Keesokan paginya...
"Pakaikan baju baru untuk Exel, aku dan Clarisa akan mengajaknya pergi." Suara bariton berat dari Evander terdengar tegas pada Elizabeth yang tengah mendandani Exel pagi ini. Setelah semalaman tidak tidur di rumah, sekalinya pulang Evander kembali bersama Clarisa yang kini tengah menunggu di lantai satu. "Iya. Apa kau akan pulang di sore hari?" tanya Elizabeth sang suami. Sambil memakai tuxedo hitamnya, Evan menjawab, "Ya, agar Clarisa bisa puas bermain dengan Exel seharian." Elizabeth terdiam sejenak, merasa kini hari-harinya menjadi sangat menekan. Selain berkurangnya waktu bersama sang suami, Elizabeth mungkin akan sering kesepian karena Exel juga akan sering menghabiskan waktu dengan Clarisa. "Ma... ini Exel mau ke mana? Kok pakai baju baru?" Mungil suara Exel membuat Elizabeth tersenyum lembut, apalagi anak laki-lakinya itu cemberut menatapnya. "Exel hari ini ikut dengan Papa ya, Sayang. Ingat... tidak boleh nakal, tidak boleh nangis, dan tidak boleh menjerit-jerit. Mengerti?" ujar Elizabeth lembut sambil mengulurkan jari kelingkingnya. “Berjanjilah Exel akan jadi anak yang baik.” Dengan wajah antusias, Exel menaut jari kelingking Elizabeth. “Janji!” Penampilan Exel sudah rapi, dia memakai baju barunya, serta sepatu merah kesayangannya dan topi beret yang membuat anak itu semakin lucu. "Sudah, sekarang ayo Mama gendong. Kita ke lantai bawah, oke?" kata Elizabeth mengecupi pipi Exel. Anak kecil itu tertawa geli. "Iya, Mama..." Mereka berdua berjalan keluar dari dalam kamar. Dari selasar lantai dua dapat Elizabeth lihat Clarisa sudah berada di bawah sana, tampak menanti-nanti. Perasaan Elizabeth menjadi tak menentu saat melihat wanita itu, tapi ia segera menepisnya. Bagaimanapun, Clarisa adalah ibu kandung Exel. Elizabeth tidak berhak menghalangi keduanya. "Mama, Tante itu kenapa ke sini?! Huhhh, Exel tidak suka!" pekik anak itu langsung merajuk saat mereka sudah tiba di lantai satu. Elizabeth tersenyum tipis sambil mengusap punggung si kecil. "Sayang, dia bukan Tante, Nak, tapi Mamanya Exel." Clarisa langsung berjalan mendekati Elizabeth. Ia mengusap rambut cokelat Exel dengan lembut. "Exel, ayo ikut Mama, Sayang. Mama ini Mama kandungmu, Mama yang melahirkan Exel," Clarisa membujuknya. "Tidak mau pokoknya, jangan paksa-paksa Exel dong!" Anak itu menghentakkan kakinya dalam gendongan Elizabeth. Kedua tangan mungil Exel semakin kuat merengkuh leher Elizabeth sambil menjerit-jerit menolak ajakan Clarisa. Tak tega dengan anak tirinya yang tantrum, Elizabeth mundur satu langkah sambil mendekap Exel. "Clarisa, biarkan Exel tenang dulu ya... Dia memang sulit dekat dengan orang baru," ujar Elizabeth berusaha menjelaskan. Ia merasa tidak enak hati pada Clarisa. "Tapi aku ini Mamanya, Mama kandungnya!” kata Clarisa tidak terima. “Berikan dia padaku, Elizabeth! Kau tidak berhak untuk melarang-larangku bersama Exel!" Clarisa berkeras kepala. Ia tiba-tiba saja mengambil Exel dari pelukan Elizabeth dengan tergesa. Raungan tangis Exel menggema begitu Clarisa menggendongnya. Anak itu menangis mendorong-dorong wajah Clarisa dengan tangan kecilnya. "Nakal! Exel tidak mau sama Tante! Exel mau sama Mama! Mama tolong Exel, huwaa... Mama!" Exel memberontak hebat dalam gendongan Clarisa. "Exel, aku ini Mamamu yang asli. Bukan dia!" pekik Clarisa terdengar marah dan tidak sabaran. Dia benar-benar tidak terbiasa merawat anak kecil. "Mau Mama, huwaa Mama...!" tangis Exel justru semakin menjadi-jadi. Elizabeth tak tega melihat tangisan Exel yang begitu kuat. Ia pun meraih tubuh mungil Exel dari gendongannya