“Duit cash tinggal segini,” gumam Yolla sambil melirik isi dompetnya setelah sopir taksi itu berlalu pergi.
“Sedekah itu yang ikhlas,” komentar Callisto sambil ngeloyor pergi.Yolla melempar pandang sangat bengis ke arah punggung Callisto yang menjauh.“Kenapa aku jadi nyasar ke pantai ini juga sih?” gerutu Yolla sambil mengentakkan kakinya ke tanah, seakan berharap ada jin yang keluar untuk mengabulkan tiga permintaan darinya. Mau tak mau dia terpaksa menyeret kopernya dalam kebingungan mencari penginapan yang sesuai dengan kelas sosialnya.“Penginapannya, Bu?”“Tivi, kipas angin, kamar mandi di dalam!”“Murah Bu, mari ....”“Kamar mandi pribadi, kipas, silakan Bu ....”Yolla hanya melirik sekilas kepada para pemilik penginapan yang sibuk menawarkan fasilitas kepadanya setiap kali dia lewat dan pada para pengunjung yang berdatangan.“Duh ... mana sih hotel dekat sini?” gerutu Yolla sembari merasakan tumitnya mulai menjerit protes. Dalam hati diaCallisto segera berlari menuju kamar Yolla setelah mendapatkan kartu akses untuk masuk ke kamarnya. Dua petugas yang terdiri dari satu pria dan wanita juga ikut membuntutinya karena khawatir ada apa-apa.Setibanya di depan pintu kamar Yolla, Callisto segera memasukkan kartu akses itu dan pintu otomatis bisa terbuka.“Bu Yolla?” panggil Callisto dengan wajah waspada, di hadapannya nampak gundukan selimut tebal yang terlihat menutupi tubuh seseorang.“Bu Yolla?” panggil Callisto lagi.Tidak terdengar sahutan sama sekali, membuat dua orang petugas hotel menampakkan ekspresi supertegang di wajah masing-masing.Callisto memberanikan diri untuk menyibakkan selimut itu pelan-pelan.“Bu Yolla, saya izin buka ya ...?” katanya sambil menarik selimut Yolla hingga petugas wanita yang ada di belakangnya memalingkan wajah dengan ngeri.Akhirnya Callisto berhasil menarik lepas selimut itu, dan terlihatlah Yolla memejamkan matanya dengan posisi kepala miring ke sebelah k
Diam-diam Yolla sedikit merasa bersalah saat melihat tanda lebam di kening Callisto tadi. Namun, dia terlalu bingung bagaimana caranya mempertanggungjawabkan perbuatannya.“Anda rencana pulang kapan?” tanya Yolla akhirnya. “Biar saya antar ke rumah sakit untuk periksa.”Callisto melirik Yolla dan tidak segera menjawab.“Mau menolong saya saja harus menunggu waktu pulang?” komentarnya kemudian. “Keburu lebam saya sudah hilang.”Tanpa menunggu respons dari Yolla, Callisto membalikkan badannya dan berjalan pergi meninggalkan Yolla di tepi pantai.“Eh tunggu!” seru Yolla terkejut karena ditinggal tiba-tiba untuk kesekian kalinya. “Pak Callisto, saya belum selesai bicara!”Yolla sangat sebal dengan sikap Callisto yang suka main pergi seenaknya seperti ini.“Pak, saya belum selesai!” sergah Yolla, dengan susah payah dia berusaha mengimbangi langkah kaki Callisto yang menjauhi pantai.“Apanya yang belum selesai?” tanya Callisto datar tanpa menghentikan langk
Sisty mengernyit ketika mendengar ucapan Yolla yang nadanya meremehkan, tetapi ekspresi wajahnya justru berbanding terbalik dengan suaranya. "Kayaknya habis ada sesuatu nih antara kamu sama Callisto?" tebak Sisty sambil menaikkan alisnya. "Apaan sih, memangnya kamu pikir aku ngapain sama dia?" tukas Yolla dengan nada menghindar. "Pria sedingin es itu ... sama sekali bukan tipeku." "Masa?" tanggap Sisty dengan nada menggoda. "Ayolah Yol, kamu jujur aja sama aku. Kalian liburan berdua di pantai, nggak mungkin kan kalau kalian nggak ngapa-ngapain?" Yolla tidak segera menyahut karena dia merasa tidak perlu menjawab pertanyaan sahabatnya itu. "Aku sih bisa bayangkan saat ada dua manusia berlainan jenis sedang liburan berdua ..." Sisty melanjutkan godaannya, kali ini sambil merem melek seakan membayangkan hal-hal kotor dalam pikirannya. "Kamu aja mikir yang enggak-enggak," tukas Yolla tenang. "Kami liburan nggak cuma berdua,
