Di tempat lainnya, Yolla hampir saja membanting ponsel yang dipegangnya ke tanah. Belum juga sempat terbanting, ponselnya sudah berdering nyaring kembali.
“Halo, Yol?” Suara Sisty langsung terdengar ketika Yolla menjawab panggilannya. “Gimana, kamu bisa nyusul aku, kan?” “Nggak tahu Sis,” jawab Yolla. “Si Callisto itu biang masalahnya, dia salah ambil koper aku ....” “Ya terus gimana dong Yol?” tanya Sisty dengan nada tidak bersemangat. “Kamu masih lama? Ini kita sebentar lagi pesawatnya.” “Nggak apa-apa, kamu sama yang lain berangkat aja tanpa aku.” Yolla mencoba mengikhlaskan. “Ini si Callisto malah seenaknya nutup telepon aku.” “Apa aku suruh pesawatnya buat ngetem sebentar lagi ya, Yol?” tanya Sisty, mencoba memberikan solusi. “Ngawur kamu, memangnya angkot? Udah deh Sis, kamu sama yang lain senang-senang aja.” Yolla menarik napas. “Palingan aku nitip oleh-oleh kayak biasa.” “Ya udahlah, terus urusan kamu samaMendengar jawaban jujur dari sopir taksi yang mereka perebutkan, Yolla dan Callisto sontak terpaku. Hingga Yolla dan Callisto mencapai kesepakatan tak tertulis untuk mengakhiri sengketa mereka. “Jadi, Anda berdua mau ke mana?” tanya sopir taksi itu ramah. “biar saya antar secara bergiliran.” Yolla melirik ke arah Callisto yang duduk sambil melipat kedua tangannya di dada. “Ladies first,” ucap Callisto tanpa menoleh. Di saat pria itu mempersilakannya, Yolla justru kebingungan mau pergi ke mana. Tidak mungkin kan dia pulang ke rumah seawal ini? Apalagi izin dari Sony sudah susah payah dia dapatkan. “Ke rumah sakit saja, Pak.” Yolla menyebutkan tempat tujuannya, sementara Callisto diam dengan wajah heran. “Sudah saya duga,” komentarnya setelah terdiam selama beberapa saat. “kalau ternyata Anda memang sakit.” Yolla menoleh dengan garang. “Saya tidak sakit ....” “Sakit pikirannya,” poton
“Duit cash tinggal segini,” gumam Yolla sambil melirik isi dompetnya setelah sopir taksi itu berlalu pergi.“Sedekah itu yang ikhlas,” komentar Callisto sambil ngeloyor pergi.Yolla melempar pandang sangat bengis ke arah punggung Callisto yang menjauh.“Kenapa aku jadi nyasar ke pantai ini juga sih?” gerutu Yolla sambil mengentakkan kakinya ke tanah, seakan berharap ada jin yang keluar untuk mengabulkan tiga permintaan darinya. Mau tak mau dia terpaksa menyeret kopernya dalam kebingungan mencari penginapan yang sesuai dengan kelas sosialnya.“Penginapannya, Bu?”“Tivi, kipas angin, kamar mandi di dalam!”“Murah Bu, mari ....”“Kamar mandi pribadi, kipas, silakan Bu ....”Yolla hanya melirik sekilas kepada para pemilik penginapan yang sibuk menawarkan fasilitas kepadanya setiap kali dia lewat dan pada para pengunjung yang berdatangan.“Duh ... mana sih hotel dekat sini?” gerutu Yolla sembari merasakan tumitnya mulai menjerit protes. Dalam hati dia
Callisto segera berlari menuju kamar Yolla setelah mendapatkan kartu akses untuk masuk ke kamarnya. Dua petugas yang terdiri dari satu pria dan wanita juga ikut membuntutinya karena khawatir ada apa-apa.Setibanya di depan pintu kamar Yolla, Callisto segera memasukkan kartu akses itu dan pintu otomatis bisa terbuka.“Bu Yolla?” panggil Callisto dengan wajah waspada, di hadapannya nampak gundukan selimut tebal yang terlihat menutupi tubuh seseorang.“Bu Yolla?” panggil Callisto lagi.Tidak terdengar sahutan sama sekali, membuat dua orang petugas hotel menampakkan ekspresi supertegang di wajah masing-masing.Callisto memberanikan diri untuk menyibakkan selimut itu pelan-pelan.“Bu Yolla, saya izin buka ya ...?” katanya sambil menarik selimut Yolla hingga petugas wanita yang ada di belakangnya memalingkan wajah dengan ngeri.Akhirnya Callisto berhasil menarik lepas selimut itu, dan terlihatlah Yolla memejamkan matanya dengan posisi kepala miring ke sebelah k
