Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan-lahan, pandangannya mengedar menatap sebuah ruangan bernuansa putih dan aroma obat-obatan yang menyengat. Wajah tampan seorang laki-laki yang menyambutnya dengan raut penuh kecemasan. "Kau sudah sadar, apa kau merasa pusing? Ada rasa ingin muntah, Elizabeth?" Dokter muda itu, Daniel, menatap lekat-lekat wajah Elizabeth yang baru bangun pasca pingsan selama perjalanan dari hotel hingga sampai ke rumah sakit. Elizabeth menggelengkan kepalanya pelan setelah dirasa kepalanya tidak lagi sakit. "Kau kambuh dan pingsan di dalam taksi, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mengantarkanmu ke sini?" tanya Daniel. "Semua orang sibuk, Niel," jawab Elizabeth parau. "Hari ini ulang tahun anakku… tadi kepalaku sakit dan aku lupa membawa obat, jadi aku kabur ke sini." Daniel menghela napas dan menatapnya iba. Ia meraih sebotol air mineral dan menyerahkan pada Elizabeth. "Minumlah dulu, tenangkan sejenak pikiranmu. Aku akan mengantarkanmu pulang n
Elizabeth yang baru turun dari dalam mobil milik Daniel, terkejut melihat sosok laki-laki yang kini berdiri tegap di ambang pintu rumah megah di depan sana. Dan begitu pula dengan Daniel, laki-laki itu memperhatikan wajah Elizabeth yang berubah pucat dan cemas. "Elizabeth ayo, aku akan bantu jelaskan pada suamimu agar dia tidak salah paham." Daniel menoleh pada Elizabeth sambil tersenyum menenangkan. "I-iya, Niel," jawab Elizabeth ragu-ragu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga teras. Elizabeth meremas dress yang ia pakai saat sorot mata dingin Evan tertuju padanya. Detak jantungnya berpacu, entah bagaimana ia mengatakan perasaannya kini. Sosok Evan berdiri tegap dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai dari pesta. Wajahnya kaku dan sorot elangnya nyalang tertuju pada Elizabeth. "Evan," lirih Elizabeth menatap suaminya ragu. Iris mata hitam Evan teralihkan pada sosok laki-laki yang berdiri di samping Elizabeth. Evan tidak mendengarkan panggilan Elizabeth, justru
Pagi itu, Elizabeth merasakan tempat tidurnya bergerak perlahan, sebuah tangan mungil memeluknya dengan erat. Pipinya dihujani kecupan ringan dengan suara gemas sebelum terdengar bisikan lembut dan manis. "Mama... Mama, Exel sudah pulang," bisik anak itu membangunkan Elizabeth. Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan. Wajah lucu Exel yang pertama kali ia lihat, anak itu tersenyum memeluknya dengan erat. Elizabeth pun langsung memeluk putranya tersebut dengan tak kalah erat. "Sayang..." "Mama kenapa kemarin tidak ada? Mama ke mana? Exel nangis mencari Mama!" seru anak laki-laki itu menggembung kedua pipinya. Elizabeth duduk dan memangku Exel. Ia tersenyum menatap wajah tampan putranya yang nampak memprotesnya. "Mama ada urusan, Sayang. Maaf kalau Mama tidak berpamitan dengan Exel, jangan marah sama Mama ya nak," ujar Elizabeth mengusap pipi gembil bocah itu. Kedua mata Exel mengerjap pelan dan dia menggeleng tulus. "Tidak, Exel tidak marah sama Mama. Tapi Exel marah sama P
