Yusuf dari saya. Yusuf itu milik saya dan selamanya akan tetap menjadi milik saya!" tekan Jenifer dengan raut wajah penuh ambisi."Saya tidak mengambil Yusuf dari tangan siapa pun!" tegasku tak mau disalahkn.Jenifer nampak menarik sebelah bibirnya ke saamping, tersenyum sinis. "So polos!" cibirnya."Saya tidak punya banyak waktu kalau hanya sekedar membahas sesuatu yang tidak penting. Saya akan pergi saja sekarang," ucapku yang memilih akan segera pamit saja."Tunggu, Mia!" Jenifer kembali menahan niatku."Lepaskan, Yusuf. Tinggalkan, Yusuf
Siang ini 40 hari sudah setelah kelahiran Yusra dan Yumna. Kediaman Yusuf nampak dipenuhi bunga serba putih. Semua dekorasi serba putih. Ini bukan sedang berpesta, melainkam sedang ada acara aqiqah si kembar Yusra dan Yumna.Dua bayi kembar yang lucu yang memakai pakaian muslim ala-ala bayi, sudah dibawa pengasuhnya masing-masing ke tengah-tengah pengajian. Sebagai rasa syukur yang luar biasa pada Tuhan, Yusuf dan Mia menggelar acara pengajian sekaligus aqiqahan untuk bayi kembarnya. Bukan hanya itu, Yusuf dan Mia juga mengadakan santunan anak yatim yang diundang dari salah satu panti asuhan yatim piatu di kota Jakarta. Yusuf berharap, anak-anak yang kurang beruntung itu bisa merasakan kebahagiaan yang kini tengah dia rasakan.Kediaman Zubair dipenuhi banyak jamaah pengajian dan anak yatim piatu yang hadir. Mereka membacakaan dzikir dan puji-pujian. Menggunting rambut si kembar Yusra dan Yumna secara bergantian.Seperti ada cahaya yang terpancar pada bayi kembar Yusra dan Yumna kali i
Benar saja dengan apa yang sudah ditebak sebelumnya. Kediaman Zubair nampak ramai oleh suara tangisan bayi yang silih berganti. Sudah menjadi kebiasaan bayi yang pusarnya belum copot memang agak rewel. Akan tetapi Mia nampak piawai menghandle. Mungkin karena bukan yang pertama kalinya, jadi Mia sudah paham.Bayi kembar yang mungil nampak anteng apabila dalam gendongan Mia. Mungkin karena bayi kembar itu merasakan kenyamanan saat berada di dekat orang tuanya."Kenapa kalian tidak bisa menghandle? Bukankah kalian sudah pengalaman sebagai baby sitter! Dimana keahlian kalian?!" Suara Yusuf terdengar mengeras di kamar anaknya. Dia bicara pada dua pengasuh anaknya."Sstt! Mas, jangan begitu dong." Mia meluruskan jari telunjuknya di depan bibir.Rupanya Yusuf tengah memarahi dua baby sitter anaknya yang tampak tak bisa menghandle tugas. Dua anak kembar Mia dan Yusuf hanya bisa anteng dan tak menangis saat berada dalam dekapan mamanya."Habisnya mereka salah, Sayang. Kamu kan belum benar-bena
Banyak sekali yang harus dipelajari Mia setelah operasi. Mulai dari belajar tidur miring kiri miring kanan, belajar bangun sendiri kemudian sampai berjalan.Yusuf mendukung Mia yang belajar dengan antusias. Saat ini bahkan Mia sudah berada di ruangan rawat inap. Banyak sekali perjuangan yang telah dia lakukan untuk anak kembarnya.Mia juga mulai memberikan asi pertamanya untuk kedua anak kembar, meski pun belum ada asi putih yang keluar. Anak kembar itu juga akan dibantu susu formula karena asi Mia belum keluar dan mungkin tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan dua anak kembar."Sayang, anak kita cantik dan tampan ya. Mirip sekali dengan wajah mamanya. Mamanya cantik sih, jadi anaknya juga cantik dan tampan," kata Yusuf tanpa bisa berhenti menatap wajah anak kembarnya. Rasa syukur pada Tuhan pun ia ungkapkan berkali-kali atas rasa bahagia yang sangat luar biasa."Papanya juga tampan, Mas. Makanya saya jatuh cinta," balas Mia pada suaminya. Dia kini sudah bisa berbicara."Masa sih?" Y
