Share

Bab 3. Kebersamaan Mereka yang Menyakitiku

Pasca pingsan beberapa hari yang lalu, keadaan Elizabeth tidak kunjung membaik. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak biasanya ia seperti ini.

Dengan wajah yang tampak pucat, Elizabeth menopang tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada wastafel karena ingin muntah beberapa menit yang lalu. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya.

Setelah mencuci wajahnya dengan air dingin, gadis itu keluar dari kamar mandi dan mendapati suaminya yang sudah tampak rapi.

Elizabeth mendekati Evan yang tengah berdiri bercermin sembari memasang arlojinya.

"Evan, apa hari ini kau ada waktu luang?" tanya Elizabeth mendongak menatapnya.

"Tidak, hari ini jadwalku sangat padat," jawab Evan dingin seperti biasa.

Elizabeth meraih tuxedo hitam milik Evan di tepian ranjang dan menyerahkannya dengan sangat perhatian.

"Tadinya aku ingin meminta waktumu sebentar saja untuk menemaniku—"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar dengusan pelan dari Evan. Pria itu membalikkan badannya menatap Elizabeth dan meraih tuxedo yang istrinya bawakan.

"Aku sibuk, Elizabeth. Pergilah sendiri atau minta antar sopir. Jangan manja!"

Kalimat menohok yang Evan lontarkan membuat Elizabeth kedua bahunya turun. Ia bahkan belum sempat menyampaikan tujuannya pada pria itu, tapi sudah ditolak begitu saja.

"Baiklah. Mungkin di lain waktu kau bisa menemaniku saat kau tidak sibuk," kata wanita cantik dengan balutan dress biru panjang itu dengan kepala tertunduk.

"Hm." Evan menjawabnya dengan gumaman sambil lalu. "Exel akan berangkat denganku," ucap Evan sambil meraih kunci mobilnya. "Kau tidak perlu mengantar dan menjemput anakku hari ini."

‘Anakku.’

Seolah Evan tengah menegaskan bahwa meski menyandang status sebagai istri Evander Collin, Elizabeth tidak serta merta menjadi ibu bagi Exel.

Bagi Evan, Elizabeth hanya orang asing meski mereka sudah menikah selama tiga tahun.

Elizabeth menelan ludah pahit. "Baiklah. Hati-hati," ucapnya berusaha tegar.

Namun, Evan tidak menanggapinya, laki-laki itu justru malah melenggang dan berjalan keluar dari dalam kamar.

Dari belakangnya, Elizabeth berjalan mengikuti. Di bawah sana, si kecil Exel sudah menunggu dengan balutan seragam berwarna biru langit dan topi baret putih, juga tas merahnya.

"Mama, ayo ikut antarkan Exel!" pinta anak itu mengulurkan kedua tangannya.

"Tidak hari ini ya, Sayang." Elizabeth tersenyum menggendong bocah cilik yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu.

Evander menoleh, lalu mengambil Exel dari gendongan Elizabeth.

"Berangkat dengan Papa, Baby Boy!" ucap Evan tersenyum hangat pada putra manisnya.

Anak itu mengerucutkan bibirnya dan menatap Elizabeth dengan tatapan ingin protes.

Seperti yang semua orang ketahui, Exel hanya mematuhi apa saja yang Elizabeth katakan.

Wanita itu tersenyum pada Exel, menenangkannya tanpa banyak kata. "Di sekolah nanti, jangan nakal ya, Sayang," ujar Elizabeth.

"Siap, Mama!" Anak itu bersorak, dia mengulurkan kedua tangan kecilnya untuk memeluk dan mengecup pipi Elizabeth dengan penuh kasih sayang.

Mau tak mau, Evan yang tengah menggendong Exel harus mendekat ke arah Elizabeth. Pria itu mengalihkan tatapannya seolah tidak sudi berada sedekat itu dengan istrinya sendiri.

"Kami berangkat," ujar Evan tanpa menatap Elizabeth. Ia segera menarik diri dan berjalan ke arah pintu utama.

