Keesokan paginya...
"Pakaikan baju baru untuk Exel, aku dan Clarisa akan mengajaknya pergi." Suara bariton berat dari Evander terdengar tegas pada Elizabeth yang tengah mendandani Exel pagi ini. Setelah semalaman tidak tidur di rumah, sekalinya pulang Evander kembali bersama Clarisa yang kini tengah menunggu di lantai satu. "Iya. Apa kau akan pulang di sore hari?" tanya Elizabeth sang suami. Sambil memakai tuxedo hitamnya, Evan menjawab, "Ya, agar Clarisa bisa puas bermain dengan Exel seharian." Elizabeth terdiam sejenak, merasa kini hari-harinya menjadi sangat menekan. Selain berkurangnya waktu bersama sang suami, Elizabeth mungkin akan sering kesepian karena Exel juga akan sering menghabiskan waktu dengan Clarisa. "Ma... ini Exel mau ke mana? Kok pakai baju baru?" Mungil suara Exel membuat Elizabeth tersenyum lembut, apalagi anak laki-lakinya itu cemberut menatapnya. "Exel hari ini ikut dengan Papa ya, Sayang. Ingat... tidak boleh nakal, tidak boleh nangis, dan tidak boleh menjerit-jerit. Mengerti?" ujar Elizabeth lembut sambil mengulurkan jari kelingkingnya. “Berjanjilah Exel akan jadi anak yang baik.” Dengan wajah antusias, Exel menaut jari kelingking Elizabeth. “Janji!” Penampilan Exel sudah rapi, dia memakai baju barunya, serta sepatu merah kesayangannya dan topi beret yang membuat anak itu semakin lucu. "Sudah, sekarang ayo Mama gendong. Kita ke lantai bawah, oke?" kata Elizabeth mengecupi pipi Exel. Anak kecil itu tertawa geli. "Iya, Mama..." Mereka berdua berjalan keluar dari dalam kamar. Dari selasar lantai dua dapat Elizabeth lihat Clarisa sudah berada di bawah sana, tampak menanti-nanti. Perasaan Elizabeth menjadi tak menentu saat melihat wanita itu, tapi ia segera menepisnya. Bagaimanapun, Clarisa adalah ibu kandung Exel. Elizabeth tidak berhak menghalangi keduanya. "Mama, Tante itu kenapa ke sini?! Huhhh, Exel tidak suka!" pekik anak itu langsung merajuk saat mereka sudah tiba di lantai satu. Elizabeth tersenyum tipis sambil mengusap punggung si kecil. "Sayang, dia bukan Tante, Nak, tapi Mamanya Exel." Clarisa langsung berjalan mendekati Elizabeth. Ia mengusap rambut cokelat Exel dengan lembut. "Exel, ayo ikut Mama, Sayang. Mama ini Mama kandungmu, Mama yang melahirkan Exel," Clarisa membujuknya. "Tidak mau pokoknya, jangan paksa-paksa Exel dong!" Anak itu menghentakkan kakinya dalam gendongan Elizabeth. Kedua tangan mungil Exel semakin kuat merengkuh leher Elizabeth sambil menjerit-jerit menolak ajakan Clarisa. Tak tega dengan anak tirinya yang tantrum, Elizabeth mundur satu langkah sambil mendekap Exel. "Clarisa, biarkan Exel tenang dulu ya... Dia memang sulit dekat dengan orang baru," ujar Elizabeth berusaha menjelaskan. Ia merasa tidak enak hati pada Clarisa. "Tapi aku ini Mamanya, Mama kandungnya!” kata Clarisa tidak terima. “Berikan dia padaku, Elizabeth! Kau tidak berhak untuk melarang-larangku bersama Exel!" Clarisa berkeras kepala. Ia tiba-tiba saja mengambil Exel dari pelukan Elizabeth dengan tergesa. Raungan tangis Exel menggema begitu Clarisa menggendongnya. Anak itu menangis mendorong-dorong wajah Clarisa dengan tangan kecilnya. "Nakal! Exel tidak mau sama Tante! Exel mau sama Mama! Mama tolong Exel, huwaa... Mama!" Exel memberontak hebat dalam gendongan Clarisa. "Exel, aku ini Mamamu yang asli. Bukan dia!" pekik Clarisa