Pasca pingsan beberapa hari yang lalu, keadaan Elizabeth tidak kunjung membaik. Dia merasa tubuhnya semakin lemah, membuatnya bertanya-tanya apa yang terjadi karena tidak biasanya ia seperti ini.
Dengan wajah yang tampak pucat, Elizabeth menopang tubuhnya dengan tangan yang bertumpu pada wastafel karena ingin muntah beberapa menit yang lalu. Namun, tidak ada yang keluar dari mulutnya. Setelah mencuci wajahnya dengan air dingin, gadis itu keluar dari kamar mandi dan mendapati suaminya yang sudah tampak rapi. Elizabeth mendekati Evan yang tengah berdiri bercermin sembari memasang arlojinya. "Evan, apa hari ini kau ada waktu luang?" tanya Elizabeth mendongak menatapnya. "Tidak, hari ini jadwalku sangat padat," jawab Evan dingin seperti biasa. Elizabeth meraih tuxedo hitam milik Evan di tepian ranjang dan menyerahkannya dengan sangat perhatian. "Tadinya aku ingin meminta waktumu sebentar saja untuk menemaniku—" Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar dengusan pelan dari Evan. Pria itu membalikkan badannya menatap Elizabeth dan meraih tuxedo yang istrinya bawakan. "Aku sibuk, Elizabeth. Pergilah sendiri atau minta antar sopir. Jangan manja!" Kalimat menohok yang Evan lontarkan membuat Elizabeth kedua bahunya turun. Ia bahkan belum sempat menyampaikan tujuannya pada pria itu, tapi sudah ditolak begitu saja. "Baiklah. Mungkin di lain waktu kau bisa menemaniku saat kau tidak sibuk," kata wanita cantik dengan balutan dress biru panjang itu dengan kepala tertunduk. "Hm." Evan menjawabnya dengan gumaman sambil lalu. "Exel akan berangkat denganku," ucap Evan sambil meraih kunci mobilnya. "Kau tidak perlu mengantar dan menjemput anakku hari ini." ‘Anakku.’ Seolah Evan tengah menegaskan bahwa meski menyandang status sebagai istri Evander Collin, Elizabeth tidak serta merta menjadi ibu bagi Exel. Bagi Evan, Elizabeth hanya orang asing meski mereka sudah menikah selama tiga tahun. Elizabeth menelan ludah pahit. "Baiklah. Hati-hati," ucapnya berusaha tegar. Namun, Evan tidak menanggapinya, laki-laki itu justru malah melenggang dan berjalan keluar dari dalam kamar. Dari belakangnya, Elizabeth berjalan mengikuti. Di bawah sana, si kecil Exel sudah menunggu dengan balutan seragam berwarna biru langit dan topi baret putih, juga tas merahnya. "Mama, ayo ikut antarkan Exel!" pinta anak itu mengulurkan kedua tangannya. "Tidak hari ini ya, Sayang." Elizabeth tersenyum menggendong bocah cilik yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri itu. Evander menoleh, lalu mengambil Exel dari gendongan Elizabeth. "Berangkat dengan Papa, Baby Boy!" ucap Evan tersenyum hangat pada putra manisnya. Anak itu mengerucutkan bibirnya dan menatap Elizabeth dengan tatapan ingin protes. Seperti yang semua orang ketahui, Exel hanya mematuhi apa saja yang Elizabeth katakan. Wanita itu tersenyum pada Exel, menenangkannya tanpa banyak kata. "Di sekolah nanti, jangan nakal ya, Sayang," ujar Elizabeth. "Siap, Mama!" Anak itu bersorak, dia mengulurkan kedua tangan kecilnya untuk memeluk dan mengecup pipi Elizabeth dengan penuh kasih sayang. Mau tak mau, Evan yang tengah menggendong Exel harus mendekat ke arah Elizabeth. Pria itu mengalihkan tatapannya seolah tidak sudi berada sedekat itu dengan istrinya sendiri. "Kami berangkat," ujar Evan tanpa menatap Elizabeth. Ia segera menarik diri dan berjalan ke arah pintu utama. "Ya. Hati-hati di jalan..." Laki-laki itu langsung bergegas masuk ke dalam mobil. Tidak ada pelukan dan kecupan mesra seperti pasangan lain pada umumnya sebelum suaminya pergi. Hal ini membuat Elizabeth merasa kesepian dan terabaikan. Setelah mobil hitam milik suaminya melaju, Elizabeth masih berdiri mematung di tempat selama beberapa detik, sebelum ia kembali masuk ke dalam rumah untuk bersiap pergi ke rumah sakit. ** Selama beberapa jam, Elizabeth berada di ruang pemeriksaan di sebuah rumah sakit. Ia datang seorang diri tanpa ditemani siapapun. Dan kini, wanita itu berjalan menyusuri koridor dengan langkah lemas dan wajah yang memancarkan kesedihan setelah mendengar semua penjelasan dokter tentang apa yang terjadi pada dirinya. 