Hari-hari yang Elizabeth lalui kini menjadi sangat sepi dan kekosongan mengisi hidupnya. Lebih tepatnya saat Exel dijauhkan dan tidak dibawa pulang ke rumah oleh Evan selama beberapa hari ini. Pria itu sungguh menggenapi ucapannya tempo hari. Elizabeth tidak boleh mendekati Exel sama sekali. Elizabeth berusaha untuk berbesar hati. Meski terasa menyakitkan karena ia sangat menyayangi Exel, tapi ia memutuskan untuk terus melangkah ke depan. Ada hal yang harus ia prioritaskan lebih dulu. Siang ini, Elizabeth berjalan melangkahkan kakinya dengan cepat di lorong sepi rumah sakit. Ia sudah membuat janji cek up dengan dokter Daniel, sahabatnya. "Selamat siang," sapa Elizabeth membuka pintu ruangan periksa. Seorang laki-laki tampan dengan jas putihnya menoleh, Daniel menatapnya dan tersenyum. "Siang, Elizabeth." Daniel beranjak dari duduknya. "Kau berangkat dengan siapa?" "Sendirian, Niel." Elizabeth duduk di sebuah ranjang pemeriksaan seperti biasa. Laki-laki itu mengangguk sa
Setelah meninggalkan rumah, Elizabeth langsung mendatangi tempat Moris—tempat di mana ia akan tinggal dan bekerja mulai sekarang. Dengan senang hati, Moris menyambut Elizabeth. "Elizabeth, kau tidak perlu sungkan-sungkan, anggap saja di sini seperti rumahmu sendiri." Wanita dengan rambut ikal itu membukakan pintu kamar untuk Elizabeth, mereka masuk ke dalam sana. Ruangan yang tidak terlalu luas, namun bersih dan nyaman. Berisikan ranjang kecil, lemari kayu, dan ada beberapa box berisi kertas bunga di sana. Elizabeth tersenyum melihat ruangan itu. Ia merasa bersyukur bisa mendapatkan tempat tinggal yang baru secepat ini. "Terima kasih, Ris, kau sudah memberiku pekerjaan dan juga tempat tinggal. Aku berutang banyak padamu,” ucap Elizabeth dengan begitu tulus. "Santai saja, El. Sekarang kau bisa meletakkan pakaianmu di lemari kayu itu, dan istirahatlah." Moris tersenyum menepuk pundak Elizabeth. "Malam ini akan ada banyak pesanan bungaku yang datang dari Colmar, jadi nanti kau
Setelah dua hari Elizabeth pergi, Evan merasakan kejanggalan dalam hidupnya, termasuk dengan Exel yang sering banyak menangis mencari wanita itu. Pagi ini, kediaman Evan kedatangan Mama dan juga mantan istrinya, yang datang untuk menghibur Exel dan membujuknya untuk diajak bermain. "Evan, mulai sekarang biar aku saja yang menjaga Exel. Kau tidak perlu khawatir tentang anak kita," ujar Clarisa tersenyum manis pada Evan. "Ya, lagipula Clarisa ini Mama kandungnya Exel, Mama yakin kalau dia lebih pandai menjaga Cucu Mama daripada wanita tidak bertanggung jawab itu!" sahut Melody dengan dengusan kesal. Evan hanya diam dan mengangguk, laki-laki itu memperhatikan putranya yang hanya diam duduk di atas sofa memeluk boneka yang Elizabeth belikan beberapa bulan yang lalu. Anak itu tidak mau bermain, tidak mau bicara dengan siapapun. Dia juga susah makan, dan selalu menangis mengamuk tiap kali seseorang membujuknya. Evan mendekati sang putra dan mengusap pucuk kepala Exel dengan lemb
Pagi ini, di tempat lain, Elizabeth sangat sibuk dengan banyaknya pesanan bunga yang harus dia antarkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Wanita itu merasa senang dia bisa bebas dan bertemu dengan banyak orang di luar, hal yang selama ini tidak pernah ia rasakan sebab dirinya selalu terkurung di dalam rumah. Sekarang, Elizabeth merasa sangat mencintai pekerjaan barunya. "Akhirnya tinggal satu buket bunga lagi," ucap Elizabeth membawa seikat bunga berukuran sedang dalam keranjang sepedanya. Elizabeth menuntun sepedanya dan berjalan masuk ke dalam sebuah taman. Pemandangan pagi yang cukup cerah, Elizabeth tidak pernah merasakan kesejukan ini selama tiga setengah tahun tepatnya saat ia sudah menikah. 'Jadi seperti ini nikmatnya hidup yang sesungguhnya, apa ini yang namanya kebebasan? Tidak ada yang perlu aku tangisi lagi, dan aku yakin aku pasti sembuh dari sakitku.' Elizabeth memejamkan kedua matanya menarik napasnya dalam-dalam dan kembali berjalan dengan langkah penuh se