terdengar marah dan tidak sabaran. Dia benar-benar tidak terbiasa merawat anak kecil. "Mau Mama, huwaa Mama...!" tangis Exel justru semakin menjadi-jadi. Elizabeth tak tega melihat tangisan Exel yang begitu kuat. Ia pun meraih tubuh mungil Exel dari gendongannya Clarisa. Di dalam rengkuhan erat Elizabeth, tangis Exel pun mulai mereda. Kedua tangannya yang mungil mencengkeram bagian belakang dress putih yang Elizabeth pakai. "Tenang, Sayang, ini sudah digendong Mama," bisik Elizabeth menenangkan Exel. Anak itu sesenggukan dan mulai tenang perlahan-lahan. Elizabeth beralih menatap Clarisa yang kini mengetatkan rahangnya kesal. "Exel memang agak susah dibujuk, harus pelan-pelan supaya dia tidak marah," Elizabeth dengan pelan mencoba memberi pengertian pada Clarisa. Ekspresi wajah Clarisa tampak muram, merasa kesal melihat putranya lebih menyukai Elizabeth dibanding dirinya. "Kau hanya Mama tirinya, Elizabeth. Jangan pikir karena kau yang merawatnya, kau merasa bisa mendapatkannya!" pekik Clarisa, lebih tepatnya saat ia melihat Evander muncul. "Bukan begitu, Clarisa... Tapi—" "Ada apa ini?" Suara tegas Evander membuat Elizabeth menoleh. Namun, ia kalah cepat dengan Clarisa yang gegas mendekati Evander dan mencekal lengan mantan suaminya tersebut dengan wajah sedih. "Elizabeth melarangku menggendong anak kita, Evan," seru Clarisa menangis. "Padahal aku ini Mama kandung Exel, aku sangat merindukan anakku. Tapi kenapa Elizabeth..." Clarisa menangis menutup mulutnya. Sedangkan Elizabeth menatapnya dengan kedua mata melebar, tidak menyangka Clarisa akan membuat drama seperti ini. "Elizabeth," desis Evan menatapnya tajam. Gelengan kepala cepat Elizabeth berikan sebagai sangkalnya. "Ti-tidak begitu, Evan! Exel menangis dan tidak mau ikut dengan Clarisa. Aku hanya berusaha menenangkannya, sama sekali aku tidak melarangnya!" "Bohong! Jelas-jelas kau mengambilnya dariku lebih dulu dan membuat Exel menolak ikut denganku!” ujar Clarisa sambil berderai air mata. “Sebenarnya apa salahku padamu, Elizabeth?” Sandiwara yang Clarisa lakukan membuat Elizabeth terpojok. Padahal ia sama sekali tidak ada niatan seperti yang wanita itu katakan. Iris mata hitam Evan berubah nyalang pada istrinya. Laki-laki itu merebut Exel dari gendongan Elizabeth dengan wajah marahnya yang jelas terlukis. Elizabeth mencekal tangan sang suami. "Evan, aku sama sekali tidak melakukan seperti yang Clarisa katakan!" ungkap wanita muda itu dengan wajah panik. "Kau tidak ada hak apapun tentang anakku, Elizabeth! Jadi, hentikan omong kosongmu!" desis Evander melepaskan tangan Elizabeth begitu saja. "Tapi Evan—" Ucapan Elizabeth kembali tertelan saat sang suami memalingkan tatapan dirinya. Evan menggendong Exel dan mengajaknya keluar dari dalam rumah, meninggalkan Elizabeth dan Clarisa di ruang tamu. Clarisa lantas tersenyum miring dan menaikkan salah satu alisnya di hadapan Elizabeth. "Maaf Elizabeth, tapi sepertinya... sebentar lagi posisimu akan tersingkirkan," bisik Clarisa dengan pelan dan jelas. "Sebaiknya kau bersiap-siap karena Evan dan Exel akan kembali padaku!" Elizabeth terdiam dengan mata berkaca-kaca menatapnya. Clarisa tidak mengatakan apapun lagi. Ia membalikkan badannya dan melambaikan tangannya meninggalkan Elizabeth sendirian di ruangan itu. "Bye, Elizabeth!" ucap Clarisa jelas-jelas