'Nyonya Elizabeth, hasil pemeriksaan medis mengungkapkan bahwa Nyonya mengidap kanker darah sudah stadium dua.' Tanpa sadar, air mata Elizabeth menetes mengingat kata-kata yang dokter ucapkan sesaat lalu. "Stadium dua," lirihnya dengan tubuh yang gemetar membawa surat hasil pemeriksaan. "Bagaimana ini semua bisa terjadi?" Elizabeth menyeka air matanya dan berjalan keluar dari rumah sakit, ia bergegas masuk ke dalam mobil dan kembali pulang. Hatinya gelisah. Tidak diinginkan oleh suaminya sendiri, sekarang ia malah sakit keras. Bagaimana Elizabeth harus mengatakan pada Evan tentang ini semua? Wanita itu tersenyum miris. “Sekalipun memberitahu Evan, sepertinya dia tetap tidak peduli.…” Sepanjang perjalanan, Elizabeth melamun memikirkan nasibnya. Sampai tiba-tiba sesuatu menyita perhatian Elizabeth dari dalam mobil yang tengah melaju pelan. "Pak, hentikan mobilnya sebentar!" pinta Elizabeth pada sang sopir. Mobil pun terhenti. Elizabeth menatap lurus dengan ekspresi terkejut melihat pemandangan dua insan di sebuah restoran di seberang jalan. "Evan?" lirih Elizabeth menatap tak percaya. "Bukankah dia bilang padaku kalau dia sibuk? Tapi... tapi kenapa dia malah bersama Clarisa?" Elizabeth menutup mulutnya tak percaya dan sesak di dadanya. Di saat ia menderita dengan hasil vonis dokter tentang penyakit ganasnya yang sudah stadium dua, suami yang mengatakan kalau dia sibuk. Tapi nyatanya ia tengah bersama mantan istri dan juga anaknya di sebuah rumah makan mewah. Dengan wajah bahagia layaknya keluarga harmonis, canda tawa, dan senyuman hangat yang Evan berikan pada mereka, senyuman yang sama sekali tidak pernah Evan berikan pada Elizabeth. "Dia bahkan tidak pernah ada waktu untukku, tapi dia kini memprioritaskan mantan istrinya..." Elizabeth tak tahan dengan apa yang dia lihat. Wanita itu memalingkan wajah dengan cepat. "Pak, ayo jalan lagi. Tolong lebih cepat, kepalaku sangat pusing," pinta Elizabeth pada sang sopir. "Baik Nyonya." Mobil kembali berjalan lebih cepat. Rasa sakit di hati dan sakit di tubuhnya menyerang Elizabeth tanpa ampun. Elizabeth menahan diri agar tidak menangis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan pada suaminya, juga pada pernikahannya yang sudah mulai goyah.Sesampainya di rumah, Elizabeth berdiam diri di dalam ruangan pribadinya. Berjam-jam dia tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan. "Ternyata kehadiranku sama sekali tak berarti untuk suamiku. Apa ini yang disebut cinta lama adalah pemenang yang sesungguhnya?" ucap Elizabeth lirih dan sedih. Air mata Elizabeth menetes, namun ia menyekanya cepat. Situasi menyedihkan ini membuat Elizabeth merindukan sosok Nenek dan Bibi yang merawatnya, dan mereka kini jauh berada di Vienna. Tak lama setelah itu terdengar suara klakson mobil yang cukup keras. "Dia sudah pulang." Elizabeth membuka gorden dan mengintip ke bawah sana. Rupanya benar, itu suara dari mobil Evan. Dengan perlahan-lahan, Elizabeth beranjak berdiri meninggalkan ruangan itu dan bergegas menemui sang suami di kamarnya. Elizabeth menarik gagang pintu kamar dan melangkah ke dalam, ia melihat Evan yang tengah melepaskan tuxedo hitamnya. "Kau sudah pulang? Tumben sekali sampai larut malam…" kata Elizabeth sambil berjalan ke ar
