"Yusuf, how are you?" Wanita seksi nan cantik yang baru saja kuketahui bernama Jenifer menyapa Yusuf dengan ramah dan nada suara yang lembut."Kabar saya baik. Silahkan duduk," balas Yusuf pada wanita itu. Namun kulihat Yusuf menampilkan wajah biasa saya.Tak mau berdiam diri dan mengganggu Yusuf dengan tamunya, aku kemudian pamit keluar sesegera mungkin."Kamu mau kemana, Mia?" Seketika pertanyaan Yusuf menahan langkahku."Maaf, Pak. Saya akan kembali ke ruangan saya. Masih ada pekerjaan yang harus saja handle," jawabku apa adanya."Pekerjaan apa?" Yusuf kembali bertanya seakan tak tahu saja dengan pekerjaanku."Besok pagi akan ada jadwal meeting dengan cliant dari Bali, Pak. Saya akan persiapkan berkas dan yang lain-lainnya hari ini," jawabku lagi dengan lancar. Sebenarnya ada yang mengganjal di dalam dada, namun berusaha kutelan agar Yusuf yang curiga."Oh baiklah," ucap Yusuf mengiyakan. Lalu dia duduk di dekat wanita cantik itu.Sementara aku, tentu aku langsung pergi. 'Ingat, Mi
Jangan sampai Yusuf berpikir yang aneh-aneh. Pertanyaanku pada office girl tadi biasa saja, bukan sesuatu yang lebih."Ikut ke ruangan saya dan kita akan bahas bersama dengan, Jenifer," ajak Yusuf seraya menadahkan tangan. Dia pikir aku akan ikut dengannya."Tapi, Pak. Saya masih belum selesai dengan tugas saya. Saya harus menyiapkan tempat dan lain-lainnya untuk meeting besok." Aku membuat alasan yang memang benar seperti itu adanya."Tapi kamu tidak berpikir yang aneh-aneh kan?" Yusuf masih saja menatap, membuatku mengalihkan tatapan ke arah yang lain."Berpikir aneh apa, Pak. Di sini saya kan hanya bekerja, saya tidak akan berpikir yang aneh di luar pekerjaan," balasku sedikit sadis.Aku rasa Yusuf seperti menghela napas kesal sambil menggaruk kening yang bisa dipastikan tidak gatal. Orang bersih seperti dia mana mungkin gatal-gatal."Ya sudah, saya kembali ke ruangan saya. Tolong laporan berkasnya jika sudah siap," pintanya sambil pamit."Iya, Pak." Aku mengiyakan saja.Yusuf kemu
Yusuf sudah berdiri saat aku membuka pintu ruangannya. Dia berpindah tempat duduk ke sofa yang lebih panjang di dekat meja kerjanya."Ini makan siangnya, Pak." Kuletakan paper bag berwarna coklat yang isinya jatah makan siang untuk Yusuf, di atas meja.Aku segera membalikan badan dan berniat akan segera keluar dari ruangan Yusuf."Kamu mau kemana?" tanya Yusuf menahan langkahku."Saya mau ke luar, Pak," jawabku segera. Aku sudah sampai pintu dan bersiap akan menutupnya.Yusuf nampak membuka isi papar bag berwarna coklat. "Ini ada dus porsi. Mengapa tak makan berdua saja di sini?""Saya sudah makan, Pak," jawabku berbohong. Padahal jatah makan siangku belum sempat kumakan."Lalu, mengapa ini ada dua porsi?" Yusuf lagi-lagi bertanya membuat langkahku masih tertahan."Saya pikir untuk cliant, Pak Yusuf. Saya tidak tahu kalau ternyata tamunya sudah pulang," jawabku lagi, dengan nada datar tanpa ekpsresi. Ada sesuatu yang tengah kutahan di dalam dada."Ya sudah, temani saya makan, Mia," pi
Benda bundar di dinding ruangan telah menunjukan pukul dua siang. Aku segera berkemas usai pekerjaan selesai. Ada sekertaris dan orang kepercayaan Yusuf yang lainnya di kantor. Aku berjalan dengan langkah yang berat rasanya.Kulajukan kendaraan roda duaku menuju rumah sakit harapan kita dimana Yusuf kini dirawat. Jika ini suatu kebohongan, mengapa isi dadaku terasa sendu dan lemas. Tapi, entah mengapa aku berharap ini suatu kebohongan agar atasanku itu dalam keadaan sehat-sehat saja.Perjalanan yang harusnya sampai dalam waktu lima menit, nyatanya harus tertunda. Aku melewati durasi yang jauh berbeda. Laju sepeda motorku tersendat di tengah perjalanan terjebak macet."Sial!" Aku menghentakan kepalan tangan si atas setang motor. Sudah setengah jam lebih aku tak dapat menyalip karena macetnya cukup parah sehingga tak ada celah untuk menyalip.Berkali-kali aku melirik benda bundar yang melilit pergelanga tangan. Sekedar memastikan waktu saja. Rasa khawatir terus saja menyeruak tajam.Set
