"Apa itu, Mas?" Sintya melangkah mendekat ke arah sang suami. "Topeng ...," ucap Kevin sembari menunjukkan benda yang ia pegang tepat di depan Sintya. "Loh?!" Sintya terkejut luar biasa saat melihat benda itu. Bibirnya melongo sempurna, karena saking terkejutnya, Sintya sampai tak bisa berkata-kata. Tenggorokannya seperti tercekat, hingga membuat suaranya seperti berhenti di tenggorokan miliknya. Seketika pandangan Sintya menjadi nanar. Kedua bola mata itu mulai berkaca-kaca. Semakin "Kamu mengenali topeng ini?" Cepat Sintya membekap mulutnya sendiri kala ia sudah sedikit tersadar. Tadi, tubuh Sintya seperti mati rasa. Jangankan untuk bergerak, sekedar bernapas pun terasa begitu sesak. "Kamu mengenalinya, Sintya?" Sintya mengangguk patah-patah. Cairan bening yang semula menggenang, kini sudah menjadi gumpalan yang bersarang di kedua sudut matanya, hingga sekali kedip saja, air mata itu meleleh begitu saja. Menyadari ekspresi yang ditunjukkan oleh Sang Istri. Cepat Kevin memelu
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 213"Kan lain waktu bisa dilanjut lagi. Tak apalah, yang terpenting dua kali sudah aku mencicipi tubuh Sintya meskipun hanya sedikit sekali. Ha ha ha ....""Tapi aku yakin suatu saat nanti aku akan benar-benar berhasil menyetubuhi wanita yang menjadi adik iparku itu. Dan di saat itulah aku berharap kalau Kevin dan istrinya bercerai biar nanti aku yang akan masuk ke dalam kehidupan Sintia dan menghapus air matanya yang menganak sungai. Sedangkan kamu juga bisa memiliki kesempatan untuk mendekati Kevin bukan?"(....) "Apa? Kalau aku ditangkap polisi? Menurut kamu apa yang akan kamu lakukan jika dirimu sudah diperkosa. Apakah kamu masih punya keinginan untuk melanjutkan hidup? Kurasa tidak. Begitu juga dengan Sintia. Dia pasti sangat merasa hidupnya hancur berantakan. Apalagi kalau Kevin sampai meninggalkannya karena jijik istrinya yang alim dan solehah telah benar-benar ternodai."(....) "Itu bisa dipikirkan nanti. Bisa juga kita bikin rencana jebak K
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 214"Aku juga gak tau, Ibu gak ada ngasih tau soal apa-apanya. Hanya menyuruh kita pulang karena ada sesuatu yang sangat penting dan itu menyangkut soal aku, kamu, dan juga Mas David.""Soal aku? Maksudnya? Ada apa memangnya? Apa mungkin …?" Sintia dan Kevin lantas saling berpandangan. Sepertinya apa yang ada di dalam pikiran mereka itu sama. Semua itu ada kaitannya dengan topeng dan bius yang ditemukan di kamar yang dipakai David. "Kamu memiliki pemikiran yang sama dengan aku, Sayang?" tanya Kevin pada Sintia. Sintia pu mengangguk dengan yakin sembari menatap wajah Kevin. "Lalu? Apa kita mau pulang? Sepertinya ini semua ada sangkut pautnya dengan masalah yang menimpa kita akhir-akhir ini." "Hemmm aku sih sangat mau kalau memang itu untuk urusan memberi pelajaran sama Kakak kamu. Ditambah lagi akan bertemu Ibuku yah anggap saja kita sedang berkunjung.""Terus orang tua kamu gimana?""Memangnya kenapa sama orang tua aku, Mas?""Ya entar dibolehin g
Pov David**"Raya?" lirihku saat melihat sosok perempuan yang pernah singgah di hatiku. "Apa itu suaminya?" lirihku bertanya pada diri sendiri sembari menatap ke arah mereka. "Lalu siapa anak kecil itu?" Pandangan yang semula beralih pada sosok anak kecil itu kembali tertuju pada lelaki yang duduk di depan Raya. Sosok yang sepertinya sangat tak asing bagiku. Aku mencoba semakin menelisik wajah yang menurutku lumayan tampan itu. Tapi masih jauh lebih tampan aku. Aku melempar ingatanku ke masa lalu. Seketika aku teringat jika sosok itu adalah pengacara yang dulu mengurus perceraianku dengan Raya di masa lalu. "Mau pesan apa, Pak?" Tiba-tiba suara itu membuatku mengalihkan pandanganku dari wanita masa laluku. Aku mendengkus kesal. "Mbak pergi saja, nanti aku panggil kalau emang pesan," celetukku dengan sedikit ketus. "Baik, Pak." Pelayan itu sedikit membungkukkan tubuhnya dan berlalu pergi. Dadaku semakin terasa berdenyut saat melihat Raya dan juga lelaki itu saling melempar s
