"Tidak!" Dengan tegasnya pria sangar bernama Rusli itu menjawab. "Anda berkata, kalau anda hanya butuh referensi untuk naskah anda. Tidak dengan siapa pelakunya dan siapa korbannya!" imbuhnya lagi dengan tegas.Aku mengatur napas ketakutan. Ucapan Rusli si pria sangar itu sungguh menakutkan. Tapi, aku tetap berusaha tenang. Ini tempat ramai. Lagi pula ada Siska di dekat tempat dudukku yang siap membantu jika aku dalam bahaya."Baiklah, Tuan Rusli. Saya minta maaf. Mungkin pertanyaan saya lebih ke ramah privacy anda. Oke, silahkan lanjutkan ceritanya, Tuan. Saya akan siap mencatatnya."Aku yang berpura-pura mengetik di layar ponsel mencatat kata demi kata yang Rusli jelaksan. Aku hanya berharap Rusli akan keceplosan mengatakan lokasi rumah yang dia bakar dan siapa dalangnya.Di sela-sela menulis, aku menyempatkan mengirimkan pesan whatsup pada Siska. Aku meminta Siska tetap standby merekam percakapan Rusli dan Rosa setelah aku pergi nanti.Hampir tiga puluh menit sudah Rusli bercerita
Perbicangan mengenai rencana malam ini sudah selesai. Siska langsung pulang ke rumahnya. sementara aku memilih merebahkan tubuh di atas ranjang. Aku juga sudah memindahkan rekaman bukti percakapan dengan Rusli tadi siang.Ah, sudah tidak sabar rasanya ingin segera besok dan melancarkan ancaman pada Rusli.Baru saja bola mata ini akan menutup, tiba-tiba suara ponselku mengeluarkan deringnya pertanda ada panggilan masuk.Gegas kuambil ponsel yang ada di atas nakas. Kulihat sang penelepon malam ini adalah Yusuf. Bibir ini mengulum senyum. Lelaki itu memang selalu membuat perasaanku berwarna.Tanpa pikir panjang, gegas kugeser tombol berwarna hijau pada layar ponselku. Kutempelkan benda pipih itu pada telinga."Hallo!" sapaku dengan lembut pada pria di sebrang sana."Hai, Mia. Kamu sudah tidur?" Yusuf terdengar bertanya dengan lembut."Belum sih," jawabku malu-malu. Bagaimana tidak, saat ini pria atasanku itu nyatanya telah menjadi kekasihku."Kenapa?" Yusuf bertanya lagi. Sepertinya dia
Sore ini dengan debaran jantung yang terasa tegang. Isi dada terasa resah dan penasaran. Kendaraan roda dua ku perlahan melaju membelah jalan raya yang masih terlihat ramai oleh lalu lalang kendaraan.Aku sengaja tak terlalu buru-buru dan lebih berhati-hati dalam mengendarai sepeda motorku.Dua orang pria bertubuh tinggi kekar telah berdiri di depan brown caffe saat aku sampai di sana. Mereka tak didampingi Siska. Sahabatku itu tak bisa mendampingiku karena suaminya baru saja tiba dari luar kota.Aku memarkirkan kendaraanku lalu berjalan sedikit mendekati dua pria sangar di depanku. Aku sedikit hapal wajah mereka karena sudah menerima kiriman poto dari Siska terlebih dahulu."Tolong kalian mencari tempat duduk tak jauh dari saya. Pastikan keamanan saya dari seorang pria yang akan saya temui sekarang," pintaku dengan tegas pada dua bodyguard kiriman Siska.Mereka menganggukan kepala dengan serentak. "Siap!" jawabnya dengan tegas."Berpura-pura tidak mengenal saya terlebih dahulu. Saya
Rusli terdiam dengan suara gigi bergemuluk. Tampaknya dia marah sambil sesekali melihat ke arah dua bodyguard yang ada di sampingku."Anda jangan macam-macam. Saya bisa menyeret anda detik ini juga ke kantor polisi." Salah satu bodygyard di sampingku tampak menimpali."Tuan Rusli, tenang saja. Nama anda akan aman. Saya jamin itu," tekanku lagi.Rusli memicingkan mata. Bentuk bibirnya juga masih tampak mengerut. "Bagaimana bisa saya percaya dengan penipu seperti anda!" sergahnya."Saya tidak suka basa-basi. Katakan sekarang juga, atau polisi yang akan lebih kejam menghukum perbuatan anda, Tuan Rusli!" Aku semakin dibuat kesal. Emosi memuncak seperti naik ke atas ubun-ubun."Tidak!" Dengan tegasnya Rusli masih mempertahankan jawaban yang sebenarnya.Aku kemudian mengambil selembar kertas surat perjanjian di atas materai. Isinya adalah sebuah perjanjian tertulis kalau Rusli akan aman jika dia berkata jujur karena aku tak akan memperkarakannya. Akan tetapi, aku tak akan tinggal diam jika
"Kamu tahu dari mana kalau Rusli pelakunya?" Yusuf bertanya lagi. Namun kali ini nada suaranya terdengar tenang. Tak seperti awal pertama datang tadi."Saya menyelidikinya sendiri, Mas. Saya hanya ingin membuktikan kalau perkiraan saya benar." Dengan kesalnya aku menahan emosi di dalam dada."Kamu cerdas juga, Mia. Kamu bisa tahu tentang Rusli dan mendapatkannya." Yusuf memujiku tapi tak membuatku merasa senang. Aku bahkan merasa bodoh sekali. Bisa dibilang telat mikir. Aku mengusap dahi. Isinya sedikit puyeng."Tapi sudahlah, Mia. Lupakan saja tentang, Rusli. Saya akan ganti rumah kamu. Saya akan belikan rumah baru untuk kamu," sambung Yusuf tiba-tiba mengejutkan bola mataku."Tidak perlu, Mas. Kamu tidak usah mengganti rumah saya yang terbakar karena bukan kamu pelakunya. Saya hanya ingin pelakunya ditangkap dan dihukum seberat-beratnya," tekanku."Iya saya tahu. Saya hanya ingin meringankan beban kamu. Saya rasa mengurus hal seperti itu akan sangat menguras tenaga dan pikiran kamu.
