Yusuf membeliak ke arahku. Sepertinya dia terkesiap. Aku sampai turut serta kaget melihat ekspresi wajah Yusuf yang seperti itu."Apa maksud kamu, Mia?" Dengan tatapan serius Yusuf bertanya kepadaku."Ya tidak ada maksud apa-apa, Mas. Saya cuma ingin bertanya saja itu pun kalau Mas Yusuf membolehkan. Misi apa yang Mas Yusuf berikan pada Rusli kala itu?" Dengan hati-hati aku berbalik tanya."Kan sudah saya katakan. Saya ada misi dengan lawan saya. Itu tidak ada urusannya dengan kebakaran rumah kamu, Mia. Saya tidak pernah menyuruh Rusli membakar rumah kamu. Saya tekankan, sata tidak ada hubungannya dengan kebakaran rumah kamu!" Dengan tegasnya Yusuf tampak berusaha meyakinkanku.Aku sangat tercengang. Aku tak melemparkan tuduhan apa-apa pada Yusuf. Tapi, pria kekasihku ini tampak membela diri dengan yakinnya. Apa yang dia pikirkan? Apa Yusuf mengira kalau aku telah menuduhnya?"Maaf, Mas. Sungguh saya tidak bermaksud menuduh, Mas Yusuf. Saya hanya bertanya, berharap Mas Yusuf mampu men
Aku yang tercengang berusaha memperbaiki pandangan. Pandanganku tetap sama. Yang kulihat memang benar adanya. Pria yang bukan bersama Rosa adalah Rusli. Setelah sekian bulan dia menghilang, kini muncul kembali bersama wanita lain. Wanita itu bukanlah Rosa yang bersamanya dahulu.Kuambil ponsel pintarku. Kupotret Rusli dan wanita tak dikenal itu dengan kamera ponselku. Akan kusimpan siapa tahu suatu saat membutuhkannya. Aku memang tak lagi melanjutkan penyelidikan itu. Namun, tetap saja rasa penasaran kembali memanas saat melihat wajah Rusli yang seolah tak bersalah.Setelah acara musik selesai, Siska bergegas mengantarkanku pulang setelah kami makan malam bersama. Aku sungguh penasaran dengan Rusli.Saat selesai mandi, aku tak langsung tidur. Aku duduk di sofa ruang tengah seraya mengusap layar ponsel. Aku masih ingat saat sempat menyimpan nomor ponsel Rosa tempo lalu.Aku akan menelepon Rosa. Kutempelkan benda pipih itu pada telinga."Hallo, Mba Tari!" Suara Rosa yang langsung menyap
"Mas kok bicaranya seperti itu sih. Saya kan tidak kemana-mana," balasku yang merasa aneh pada Yusuf. Dia menatapku begitu dalam. Dia seolah takut kehilanganku."Tidak apa-apa, Mia. Saya hanya ingin kamu tahu saja kalau saya benar-benar tulus dengan ucapan saya," tekan Yusuf yang tampak berusaha meyakinkanku. Dia masih menggenggam tangan ini. Seperti sulit melepaskan.Bola mataku kembali berkaca-kaca mendengar ucapan Yusuf. Merasa turut sendu. "Iya, Mas. Terima kasih ya. Terima kasih atas cinta kamu. Percayalah, saya hanya butuh waktu saja untuk meyakinkan diri ini dari rasa trauma masa lalu," tuturku.Kulihat Yusuf mengangguk paham. "Iya saya paham, Mia. Saya hanya ingin kamu tahu saja dengan perasaan ini yang tidak main-main," lanjutnya.Yusuf seperti sudah tak malu-malu lagi mengungkapkan perasaannya di kantornya. Dia juga tak malu-malu menggandengku kemana pun. Padahal aku hanyalah wanita biasa yang bisa dibilang tak berkelas sepertinya."Hari ini, saya ingin mengantarkan kamu pu
"Siapa orangnya?" Aku bertanya segera. Aku sudah penasaran dengan jawaban Rosa."Berani bayar berapa?" Rosa menantangku.Aku baru saja ingat dengan Rosa yang mata duitan. Aku cukup memahaminya. Rosa pasti butuh uang sepeninggal Rusli. Dia yang ternyata sudah tak memiliki orang tua, nyatanya akan kebingungan setelah Rusli meninggalkannya bersama wanita lain."Saya hanya ada uang satu juta di dalam dompet. Itu pun kalau kamu bersedia menerimanya. Saya belum gajian, jadi balum memiliki uang," kilahku. Padahal saldo di ATM sudah terisi saat gajian kemarin. tapi, itu untuk biayaku sehari-hari. Rasanya tak bisa aku memberi banyak-banyak uang pada Rosa. "Tak apa. Rusli sudah pergi dengan wanita lain. Dia tak lagi perduli denganku, maka aku pun tak akan perduli dengannya," ucap Rosa mengandung dendam pada nada bicaranya.Aku menyeringai. Uang satu juta ternyata diterima Rosa. Semoga saja kebencian Rosa pada Rusli, bisa menguntungkanku."Jadi, siapa yang menyuruh Rusli membakar rumah di golde
