SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 214"Aku juga gak tau, Ibu gak ada ngasih tau soal apa-apanya. Hanya menyuruh kita pulang karena ada sesuatu yang sangat penting dan itu menyangkut soal aku, kamu, dan juga Mas David.""Soal aku? Maksudnya? Ada apa memangnya? Apa mungkin …?" Sintia dan Kevin lantas saling berpandangan. Sepertinya apa yang ada di dalam pikiran mereka itu sama. Semua itu ada kaitannya dengan topeng dan bius yang ditemukan di kamar yang dipakai David. "Kamu memiliki pemikiran yang sama dengan aku, Sayang?" tanya Kevin pada Sintia. Sintia pu mengangguk dengan yakin sembari menatap wajah Kevin. "Lalu? Apa kita mau pulang? Sepertinya ini semua ada sangkut pautnya dengan masalah yang menimpa kita akhir-akhir ini." "Hemmm aku sih sangat mau kalau memang itu untuk urusan memberi pelajaran sama Kakak kamu. Ditambah lagi akan bertemu Ibuku yah anggap saja kita sedang berkunjung.""Terus orang tua kamu gimana?""Memangnya kenapa sama orang tua aku, Mas?""Ya entar dibolehin g
Pov David**"Raya?" lirihku saat melihat sosok perempuan yang pernah singgah di hatiku. "Apa itu suaminya?" lirihku bertanya pada diri sendiri sembari menatap ke arah mereka. "Lalu siapa anak kecil itu?" Pandangan yang semula beralih pada sosok anak kecil itu kembali tertuju pada lelaki yang duduk di depan Raya. Sosok yang sepertinya sangat tak asing bagiku. Aku mencoba semakin menelisik wajah yang menurutku lumayan tampan itu. Tapi masih jauh lebih tampan aku. Aku melempar ingatanku ke masa lalu. Seketika aku teringat jika sosok itu adalah pengacara yang dulu mengurus perceraianku dengan Raya di masa lalu. "Mau pesan apa, Pak?" Tiba-tiba suara itu membuatku mengalihkan pandanganku dari wanita masa laluku. Aku mendengkus kesal. "Mbak pergi saja, nanti aku panggil kalau emang pesan," celetukku dengan sedikit ketus. "Baik, Pak." Pelayan itu sedikit membungkukkan tubuhnya dan berlalu pergi. Dadaku semakin terasa berdenyut saat melihat Raya dan juga lelaki itu saling melempar s
Akhirnya David pun melangkah menuju ke arah jalan raya, dihentikannya taksi yang melaju di antara kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Berkali-kali David berusaha menghentikan laju taksi, akan tetapi tak membuahkan hasil. David mendengkus kesal, apalagi beberapa orang yang berjalan dan melewatinya menatap David dengan pandangan yang tak bisa diartikan. Wajar saja, sebab wajah David yang babak belur dengan cairan merah segar yang meninggalkan jejak di sudut bibirnya. Beberapa menit kemudian akhirnya lelaki itu berhasil mendapat taksi yang siap mengangtarkan ia pulang. Ya, David memilih pulang. Tak mungkin ia melanjutkan jalan-jalannya dengan kondisi wajah yang begitu mengerikan. Takutnya, ia akan dikiran seorang penjahat atau pun pencopet yang sedang menjalankan aksinya, ketahuan, lalu dihajar masa. David menyebutkan alamat rumah yang ditinggali olehnya dan sang ibu, sang sopir pun membalas dengan anggukan. Hingga akhirnya, roda empat itu melesat membelah jalan raya menuju alam