dengan nada mengejek. Pintu rumah kembali tertutup rapat. Elizabeth merasa kesal dengan apa yang Clarisa lakukan. Bisa-bisanya dia mengadu domba Elizabeth dan Evan! Tapi sedikit pun Evan tidak mempercayainya. Hal ini membuat Elizabeth terduduk di sofa dan menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Wanita cantik itu menangis sedih dan pilu dengan situasi yang kini menyerangnya. Elizabeth menepuk dadanya yang sesak, hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidungnya. "Da-darah," lirih Elizabeth menyekanya dan menangis putus asa. “Kenapa….” Sakit kepala hebat menyerang Elizabeth, darah di hidungnya tidak berhenti mengalir. Perlahan Elizabeth beranjak dari duduknya dengan kaki gemetar tak sanggup menapak. "Bi...!" pekik Elizabeth, berusaha memanggil pelayan di rumahnya. Elizabeth melangkah tertatih mendekati dinding sebelum semua pandangannya menjadi gelap dan tubuhnya terhuyung jatuh. Seorang pelayan yang baru saja muncul dari dapur pun berteriak melihat Elizabeth yang tergeletak di lantai. "Astaga, Nyonya Elizabeth!"Pasca pingsan beberapa hari yang lalu, keadaan Elizabeth tidak kunjung membaik. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak biasanya ia seperti ini. Dengan wajah yang tampak pucat, Elizabeth menopang tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada wastafel karena ingin muntah beberapa menit yang lalu. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mencuci wajahnya dengan air dingin, gadis itu keluar dari kamar mandi dan mendapati suaminya yang sudah tampak rapi. Elizabeth mendekati Evan yang tengah berdiri bercermin sembari memasang arlojinya. "Evan, apa hari ini kau ada waktu luang?" tanya Elizabeth mendongak menatapnya. "Tidak, hari ini jadwalku sangat padat," jawab Evan dingin seperti biasa. Elizabeth meraih tuxedo hitam milik Evan di tepian ranjang dan menyerahkannya dengan sangat perhatian. "Tadinya aku ingin meminta waktumu sebentar saja untuk menemaniku—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar dengusan pelan dar
Sesampainya di rumah, Elizabeth berdiam diri di dalam ruangan pribadinya. Berjam-jam dia tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan. "Ternyata kehadiranku sama sekali tak berarti untuk suamiku. Apa ini yang disebut cinta lama adalah pemenang yang sesungguhnya?" ucap Elizabeth lirih dan sedih. Air mata Elizabeth menetes, namun ia menyekanya cepat. Situasi menyedihkan ini membuat Elizabeth merindukan sosok Nenek dan Bibi yang merawatnya, dan mereka kini jauh berada di Vienna. Tak lama setelah itu terdengar suara klakson mobil yang cukup keras. "Dia sudah pulang." Elizabeth membuka gorden dan mengintip ke bawah sana. Rupanya benar, itu suara dari mobil Evan. Dengan perlahan-lahan, Elizabeth beranjak berdiri meninggalkan ruangan itu dan bergegas menemui sang suami di kamarnya. Elizabeth menarik gagang pintu kamar dan melangkah ke dalam, ia melihat Evan yang tengah melepaskan tuxedo hitamnya. "Kau sudah pulang? Tumben sekali sampai larut malam…" kata Elizabeth sambil berjalan ke ar