"Aku jadi penasaran," jawab Sisty antusias. "Apa aku boleh ikut, Yol?" "Menurut kamu?" sahut Yolla sambil melirik sahabatnya dengan dongkol. "Callisto minta aku yang datang ke kafe, bukannya kamu." "Aku nunggu di mobil aja," usul Sisty. "jaga-jaga kalau dia berbuat hal yang iya-iya sama kamu."Yolla mengeryit ketika mendengar usul yang dilontarkan Sisty kepadanya. “Memangnya Callisto pikirannya kotor kayak kamu?” sindir Yolla sambil tertawa. “Jangan aneh-aneh deh.” “Buktinya Keva pernah mau berbuat yang nggak senonoh sama kamu,” kata Sisty mengingatkan. “Iya, tapi yang kita bahas tadi itu adalah Callisto.” Yolla menyahut. “seorang wakil perusahaan yang sukses dan terhormat, mana mungkin dia berpikir dangkal seperti Keva.” Sisty menarik napas. “Bilang aja kalau kamu takut keganggu sama kehadiran aku,” katanya sok tahu. “Ya ampun, ini anak!” sergah Yolla setengah kesal. “Boleh aja kalau kamu maks
“Mau ke mana, Yol?” tanya Sony ketika melihat putrinya berjalan terburu-buru dengan penampilan super rapi.“Pa, aku izin keluar sebentar ya?” pinta Yolla dengan wajah memelas.“Mendung sekali, kamu mau ngapain?” tanya Sony menyelidik. “Ada teman yang ternyata nunggu aku di kafe,” jawab Yolla jujur. “Boleh ya Pa, dia sudah ada di sana sejak tiga jam yang lalu.”“Minta sopir antar kamu, papa nggak mau kamu nyetir sendirian.” Sony mengajukan syarat.“Oke Pa,” angguk Yolla dengan wajah lega, baginya yang penting dirinya bisa bertemu dulu dengan Callisto yang sejak tadi sudah menunggunya di kafe.Hujan gerimis mulai turun mengguyur bumi ketika Yolla sedang dalam perjalanan menuju kafe. Dia masih tidak percaya jika Callisto benar-benar menanti kedatangannya sejak tiga jam yang lalu. Kalaupun iya, kenapa dia tidak berinisiatif menghubunginya lebih awal?Setibanya di kafe, sopir pribadi Sony bermaksud mengantarkan Yolla sampai ke dalam. Namun, Yolla menolaknya d
Clerin meletakkan ponselnya di atas meja kemudian mendekati Vhea yang sudah tertidur lelap di peraduannya. “Mimpi indah ya, Sayang?” ucapnya sembari mendaratkan bibirnya di atas kening sang putri dengan lembut. “Mama nggak akan membiarkan siapapun merebut Papa Callisto dari kamu, akan mama buat papa menemani kita selamanya. Kamu jangan khawatir ....” Dengan kedua mata mengkristal, Clerin memandangi Vhea yang masih terus terpejam nyenyak dalam tidurnya. Keesokan harinya, Clerin tiba di kantor lebih awal dan sengaja menunggu di ruangan Callisto sampai pria itu datang tepat sepuluh menit sebelum jam kerja. “Bu Clerin?” ucap Callisto dengan kening mengernyit. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” Clerin berdiri dengan ekspresi datar pada wajahnya dan memandang Calllisto lurus-liurus. “Kamu tidak perlu basa-basi sama saya,” komentarnya. “Kenapa semalam kamu tidak menemani Vhea? Kamu tahu kan kalau setiap malam dia selalu men
Clerin menatap Yolla lurus-lurus sebelum melanjutkan ucapannya. "Anda sudah kenal Pak Callisto seberapa jauh?" tanya Clerin dengan bahasa yang cukup sopan. "Tidak sejauh yang Anda pikir," jawab Yolla apa adanya. "Oh, kalau begitu izinkan saya untuk memberi fakta yang mungkin Anda belum tahu." Clerin melanjutkan. "Callisto itu memiliki tanggung jawab terhadap seorang putri kecil yang sedang membutuhkan banyak perhatian darinya." Yolla tidak segera menanggapi, tapi dia punya dugaan bahwa wanita di depannya ini sedang mencoba memperingatinya secara halus. "Ya... dia pernah bilang kalau dia berutang budi sama Anda," sahut Yolla tanpa ekspresi. "Jadi Callisto pernah bilang?" komentar Clerin dengan wajah yang nampak terkesan. "Kalau begitu... saya rasa Anda akan sangat paham kalau saya mengatakan ini sama Anda. Tolong beri Callisto kesempatan untuk membahagiakan putri saya." Yolla terdiam, dia tidak mengerti kenapa
“Rekan kerja,” jawab Callisto apa adanya. “Setidaknya selama saya sama dia terlibat dalam proyek Pak Keva. Kenapa?” “Kelihatannya lebih dari itu,” komentar Clerin sambil menatap Callisto. “Seberapa dekat kamu sama dia? Ingat, ada Vhea yang masih butuh kamu.” “Tolong jangan panggil saya Callisto lagi,” katanya datar. “Nama itu hanya boleh kamu sebut kalau di depan Vhea saja.” Clerin membalikkan tubuh Callisto dengan gerakan cepat. “Maksud kamu?” sahutnya tersinggung. “kamu merasa terhina menyandang nama besar mendiang suami saya? Itu maksud kamu?” Callisto menggelengkan kepalanya. “Bukan begitu, tapi ... saya mulai berat dengan nama suami kamu,” jawab Callisto jujur. “Lagipula, kenapa semakin ke sini kamu seakan seperti ... memaksakan saya untuk bisa menjadi seperti sosok mendiang suami kamu?” Wajah Clerin yang semula tegang, seketika melembut saat mendengar ucapan Callisto.