"Ya. Hati-hati di jalan..."

Laki-laki itu langsung bergegas masuk ke dalam mobil. Tidak ada pelukan dan kecupan mesra seperti pasangan lain pada umumnya sebelum suaminya pergi. Hal ini membuat Elizabeth merasa kesepian dan terabaikan.

Setelah mobil hitam milik suaminya melaju, Elizabeth masih berdiri mematung di tempat selama beberapa detik, sebelum ia kembali masuk ke dalam rumah untuk bersiap pergi ke rumah sakit.

**

Selama beberapa jam, Elizabeth berada di ruang pemeriksaan di sebuah rumah sakit. Ia datang seorang diri tanpa ditemani siapapun.

Dan kini, wanita itu berjalan menyusuri koridor dengan langkah lemas dan wajah yang memancarkan kesedihan setelah mendengar semua penjelasan dokter tentang apa yang terjadi pada dirinya.

'Nyonya Elizabeth, hasil pemeriksaan medis mengungkapkan bahwa Nyonya mengidap kanker darah sudah stadium dua.'

Tanpa sadar, air mata Elizabeth menetes mengingat kata-kata yang dokter ucapkan sesaat lalu.

"Stadium dua," lirihnya dengan tubuh yang gemetar membawa surat hasil pemeriksaan. "Bagaimana ini semua bisa terjadi?"

Elizabeth menyeka air matanya dan berjalan keluar dari rumah sakit, ia bergegas masuk ke dalam mobil dan kembali pulang.

Hatinya gelisah. Tidak diinginkan oleh suaminya sendiri, sekarang ia malah sakit keras. Bagaimana Elizabeth harus mengatakan pada Evan tentang ini semua?

Wanita itu tersenyum miris. “Sekalipun memberitahu Evan, sepertinya dia tetap tidak peduli.…”

Sepanjang perjalanan, Elizabeth melamun memikirkan nasibnya. Sampai tiba-tiba sesuatu menyita perhatian Elizabeth dari dalam mobil yang tengah melaju pelan.

"Pak, hentikan mobilnya sebentar!" pinta Elizabeth pada sang sopir.

Mobil pun terhenti. Elizabeth menatap lurus dengan ekspresi terkejut melihat pemandangan dua insan di sebuah restoran di seberang jalan.

"Evan?" lirih Elizabeth menatap tak percaya. "Bukankah dia bilang padaku kalau dia sibuk? Tapi... tapi kenapa dia malah bersama Clarisa?"

Elizabeth menutup mulutnya tak percaya dan sesak di dadanya. Di saat ia menderita dengan hasil vonis dokter tentang penyakit ganasnya yang sudah stadium dua, suami yang mengatakan kalau dia sibuk. Tapi nyatanya ia tengah bersama mantan istri dan juga anaknya di sebuah rumah makan mewah.

Dengan wajah bahagia layaknya keluarga harmonis, canda tawa, dan senyuman hangat yang Evan berikan pada mereka, senyuman yang sama sekali tidak pernah Evan berikan pada Elizabeth.

"Dia bahkan tidak pernah ada waktu untukku, tapi dia kini memprioritaskan mantan istrinya..."

Elizabeth tak tahan dengan apa yang dia lihat. Wanita itu memalingkan wajah dengan cepat. "Pak, ayo jalan lagi. Tolong lebih cepat, kepalaku sangat pusing," pinta Elizabeth pada sang sopir.

"Baik Nyonya."

Mobil kembali berjalan lebih cepat. Rasa sakit di hati dan sakit di tubuhnya menyerang Elizabeth tanpa ampun.

Elizabeth menahan diri agar tidak menangis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada suaminya, juga pada pernikahannya yang sudah mulai goyah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bertahan ajalah kau wsnita tolol. sambil menunggu ajalmu jadi kau g perlu mikirin biaya hidup. 3 th menikah tapi kau g bisa merebut hati suamimu. wanita tolol yg cuma dijadikan pemuas nafsu dan perawat anak tirinya. menye2,tolol,dungu dan lemot
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status