Sampai sore hari, Elizabeth masih mengantarkan beberapa pesanan bunga. Meskipun merasa lelah, Gadis itu tidak sedikit pun mengeluh. Untuk pesanan terakhir, ia mengantar pesanan bunga di sebuah rumah makan. Elizabeth meninggalkan sepedanya di depan dan berjalan masuk ke dalam sana. "Tuan Jhony Ereland, di meja nomor dua belas," ucap Elizabeth membaca nama pemesan bunga pada kertas yang dia bawa. Elizabeth berjalan mendekati meja nomor dua belas di sudut ruangan. Seorang laki-laki yang tengah berbincang dengan ponselnya. "Permisi Tuan, apa benar Anda Tuan Jhony?" tanya Elizabeth mendekat. "Oh ya, saya sendiri—" Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu menoleh cepat, dia menghentikan ucapannya dan menatap Elizabeth dengan kening berkerut sebelum meletakkan ponselnya. Elizabeth menatap balik laki-laki itu dengan ekspresi bingung. Ia segera meletakkan buket bunga itu di atas meja. "Ini bunga yang Tuan pesan. Pembayarannya sudah Tuan kirim langsung ke toko, kan?" Elizabeth be
Tania kembali ke tempat di mana ia meninggal Exel dan Jeff. Dengan membawa satu cup minuman cokelat hangat yang Exel minta, wanita nampak kebingungan tidak menemukan anaknya. "Exel ... Jeff? Ke mana mereka?" Tania menoleh ke kanan dan ke kiri. Tania menatap sekitar, tempat itu sangat ramai, namun dia tidak melihat keberadaan Jeff ataupun Exel sama sekali. "Ya Tuhan, ke mana anakku?!" Tania mengusap wajahnya frustrasi. Wanita itu menjatuhkan cup cokelat hangat yang ia beli dan berlari ke sana kemari mencari Exel. "Exel...! Kau di mana, Nak?!" pekik Tania mencari-cari. Semua orang menatap betapa bingungnya Tania saat ini. Hatinya begitu gelisah dan takut, khawatir bila terjadi sesuatu dengan anaknya.Sampai tiba-tiba langkah Tania terhenti dengan sendirinya. Wanita itu terdiam berpikir tentang Jeff dan permintaan laki-laki itu sebelumnya. Yaitu dengan kukuh menjadikan Exel sebagai alat untuk mendapatkan uang dari Evander seperti rencana mereka sejak awal. 'Tidak mungkin Jeff memb
Elizabeth dan Evan sudah sampai di Munich sejak beberapa jam yang lalu. Penculik Exel sudah mengirimkan pesan dengan jumlah uang yang dia minta pada Evan pagi tadi, sebelum jejaknya menghilang begitu saja tanpa bisa dilacak kembali. Evan dan Elizabeth pun memutuskan mencari tempat tinggal untuk sementara waktu, karena cuaca yang dingin, dan orang yang menculik Exel itu juga tidak jelas ingin bertemu kapan. "Apa dia tidak mengabari lagi?" tanya Evan mendekati Jericho yang duduk di sebuah sofa. "Belum Tuan. Tapi sepertinya orang itu tidak berbohong, jejak yang kami lacak dari nomornya, dia benar-benar berada di Munich," ujar Jericho menatap Evan. "Mungkin kita perlu bersabar hingga orang itu menghubungi kita lagi," sahut Elizabeth, dia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Evan menatap istrinya dan tersenyum tipis. "Kita akan bertemu dengan Exel, percayalah..." Anggukan kecil diberikan oleh Elizabeth. Wanita itu menatap ke arah luar dari dinding kaca tempat ia berada saat in
