Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men
Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan-lahan, pandangannya mengedar menatap sebuah ruangan bernuansa putih dan aroma obat-obatan yang menyengat. Wajah tampan seorang laki-laki yang menyambutnya dengan raut penuh kecemasan. "Kau sudah sadar, apa kau merasa pusing? Ada rasa ingin muntah, Elizabeth?" Dokter muda itu, Daniel, menatap lekat-lekat wajah Elizabeth yang baru bangun pasca pingsan selama perjalanan dari hotel hingga sampai ke rumah sakit. Elizabeth menggelengkan kepalanya pelan setelah dirasa kepalanya tidak lagi sakit. "Kau kambuh dan pingsan di dalam taksi, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mengantarkanmu ke sini?" tanya Daniel. "Semua orang sibuk, Niel," jawab Elizabeth parau. "Hari ini ulang tahun anakku… tadi kepalaku sakit dan aku lupa membawa obat, jadi aku kabur ke sini." Daniel menghela napas dan menatapnya iba. Ia meraih sebotol air mineral dan menyerahkan pada Elizabeth. "Minumlah dulu, tenangkan sejenak pikiranmu. Aku akan mengantarkanmu pulang n
Elizabeth yang baru turun dari dalam mobil milik Daniel, terkejut melihat sosok laki-laki yang kini berdiri tegap di ambang pintu rumah megah di depan sana. Dan begitu pula dengan Daniel, laki-laki itu memperhatikan wajah Elizabeth yang berubah pucat dan cemas. "Elizabeth ayo, aku akan bantu jelaskan pada suamimu agar dia tidak salah paham." Daniel menoleh pada Elizabeth sambil tersenyum menenangkan. "I-iya, Niel," jawab Elizabeth ragu-ragu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga teras. Elizabeth meremas dress yang ia pakai saat sorot mata dingin Evan tertuju padanya. Detak jantungnya berpacu, entah bagaimana ia mengatakan perasaannya kini. Sosok Evan berdiri tegap dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai dari pesta. Wajahnya kaku dan sorot elangnya nyalang tertuju pada Elizabeth. "Evan," lirih Elizabeth menatap suaminya ragu. Iris mata hitam Evan teralihkan pada sosok laki-laki yang berdiri di samping Elizabeth. Evan tidak mendengarkan panggilan Elizabeth, justru
Pagi itu, Elizabeth merasakan tempat tidurnya bergerak perlahan, sebuah tangan mungil memeluknya dengan erat. Pipinya dihujani kecupan ringan dengan suara gemas sebelum terdengar bisikan lembut dan manis. "Mama... Mama, Exel sudah pulang," bisik anak itu membangunkan Elizabeth. Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan. Wajah lucu Exel yang pertama kali ia lihat, anak itu tersenyum memeluknya dengan erat. Elizabeth pun langsung memeluk putranya tersebut dengan tak kalah erat. "Sayang..." "Mama kenapa kemarin tidak ada? Mama ke mana? Exel nangis mencari Mama!" seru anak laki-laki itu menggembung kedua pipinya. Elizabeth duduk dan memangku Exel. Ia tersenyum menatap wajah tampan putranya yang nampak memprotesnya. "Mama ada urusan, Sayang. Maaf kalau Mama tidak berpamitan dengan Exel, jangan marah sama Mama ya nak," ujar Elizabeth mengusap pipi gembil bocah itu. Kedua mata Exel mengerjap pelan dan dia menggeleng tulus. "Tidak, Exel tidak marah sama Mama. Tapi Exel marah sama P
Hari-hari yang Elizabeth lalui kini menjadi sangat sepi dan kekosongan mengisi hidupnya. Lebih tepatnya saat Exel dijauhkan dan tidak dibawa pulang ke rumah oleh Evan selama beberapa hari ini. Pria itu sungguh menggenapi ucapannya tempo hari. Elizabeth tidak boleh mendekati Exel sama sekali. Elizabeth berusaha untuk berbesar hati. Meski terasa menyakitkan karena ia sangat menyayangi Exel, tapi ia memutuskan untuk terus melangkah ke depan. Ada hal yang harus ia prioritaskan lebih dulu. Siang ini, Elizabeth berjalan melangkahkan kakinya dengan cepat di lorong sepi rumah sakit. Ia sudah membuat janji cek up dengan dokter Daniel, sahabatnya. "Selamat siang," sapa Elizabeth membuka pintu ruangan periksa. Seorang laki-laki tampan dengan jas putihnya menoleh, Daniel menatapnya dan tersenyum. "Siang, Elizabeth." Daniel beranjak dari duduknya. "Kau berangkat dengan siapa?" "Sendirian, Niel." Elizabeth duduk di sebuah ranjang pemeriksaan seperti biasa. Laki-laki itu mengangguk sa