Saat ini, mentari terlihat sudah berada di ufuk barat. Kata hati mengantarkanku pada sebuah rumah yang mewah dan megah. Gerbang yang tinggi membuat sepeda motorku berhenti di depannya.Aku memanggil security yang bertugas menjaga gerbang. Wajahku mungkin terlihat layu. Aku masih berusaha menenangkan diri. Mengatur napas yang sedari memburu dan memanas di dalam dada.Gerbang yang tinggi telah dibuka oleh security yang sudah mengenal wajahku. Dengan sopan pria berseragam serba hitam itu membungkuk saat aku melewatinya.Tak ada yang aku pikirkan lagi selain mendatangi Yusuf detik ini juga. Aku harus mendapatkan kejelasan. Aku harus memastikan semuanya. Karena jika iya, maka alasan apa yang membuat Yusuf tega terhadapku.Kaki yang terasa lesu segera turun dari kendaraanku. Aku melangkah dengan berat menuju pintu utama. Belum sempat tangan ini menekan bell, tiba-tiba asisten rumah tangga di rumah Yusuf membuka pintu. Sepertinya sudah tahu dengan kedatanganku. Mungkin laporan dari security
Yusuf tiba-tiba terlihat cemas. Terlebih saat menyadari sikapku yang tiba-tiba dingin kepadanya. Dia berusaha meraih tanganku, namun segera kuhempaskan."Ada apa, Mia? Kamu kenapa?" Yusuf bertanya lagi seraya menampilkan wajah keheranan dan penasaran.Di waktu yang bersamaan pula, suara ponselku terdengar membunyikan dering panggikan masuk. Aku mencoba mengabaikan namun dering panggilan masuk tetap tak mau berhenti.Aku memutar bola mata kesalku. "Saya ambil handphone dulu, Mas," pamitku beranjak dari tempat duduk kemudian berjalan masuk ke dalam kamar. Kuambil ponsel di atas nakas. Kulihat layarnya. Sang penelepon berkali-kali itu ternyata, Siska. Sudah lima panggilan tak terjawab. Siska bahkan berusaha menelepon ulang. Khawatir ada yang penting, gegas kugeser tombol berwarna hijau dan menjawab telepon masuk dari Siska."Hallo, Sis!" Aku menyapa begitu benda pipih itu aku tempelkan pada telinga. Aku masih berdiri di kamar yang berada di dekat ruang tamu."Mia! Kamu kemana saja? Aku
"Bohong apa, Mia?" Yusuf bertanya lagi.Entah dia pura-pura tidak mengerti, atau memang tak mengerti. Entahlah, yang aku rasa di dalam hati ini hanyanya emosi yang seolah tengah membara namun berusaha kutahan.Rasanya, ini bukan saat yang tepat untuk membahas masalah dengan Yusuf. Saat ini kami sudah tiba di depan rumah duka yang sudah ramai oleh orang-orang yang melayat."Kenapa, Mia?" Yusuf bertanya lagi mungkin dia penasaran dengan jawabanku."Lupakan dulu, Mas. Jangan bahas sekarang. Bukan waktu yang tepat. Kita keluar ya," ajakku berusaha dengan tenang. Aku berusaha menelan dan mereda emosi di dalam dada. Aku memahami situasi saat ini.Aku dan Yusuf keluar dari mobil. Kami berjalan seiringan melewati deretan orang-orang yang menatap kami nanar. Kami masuk ke dalam rumah yang terpajang bendera kuning di depannya. Bendera yang menggambarkan duka pada isi rumah tersebut.Saat hendak masuk, kudengar suara sirine ambulance yang menahan langkahku. Aku dan Yusuf menghentikan langkah dan
Aku menatap bola mata Yusuf. Akan kupastikan dia tidak berbohong dengan jawabannya."Jawab, Mas? Kenapa kamu melakukan itu semua? Apa salahku?" tanyaku lagi lirih.Yusuf menurunkan tatapannya. Dia menunduk lesu. Dadanya tampak kembang kempis mengatur napas. Sepertinya dia tak akan bisa lagi mengelak dari pertanyaanku. Padahal aku yakin dia bisa lari dan meninggalkanku. Tapi aku tak melihat itu dari tatapannya. Dia menunduk dalam diam. Seperti tengah mencerna jawaban yang akan dia keluarkan."Jawab, Mas!" tekanku lagi."Maafkan saya, Mia. Kesalah pahaman membuat saya khilaf," desisnya menjawab dengan berbisik. Nada suaranya berat. Dia seperti kesulitan berbicara."Khilaf! Apa maksudnya?" Aku bertanya lagi tanpa memberi jeda."Dulu, saya pikir kamu dan anak kamu bersekongkol. Saya pikir kamu adalah pelaku utama yang membuat Khaila depresi. Saya merasa hancur saat melihat Khaila setiap hari histeris dalam kesedihannya. Hidup dan masa depan Khaila seolah hancur. Saya sebagai kakaknya mera