Hari berganti, tapi kondisi Elizabeth masih belum kunjung membaik. Wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya dengan keadaan panik. Elizabeth ketiduran selama dua jam setelah meminum obat, sampai ia lupa menjemput Exel di sekolah. "Ya Tuhan, sudah pukul berapa ini?!" Elizabeth menatap jam dinding di kamarnya. "Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? Exel pasti menangis menungguku!" Buru-buru Elizabeth keluar dari dalam kamar. Meskipun tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga, tapi ia tetap memaksakan diri. Langkahnya yang berat dipaksa menuruni anak tangga. Namun, saat Elizabeth belum menapaki lantai satu, pintu rumahnya pun terbuka lebar. Terdengar suara tangisan Exel yang membuat Elizabeth panik seketika. "Elizabeth!" teriakan seorang wanita memanggilnya dengan keras. "Mama..." Elizabeth menatap Mama mertuanya yang datang bersama Clarisa. Wanita itu kini tengah menggendong Exel yang memberontak dalam pelukannya. Sejenak Elizabeth terdiam. Bukankah kemarin Evan berkata kalau
“Apakah Nyonya sudah yakin?” Elizabeth mengangguk pasti. "Aku tidak akan menyesali keputusanku," katanya serius. Wanita itu duduk di teras belakang rumahnya bersama seorang laki-laki tua berambut putih yang meletakkan sebuah berkas. Pengacara Clinton, orang kepercayaan Elizabeth yang dua hari lalu ia hubungi untuk meminta bantuan mengurus berkas penting. "Baiklah, saya harap Nyonya baik-baik saja." Anggukan pelan Elizabeth berikan. "Ya, aku pun berharap seperti itu. Terima kasih sudah membantuku, pengacara Clinton." "Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu berdiri dari duduknya, meraih tas kulit yang kini dia bawa pergi. Sedangkan Elizabeth masih duduk di kursi teras menatap sebuah dokumen yang ia usap dengan jemari kurusnya. Kedua mata Elizabeth terpejam merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu wajah pucatnya. Ia tidak mau menimbang-nimbang lagi keputusannya, mengingat mungkin usianya juga tidak akan panjang. "Permisi
Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya. Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima? Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan." Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah. Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas. Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini. "Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan. "Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya. Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap waj
Di dalam ruangan kerjanya, Evander Collin berdiam diri ditemani sebatang cerutu yang terbakar di antara jarinya. Laki-laki itu menatap lantai marmer mengkilap di ruangan pribadinya yang dipenuhi kertas yang ia robek-robek hancur. Evan merasa gelisah dan emosi memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Kenapa…," gumam laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan gelap yang tercetak jelas. "Apa sebenarnya yang kau inginkan, Elizabeth…" Evan menyergah napasnya frustrasi. Sejak tadi ia berusaha untuk fokus kembali bekerja, namun isi kepalanya kini dipenuhi oleh Elizabeth. Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan Evan. Nampak Jericho, asistennya yang kini masuk ke dalam ruangannya. "Apa informasi yang kau dapatkan? Katakan semuanya!" perintah Evan tegas. Laki-laki dengan pakaian formal itu menatap lurus pada sang tuan. "Nyonya Elizabeth meminta bantuan Tuan Clinton untuk mengurus surat perceraian, Tuan. Lebih tepatnya saat hari di mana Tuan dan Nyonya bertengkar h