Saat ini Mia masih berada di ruang rawat inap. Operasi akan dilakukan besok siang pukul sepuluh pagi. Mia tengah beristirahat membaringkan tubuhnya di atas bed pasien."Sayang, perutnya masih sakit?" Yusuf mengusap kening istrinya. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Dalam benaknya berkecamuk rasa. Khawatir cemas bercampur jadi satu. Apalagi saat melihat wajah Mia yang terlihat layu."Tak terlalu sakit, Mas. Semoga besok pagi operasinya lancar ya." Suara Mia terdengar lemas. Yusuf mengecup kembali kening Mia. "Sayang, tentu saja saya do'akan semoga operasinya lancar. Kamu dan bayi kita selamat. Kamu harus semangat dan kuat, karena ini adalah impian kita berdua," ia menyemangati."Iya, Mas. Saya akan berjuang. Saya akan semangat," balas Mia.Sejujurnya Yusuf tidak tega melihat Mia yang tiba-tiba meringgis kesakitan. Namun, jadwal caesar memang sudah ditentukan dan surat perjanjian sudah ditanda tangani. Ia tak tega melihat istrinya kesakitan. Andai tak malu dengan diri sendir
Yusuf dan Mia telah sampai di depan rumah sakit. Mereka langsung duduk di kursi tunggu karena nomor antrian telah diambilkan oleh anak buahnya.Yusuf mengusap perut Mia. Walau di depan banyak orang, Yusuf tak mau perduli. Rasa sayangnya pada Mia menutup matanya dari orang-orang yang ada di sekelilingnya."Nyonya Mia Lestari!"Saat namanya dipanggil, Mia dan Yusuf langsung berdiri. Dia segera masuk ke ruang Dokter kandungan.Setelah ditanya-tanya sebentar, Dokter langsung menyuruh Mia berbaring di atas bed pasien. Perut buncitnya dioleskan cairan dan alat USG langsung ditempelkan pada perut Mia.Bola mata Yusuf seketika berkaca-kaca melihat calon anaknya pada layar monitor."Selamat ya, Pak. Tuhan memberikan bayi kembar. Sepertinya jenis kelaminnya sepasang ni," kata Dokter sambil terus menempelkan alat USG di perut Mia. Sementara layar monitir menampilkan hasilnya."Apa! Kembar, Dok?" Yusuf terbelalak. Pun dengan Mia yang terkejut."Serius, Dok?" Timpal Mia. Mulutnya sedikit terbuka k
Pagi hari di cappadocia.Sinar matahari telah masuk menerobos jendela kamar. Keduanya masih asik dalam mimpi indah usai bergelut dalam permainan panas semalam.Mata Mia menyipit saat mulai membuka kelopak matanya. Ia sadar dari mimpi indah semalaman tadi. Ia terkejut saat sadar telah bangun keiangan."Ya ampun! Kesiangan!" Mia bangkit dari tempat tidur. Dia bahkan masih memakai lingerie berwarna silver sisa semalam. Ia menuju kamar mandi dan akan segera membersihkan tubuhnya.Perut mulusnya mulai terlihat membuncit. Mia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terlihat basah. Sepertinya harus segera dikeringkan. Melihat ke atas ranjang, Yusuf tampak masih terlelap dalam tidurnya. Cuaca dingin membuat suami Mia tampak nyaman di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang hanya memakai bokser saja."Sayang, jam berapa?" Suara serak pria yang masih terbaring di atas ranjang, tampak membuka sedikit kelopak matanya. Terlihat kelelahan."Sudah siang, Mas. Cepetan mandi. Katanya mau ng