Hari berganti, tapi kondisi Elizabeth masih belum kunjung membaik. Wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya dengan keadaan panik. Elizabeth ketiduran selama dua jam setelah meminum obat, sampai ia lupa menjemput Exel di sekolah. "Ya Tuhan, sudah pukul berapa ini?!" Elizabeth menatap jam dinding di kamarnya. "Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? Exel pasti menangis menungguku!" Buru-buru Elizabeth keluar dari dalam kamar. Meskipun tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga, tapi ia tetap memaksakan diri. Langkahnya yang berat dipaksa menuruni anak tangga. Namun, saat Elizabeth belum menapaki lantai satu, pintu rumahnya pun terbuka lebar. Terdengar suara tangisan Exel yang membuat Elizabeth panik seketika. "Elizabeth!" teriakan seorang wanita memanggilnya dengan keras. "Mama..." Elizabeth menatap Mama mertuanya yang datang bersama Clarisa. Wanita itu kini tengah menggendong Exel yang memberontak dalam pelukannya. Sejenak Elizabeth terdiam. Bukankah kemarin Evan berkata kalau
“Apakah Nyonya sudah yakin?” Elizabeth mengangguk pasti. "Aku tidak akan menyesali keputusanku," katanya serius. Wanita itu duduk di teras belakang rumahnya bersama seorang laki-laki tua berambut putih yang meletakkan sebuah berkas. Pengacara Clinton, orang kepercayaan Elizabeth yang dua hari lalu ia hubungi untuk meminta bantuan mengurus berkas penting. "Baiklah, saya harap Nyonya baik-baik saja." Anggukan pelan Elizabeth berikan. "Ya, aku pun berharap seperti itu. Terima kasih sudah membantuku, pengacara Clinton." "Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu berdiri dari duduknya, meraih tas kulit yang kini dia bawa pergi. Sedangkan Elizabeth masih duduk di kursi teras menatap sebuah dokumen yang ia usap dengan jemari kurusnya. Kedua mata Elizabeth terpejam merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu wajah pucatnya. Ia tidak mau menimbang-nimbang lagi keputusannya, mengingat mungkin usianya juga tidak akan panjang. "Permisi
Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya. Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima? Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan." Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah. Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas. Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini. "Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan. "Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya. Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap waj
Di dalam ruangan kerjanya, Evander Collin berdiam diri ditemani sebatang cerutu yang terbakar di antara jarinya. Laki-laki itu menatap lantai marmer mengkilap di ruangan pribadinya yang dipenuhi kertas yang ia robek-robek hancur. Evan merasa gelisah dan emosi memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Kenapa…," gumam laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan gelap yang tercetak jelas. "Apa sebenarnya yang kau inginkan, Elizabeth…" Evan menyergah napasnya frustrasi. Sejak tadi ia berusaha untuk fokus kembali bekerja, namun isi kepalanya kini dipenuhi oleh Elizabeth. Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan Evan. Nampak Jericho, asistennya yang kini masuk ke dalam ruangannya. "Apa informasi yang kau dapatkan? Katakan semuanya!" perintah Evan tegas. Laki-laki dengan pakaian formal itu menatap lurus pada sang tuan. "Nyonya Elizabeth meminta bantuan Tuan Clinton untuk mengurus surat perceraian, Tuan. Lebih tepatnya saat hari di mana Tuan dan Nyonya bertengkar h