Elizabeth terbaring di dalam sebuah ruangan bersama dokter yang menanganinya kini setelah Elizabeth menceritakan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk. Seorang dokter laki-laki berparas tampan memperhatikan Elizabeth yang berbaring menatap langit-langit dengan mata nanar. Jemarinya saling meremas dan bibir pucatnya yang terkatup. "Apa kau belum memberitahu suamimu tentang sakitmu ini, Elizabeth?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir. Laki-laki ini adalah seorang dokter muda sekaligus teman Elizabeth yang sama-sama berasal dari Austria. Elizabeth awalnya tak percaya kalau dia akan ditangani oleh dokter profesional, dan sahabatnya sendiri. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin tidak akan pernah, Niel." "Kondisimu semakin memburuk. Kalau kau terus merahasiakan sakit ini darinya, maka akan semakin rumit ke depannya." Elizabeth keukeuh mengatakan tidak. Percuma memberitahu suaminya soal penyakit yang ia derita, karena pria itu tidak akan peduli. Perlah
Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men
Sepulang dari jalan-jalan bersama Exel beberapa menit yang lalu, tampak Alicia begitu gembira. Anak itu mengoceh ini dan itu sambil menunjukkan mainannya pada sang Mama. Ditemani Elizabeth dan juga Evan yang bersama mereka sekarang. "Wahh ... banyak sekali mainannya, Sayang?" tanya Elizabeth mengecupi pipi cucunya. "Papa Exel sama Mama Tante yang belikan buat Alicia, Oma. Terus ini boneka panda dari Kakak Vano," ujar anak itu menata semua bonekanya di atas sofa ruang keluarga. "Persis sekali dengan Pauline saat masih kecil," sahut Evan. Elizabeth menoleh. "Oh ya, Pa?" "Iya, Sayang." Pauline terkekeh geli, sampai akhirnya Alicia menarik lengan sang Mama. "Mama ayo tidur, Alicia mau tidur sama Mama," seru anak itu. "Ayo, Maa...!" Evan menatap putrinya. "Sudah, sudah, cepat anak Alicia tidur, Nak," ujarnya. "Iya, Pa." Pauline memasukkan semua boneka-boneka milik Pauline ke dalam paper bag ukuran besar dan membawanya naik ke lantai dua. Alicia tampak sangat ceria dan banyak be
Sore harinya, Exel tidak mengingkari janji untuk mengajak Alicia pergi jalan-jalan dengannya. Bahkan setelah siang tadi Alicia bertemu Exel dan menganggap kalau Exel sungguh-sungguh seorang Papanya, sejak saat itu juga Alicia tidak mau diturunkan dari gendongan Exel. Untung saja, Si kembar tidak banyak protes setelah mereka berdua paham kalau sebenarnya Alicia tidak memiliki Papa. "Dad, kita makan malam di sana yuk, Dad!" ajak Varo menunjuk sebuah rumah makan Jepang. "Iya, Sayang. Jangan lari, Vano!" pekik Exel saat kedua anaknya turun dari dalam mobil. Hauri menoleh pada Alicia yang kini berjinjit meminta gendong pada Exel. "Alicia, mau gendong Mama Hauri?" tawar wanita itu. "Tidak mau. Alicia mau gendong Papa saja, Mama Tante" jawab anak itu. Alicia tidak mau memanggil Mama secara langsung pada Hauri, hingga ia juga menyematkan nama Tante di belakangnya, sampai menjadi Mama Tante. Mereka semua berjalan masuk ke dalam rumah makan tersebut dan memilih tempat yang pas. "Papa,