"Apa maksudnya?" Rosa bertanya seakan pura-pura tak paham."Saya yakin kamu paham dengan ucapan saya. Siapa yang menyuruh Rusli membakar rumah di golden residence?" Dengan tegas aku kembali bertanya.Rosa segera menggelenglan kepala. "Mana saya tahu. Yang saya tahu bos besar yang membayar Mas Rusli adalah pengusaha bernama, Pak Yusuf Zubair. Saya tidak tahu perintah Pak Yusuf yang mana," jawab Rosa dengan yakin.Sedikit lesu isi dada ini. Aku mengusap wajah dengan kasar. Ini bukan tentang Yusuf. Kekasihku tak tahu menahu soal kebakaran rumahku."Apa ada Bos besar yang lain yang membayar, Rusli?" Gegas kubertanya lagi. Aku masih saja belum menemukan jawaban apa-apa.Dengan pelan, Rosa kembali menggelengkan kepala dengan menampilkan wajah keheranan. "Saya tidak tahu lagi. Hanya Pak Yusuf Zubair, pengusaha yang terakhir kali mengucurkan dana yang sangat besar kepada Mas Rusli," terang Rosa. Raut wajahnya menampilkan kejujuran. Aku bisa menerkanya.Lagi, aku menggelengkan kepala. Mengapa
"Apa!" Desisku dalam keterkejutan."Iya, Mia. Lihat dia sekarang. Fery benar-benar down. Dia bahkan jarang berbicara. Kadang dia memukul-mukuli dirinya sendiri karena menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi. Semua telah terjadi. Yang bisa dilakukan saat ini hanyalah melakukan mengobatan. Semoga dengan ini, Tuhan masih memberikan kesempatan pada Fery untuk bisa sembuh," terang ibunya Fery.Entah harus senang apa sedih dengan berita tak baik ini. Satu sisi Fery sudah terkena imbas atas kejahatannya kepadaku. Tapi sungguh sebagai manusia, aku merasa iba dan turut berduka dengan musibah yang dialami Fery. Penyakit kronis yang diidapnya cukup mematikan, begitu tutur ibunya.Padahal, aku sudah berniat ingin menjebloskannya ke dalam penjara setelah mendapatkan bukti kalau dia yang telah menyuruh Rusli membakar rumahku."Mia, maafkan semua kesalahan saya." Fery berdesis dari samping ibunya. Dengan suara lemas bergetar ia meminta maaf kepadaku.Kata maaf itu juga, merupakan ucapan yang kesekian kal
Yusuf membeliak ke arahku. Sepertinya dia terkesiap. Aku sampai turut serta kaget melihat ekspresi wajah Yusuf yang seperti itu."Apa maksud kamu, Mia?" Dengan tatapan serius Yusuf bertanya kepadaku."Ya tidak ada maksud apa-apa, Mas. Saya cuma ingin bertanya saja itu pun kalau Mas Yusuf membolehkan. Misi apa yang Mas Yusuf berikan pada Rusli kala itu?" Dengan hati-hati aku berbalik tanya."Kan sudah saya katakan. Saya ada misi dengan lawan saya. Itu tidak ada urusannya dengan kebakaran rumah kamu, Mia. Saya tidak pernah menyuruh Rusli membakar rumah kamu. Saya tekankan, sata tidak ada hubungannya dengan kebakaran rumah kamu!" Dengan tegasnya Yusuf tampak berusaha meyakinkanku.Aku sangat tercengang. Aku tak melemparkan tuduhan apa-apa pada Yusuf. Tapi, pria kekasihku ini tampak membela diri dengan yakinnya. Apa yang dia pikirkan? Apa Yusuf mengira kalau aku telah menuduhnya?"Maaf, Mas. Sungguh saya tidak bermaksud menuduh, Mas Yusuf. Saya hanya bertanya, berharap Mas Yusuf mampu men