Diam-diam Yolla sedikit merasa bersalah saat melihat tanda lebam di kening Callisto tadi. Namun, dia terlalu bingung bagaimana caranya mempertanggungjawabkan perbuatannya.“Anda rencana pulang kapan?” tanya Yolla akhirnya. “Biar saya antar ke rumah sakit untuk periksa.”Callisto melirik Yolla dan tidak segera menjawab.“Mau menolong saya saja harus menunggu waktu pulang?” komentarnya kemudian. “Keburu lebam saya sudah hilang.”Tanpa menunggu respons dari Yolla, Callisto membalikkan badannya dan berjalan pergi meninggalkan Yolla di tepi pantai.“Eh tunggu!” seru Yolla terkejut karena ditinggal tiba-tiba untuk kesekian kalinya. “Pak Callisto, saya belum selesai bicara!”Yolla sangat sebal dengan sikap Callisto yang suka main pergi seenaknya seperti ini.“Pak, saya belum selesai!” sergah Yolla, dengan susah payah dia berusaha mengimbangi langkah kaki Callisto yang menjauhi pantai.“Apanya yang belum selesai?” tanya Callisto datar tanpa menghentikan langk
Sisty mengernyit ketika mendengar ucapan Yolla yang nadanya meremehkan, tetapi ekspresi wajahnya justru berbanding terbalik dengan suaranya. "Kayaknya habis ada sesuatu nih antara kamu sama Callisto?" tebak Sisty sambil menaikkan alisnya. "Apaan sih, memangnya kamu pikir aku ngapain sama dia?" tukas Yolla dengan nada menghindar. "Pria sedingin es itu ... sama sekali bukan tipeku." "Masa?" tanggap Sisty dengan nada menggoda. "Ayolah Yol, kamu jujur aja sama aku. Kalian liburan berdua di pantai, nggak mungkin kan kalau kalian nggak ngapa-ngapain?" Yolla tidak segera menyahut karena dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan sahabatnya itu. "Aku sih bisa bayangkan saat ada dua manusia berlainan jenis sedang liburan berdua ..." Sisty melanjutkan godaannya, kali ini sambil merem melek seakan membayangkan hal-hal kotor dalam pikirannya. "Kamu aja mikir yang enggak-enggak," tukas Yolla tenang. "Kami liburan nggak cuma berdua,
"Aku jadi penasaran," jawab Sisty antusias. "Apa aku boleh ikut, Yol?" "Menurut kamu?" sahut Yolla sambil melirik sahabatnya dengan dongkol. "Callisto minta aku yang datang ke kafe, bukannya kamu." "Aku nunggu di mobil aja," usul Sisty. "jaga-jaga kalau dia berbuat hal yang iya-iya sama kamu."Yolla mengeryit ketika mendengar usul yang dilontarkan Sisty kepadanya. “Memangnya Callisto pikirannya kotor kayak kamu?” sindir Yolla sambil tertawa. “Jangan aneh-aneh deh.” “Buktinya Keva pernah mau berbuat yang nggak senonoh sama kamu,” kata Sisty mengingatkan. “Iya, tapi yang kita bahas tadi itu adalah Callisto.” Yolla menyahut. “seorang wakil perusahaan yang sukses dan terhormat, mana mungkin dia berpikir dangkal seperti Keva.” Sisty menarik napas. “Bilang aja kalau kamu takut keganggu sama kehadiran aku,” katanya sok tahu. “Ya ampun, ini anak!” sergah Yolla setengah kesal. “Boleh aja kalau kamu maks
“Mau ke mana, Yol?” tanya Sony ketika melihat putrinya berjalan terburu-buru dengan penampilan super rapi.“Pa, aku izin keluar sebentar ya?” pinta Yolla dengan wajah memelas.“Mendung sekali, kamu mau ngapain?” tanya Sony menyelidik. “Ada teman yang ternyata nunggu aku di kafe,” jawab Yolla jujur. “Boleh ya Pa, dia sudah ada di sana sejak tiga jam yang lalu.”“Minta sopir antar kamu, papa nggak mau kamu nyetir sendirian.” Sony mengajukan syarat.“Oke Pa,” angguk Yolla dengan wajah lega, baginya yang penting dirinya bisa bertemu dulu dengan Callisto yang sejak tadi sudah menunggunya di kafe.Hujan gerimis mulai turun mengguyur bumi ketika Yolla sedang dalam perjalanan menuju kafe. Dia masih tidak percaya jika Callisto benar-benar menanti kedatangannya sejak tiga jam yang lalu. Kalaupun iya, kenapa dia tidak berinisiatif menghubunginya lebih awal?Setibanya di kafe, sopir pribadi Sony bermaksud mengantarkan Yolla sampai ke dalam. Namun, Yolla menolaknya d