Yusuf tak menjawab. Dia hanya mengedipkan kedua matanya, kemudian kembali memejamkan kedua matanya. Terlihat seperti lemas tak berdaya seperti sebelumnya-sebelumnya.Kulihat telapak tangannya masih diletakan diatas punggung tanganku. Tak ada genggaman yang seperti biasanya. Tangan Yusuf lemas. Ada apa sebenarnya dengan dia, mengapa keadaannya jadi kacau seperti ini.Sampai saat aku bisa bertemu dengan Dokter ketika jadwal pemeriksaan Yusuf pagi hari telah tiba. Aku resah semalaman karena Yusuf terus saja tertidur lemas. Ini tak seperti biasanya. Tak ada makanan yang masuk ke dalam perut Yusuf walau aku telah berusaha mencoba menyuapinya.Aku menceritakan keadaan resahku semalaman pada Dokter pribadi Yusuf yang kebetulan pukul delapan sudah datang memeriksakan keadaan Yusuf."Pola makan tidak sehat dan sepertinya akhir-akhir ini Pak Yusuf banyak beban pikiran sampai stres. Itulah penyebab awal asam lambung Pak Yusuf naik sehingga berimbas pada jantungnya yang memang sudah bermasalah se
"Makan dulu ya. Buka mulutnya dong." Yusuf sedikit membuka mulutnya. Dia memakan sarapan yang aku berikan. Walau sedikit lemas dan layu, aku lihat ada senyuman yang menggaris tipis di bibirnya. Aku sedikit lega. Yusuf yang awalnya bersi kukuh tak mau makan, kini akhirnya menghabiskan sarapannya sampai suapan paling akhir kuberikan."Kamu sudah makan, Mia?" Usia meneguk air minum, Yusuf bertanya penuh perhatian."Jangan pikirkan saya. Saya sehat dan aman. Saya akan makan saat lapar. Yang paling penting, Mas Yusuf. Harus cepat pulih." Aku berbicara dengan lembut.Kulihat Yusuf kembali mengukir senyum. Nada bicaranya juga tak bergetar lemas seperti sebelumnya. Kini terdengar lebih bertenaga.Dia mampu menggenggam tanganku lagi. Aku yang sedari tadi duduk di kursi dekat ranjangnya menyeringai senang bukan karena genggamannya, tapi karena kini tangan Yusuf sudah kembali ada tenaganya."Mia, apa kamu sudah tidak marah lagi?" Yusuf bertanya. Telapak tangan kanannya masih menggenggam tangank
"Khaila, apa-apaan ini! Tolong jangan seperti ini." Aku berusaha menahan tubuhku yang diseret paksa oleh Khaila, ke arah pintu keluar."Pergi dari sini!" Sambil terus saja bersaha mendorong tubuhku keluar ruangan, Khaila memaksa dengan sedikit tenaganya.Bisa saja aku melawan Khaila. Kekuatan Khaila tak ada apa-apanya dibandingkan aku yang tak hamil. Tapi, aku tak dapat melawan Khaila. Dia tengah hamil. Aku juga tahu, kalau Khaila baru saja sembuh dari depresi akut yang menyerang otaknya.Aku menurut saja. Tak bisa membantah. Khaila menutup rapat pintu ruangan Yusuf. Aku berdiri di luar tanpa bisa berusaha kembali masuk.Ada apa dengan, Khaila? Mengapa wajahnya nampak murka terhadapku. Bukankah sekarang Khaila dengan sembuh dari depresinya, lalu mengapa dia begitu murka saat melihatku. Apa yang salah denganku?Aku mengatur napas berusaha tenang. Aku harus mengalah. Lagi pula, aku tak bisa membuat bising di rumah sakit. Kaki ini belum bisa melangkah. Aku masih berdiri menatap pintu mas
Satu hari telah berlalu. Aku masih saja tak mendengar kabar dari Yusuf. Dia juga tak terlihat di ruangan kantornya. Aku tak menemukan Yusuf di kantor. Apa Yusuf belum pulang dari rumah sakit?Keresahan ini tak bisa kubiarkan. Saat nomor telepon Bu Anjani tak bisa dihubungi, aku tak mau menunggu lama. Aku berinisiatif pergi ke rumah sakit sajaLangkahku tak bisa dicegah. Aku dalam perjalanan menuju rumah sakit harapan kita. Perjalananku juga cukup lancar tak terhalang macet.Tak butuh waktu lama, aku telah tiba di depan rumah sakit. Segera kuparkirkan kendaraan roda duaku. Dengan langkah yang cepat segera ku susuri koridor rumah sakit, naik lift hingga sampai di depan pintu ruangan Yusuf.Aku mengatur napas terlebih dahulu. Aku hanya berharap, jika di dalam ada Khaila semoga adik kandung Yusuf itu tak akan marah-marah seperti kemarin lusa.Kuputar handle pintu lalu membukanya. Tak ada suara yang menyambut kedatanganku. Kulanjutkan langkah lebih ke dalam ruangan. Tak ada siapa-siapa. Ra