SUARA DESAHAN DI KAMAR IPARKUBAB 217Lagi, Kevin dan Sintia saling berpandangan. Setelahnya ia menatap sang ibu yang merogoh saku dasternya. Mengambil benda pipih itu lalu mengulurkan ke arah dirinya.Kevin menghidupkan ponsel yang Arita berikan dan ia memasang telinganya baik-baik. Begitupun juga dengan Sintia yang dengan seksama melihat dan mendengar apa yang akan ponsel itu katakan. Detik dan menit berlalu, ponsel tersebut terus aja memutar hasil rekaman saat David tengah berbicara di telepon. Selama itu juga baik Kevin dan juga Sintia saling menggelengkan kepalanya mendengar penuturan dari David pada seseorang di ujung telepon sana yang entah itu siapa. Ah, tapi sebenarnya di otak Kevin dan juga Sintia sudah bisa menebak siapa lawan bicara David saat di telepon itu. Hanya saja mereka masih belum menemukan bukti yang akurat soal pemikiran mereka. Takutnya mereka malah akan membuat fitnah bagi tersebut. Alhasil keduanya masih sama-sama bungkam soal siapa yang berbicara dengan Da
"Ada apa, Bu?" ucap Kevin sembari tergopoh-gopoh melangkah mendekati sang ibu. Jika Kevin hanya terfokus pada tubuh Arita, berbanding terbalik dengan Sintya yang sejak beberapa langkah keluar kamar, ia sudah mendapati David yang sudah berdiri di sana. Sintya tergugu. Bahkan, kedua telapak kakinya seperti tengah menancap kuat pada lantai itu, hingga membuat tubuh Sintya hanya diam membatu. Sintya ingin kembali ke kamar, akan tetapi Sintya serasa tak mampu untuk mengangkat kedua kakinya. Sintya hanya mampu menutup mulutnya rapat-rapat.Ya, hanya itu yang mampu ia lakukan. Kevin yang baru saja berhenti tepat di samping Arita pun baru menyadari kehadiran kakak angkatnya itu. Sedikit terkejut yang dirasakan oleh Kevin. Setelahnya Kevin menatap David dan juga Sintya secara bergantian. Kevin langsung tersadar begitu ia melihat senyum penuh arti terbit dari bibir David. Merek sama-sama lelaki, pasti paham arti tatapan dan juga senyuman itu. Kevin menatap tepat wajah Sintya, setelahnya
"Apa kata tetangga, Bu, kalau mereka lihat Kevin pulang tapi nggak bermalam di rumah ibunya. Nanti dikira-kira David lagi yang nggak mau terima!" David memberikan alasan yang sebenarnya masuk akal. Andai saja Arita dan juga Kevin tak mengetahui kebusukan dan kebejatan dari diri David, mungkin Kevin akan mengurungkan niat untuk menginap di hotel. "Nggak kok, Mas. Mas David tenang saja. Andai kata tetangga berkomentar abaikan saja, apa peduli komentar tetangga. Yang terpenting hubungan kita baik-baik saja," ucap Kevin menjelaskan. Mendengar ucapan Kevin, David hanya mampu menghela napas dalam-dalam dan dikeluarkannya secara perlahan. David kali ini merutuki nasibnya. Baru saja ia merasa senang karena target di depan mata, kini David kehilangan targetnya begitu saja. Hilang harapannya saat ia bisa mencumbu dan menyentuh setiap inchi kulit mulus dan lekukan sempurna tubuh iparnya itu. "Ini kena apa sih, Vid? Kok luka-mu bisa seperti ini? Kayak habis ditonjokin banyak orang. Jangan-ja
David sengaja menunggu situasi sepi sebelum dia melancarkan aksinya.Setelah memastikan bahwa tidak ada lagi obrolan antara ibunya beserta dengan adik dan iparnya David akhirnya keluar kamar."Mau kemana Vid?" tanya Arita ketika melihat putranya keluar dari kamar dengan memakai jaket hitam beserta dengan topi berbentuk kupluk. Dahinya mengeryit seakan-akan menebak apa yang ingin di lakukan oleh anaknya itu.Tentu saja hal itu membuat curiga Arita, untuk apa putranya memakai kupluk pada malam hari. Sungguh-sungguh di luar kebiasaan."Ini bukan urusan Ibu, jadi sebaiknya Ibu tidak perlu tahu," jawab David dengan cuek. Mendengar jawaban dari putranya Arita hanya bisa mendengkus kesal."Kamu itu kan anak Ibu, kalau Ibu bertanya itu berarti mengkhawatirkanmu," lanjut Arita."Sudahlah Bu, jangan banyak berkomentar, aku akan pergi sekarang," jawab David dengan kesal.David sangat membenci jika ibunya selalu bertanya tentang hal-hal yang dilakukan, padahal ibunya melakukan itu karena mengkha