"Eumm, lucu sekali. Pipinya seperti bakpao. Gemas sekali ya, Varo..." Vano tengkurap sambil menyangga dagu di samping Alicia yang tertidur pulas di atas ranjang di depan ruangan televisi. Anggukan diberikan oleh kembarannya. "Heem, tapi kenapa dia tidak bangun-bangun, kau kan sudah tidak sabar ingin membuatnya menangis!" "Bagaimana kalau kita gigit pipinya, pasti dia bangun!" seru Vano. Tanpa ragu lagi, Varo mendekati Alicia dan mengigit gemas pipi adik kecilnya tersebut. Ruangan yang mulanya sunyi dan sepi, seketika menggelegar dengan suara teriakan tangis Alicia. "Huwaaa ... Mama! Sakit! Huwaa ... Mama tolong!" terikat anak itu menangis hebat. Tampak Exel yang tak jauh dari sana, ia berlari lebih dulu. Exel melihat Alicia duduk sambil memegangi pipinya dan menangis keras-keras. Di sampingnya ada di kembar yang memasang wajah polos. "Astaga, Nak? Kenapa, Sayang?" tanya Exel langsung menggendongnya. "Pipi Alicia sakit! Mama...!" teriak anak itu keras-keras. Dari belakang mu
Malam ini Alicia tidak bisa tidur, anak manis itu merengek-rengek kecil dalam gendongan Pauline. Bahkan saat salju mulai turun malam ini. Alicia tidak bersemangat, mungkin karena Pauline sudah terlanjur janji padanya untuk mengajaknya liburan ke Jerman bertemu Oma, Opa, dan Papa Exel-nya."Mama bohong-bohong sama Alicia," isak anak itu tiba-tiba dalam gendongan Pauline. "Mama tidak sayang Alicia lagi..." Perlahan, Pauline menatapnya dengan lembut. "Sayang, Mama kan masih sibuk. Nanti kita hubungi Opa dulu," ujar Pauline. Alih-alih anak itu tenang, Alicia justru semakin menangis karena ia merasa dibohongi oleh sang Mama. "Alicia kangen Oma, Alicia mau ke rumah Oma, Mama," tangis anak itu keras-keras. "Ya ampun, Sayang..." Pauline mengusap punggung kecil Alicia dengan lembut. "Kita telfon Oma dan Opa, ya..." "Tapi Alicia maunya ke sana, ke rumah Oma, Mama! Ihhhh, Mama bad sekali, Alicia tidak mau sayang!" serunya membuang muka. Pauline menarik napasnya pelan, punggungnya terasa p
Lima Tahun Kemudian..."Huwa ... Mama, tolong Alicia! Aduhh ... Alicia jatuh, Mama!"Suara teriakan keras anak kecil itu berasal dari lantai satu di kediaman Keluarga Collin. Tampak anak kecil perempuan yang kini menangis menjerit di bawah anak tangga, terjatuh sambil membawa kue kesukaannya hingga terjatuh dan mengotori baju juga lantai. Suara jeritan keras anak itu membuat Pauline yang tadinya berada di dapur pun kini langsung berlari cepat menuju ruang tamu. Wanita cantik berambut hitam sepinggang itu tampak melebarkan kedua matanya melihat putri kecilnya tengkurap di atas lantas lantai. "Astaga, Alicia! Mau ke mana, Sayang?" Pauline berlari cepat mendekatinya. "Huwaa ... Mama, lantainya nakal, Alicia jatuh!" teriak anak itu. Dengan sigap Pauline langsung membangunkan putri kecilnya. Padahal baru saja ia berjalan ke dapur dan meninggalkan Alicia di ruang keluarga, tapi anak itu dengan gesit berjalan ingin naik ke lantai dua. Alicia Bernadette, anak manis berambut cokelat dan
Paris, Prancis Untuk kali pertama setelah ia dewasa, Pauline datang ke Prancis bersama kedua orang tuanya.Kedatangan mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Evan. Tentu saja, mereka sama sekali tidak keberatan dengan adanya Pauline di sana. Bahkan sekalipun Pauline harus menetap beberapa tahun sekalipun. "Akhirnya kalian datang juga, ya ampun..." Melody langsung mengulurkan kedua tangannya memeluk Pauline. "Cucu Oma, ya ampun Nak ... Oma sangat merindukanmu," ujar wanita tua itu. Pauline hanya terkekeh mendengarnya. "Iya, Oma. Pauline juga sangat merindukan Oma." Di sana juga ada Arshen yang kini memeluk Pauline. Gadis itu tampak sangat bahagia, tersenyum cerah seolah ia tiba di suatu tempat yang benar-benar ia cari selama ini. "Sudah, ajak Pauline ke kamarnya di atas, Ma. Biarkan dia istirahat dulu dan minta pelayan untuk membantunya," ujar Arshen. "Iya, Pa." Melody begitu senang. Mereka berdua bergegasnaik ke lantai dua. Dapat Evan lihat bahwa Mamanya sangat senang, mung