Clerin meletakkan ponselnya di atas meja kemudian mendekati Vhea yang sudah tertidur lelap di peraduannya. “Mimpi indah ya, Sayang?” ucapnya sembari mendaratkan bibirnya di atas kening sang putri dengan lembut. “Mama nggak akan membiarkan siapapun merebut Papa Callisto dari kamu, akan mama buat papa menemani kita selamanya. Kamu jangan khawatir ....” Dengan kedua mata mengkristal, Clerin memandangi Vhea yang masih terus terpejam nyenyak dalam tidurnya. Keesokan harinya, Clerin tiba di kantor lebih awal dan sengaja menunggu di ruangan Callisto sampai pria itu datang tepat sepuluh menit sebelum jam kerja. “Bu Clerin?” ucap Callisto dengan kening mengernyit. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Clerin berdiri dengan ekspresi datar pada wajahnya dan memandang Calllisto lurus-liurus. “Kamu tidak perlu basa-basi sama saya,” komentarnya. “Kenapa semalam kamu tidak menemani Vhea? Kamu tahu kan kalau setiap malam dia selalu men
"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k
Callisto sudah tidak percaya lagi dengan apa yang dikatakan oleh bosnya. "Apa begini cara kamu menyayangi Vhea?" komentarnya dengan nada dingin. "Dengan menghalalkan segala cara untuk membuat dia berpikir bahwa papanya masih hidup?" Clerin mengerjabkan kedua matanya yang kini terasa basah. "Kamu mungkin tidak akan bisa mengerti ..." tutur Clerin dengan suara lemah. "Kamu belum punya memiliki anak, jadi kamu tidak tahu ... bagaimana rasanya kehilangan pendamping hidup ... dengan seorang anak kecil yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya ...." Callisto memalingkan wajahnya dengan jengah. "Kehilangan seorang pendamping hidup, ya?" komentarnya. "Lalu bagaimana dengan saya yang kehilangan semuanya? Keluarga saya, bahkan ingatan saya ... Semuanya pergi meninggalkan saya, bandingkan dengan diri kamu! Seperti itu kamu merasa bahwa hidup kamu dan Vhea adalah yang paling menderita? Lalu bagaimana dengan yang saya rasakan?" Clerin tidak berkata apa-apa, untuk sementar
“Lagipula bukankah status saya adalah sebagai penyewa mansion, jadi kenapa kamu keberatan?” Clerin tidak segera menyahut informasi yang diberikan Callisto kepadanya. “Kalau kamu keberatan atau merasa terganggu dengan kedatangan Yolla tadi, saya tidak masalah kalau harus pindah dari mansion kamu.” Callisto melanjutkan. “Saya pikir sudah saatnya saya mencari tempat tinggal baru.” Tanpa sadar, jemari Clerin mengepal saat dia mendengar ucapan Callisto barusan. “Kamu tidak perlu seperti itu,” katanya berusaha menekan egonya hingga ke dasar. “apalagi masa sewa kamu masih panjang, jadi jangan buang-buang uang.” Callisto mengangkat bahunya. “Jadi tidak masalah kan kalau Yolla sesekali datang ke mansion?” tanya pria itu sambil memandang sang bos. “Kamu tidak perlu khawatir karena saya dan Yolla tidak akan melakukan perbuatan yang tak pantas.” Clerin memaksakan diri tersenyum sebelum berkomentar, dia sadar bahwa dia sedang menghadapi pria yang bukanlah suaminya. "Baiklah, saya r
Yolla sendiri tidak kalah terkejut saat mendapati sang pemilik mansion sudah berdiri di hadapannya. “Bu Yolla ... ada perlu apa?” tanya Clerin dengan bahasa tubuh yang begitu anggun meskipun dalam hatinya begitu bergemuruh saat melihat jika Yola sudah berani mendatangi mansion miliknya secara terang-terangan seperti ini. “Maaf Bu, saya ... mencari Callisto.” Yolla menyahut apa adanya tanpa gentar sedikitpun. “Callisto?” ulang Clerin sambil mengernyit. “Apa Anda tahu kalau ... Callisto itu adalah nama mendiang suami saya?” Yolla tertegun sebentar, tapi kemudian dia cepat-cepat meralat ucapannya. “Maksud saya Shano,” timpal Yolla sambil tersenyum. “Saya mau mengunjungi Shano, bukan Callisto.” Senyuman itu memudar sedikit dari wajah Clerin, menurutnya Yolla sama sekali tidak tahu malu saat berani-beraninya datang ke mansion untuk menemui Callisto. Punya hak apa dia? “Pak, Callisto di mana?” tanya Clerin kepada sang penjaga mansion. “Mungkin sebentar lagi pulang, Bu.” Penjaga it