Clarisa. Di dalam rengkuhan erat Elizabeth, tangis Exel pun mulai mereda. Kedua tangannya yang mungil mencengkeram bagian belakang dress putih yang Elizabeth pakai. "Tenang, Sayang, ini sudah digendong Mama," bisik Elizabeth menenangkan Exel. Anak itu sesenggukan dan mulai tenang perlahan-lahan. Elizabeth beralih menatap Clarisa yang kini mengetatkan rahangnya kesal. "Exel memang agak susah dibujuk, harus pelan-pelan supaya dia tidak marah," Elizabeth dengan pelan mencoba memberi pengertian pada Clarisa. Ekspresi wajah Clarisa tampak muram, merasa kesal melihat putranya lebih menyukai Elizabeth dibanding dirinya. "Kau hanya Mama tirinya, Elizabeth. Jangan pikir karena kau yang merawatnya, kau merasa bisa mendapatkannya!" pekik Clarisa, lebih tepatnya saat ia melihat Evander muncul. "Bukan begitu, Clarisa... Tapi—" "Ada apa ini?" Suara tegas Evander membuat Elizabeth menoleh. Namun, ia kalah cepat dengan Clarisa yang gegas mendekati Evander dan mencekal lengan mantan suaminya tersebut dengan wajah sedih. "Elizabeth melarangku menggendong anak kita, Evan," seru Clarisa menangis. "Padahal aku ini Mama kandung Exel, aku sangat merindukan anakku. Tapi kenapa Elizabeth..." Clarisa menangis menutup mulutnya. Sedangkan Elizabeth menatapnya dengan kedua mata melebar, tidak menyangka Clarisa akan membuat drama seperti ini. "Elizabeth," desis Evan menatapnya tajam. Gelengan kepala cepat Elizabeth berikan sebagai sangkalnya. "Ti-tidak begitu, Evan! Exel menangis dan tidak mau ikut dengan Clarisa. Aku hanya berusaha menenangkannya, sama sekali aku tidak melarangnya!" "Bohong! Jelas-jelas kau mengambilnya dariku lebih dulu dan membuat Exel menolak ikut denganku!” ujar Clarisa sambil berderai air mata. “Sebenarnya apa salahku padamu, Elizabeth?” Sandiwara yang Clarisa lakukan membuat Elizabeth terpojok. Padahal ia sama sekali tidak ada niatan seperti yang wanita itu katakan. Iris mata hitam Evan berubah nyalang pada istrinya. Laki-laki itu merebut Exel dari gendongan Elizabeth dengan wajah marahnya yang jelas terlukis. Elizabeth mencekal tangan sang suami. "Evan, aku sama sekali tidak melakukan seperti yang Clarisa katakan!" ungkap wanita muda itu dengan wajah panik. "Kau tidak ada hak apapun tentang anakku, Elizabeth! Jadi, hentikan omong kosongmu!" desis Evander melepaskan tangan Elizabeth begitu saja. "Tapi Evan—" Ucapan Elizabeth kembali tertelan saat sang suami memalingkan tatapan dirinya. Evan menggendong Exel dan mengajaknya keluar dari dalam rumah, meninggalkan Elizabeth dan Clarisa di ruang tamu. Clarisa lantas tersenyum miring dan menaikkan salah satu alisnya di hadapan Elizabeth. "Maaf Elizabeth, tapi sepertinya... sebentar lagi posisimu akan tersingkirkan," bisik Clarisa dengan pelan dan jelas. "Sebaiknya kau bersiap-siap karena Evan dan Exel akan kembali padaku!" Elizabeth terdiam dengan mata berkaca-kaca menatapnya. Clarisa tidak mengatakan apapun lagi. Ia membalikkan badannya dan melambaikan tangannya meninggalkan Elizabeth sendirian di ruangan itu. "Bye, Elizabeth!" ucap Clarisa jelas-jelas dengan nada mengejek. Pintu rumah kembali tertutup rapat. Elizabeth merasa kesal dengan apa yang Clarisa lakukan. Bisa-bisanya dia mengadu domba Elizabeth dan Evan! Tapi sedikit pun Evan tidak mempercayainya. Hal ini membuat Elizabeth terduduk di sofa dan menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak tangannya. Wanita cantik itu menangis sedih dan pilu dengan situasi yang kini menyerangnya. Elizabeth menepuk dadanya yang sesak, hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat mengalir dari