Bu Anjani segera menghapus air matanya. Dia tampak menenangkan diri. "Saya akan bantu. Mba Mia tunggu di sini ya. Saya akan buat suami saya membawa Khaila pulang terlebih dahulu," kata Bu Anjani dan aku segera mengangguk paham.Wanita cantik berparas india itu segera kembali ke depan ruang ICU dimana Khaila dan pria yang ternyata suaminya berada. Sementara aku, hanya mengintai di balik dinding penghalang. Jarak kami dekat, hanya saja aku memastikan kalau Khaila tak dapat mengetahui keberadaanku."Khaila, sebaiknya kamu pulang dahulu. Mas Dani, akan mengantarkan kamu." Suara nyaring Bu Anjani memerintah pada Khaila sehingga aku dapat mendengarnya."Tidak, Mba. Aku akan khawatir dengan keadaan, Mas Yusuf." Khaila langsung menolak. Kulihat dia menggelengkan kepala."Khaila, Mba akan menunggu Mas Yusuf di dini. Kamu harus istirahat. Kamu sedang hamil. Kamu harus jaga kesehatan demi calon anak kamu," pinta Bu Anjani sekali lagi nampak memaksa.Kulihat Khaila marapatkan bibirnya nampak kesa
Saat mencoba mengintai dari balik kaca tebal, kulihat beberapa petugas medis nampak berusaha menangani Yusuf yang tengah melawan masa kritisnya.Lagi, air mata mengalir deras tanpa bisa dihentikan walau sekejap.Setelah memakan waktu sekitar tiga puluh menit beberapa petugas medis yang berseragam serba putih nampak membuka pintu ruangan ICU dan segera keluar.Bersamaan dengan itu, aku dan Bu Anjani segera bangkit dari tempat duduk."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" Bu Anjani dengan wajah tegangnya. Aku pun sama.Dokter tugas mengukir senyum dengan santainya. "Tuhan telah memberikan keajaiban-Nya. Pak Yusuf sudah berhasil melewati masa kritisnya," jawab Dokter.Aku menghela napas lega. "Syukurlah." Sama halnya dengan Bu Anjani.Spontan aku dan Bu Anjani saling berpelukan karena bahagia atas kabar baik yang baru saja diterima. Tangisan yang sempat mengalir deras kini hilang dalam sekejap setelah kabar Yusuf membaik.Setelah itu, Yusuf langsung dipindahkan kembali ke ruangan rawat inap
Aku melebarkan senyuman saat mendengar kata-kata penuh semangat dari Yusuf. Setidaknya kini aku merasa senang. Yusuf sudah membaik. Sampai satu hari setelah itu, Yusuf sudah diperbolehkan pulang. Aku mengantarkan Yusuf ke rumahnya. Aku menyuruh seseorang membawa sepeda motorku ke rumah Yusuf. Sementara aku dan Yusuf menaiki mobil mewah Yusuf yang dikemudikan oleh sekertarisnya.Rumah Yusuf nampak sepi. Hanya ada beberapa pembantu berseragan hitam putih yang menyambut kedatangaku dan Yusuf. Di situ juga terlihat tiga orang pria berseragam hitam berdiri dengan tegap.Aku membantu Yusuf dan memapahnya. Kami berdua berjalan seiringan masuk ke dalam rumah Yusuf yang besar dan mewah. Tak kupedulikan tentang kemewahan isinya, aku mencintai Yusuf tanpa syarat. Perasaan ini tumbuh begitu saja tanpa perduli dengan apa yang Yusuf miliki.Rumah yang kuanggap sepi ternyata salah. Saat masuk ke dalam rumah, kedatangan kami juga disambut oleh Bu Anjani dan suaminya. Di sana juga terlihat, Khaila.S
"Mas, saya ke kamar mandi dulu ya." Aku melonggarkan pelukannya."Di sana." Yusuf meluruskan jari telunjuknya ke arah pintu kamar mandi yang masih berada di ruangan kamarnya.Aku beranjak kemudian melangkah menuju kamar mandi. Begitu aku berada di dalam kamar mandi kudengar suara seorang perempuan masuk dan bicara dengan Yusuf."Aku sudah menjelaskan pada, Khaila. Mas tenang saja. Khaila, mulai memahami semua kekeliruannya." Suara Bu Anjani begitu jelas kudengar."Baguslah. Lagi pula, Mia memang tak bersalah kan. Dia pantas dibela." Kali ini suara Yusuf terdengar menimpali.Segera kutempelkan telinga ini pada pintu, berusaha mendengarkan dengan jelas perbicangan mereka."Tapi Khaila masih belum bisa mengatur sikapnya. Tolong pahami dia, Mas. Hari ini aku dan Mas Dani harus pulang. Sudah ada suster dan asisten rumah tangga yang siap membantu di sini. Mas jangan khawatir." Suara Bu Anjani lagi."Oke. Terima kasih, kamu sudah menyempatkan waktu." Yusuf terdengar menimpali lagi."Iya, Mas