Setelah mengisi bensin motornya dan memastikan bahwa situasi cukup mendukung aksinya, David kemudian melanjutkan perjalanannya. Tidak lupa David juga membeli 1 liter bensin yang dia letakkan di jerigen.Tidak lama kemudian David melihat pohon besar yang rindang. Lelaki itu menghentikan motornya tepat di bawah pohon tersebut.David sengaja berhenti di bawah pohon rindang tersebut karena menunggu suasana Komplek benar-benar sepi dan tidak ada kendaraan yang lewat, oleh karena itu David menyembunyikan tubuhnya dibalik pohon besar itu agar tidak ada orang yang curiga akan keberadaannya.Sebenarnya hati kecilnya dia ketakutan, Dia merasakan Hawa merinding ditengkuknya karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 malam.David sendiri sebenarnya adalah seorang yang penakut, terutama kepada makhluk halus, meskipun dia belum pernah menemuinya secara langsung tetapi dia sangat ketakutan ketika mendengar cerita tentang hal-hal yang tidak masuk akal, Hanya saja karena demi aksinya kali ini
Beberapa bulan kemudianSuara tangisan bayi itu menggema memenuhi ruangan kamar bersalin. Raya meraup udara dalam-dalam, napasnya tersengal-sengal setelah melakukan proses melahirkan secara normal. Ravi yang saat ini berada di samping Raya, menangis tersedu-sedu kala sang istri berhasil melahirkan keturunannya. Bahkan, kali ini Ravi sedang merengkuh kepala sang istri. Air mata mengalir dengan begitu derasnya di kedua manik mata sepasang suami istri itu. "Selamat ya, Bu Raya dan Pak Ravi, bayinya berjenis kelamin laki-laki." Ravi melepaskan rengkuhan pada sang istri, sejenak mereka saling berpandangan. Terpancar suatu kebahagiaan dengan jelas pada wajah Raya dan juga Ravi. "Terima kasih, Sayang ...." Ravi mengelus pucuk kepala sang istri. Tenang Raya yang sepenuhnya belum pulih itu hanya merespon Ravi dengan anggukan kepala. Seorang dokter yang menggendong bayi mungil itu mendekat ke arah keduanya. "Lihatlah, bayinya sangat tampan." Sang dokter menunjukkan wajah bayi mungil itu.
Bab 307Nora tersentak saat menyadari ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Ia berusaha meronta-ronta, dan meminta untuk dilepaskan. "Lepas! Lepas, nggak!" Nora berteriak keras tatkala menyadari kalau tubuhnya ditarik oleh seseorang.Mata wanita itu membola saat membalikkan wajahnya untuk melihat siapa yang melakukannya itu. Ia terbelalak, dan seketika rasa panik menggelayuti hatinya. Dia melihat ada delapan orang pria yang sudah mengerubunginya. Bau alkohol yang sangat menyengat langsung terhidu di hidungnya. Ya, orang-orang itu sedang mabuk rupanya. Dan, saat ini Nora adalah mangsa empuk dan lezat bagi mereka.Nora tak bisa membayangkan kalau malam ini dia akan menjadi pemuas nafsu bagi para lelaki mabuk itu. Ia tak pernah membayangkan akan digangbang masal oleh mereka."Pergi! Pergi kalian dari sini!" Nora berteriak setelah cukup lama mengumpulkan keberaniannya. Namun, teriakannya itu sama sekali tak berpengaruh pada mereka. Mereka hanya tertawa saja menanggapi teriakan Nora ya