hidungnya. "Da-darah," lirih Elizabeth menyekanya dan menangis putus asa. “Kenapa….” Sakit kepala hebat menyerang Elizabeth, darah di hidungnya tidak berhenti mengalir. Perlahan Elizabeth beranjak dari duduknya dengan kaki gemetar tak sanggup menapak. "Bi...!" pekik Elizabeth, berusaha memanggil pelayan di rumahnya. Elizabeth melangkah tertatih mendekati dinding sebelum semua pandangannya menjadi gelap dan tubuhnya terhuyung jatuh. Seorang pelayan yang baru saja muncul dari dapur pun berteriak melihat Elizabeth yang tergeletak di lantai. "Astaga, Nyonya Elizabeth!"Pasca pingsan beberapa hari yang lalu, keadaan Elizabeth tidak kunjung membaik. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak biasanya ia seperti ini. Dengan wajah yang tampak pucat, Elizabeth menopang tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada wastafel karena ingin muntah beberapa menit yang lalu. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mencuci wajahnya dengan air dingin, gadis itu keluar dari kamar mandi dan mendapati suaminya yang sudah tampak rapi. Elizabeth mendekati Evan yang tengah berdiri bercermin sembari memasang arlojinya. "Evan, apa hari ini kau ada waktu luang?" tanya Elizabeth mendongak menatapnya. "Tidak, hari ini jadwalku sangat padat," jawab Evan dingin seperti biasa. Elizabeth meraih tuxedo hitam milik Evan di tepian ranjang dan menyerahkannya dengan sangat perhatian. "Tadinya aku ingin meminta waktumu sebentar saja untuk menemaniku—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar dengusan pelan dar
Sesampainya di rumah, Elizabeth berdiam diri di dalam ruangan pribadinya. Berjam-jam dia tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan. "Ternyata kehadiranku sama sekali tak berarti untuk suamiku. Apa ini yang disebut cinta lama adalah pemenang yang sesungguhnya?" ucap Elizabeth lirih dan sedih. Air mata Elizabeth menetes, namun ia menyekanya cepat. Situasi menyedihkan ini membuat Elizabeth merindukan sosok Nenek dan Bibi yang merawatnya, dan mereka kini jauh berada di Vienna. Tak lama setelah itu terdengar suara klakson mobil yang cukup keras. "Dia sudah pulang." Elizabeth membuka gorden dan mengintip ke bawah sana. Rupanya benar, itu suara dari mobil Evan. Dengan perlahan-lahan, Elizabeth beranjak berdiri meninggalkan ruangan itu dan bergegas menemui sang suami di kamarnya. Elizabeth menarik gagang pintu kamar dan melangkah ke dalam, ia melihat Evan yang tengah melepaskan tuxedo hitamnya. "Kau sudah pulang? Tumben sekali sampai larut malam…" kata Elizabeth sambil berjalan ke ar
Hari berganti, tapi kondisi Elizabeth masih belum kunjung membaik. Wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya dengan keadaan panik. Elizabeth ketiduran selama dua jam setelah meminum obat, sampai ia lupa menjemput Exel di sekolah. "Ya Tuhan, sudah pukul berapa ini?!" Elizabeth menatap jam dinding di kamarnya. "Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? Exel pasti menangis menungguku!" Buru-buru Elizabeth keluar dari dalam kamar. Meskipun tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga, tapi ia tetap memaksakan diri. Langkahnya yang berat dipaksa menuruni anak tangga. Namun, saat Elizabeth belum menapaki lantai satu, pintu rumahnya pun terbuka lebar. Terdengar suara tangisan Exel yang membuat Elizabeth panik seketika. "Elizabeth!" teriakan seorang wanita memanggilnya dengan keras. "Mama..." Elizabeth menatap Mama mertuanya yang datang bersama Clarisa. Wanita itu kini tengah menggendong Exel yang memberontak dalam pelukannya. Sejenak Elizabeth terdiam. Bukankah kemarin Evan berkata kalau