Akhirnya David pun melangkah menuju ke arah jalan raya, dihentikannya taksi yang melaju di antara kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Berkali-kali David berusaha menghentikan laju taksi, akan tetapi tak membuahkan hasil. David mendengkus kesal, apalagi beberapa orang yang berjalan dan melewatinya menatap David dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Wajar saja, sebab wajah David yang babak belur dengan cairan merah segar yang meninggalkan jejak di sudut bibirnya. Beberapa menit kemudian akhirnya lelaki itu berhasil mendapat taksi yang siap mengangtarkan ia pulang. Ya, David memilih pulang. Tak mungkin ia melanjutkan jalan-jalannya dengan kondisi wajah yang begitu mengerikan. Takutnya, ia akan dikiran seorang penjahat atau pun pencopet yang sedang menjalankan aksinya, ketahuan, lalu dihajar masa. David menyebutkan alamat rumah yang ditinggali olehnya dan sang ibu, sang sopir pun membalas dengan anggukan. Hingga akhirnya, roda empat itu melesat membelah jalan raya menuju alam
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 217Lagi, Kevin dan Sintia saling berpandangan. Setelahnya ia menatap sang ibu yang merogoh saku dasternya. Mengambil benda pipih itu lalu mengulurkan ke arah dirinya.Kevin menghidupkan ponsel yang Arita berikan dan ia memasang telinganya baik-baik. Begitupun juga dengan Sintia yang dengan seksama melihat dan mendengar apa yang akan ponsel itu katakan. Detik dan menit berlalu, ponsel tersebut terus aja memutar hasil rekaman saat David tengah berbicara di telepon. Selama itu juga baik Kevin dan juga Sintia saling menggelengkan kepalanya mendengar penuturan dari David pada seseorang di ujung telepon sana yang entah itu siapa. Ah, tapi sebenarnya di otak Kevin dan juga Sintia sudah bisa menebak siapa lawan bicara David saat di telepon itu. Hanya saja mereka masih belum menemukan bukti yang akurat soal pemikiran mereka. Takutnya mereka malah akan membuat fitnah bagi tersebut. Alhasil keduanya masih sama-sama bungkam soal siapa yang berbicara dengan Da
"Ada apa, Bu?" ucap Kevin sembari tergopoh-gopoh melangkah mendekati sang ibu. Jika Kevin hanya terfokus pada tubuh Arita, berbanding terbalik dengan Sintya yang sejak beberapa langkah keluar kamar, ia sudah mendapati David yang sudah berdiri di sana. Sintya tergugu. Bahkan, kedua telapak kakinya seperti tengah menancap kuat pada lantai itu, hingga membuat tubuh Sintya hanya diam membatu. Sintya ingin kembali ke kamar, akan tetapi Sintya serasa tak mampu untuk mengangkat kedua kakinya. Sintya hanya mampu menutup mulutnya rapat-rapat.Ya, hanya itu yang mampu ia lakukan. Kevin yang baru saja berhenti tepat di samping Arita pun baru menyadari kehadiran kakak angkatnya itu. Sedikit terkejut yang dirasakan oleh Kevin. Setelahnya Kevin menatap David dan juga Sintya secara bergantian. Kevin langsung tersadar begitu ia melihat senyum penuh arti terbit dari bibir David. Merek sama-sama lelaki, pasti paham arti tatapan dan juga senyuman itu. Kevin menatap tepat wajah Sintya, setelahnya
"Apa kata tetangga, Bu, kalau mereka lihat Kevin pulang tapi nggak bermalam di rumah ibunya. Nanti dikira-kira David lagi yang nggak mau terima!" David memberikan alasan yang sebenarnya masuk akal. Andai saja Arita dan juga Kevin tak mengetahui kebusukan dan kebejatan dari diri David, mungkin Kevin akan mengurungkan niat untuk menginap di hotel. "Nggak kok, Mas. Mas David tenang saja. Andai kata tetangga berkomentar abaikan saja, apa peduli komentar tetangga. Yang terpenting hubungan kita baik-baik saja," ucap Kevin menjelaskan. Mendengar ucapan Kevin, David hanya mampu menghela napas dalam-dalam dan dikeluarkannya secara perlahan. David kali ini merutuki nasibnya. Baru saja ia merasa senang karena target di depan mata, kini David kehilangan targetnya begitu saja. Hilang harapannya saat ia bisa mencumbu dan menyentuh setiap inchi kulit mulus dan lekukan sempurna tubuh iparnya itu. "Ini kena apa sih, Vid? Kok luka-mu bisa seperti ini? Kayak habis ditonjokin banyak orang. Jangan-ja