"Khaila, mohon maaf. saya harus ke pantry." Tak mau melayani ocehan Khaila yang menyakitkan itu, aku memilih membalian badan untuk melanjutkan langkahku. Aku akan membuat makan siang untuk Yusuf."Wanita tidak tahu malu!" suara Khaila masih terdengar menghinaku.Namun, aku tak memperdulikannya. Aku tetap dengan langkahku. Kutelan pahit-pahit hinaan dari Khaila. Mungkin api di dalam hatinya masih menyala dan belum bisa padam seiring luka yang membara di dalam dadanya.Aku berusaha menetralkan perasaan. Mengesampingkan ego. Saat ini bukanlah saat yang tepat membela diri di hadapan Khaila. Semakin aku membela diri, sepertinya akan semakin memancing Khaila emosi dan aku tak mau menciptakan keributan di dekat Yusuf.Yusuf baru saja berhasil melewati masa kritis usai serangan jantung menyergapnya. Aku tak mau jantung Yusuf kembali kambuh. Aku ingin Yusuf segera pulih dan sehat kembali seperti sedia kala.Aku akan memasak ikan salmon dan sayuran yang akan dikukus saja. Berharap Yusuf akan me
Aku tetap dengan penolakanku. Bukan menolak rejeki dari, Tuhan. Namun, aku tidak mau belas kasihan orang.Kulihat wajah Reyno kecewa. "Baiklah, Mba Mia," ucapnya."Maaf ya, Pak. Jangan tersinggung. Saya hanya tidak ingin merepotkan siapa pun," balasku. Sejujurnya aku merasa tidak enak, tapi tetap saja aku tak bisa menerimanya."Iya, Mba Mia. Tidak apa-apa." Usai membayar belanjaannya di kasir, Reyno langsung pergi. Begitu pun dengan aku.Kulanjutkan perjalanan menuju rumah sederhanaku. Kedatanganku di sana bahkan disambut dengan kondisi rumah sedikit berdebu karena aku belum sempat membersihkan. Aku tak bisa diam dan berpangku tangan. Aku mengerjakan tugas pekerjaan rumah sebagai mana biasanya ibu rumah tangga.***"Saya ingin bicara dengan kamu." Pemandangan yang mengejutkan di kantor Zubair doang ini. Jenifer sudah berdiri di depanku seraya menyilangkan kedua tangannya menatapku nyalang.Hari ini aku masih menghandle pekerjaan Yusuf. Kekasihku itu belum stabil, belum bisa masuk kan
Aku tersentak. Dia, Jenifer. Nampak berani membentak padahal kami tak saling kenal. Aku kembali duduk bukan karena takut dengan perintahnya melainkan karena ingin tahu maksud wanita dengan rambut pirang ini."Apa maksud anda, Kak Jenifer? Mengapa anda berbicara seperti itu terus. Menghina, mencibir saya. Apa masalah anda dengan saya?" Aku tak merasa takut dengan bentakan Jenifer."Tentu saja kamu bermasalah dengan saya. Kamu telah berani mengambil Yusuf dari saya. Yusuf itu milik saya dan selamanya akan tetap menjadi milik saya!" tekan Jenifer dengan raut wajah penuh ambisi."Saya tidak mengambil Yusuf dari tangan siapa pun!" tegasku tak mau disalahkn.Jenifer nampak menarik sebelah bibirnya ke saamping, tersenyum sinis. "So polos!" cibirnya."Saya tidak punya banyak waktu kalau hanya sekedar membahas sesuatu yang tidak penting. Saya akan pergi saja sekarang," ucapku yang memilih akan segera pamit saja."Tunggu, Mia!" Jenifer kembali menahan niatku."Lepaskan, Yusuf. Tinggalkan, Yusuf
Aku manggut-manggut. Sepertinya aku paham alasan Jenifer memintaku menjauhi Yusuf."Kamu yakin hanya itu saja yang kamu ketahui?" Aku bertanya lagi pada Winda office girl. "Hanya itu saja. Saya tidak tahu apa-apa lagi," tegasnya kepadaku."Yakin?" Aku bertanya lagi tak yakin."Yakin, Bu." Winda tak berani membalas tatapanku. Dia terus menundukan wajahhya."Baiklah. Terima kasih ya atas informasinya. Kamu jangan khawatir, semuanya akan aman dan baik-baik saja," ucapku agar Winda merasa tenang."Iya, Bu. Terima kasih juga atas pengertiannya. Saya tidak mau kehilangan pekerjaan ini, Bu," balasnya yang mulai mengangkat wajah."Tenang saja. Semua aman," tekanku. Dia mengangguk kemudian pergi. Kami berdua berpisah dan melanjutkan aktivitas masing-masing.Aku semakin paham kalau Jenifer masih menginginkan Yusuf kembali. Pantas saja lagi-lagi Yusuf meminta aku berjanji tak akan meninggalkannya. Tapi, kini aku yakin dengan Yusuf. Dia seperti berusaha jujur kepadaku. Aku akan menghargai itu.B