Bab 306Bryan melangkahkan kaki memasuki beranda rumahnya. Lelaki itu meletakkan kunci mobilnya pada meja hias yang terletak di bawah televisi kemudian melepaskan jaket kulitnya yang berwarna hitam.Kepalanya melihat ke arah lorong yang berjejer pintu-pintu kamar. “Nora,” panggilnya karena ingin segera melihat wajah wanita itu, lelaki itu merasa bosan seharian di luar dan dirinya ingin mendapat pelayanan dari Nora malam ini.Tak ada sahutan saat Bryan memanggil nama wanita itu. “Nora?” panggil Bryan lagi sambil berjalan menuju kamar wanita itu. “Nora? Kenapa dia tidak menjawab?” herannya mengetuk pintu kamar.Tok tok tok …Bryan mengetuk pintu itu sekali lagi dan memanggil-manggil nama wanita pemuas nafsunya itu. Karena lelaki itu tak kunjung mendapatkan sahutan, Bryan pun akhirnya membuka pintu kamar itu dengan paksa.Ketika pintu dibuka, Bryan mendapati ruangan kamar yang kosong tak ada orang. Barang-barang Nora tampak berceceran dan satu hal yang membuat kening Bryan mengkerut. “Pa
"Tetapi sebelum itu, mungkin aku harus membersihkan diri dulu," gumam Nora saat menyadari tubuhnya sudah terasa begitu lengket. Tak ingin semakin membuang waktu, wanita itu pun segera mengambil handuknya yang masih tergantung di balik pintu kamar untuk kemudian melenggang memasuki kamar mandi.Sejenak Nora mengeluarkan senandungnya. Lalu, netra wanita itu tampak berkaca menanti kebebasan yang mungkin sebentar lagi akan dia rasakan."Seharusnya aku melakukan ini sejak lama. Aku benar-benar menyesal karena telah menghabiskan waktu dengan hal penuh dosa ini. Ya Tuhan, masih berkenan kah Engkau memberikan maaf padaku?" gumam Nora yang kini tengah berdiri tepat di bawah guyuran air showernya. Nora benar-benar tak sabar untuk memulai hidup baru yang akan dia isi dengan banyak hal-hal positif.Selesai melakukan ritual mandinya, Nora pun segera bergegas menuju ranjang tidur kemudian pakaian bersihnya untuk kemudian dia kenakan. Nora menatap ke arah kamarnya sesaat. Ruang berukuran sedang ini
Nora tidak sadrakan diri karena apa yang di lakukan Bryan kepadanya. Karena di tidak tahan dengan perlakuan Bryan yang membabi buta kepada Nora, membuat wanita itu berontak, akibatnya kepalanya terbentung kepala ranjang.Bryan langsung meninggalkan Nora begitu saja dan menyuruh anak buahnya untuk memanggilkan tenaga medis untuk menangani Nora. Sedangkan Bryan sendiri pergi entah kemana. Setelah puas melampiaskan hasratnya kepada Nora, lelaki itu merasa fresh dan siap menjalankan aktivitasnya.Sebenarnya Bryan juga sedikit heran dengan dirinya sendiri, entah sejak kapan dia sangat menikmati rasa sakit Nora, apalagi ketika gadis itu berteriak-teriak meminta berhenti dan menyudari permainan mereka, Bryan malah merasa terpacu dan tidak ingin berhenti. Dia merasakan kenikmatan yang luar biasa.Keesokan harinya Nora siuman dalam keadaan tidak bisa berjalan, dia juga merasa tenaganya habis terkuras serasa habis berlari ratusan kilometer.“Aku di mana? Apa yang terjadi padaku?” batin Nora sem
Malam ini, Nora tampil cantik dengan pakaian ketat dan belahan dada rendah. Dia menggunakan lipstik merah merona yang melapisi bibirnya, kalung cantik yang berkilauan, dan sepatu hak tinggi kulit hitam yang membuat kakinya terlihat berjenjang luar biasa.Rambutnya yang gelap dan tebal jatuh hingga ke tengah punggungnya. Sebatang rokok tergantung bebas dari antara bibirnya, sementara dia berjalan dengan sedikit berlenggak-lenggok. Ketika Nora melangkah memenuhi panggilan Brian, pinggulnya bergoyang sangat menawan.Sang Germo itu memandangnya seolah Nora berjalan dalam gerakan lambat. Nora memanglah sangat cantik dan tidak ada yang akan tahu tentang fakta bahwa dia adalah seorang wanita penghibur yang sebenarnya, jika mereka tidak melihatnya di tempat prostitusi.Seorang pelanggan dengan ekspresi wajah terlalu sumringah datang."Selamat malam, Pak?" sapa Brian tak kalah cerianya.Tentu saja dia menyambut dengan ramah sosok pria yang sudah pasti akan menyumbangkan pundi-pundi yang cukup