Elizabeth terbaring di dalam sebuah ruangan bersama dokter yang menanganinya kini setelah Elizabeth menceritakan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk. Seorang dokter laki-laki berparas tampan memperhatikan Elizabeth yang berbaring menatap langit-langit dengan mata nanar. Jemarinya saling meremas dan bibir pucatnya yang terkatup. "Apa kau belum memberitahu suamimu tentang sakitmu ini, Elizabeth?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir. Laki-laki ini adalah seorang dokter muda sekaligus teman Elizabeth yang sama-sama berasal dari Austria. Elizabeth awalnya tak percaya kalau dia akan ditangani oleh dokter profesional, dan sahabatnya sendiri. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin tidak akan pernah, Niel." "Kondisimu semakin memburuk. Kalau kau terus merahasiakan sakit ini darinya, maka akan semakin rumit ke depannya." Elizabeth keukeuh mengatakan tidak. Percuma memberitahu suaminya soal penyakit yang ia derita, karena pria itu tidak akan peduli. Perlah
Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men
Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan-lahan, pandangannya mengedar menatap sebuah ruangan bernuansa putih dan aroma obat-obatan yang menyengat. Wajah tampan seorang laki-laki yang menyambutnya dengan raut penuh kecemasan. "Kau sudah sadar, apa kau merasa pusing? Ada rasa ingin muntah, Elizabeth?" Dokter muda itu, Daniel, menatap lekat-lekat wajah Elizabeth yang baru bangun pasca pingsan selama perjalanan dari hotel hingga sampai ke rumah sakit. Elizabeth menggelengkan kepalanya pelan setelah dirasa kepalanya tidak lagi sakit. "Kau kambuh dan pingsan di dalam taksi, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mengantarkanmu ke sini?" tanya Daniel. "Semua orang sibuk, Niel," jawab Elizabeth parau. "Hari ini ulang tahun anakku… tadi kepalaku sakit dan aku lupa membawa obat, jadi aku kabur ke sini." Daniel menghela napas dan menatapnya iba. Ia meraih sebotol air mineral dan menyerahkan pada Elizabeth. "Minumlah dulu, tenangkan sejenak pikiranmu. Aku akan mengantarkanmu pulang n
Tak ada yang bisa membujuk Pauline sama sekali. Baik Exel maupun kedua orang tuanya, hingga mereka semua menyerah dan membiarkan Pauline melakukan apapun yang dia sukai. Exel juga berpesan pada Mama dan Papanya untuk tidak memarahi adiknya bila terjadi sesuatu. Karena malam ini, Exel kembali pulang ke rumahnya. "Kasihan sekali Pauline ... aku memintanya besok untuk datang ke rumah kita. Siapa tahu dia mau," ujar Hauri. Exel mengangguk. "Aku rasa juga begitu. Semoga saja dia mau," jawabnya. Sepanjang perjalanan, Hauri bercerita ini dan itu. Gadis itu juga tidak henti-hentinya mengatakan kalau ia sangat mencemaskan adik iparnya. Exel pun memahami perasaan itu. Namun ia menganggap kalau Pauline sudah besar, pasti dia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Jadi, Exel lebih fokus pada Istrinya dan juga pada rumah tangga mereka berdua. "Sayang, kau ingin membeli sesuatu?" tawar Exel menoleh pada istrinya. "Tidak, aku tidak ingin membeli apapun," jawab gadis itu. "Mama tadi memb
Hauri masuk ke dalam kamar Pauline. Di sana, ia melihat Pauline yang tengah sibuk dengan kanvas dan cat airnya. Entah sejak kapan gadis itu senang mengurung diri dan menyendiri. Pauline duduk di balkon kamarnya, hingga ia tidak tahu bila Hauri masuk ke dalam kamarnya. "Wahh ... cantik sekali gambaranmu, Pauline," puji Hauri tiba-tiba. Suaranya membuat Pauline sontak menoleh ke belakang di mana Hauri berdiri. Pauline tersenyum manis. "Kakak, sejak kapan Kakak di sana?" tanyanya. Hauri tersenyum tipis. "Sejak tadi. Pauline saja yang tidak tahu," jawabnya. "Sini, Kak." Perlahan Hauri melangkah mendekatinya. Ia duduk di samping Pauline yang masih meneruskan lukisannya. "Sejak kapan suka melukis? Kakak tidak pernah melihatmu suka melukis biasanya," ujar Hauri bertanya. Pauline tersenyum. "Sudah lama, Kak. Tapi memang tidak Pauline kasih tunjuk pada siapapun. Semua kanvasnya juga Pauline sembunyikan di dalam ruangan ganti," jawab gadis itu. Hauri terkekeh. "Pauline ... Pauline, k