Setelah meninggalkan rumah, Elizabeth langsung mendatangi tempat Moris—tempat di mana ia akan tinggal dan bekerja mulai sekarang. Dengan senang hati, Moris menyambut Elizabeth. "Elizabeth, kau tidak perlu sungkan-sungkan, anggap saja di sini seperti rumahmu sendiri." Wanita dengan rambut ikal itu membukakan pintu kamar untuk Elizabeth, mereka masuk ke dalam sana. Ruangan yang tidak terlalu luas, namun bersih dan nyaman. Berisikan ranjang kecil, lemari kayu, dan ada beberapa box berisi kertas bunga di sana. Elizabeth tersenyum melihat ruangan itu. Ia merasa bersyukur bisa mendapatkan tempat tinggal yang baru secepat ini. "Terima kasih, Ris, kau sudah memberiku pekerjaan dan juga tempat tinggal. Aku berutang banyak padamu,” ucap Elizabeth dengan begitu tulus. "Santai saja, El. Sekarang kau bisa meletakkan pakaianmu di lemari kayu itu, dan istirahatlah." Moris tersenyum menepuk pundak Elizabeth. "Malam ini akan ada banyak pesanan bungaku yang datang dari Colmar, jadi nanti kau
Setelah dua hari Elizabeth pergi, Evan merasakan kejanggalan dalam hidupnya, termasuk dengan Exel yang sering banyak menangis mencari wanita itu. Pagi ini, kediaman Evan kedatangan Mama dan juga mantan istrinya, yang datang untuk menghibur Exel dan membujuknya untuk diajak bermain. "Evan, mulai sekarang biar aku saja yang menjaga Exel. Kau tidak perlu khawatir tentang anak kita," ujar Clarisa tersenyum manis pada Evan. "Ya, lagipula Clarisa ini Mama kandungnya Exel, Mama yakin kalau dia lebih pandai menjaga Cucu Mama daripada wanita tidak bertanggung jawab itu!" sahut Melody dengan dengusan kesal. Evan hanya diam dan mengangguk, laki-laki itu memperhatikan putranya yang hanya diam duduk di atas sofa memeluk boneka yang Elizabeth belikan beberapa bulan yang lalu. Anak itu tidak mau bermain, tidak mau bicara dengan siapapun. Dia juga susah makan, dan selalu menangis mengamuk tiap kali seseorang membujuknya. Evan mendekati sang putra dan mengusap pucuk kepala Exel dengan lemb
Pagi ini, di tempat lain, Elizabeth sangat sibuk dengan banyaknya pesanan bunga yang harus dia antarkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Wanita itu merasa senang dia bisa bebas dan bertemu dengan banyak orang di luar, hal yang selama ini tidak pernah ia rasakan sebab dirinya selalu terkurung di dalam rumah. Sekarang, Elizabeth merasa sangat mencintai pekerjaan barunya. "Akhirnya tinggal satu buket bunga lagi," ucap Elizabeth membawa seikat bunga berukuran sedang dalam keranjang sepedanya. Elizabeth menuntun sepedanya dan berjalan masuk ke dalam sebuah taman. Pemandangan pagi yang cukup cerah, Elizabeth tidak pernah merasakan kesejukan ini selama tiga setengah tahun tepatnya saat ia sudah menikah. 'Jadi seperti ini nikmatnya hidup yang sesungguhnya, apa ini yang namanya kebebasan? Tidak ada yang perlu aku tangisi lagi, dan aku yakin aku pasti sembuh dari sakitku.' Elizabeth memejamkan kedua matanya menarik napasnya dalam-dalam dan kembali berjalan dengan langkah penuh se
Tak ada yang bisa membujuk Pauline sama sekali. Baik Exel maupun kedua orang tuanya, hingga mereka semua menyerah dan membiarkan Pauline melakukan apapun yang dia sukai. Exel juga berpesan pada Mama dan Papanya untuk tidak memarahi adiknya bila terjadi sesuatu. Karena malam ini, Exel kembali pulang ke rumahnya. "Kasihan sekali Pauline ... aku memintanya besok untuk datang ke rumah kita. Siapa tahu dia mau," ujar Hauri. Exel mengangguk. "Aku rasa juga begitu. Semoga saja dia mau," jawabnya. Sepanjang perjalanan, Hauri bercerita ini dan itu. Gadis itu juga tidak henti-hentinya mengatakan kalau ia sangat mencemaskan adik iparnya. Exel pun memahami perasaan itu. Namun ia menganggap kalau Pauline sudah besar, pasti dia bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Jadi, Exel lebih fokus pada Istrinya dan juga pada rumah tangga mereka berdua. "Sayang, kau ingin membeli sesuatu?" tawar Exel menoleh pada istrinya. "Tidak, aku tidak ingin membeli apapun," jawab gadis itu. "Mama tadi memb