Satu bulan kemudian."Mas, koper punya saya mana?" Mia mencari koper miliknya. Mereka kini dalam perjalanan menuju bandara. Perut Mia kali ini sudah terlihat menonjol ke depan. Semakin nampak kalau dia tengah hamil.Sejak satu minggu yang lalu semua telah dipersiapkan. Mulai dari tiket, paspor dan perlengkapan yang lainnya. Yusuf juga telah konsultasi ke Dokter kandungan Mia. Beruntung janin yang ada dalam perut Mia dalam keadaan sehat dan bisa diajak jalan-jalan ke luar negri."Sepertinya sudah dimasukan Ijah ke dalam bagasi," jawab Yusuf menerka saja. Padahal dia tak terlalu yakin. Ia mengusap kening mengiyakan saja dari pada salah. Maklum semenjak hamil, Mia jadi sering baperan dan Yusuf paham akan hal itu."Baguslah, Mas. Soalnya saya tak melihatnya tadi. Mungkin karena Ijah telah merapihkannya." Mia bergelayut manja di dada bidang milik suaminya. Sementara supir yang mengemudikan mobil tetap fokus ke jalan raya.Bersamaan dengan itu ponsel Mia nampak berdering ada panggilan masuk
Hampir satu jam Yusuf mengantri di cafe martabak itu. Dia memijat pelipis karena baru kali ini dia rasakan rasanya menunggu sungguh membosankan."Mas, apa masih lama?" Akhirnya memberanikan diri bertanya karena sudah merasa kesal."Sebentar lagi kok, Pak. Hanya tinggal satu orang lagi," jawab pelayan cafe dengan ramahnya."Oke baik." Yusuf memutuskan untuk menunggu lagi. Semua itu semata-mata demi sang istri tercinta yang tengah mengandung buah hatinya.Dengan tambahan waktu lima belas menit akhirnya dua dus martabak pesanan Mia telah selesai dibuat dan kini sudah berada dalam genggaman. Yusuf segera kembali ke rumah. Dia sudah tidak sabar ingin melihat senyuman istrinya malam ini. Apalagi imbalannya yang akan menengok dede bayi dalam kandungan, tentu saja semakin membuat dia semangat.Perjalanan malam ini sangat cepat karena suasana jalanan yang sepi Yusuf tiba di rumah lebih cepat. Ia segera masuk ke kamar menenteng dus martabak pesanan istrinya."Sayang, ini pesanan kamu." Yusuf me
Sampai satu hari berganti, keadaan Mia masih saja tetap sama. Tubuhnya lemas ia tak berdaya. Mual muntah. Setiap kali ada makanan yang masuk maka kembali ia muntahkan.Yusuf yang siaga, segera membawa istrinya ke Dokter. Ia tak akan membiarkan Mia kesakitan.Yusuf kini tengah memunggu di depan ruang pemeriksaan. Salah satu perawat memanggilnya atas perintah Dokter. Dia segera menghadap dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Dokter."Selamat, Pak!" Dokter wanita berlesung pipit itu menyodorkan tangannya ke hadapan Yusuf. Yusuf mengernyitkan dahi saat Dokter yang telah memeriksa istrinya itu malah mengajak berjabat tangan."Selamat untuk apa, Dok?" Yusuf kemudian bertanya karena tak paham."Selamat karena Bu Mia positif hamil. Sebentar lagi Pak Yusuf akan jadi seorang Ayah," jelas wanita berjas putih itu.Tentu saja Yusuf menyeringai senang mendengar berita yang baru saja di dengarnya."Apa!" Yusuf langsung beranjak menghampiri Mia yang duduk di atas ranjang rumah sakit usai dipe