Tidak biasanya Tania bangun dari tidurnya tidak mendapati Exel di sampingnya. Wanita itu langsung bergegas turun ke lantai satu. Pemandangan asing Tania lihat di sana, ia memperhatikan Exel yang tengah duduk bersama dengan Jeff di ruang keluarga. "Exel," sapa Tania berjalan ke arah mereka berdua. Exel pun menoleh, anak itu diam memeluk bantalan sofa dan ia menyandarkan punggungnya pada Jeff. "Aku mau di sini dengan Om Jeff!" seru Exel memasang wajah cemberut. Tania dengan ekspresi curiga, dia menatap Jeff lekat-lekat. "Kau tidak bicara macam-macam dengan anakku kan, Jeff?" tanya wanita itu. "Kau tanyakan sendiri pada anakmu ini, apa saja yang aku bicarakan dengannya. Exel hampir mati kebosanan karena kau masih belum bangun di jam segini!" jawab Jeff tanpa menatap Tania, laki-laki itu masih sibuk menatap televisi. Tanpa membalas lagi, Tania berjalan mendekati Exel. Wanita itu mengulurkan tangannya dan mengusap pucuk kepala Exel dengan lembut. "Ayo mandi dulu, Sayang. Setelah i
Pagi di hari natal tahun ini, tidak seperti tahun natal kemarin-kemarin. Semua terasa hampa bagi Evan dan Elizabeth. Apalagi Elizabeth yang sekarang berdiam diri merenung sedih memikirkan putranya yang hilang. Bahkan semua orang di rumah itu, tidak ada yang menunjukkan ekspresi bahagianya. "Ini sudah minggu kedua, ke mana kau, Nak?" Arshen berdiri di depan jendela menatap ke arah luar. "Exel, Cucuku..." Evan yang duduk di sofa, dia merangkul istrinya yang memeluk boneka koala milik Exel. Elizabeth benar-benar stress memikirkan putranya dan ia selalu menghabiskan hari-harinya dengan menangis dan melamun. Namun, wanita itu juga masih mengurus Pauline dengan baik. "Apa tidak ada kabar dari luar kota?" tanya Melodi pada Evan. "Tidak ada, Ma. Setelah natal, aku akan mencoba melakukan penelusuran lagi di Munich," ujar Evan dengan wajah lelah. "Mendengar dari salah satu mantan karyawan di butik Tania, wanita itu bilang Tania sering berhubungan dengan seseorang yang tinggal di Munich."
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Exel sudah bangun dari tidurnya yang lelap. Hari ini adalah tepat datangnya perayaan hari natal.Anak laki-laki itu perlahan melepaskan tangan Tania yang memeluknya. Ia menoleh ke belakang pada Tania yang memeluknya. Exel terdiam menatap wanita itu dengan lekat. Setiap hari, Tania sabar menjaga Exel sekalipun Exel kadang marah-marah, menuruti apapun yang Exel mau, dan dia selalu memeluk Exel setiap Exel tertidur. "Eumm ... Mama," lirih Exel sedih mengucapkan kata itu, nadanya pun sedikit ragu. Ia ingin menyentuh wajah Tania dengan jemarinya, namun Exel menarik kembali tangannya. 'Mamaku hanya Mama Elizabeth,' batin Exel menguatkan dirinya. Anak itu bergegas menyibakkan selimutnya dan turun dari atas ranjang. Exel berjalan membuka pintu balkon kamar itu dan berjalan keluar melihat seisi kota yang sangat meriah pagi ini. "Wahhh ... ramainya," lirih Exel berbinar-binar. "Bagus sekali..." Exel berdiri memperhatikan sekitar, banyak sekali anak-anak
Malam ini, Exel tidur ditemani Tania. Anak laki-laki itu sudah menolaknya, namun Tania tetap kukuh berkata ingin menjaganya. Bahkan Tania tidak memberikan ruang bagi Exel untuk bermain sendirian, hingga anak itu tidak punya kesempatan bebas. Tania kini menyelimuti Exel dengan hangat, berbaring di sampingnya dan bercerita tentang hal-hal yang menyenangkan. "Dulu, saat Exel masih bayi, Papa membelikan kalung untuk kita berdua. Exel tahu, kan?" tanya Tania pada Exel. "Tahu," jawab Exel singkat dan malas. "Tapi saat itu Mama harus pergi karena Mama ingin melanjutkan belajar, dan—""Tidak usah bercerita. Aku sudah tahu semuanya." Exel membalikkan badannya menatap Tania. "Terima kasih sudah pergi, karena dengan Tante Jahat pergi, aku bisa mengenal Mama Elizabeth yang mau merawatku sejak aku masih bayi, mau menemaniku bermain, dan mau menjadi Mama yang baik untukku!" Exel menarik napasnya panjang dan cepat sebelum anak itu kembali memunggungi Tania dan menutup sekujur tubuhnya dengan se