Hauri masuk ke dalam kamar Pauline. Di sana, ia melihat Pauline yang tengah sibuk dengan kanvas dan cat airnya. Entah sejak kapan gadis itu senang mengurung diri dan menyendiri. Pauline duduk di balkon kamarnya, hingga ia tidak tahu bila Hauri masuk ke dalam kamarnya. "Wahh ... cantik sekali gambaranmu, Pauline," puji Hauri tiba-tiba. Suaranya membuat Pauline sontak menoleh ke belakang di mana Hauri berdiri. Pauline tersenyum manis. "Kakak, sejak kapan Kakak di sana?" tanyanya. Hauri tersenyum tipis. "Sejak tadi. Pauline saja yang tidak tahu," jawabnya. "Sini, Kak." Perlahan Hauri melangkah mendekatinya. Ia duduk di samping Pauline yang masih meneruskan lukisannya. "Sejak kapan suka melukis? Kakak tidak pernah melihatmu suka melukis biasanya," ujar Hauri bertanya. Pauline tersenyum. "Sudah lama, Kak. Tapi memang tidak Pauline kasih tunjuk pada siapapun. Semua kanvasnya juga Pauline sembunyikan di dalam ruangan ganti," jawab gadis itu. Hauri terkekeh. "Pauline ... Pauline, k
Kabar kehamilan Hauri sudah terdengar oleh semua keluarga, bahkan beberapa teman Exel juga mengucapkan selamat pada mereka. Termasuk sahabat dekatnya, Heiner yang malam ini datang berkunjung ke rumah mereka membawakan beberapa makanan dan buah-buahan. Sejak dulu hingga kini, memang Heiner yang jauh lebih dekat dan perhatian. "Sekarang tinggal kau saja yang belum menikah, Heiner. Mau sampai kapan kau terus menyendiri?" tanya Exel pada sahabatnya itu. Heiner terkekeh. "Entahlah, tapi aku benar-benar menikmati hidupku saat ini," jawabnya."Saat waktunya tiba, jodohmu pasti juga akan datang, Heiner," sahut Hauri mendekati dua laki-laki itu membawakan cemilan dan juga buah-buahan. "Benar, Hau. Aku malah berpikir kalau aku ingin mendekati Pauline ... supaya aku merasakan, sepertinya enak juga menjadi menantu Keluarga Collin," ujarnya dengan percaya diri, sebelum sebuah bantalan sofa mendarat di wajahnya. Exel menatap tajam dan kesal. "Kalau kau ingin mendekati adikku, kau harus melawa
Pagi ini Hauri pergi ke rumah sakit ditemani oleh Exel. Tetapi, ia tidak pergi menemui Dokter William lagi, melainkan Hauri akan pergi ke dokter kandungan saat ini.Bersama dengan suaminya, Hauri baru saja menyelesaikan pemeriksaan. Mereka duduk menunggu hasil periksa dengan perasaan mendebarkan. "Nyonya pasti sering pusing dan mual akhir-akhir ini?" tanya dokter perempuan itu. Hauri mengangguk. "Iya dok, kemarin saat menghubungi Mama mertua saya, Mama meminta saya untuk langsung periksa," ujarnya. Dokter itu tersenyum. "Ya, memang seharusnya begitu, Nyonya," jawabnya. "Dan ... dari hasil pemeriksaan yang telah saya lakukan, Nyonya saat ini sudah mengandung berusia hampir lima minggu. Mungkin Nyonya tidak sadar saat Nyonya mengalami terlambat datang bulan." Hauri terdiam menggenggam erat tangan Exel. Laki-laki itu juga tercengang, tak percaya diselimuti kebahagiaan yang luar biasa. "Ja-jadi, istri saya hamil, dok?" tanya Exel dengan kedua mata berbinar-binar. "Benar, Tuan. Selam
Beberapa Minggu Kemudian....Suara hujan deras malam ini membuat suasana menjadi sangat dingin. Hauri, gadis cantik itu duduk di sofa di dalam ruang tamu seorang diri. Sementara Exel, suaminya berada di dalam ruangan kerjanya dan tampak sedang bertelfonan dengan rekan kerjanya membahas meeting siang tadi. "Dia selalu memprioritaskan pekerjaanmu daripada aku, sekarang. Apa dia sudah bosan padaku?" Hauri mengomel kesal. Ia memeluk bantalan sofa erat-erat. "Laki-laki sepertinya memang sangat tega." Lebih dari satu jam Hauri menggerutu dengan sikap Exel yang menyebalkan. Gadis itu marah dan kesal lantaran Exel tiba-tiba menerima meeting sore tadi, padahal Exel sudah berjanji mengajak Hauri jalan-jalan. Hauri yang sudah sangat senang pun ia menolak untuk dibohongi. Karena tak sekali dua kali Exel selalu mengajaknya pergi, tapi ujung-ujungnya selalu gagal. Tak lama kemudian, Exel keluar dari dalam ruangan kerjanya. Ia menoleh ke arah Hauri yang duduk di sofa dengan wajah kesal. "Say