“Apakah Nyonya sudah yakin?” Elizabeth mengangguk pasti. "Aku tidak akan menyesali keputusanku," katanya serius. Wanita itu duduk di teras belakang rumahnya bersama seorang laki-laki tua berambut putih yang meletakkan sebuah berkas. Pengacara Clinton, orang kepercayaan Elizabeth yang dua hari lalu ia hubungi untuk meminta bantuan mengurus berkas penting. "Baiklah, saya harap Nyonya baik-baik saja." Anggukan pelan Elizabeth berikan. "Ya, aku pun berharap seperti itu. Terima kasih sudah membantuku, pengacara Clinton." "Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu berdiri dari duduknya, meraih tas kulit yang kini dia bawa pergi. Sedangkan Elizabeth masih duduk di kursi teras menatap sebuah dokumen yang ia usap dengan jemari kurusnya. Kedua mata Elizabeth terpejam merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu wajah pucatnya. Ia tidak mau menimbang-nimbang lagi keputusannya, mengingat mungkin usianya juga tidak akan panjang. "Permisi
Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya. Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima? Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan." Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah. Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas. Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini. "Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan. "Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya. Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap waj
Di dalam ruangan kerjanya, Evander Collin berdiam diri ditemani sebatang cerutu yang terbakar di antara jarinya. Laki-laki itu menatap lantai marmer mengkilap di ruangan pribadinya yang dipenuhi kertas yang ia robek-robek hancur. Evan merasa gelisah dan emosi memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Kenapa…," gumam laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan gelap yang tercetak jelas. "Apa sebenarnya yang kau inginkan, Elizabeth…" Evan menyergah napasnya frustrasi. Sejak tadi ia berusaha untuk fokus kembali bekerja, namun isi kepalanya kini dipenuhi oleh Elizabeth. Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan Evan. Nampak Jericho, asistennya yang kini masuk ke dalam ruangannya. "Apa informasi yang kau dapatkan? Katakan semuanya!" perintah Evan tegas. Laki-laki dengan pakaian formal itu menatap lurus pada sang tuan. "Nyonya Elizabeth meminta bantuan Tuan Clinton untuk mengurus surat perceraian, Tuan. Lebih tepatnya saat hari di mana Tuan dan Nyonya bertengkar h
Elizabeth terbaring di dalam sebuah ruangan bersama dokter yang menanganinya kini setelah Elizabeth menceritakan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk. Seorang dokter laki-laki berparas tampan memperhatikan Elizabeth yang berbaring menatap langit-langit dengan mata nanar. Jemarinya saling meremas dan bibir pucatnya yang terkatup. "Apa kau belum memberitahu suamimu tentang sakitmu ini, Elizabeth?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir. Laki-laki ini adalah seorang dokter muda sekaligus teman Elizabeth yang sama-sama berasal dari Austria. Elizabeth awalnya tak percaya kalau dia akan ditangani oleh dokter profesional, dan sahabatnya sendiri. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin tidak akan pernah, Niel." "Kondisimu semakin memburuk. Kalau kau terus merahasiakan sakit ini darinya, maka akan semakin rumit ke depannya." Elizabeth keukeuh mengatakan tidak. Percuma memberitahu suaminya soal penyakit yang ia derita, karena pria itu tidak akan peduli. Perlah
Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men