"Ma, Pa, Kakak ke mana? Kenapa tidak pulang-pulang? Pauline kangen sama Kakak Exel, Ma..." Pauline merengek dalam pangkuan Elizabeth saat ini, anak empat tahun itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Sejak kemarin-kemarin, Pauline terus mencari-cari sang Kakak dan dia juga merasa kesepian karena tidak punya teman bermain lagi. "Kakak masih pergi, Sayang. Nanti kalau Kakak sudah pulang, kita main sama Kakak lagi ya, Nak," jawab Elizabeth berusaha tersenyum. Pauline mengangguk lemah. Anak perempuan itu kembali memeluk Mamanya dengan wajah sedih.Elizabeth menoleh ke arah ruangan samping di mana nampak Evan dan Arshen berbincang dengan beberapa orang yang bertugas mencari Exel hingga kini jatuh sampai berhari-hari lamanya. Bahkan Evan baru saja pulang dua jam yang lalu mencari keberadaan Tania, dia mencari ke seluruh tempat, hingga Evan mendesak Kian dan semua orang-orang yang dikenali Tania. Namun semua itu, hasilnya pun nihil. Tak ada yang tahu di mana Tania berada, jelasnya
Sudah beberapa hari lamanya tidak ada kabar apapun tentang Exel yang kini keberadaannya entah di mana. Elizabeth pun stress dan wanita itu hanya bisa diam melamun setiap hari memikirkan anaknya. Seperti pagi ini, Elizabeth bangun pagi-pagi sekali, dia hanya diam duduk di dalam kamar Exel yang sejak awal sudah dihias oleh gambar-gambaran dinding yang anak itu inginkan. Elizabeth terenyuh mengusap bantal yang terletak tapi di atas ranjang. "Exel ... apa sekarang kau sudah bangun, Nak? Bagaimana keadaan Exel sekarang? Apakah Exel kedinginan atau bagaimana?" lirih Elizabeth menundukkan kepalanya. Wanita itu terdiam sejenak. "Mama Elizabeth-mu ini memang bukan seorang Mama yang baik untuk Exel. Mama tidak bisa menjagamu," ucap Elizabeth berputus asa menyalahkan dirinya sendiri. Pintu kamar itu terbuka, muncul Evan yang kini berdiri di ambang pintu menatapnya. Elizabeth dengan cepat mengusap air matanya. Wanita itu terdiam saat Evan mendekat dan duduk di sampingnya, Evan menatap lekat
Udara yang sangat hangat menyelimuti Exel. Anak laki-laki berusia sembilan tahun itu tidur meringkuk memeluk boneka beruang yang terasa lembut dan hangat bulu boneka tersebut. Namun, aroma wangi kamar itu membuat Exel terbangun ketika dia sadar, itu bukan aroma kamarnya. Exel membuka kedua matanya lebar dan mengedar. Dia terduduk dengan napas naik turun mengingat siang tadi seseorang menyeretnya dengan paksa ke dalam mobil dan membawanya entah ke mana. "Mama, Papa..." Exel langsung menyibak selimutnya cepat. Anak laki-laki itu berlari ke arah jendela kamar, Exel membuka gorden dan anak itu nampak kebingungan.Pemandangan kota yang sangat ramai diselimuti salju dan meriahnya perayaan menjalang natal. "Ini di mana?" lirih Exel takut, tubuhnya seketika gemetar hebat dan berkaca-kaca seketika. "Ini bukan di Berlin..." Exel yang tengah menatap ke arah jendela, anak itu tersentak saat tiba-tiba pintu kamar itu terbuka. Sontak, Exel menoleh ke belakang. Dia terkejut melihat Tania yang