Kabar kehamilan Hauri sudah terdengar oleh semua keluarga, bahkan beberapa teman Exel juga mengucapkan selamat pada mereka. Termasuk sahabat dekatnya, Heiner yang malam ini datang berkunjung ke rumah mereka membawakan beberapa makanan dan buah-buahan. Sejak dulu hingga kini, memang Heiner yang jauh lebih dekat dan perhatian. "Sekarang tinggal kau saja yang belum menikah, Heiner. Mau sampai kapan kau terus menyendiri?" tanya Exel pada sahabatnya itu. Heiner terkekeh. "Entahlah, tapi aku benar-benar menikmati hidupku saat ini," jawabnya."Saat waktunya tiba, jodohmu pasti juga akan datang, Heiner," sahut Hauri mendekati dua laki-laki itu membawakan cemilan dan juga buah-buahan. "Benar, Hau. Aku malah berpikir kalau aku ingin mendekati Pauline ... supaya aku merasakan, sepertinya enak juga menjadi menantu Keluarga Collin," ujarnya dengan percaya diri, sebelum sebuah bantalan sofa mendarat di wajahnya. Exel menatap tajam dan kesal. "Kalau kau ingin mendekati adikku, kau harus melawa
Pagi ini Hauri pergi ke rumah sakit ditemani oleh Exel. Tetapi, ia tidak pergi menemui Dokter William lagi, melainkan Hauri akan pergi ke dokter kandungan saat ini.Bersama dengan suaminya, Hauri baru saja menyelesaikan pemeriksaan. Mereka duduk menunggu hasil periksa dengan perasaan mendebarkan. "Nyonya pasti sering pusing dan mual akhir-akhir ini?" tanya dokter perempuan itu. Hauri mengangguk. "Iya dok, kemarin saat menghubungi Mama mertua saya, Mama meminta saya untuk langsung periksa," ujarnya. Dokter itu tersenyum. "Ya, memang seharusnya begitu, Nyonya," jawabnya. "Dan ... dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, Nyonya saat ini sudah mengandung berusia hampir lima minggu. Mungkin Nyonya tidak sadar saat Nyonya mengalami terlambat datang bulan." Hauri terdiam menggenggam erat tangan Exel. Laki-laki itu juga tercengang, tak percaya diselimuti kebahagiaan yang luar biasa. "Ja-jadi, istri saya hamil, dok?" tanya Exel dengan kedua mata berbinar-binar. "Benar, Tuan. Selam
Beberapa Minggu Kemudian....Suara hujan deras malam ini membuat suasana menjadi sangat dingin. Hauri, gadis cantik itu duduk di sofa di dalam ruang tamu seorang diri. Sementara Exel, suaminya berada di dalam ruangan kerjanya dan tampak sedang bertelfonan dengan rekan kerjanya membahas meeting siang tadi. "Dia selalu memprioritaskan pekerjaanmu daripada aku, sekarang. Apa dia sudah bosan padaku?" Hauri mengomel kesal. Ia memeluk bantalan sofa erat-erat. "Laki-laki sepertinya memang sangat tega." Lebih dari satu jam Hauri menggerutu dengan sikap Exel yang menyebalkan. Gadis itu marah dan kesal lantaran Exel tiba-tiba menerima meeting sore tadi, padahal Exel sudah berjanji mengajak Hauri jalan-jalan. Hauri yang sudah sangat senang pun ia menolak untuk dibohongi. Karena tak sekali dua kali Exel selalu mengajaknya pergi, tapi ujung-ujungnya selalu gagal. Tak lama kemudian, Exel keluar dari dalam ruangan kerjanya. Ia menoleh ke arah Hauri yang duduk di sofa dengan wajah kesal. "Say