Keesokan harinya, Exel dan Hauri ikut mengantarkan Pauline ke bandara bersama Mama dan Papanya. Wajah Exel benar-benar sangat kesal dan sedih. Bagaimanapun juga, Exel adalah seorang Kakak yang sangat menyayangi Adiknya. "Sayang, jaga diri baik-baik, ya," ujar Exel mengusap pipi Pauline dan mengecupnya. Pauline mengangguk dan tersenyum. "Kakak ... sering-sering kabari Pauline. Dan, Pauline titip jangan sering-sering memarahi Kak Hauri ya, Kak," pinta Pauline. Exel dan Hauri tersenyum. Mereka berdua memeluk Pauline dengan sangat erat. Di tengah berita yang kini mencuat, Keluarga Xander mengecam dan mengelak pernyataan kalau Xander menikah dengan Pauline. Hingga itu semua simpang siur membuat semua orang bertanya-tanya. "Sudah," ujar Evan menatap ketiga anaknya, terutama pada Exel. "Papa dan Mama akan mengantar adikmu dulu, Exel. Jagalah rumah Papa, dan Hauri ... ingat, istirahat yang cukup, Nak." "Iya, Pa," jawab Hauri mengusap air matanya menatap Pauline sambil melambaikan tangan
Elizabeth tidak ingin berdiam diri dan memendam kesedihan yang dirasakan Pauline. Malam harinya, Elizabeth menyambut kepulangan Evan dari luar kota dengan wajah lesu dan kedua mata yang sembab. Evan tampak bingung dan bertanya-tanya, tidak biasanya istrinya memasang ekspresi seperti ini. "Sayang, ada apa?" tanya Evan mendekatinya. "A-ada yang ingin aku bicarakan, Sayang," jawab Elizabeth mengangkat wajahnya dengan kedua mata berkaca-kaca. "Tentang Pauline." Raut wajah Evan juga mendadak panik. Tanpa berkomentar ini dan itu, ia pun langsung mengangguk dan mengajak istrinya untuk duduk bersamanya. Tubuhnya masih lelah, tapi Evan selalu serius bila semuanya menyangkut Pauline. Elizabeth mengajak suaminya duduk di dalam ruang keluarga di lantai dua. Sejenak hening terjadi di antara mereka berdua. "Sayang, sepertinya kita tidak bisa melindungi Pauline untuk terus berada di sini," ujar Elizabeth tertunduk. "Apa maksudmu, Eli?" Evan menatap tajam istrinya. "Sore tadi Pauline menang
Pauline menangis sampai ia tiba di rumah. Namun, ia mencoba menghindar dari orang rumah hingga tangisannya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Jericho. Pauline masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap langit-langit kamarnya dengan kedua mata berkaca-kaca. 'Rasanya aku tidak percaya mendengar apa yang mereka katakan tadi tentangku...' Gadis itu tertunduk, air matanya jatuh menetes membasahi pipinya. Jemari tangan Pauline meremas bagian dada baju yang ia pakai. "Harusnya sejak awal aku memang tidak menaruh hati padanya. Kalau seperti ini, aku yang merasakan sakitnya." Gadis itu meringkuk di tengah ranjang kamarnya sambil memegangi perutnya. Membayangkan betapa bahagianya ia saat Xander menyayanginya seperti hari-hari kemarin, tidak keberatan dengan mengaku sebagai ayah untuk anaknya, tapi kenyataannya yang ia terima saat sangat menyakitkan untuk Pauline setelah ia mendengar percakapan Xander bersama Nenek dan Kakeknya.