Bab 302“Please, berhenti, Bryan.” Nora ngos-ngosan dan kesulitan mengambil napas karena sejak tadi Bryan meneruskan ritme goyangan pinggulnya hingga keperkasaan lelaki itu menusuk masuk ke dalam milik sang wanita.“Diamlah! Nikmati saja!” desah Bryan yang kian mempercepat temponya. Lelaki yang posisinya berada di atas itu menopang tubuhnya dengan kedua lengan kekar yang ada di kedua sisi bahu Nora. Bryan menatap wajah Nora dengan keringat yang mengalir di pelipisnya.“T-tapi, ini sudah ronde … ah entahlah, entah ronde keberapa dalam hari ini!” jerit Nora meremas bantal yang mengalasi kepalanya. Dia memicingkan mata menahan rasa perih yang mulai menjalar pada bagian miliknya. Barangkali miliknya akan lecet setelah pergerumulan ini.“Sudah aku bilang! Aku masih belum puas dan ingin terus kau puaskan,” tukas Bryan dengan nada baritonnya. Suaranya yang berat membuat Nora terpaksa menyerah dan membiarkan tubuhnya terus terlentang dengan Bryan yang mendominasinya.Sudah sejak tiga jam lalu
Bab 301“Iya, cuih!” Mira melepeh makanan yang dibuat Amanda setelah sang ibu memaki masakan wanita itu. Dia mengambil tisu dan mengelap sisa makanan di mulutnya.Mira juga mendorong piringnya agar menjauhi pandanganya hingga membuat perasaan Amanda sangat tersakiti dibuatnya.“Maaf, Kak, Mama.” Amanda menunduk masih dengan mengenakan celemek dapur yang melilit pingganya. Dia terduduk di bangku meja makan dan tak mampu mengangkat wajahnya sama sekali.Sang ibu juga jadi tidak selera makan. Sejujurnya dia kesal bukan perkara masakan yang dibuat Amanda, namun omongan tetangga yang tadi dia dengar ketika arisan di rumah salah satu keluarga kaya.“Ibu benar-benar tidak tau lagi bagaimana harus menghadapi kamu, Amanda,” ujar sang Ibu menghela napasnya dengan kasar. Dia memukul-mukul dadanya yang terasa seksak. “Kamu bisanya bikin ibu menderita saja!”Air mata Amanda kembali berlinang. Terserah bila kakak-kakaknya terdengar begitu membencinya, tapi kini ibunya juga ikut kecewa padanya dan m
Amanda memasang wajah sedihnya. Dia benar-benar tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Tak punya tempat tinggal dan harta. Sama sekali tak pernah terbesit di pikiran jika pada akhirnya nasib yang dia alami akan sesial ini.Amanda menatap kedua saudaranya secara bergantian. Hal itu justru membuat Rudi dan Mira merasa semakin muak. "Ada apa lagi? Mau bicara apa lagi? Masih mau mengelak dan mengatakan kalau semua ini adalah milikmu? Iya!" sentak Mira seolah tak ingin memberikan kesempatan bagi Amanda untuk bicara.Dulu dia sangat menyukai adiknya ini, bagaimana pun Amanda adalah mesin uang yang mudah dimanfaatkan. Amanda selalu siap sedia kala saudaranya membutuhkan pinjaman. Bahkan Amanda tak segan memberikan uang secara cuma-cuma untuk sanak saudaranya yang kekurangan.Namun nyatanya semua kebaikan Amanda itu tak membuat kedua kakaknya merasa harus berbalas budi dan bersikap baik pada Amanda yang sekarang sepertinya telah jatuh miskin. Justru mereka merasa muak dan tak sudi berbaur de