Elizabeth sungguh mengunjungi Hauri pagi ini. Ia membawakan banyak cemilan dan juga makanan lainnya. Ditemani oleh Pauline yang juga ikut datang berkunjung bersama sang Mama. Kedatangan mereka disambut dengan senang oleh Hauri dan Exel. "Maaf ya, Ma, Hauri belum menyiapkan makanan apapun. Hauri bangun kesiangan," ujar gadis itu. "Iya, Sayang, tidak papa." Elizabeth tersenyum hangat. Pauline menatap sang Kakak ipar. "Kak Hauri seperti Pauline saja," ujarnya. "Semalam aku juga lembur karena tugas, Kak. Jadi tadi bangun kesiangan, mandi, bersiap sebentar terus langsung ke sini. Kalau Kak Hauri sibuk apa sampai bangun kesiangan?" Pertanyaan itu membuat Hauri merasa malu tiba-tiba. Sambil menyiapkan minuman di dapur, tanpa terasa pipinya merah mengingat semalam ia hanya menghabiskan sepanjang malam dengan suaminya. "Pauline, setiap orang itu punya kesibukan sendiri-sendiri. Begadang bukan hanya mengerjakan tugas, insomnia juga bisa," sahut Elizabeth menanggapi putrinya. "Emmm ... be
"Aku rasa, aku tidak bisa berkumpul dengan para wanita seperti istri rekan kerjamu tadi, Sayang."Hauri menatap Exel yang kini melepaskan kemeja putihnya dan menoleh pada Hauri yang tengah duduk di tepi ranjang kamar mereka. "Bukan tidak bisa, hanya belum terbiasa," jawabnya. "Mereka semua awalnya bertanya tentang kesibukanku, lalu bisnisku, lalu sedikit bertanya-tanya tentang latar belakangku," ujar Hauri bercerita. Dengan iris mata hitamnya, Hauri menatap sang suami lekat-lekat. "Apa memang seperti itu, perbincangan para masyarakat kelas atas?" tanyanya. Exel terdiam sesaat. Laki-laki itu membalikkan badan dan berjalan mendekati sang istri. "Tidak semua. Buktinya Mama ... juga tidak seperti mereka, kan?" "Heem. Aku pikir orang yang aku temui semuanya akan seperti Mama, ternyata tidak." Exel menyahut kimono putih di atas ranjang dan tersenyum pada Hauri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang ganti. Hauri mengembuskan napasnya panjang dan berbaring di atas ranjang. Sampai Exe
Setelah pertengkaran kemarin-kemarin, hubungan Exel dan Hauri kembali terjalin hangat. Exel benar-benar merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada istrinya. Malam ini, mereka berdua tampak bersiap-siap pergi. Exel mendapatkan ajakan makan malam bersama para rekan dan sahabatnya di sebuah restoran. Exel pun datang dalam acara itu bersama Hauri. "Sayang...." "Hm?" Exel menoleh menatap Hauri yang memeluk lengannya. "Kenapa?" "Apa temanmu ada yang sudah punya istri?" tanya Hauri."Ada. Ada beberapa dari mereka yang sudah menikah, sepertinya istrinya juga diajak. Nanti kau harus menyapa mereka, oke?" Exel tersenyum mengecup pucuk kepala Hauri. Gadis itu mengangguk. "Iya." Dengan balutan dress panjang berwarna merah, dibalut blazer hitam berbahan hangat, Hauri tampak cantik malam ini. Rambutnya yang sudah panjang sebahu pun tertata rapi dengan hiasan jepit mutiara. Bersama dengan Exel, mereka berdua masuk ke dalam sebuah restoran. Di sana, tampak seorang laki-laki melambaikan t
Seperti biasa, saat Evan sedang ada jadwal di luar kota, Exel lah yang menggantikan posisinya untuk meeting. Seperti hari ini Exel yang memimpin meeting penting selama dua jam yang lalu hingga rapat penting itu usai dan satu-persatu anggota meeting telah kembali. Di dalam ruangan itu hanya tersisa Exel, Jericho, dan juga Heiner bersama beberapa rekan yang lainnya. "Exel, kau sedang tidak marahan dengan istrimu, kan?" tanya Heiner tiba-tiba. Exel mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan temannya tersebut. Pasalnya, Exel dan Hauri baru saja ribut dan bagaimana Heiner bisa tahu?"Kenapa memangnya?" jawab Exel sambil membaca beberapa berkas di hadapannya. "Tidak papa, hari Selasa kemarin aku melihat Hauri datang ke sini. Tapi dia langsung pulang. Sepertinya dia tampak sedih," ujar Heiner.Exel tidak menjawab dan hanya diam. Bahkan dalam hatinya ia terkejut kalau istrinya datang ke kantor. "Hauri memang datang, mengantarkan makan siang untuk Tuan Exel. Tapi Tuan Exel justru makan s