Elizabeth sungguh mengunjungi Hauri pagi ini. Ia membawakan banyak cemilan dan juga makanan lainnya. Ditemani oleh Pauline yang juga ikut datang berkunjung bersama sang Mama. Kedatangan mereka disambut dengan senang oleh Hauri dan Exel. "Maaf ya, Ma, Hauri belum menyiapkan makanan apapun. Hauri bangun kesiangan," ujar gadis itu. "Iya, Sayang, tidak papa." Elizabeth tersenyum hangat. Pauline menatap sang Kakak ipar. "Kak Hauri seperti Pauline saja," ujarnya. "Semalam aku juga lembur karena tugas, Kak. Jadi tadi bangun kesiangan, mandi, bersiap sebentar terus langsung ke sini. Kalau Kak Hauri sibuk apa sampai bangun kesiangan?" Pertanyaan itu membuat Hauri merasa malu tiba-tiba. Sambil menyiapkan minuman di dapur, tanpa terasa pipinya merah mengingat semalam ia hanya menghabiskan sepanjang malam dengan suaminya. "Pauline, setiap orang itu punya kesibukan sendiri-sendiri. Begadang bukan hanya mengerjakan tugas, insomnia juga bisa," sahut Elizabeth menanggapi putrinya. "Emmm ... be
"Aku rasa, aku tidak bisa berkumpul dengan para wanita seperti istri rekan kerjamu tadi, Sayang."Hauri menatap Exel yang kini melepaskan kemeja putihnya dan menoleh pada Hauri yang tengah duduk di tepi ranjang kamar mereka. "Bukan tidak bisa, hanya belum terbiasa," jawabnya. "Mereka semua awalnya bertanya tentang kesibukanku, lalu bisnisku, lalu sedikit bertanya-tanya tentang latar belakangku," ujar Hauri bercerita. Dengan iris mata hitamnya, Hauri menatap sang suami lekat-lekat. "Apa memang seperti itu, perbincangan para masyarakat kelas atas?" tanyanya. Exel terdiam sesaat. Laki-laki itu membalikkan badan dan berjalan mendekati sang istri. "Tidak semua. Buktinya Mama ... juga tidak seperti mereka, kan?" "Heem. Aku pikir orang yang aku temui semuanya akan seperti Mama, ternyata tidak." Exel menyahut kimono putih di atas ranjang dan tersenyum pada Hauri sebelum melangkah masuk ke dalam ruang ganti. Hauri mengembuskan napasnya panjang dan berbaring di atas ranjang. Sampai Exe
Setelah pertengkaran kemarin-kemarin, hubungan Exel dan Hauri kembali terjalin hangat. Exel benar-benar merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan pada istrinya. Malam ini, mereka berdua tampak bersiap-siap pergi. Exel mendapatkan ajakan makan malam bersama para rekan dan sahabatnya di sebuah restoran. Exel pun datang dalam acara itu bersama Hauri. "Sayang...." "Hm?" Exel menoleh menatap Hauri yang memeluk lengannya. "Kenapa?" "Apa temanmu ada yang sudah punya istri?" tanya Hauri."Ada. Ada beberapa dari mereka yang sudah menikah, sepertinya istrinya juga diajak. Nanti kau harus menyapa mereka, oke?" Exel tersenyum mengecup pucuk kepala Hauri. Gadis itu mengangguk. "Iya." Dengan balutan dress panjang berwarna merah, dibalut blazer hitam berbahan hangat, Hauri tampak cantik malam ini. Rambutnya yang sudah panjang sebahu pun tertata rapi dengan hiasan jepit mutiara. Bersama dengan Exel, mereka berdua masuk ke dalam sebuah restoran. Di sana, tampak seorang laki-laki melambaikan t
Seperti biasa, saat Evan sedang ada jadwal di luar kota, Exel lah yang menggantikan posisinya untuk meeting. Seperti hari ini Exel yang memimpin meeting penting selama dua jam yang lalu hingga rapat penting itu usai dan satu-persatu anggota meeting telah kembali. Di dalam ruangan itu hanya tersisa Exel, Jericho, dan juga Heiner bersama beberapa rekan yang lainnya. "Exel, kau sedang tidak marahan dengan istrimu, kan?" tanya Heiner tiba-tiba. Exel mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan temannya tersebut. Pasalnya, Exel dan Hauri baru saja ribut dan bagaimana Heiner bisa tahu?"Kenapa memangnya?" jawab Exel sambil membaca beberapa berkas di hadapannya. "Tidak papa, hari Selasa kemarin aku melihat Hauri datang ke sini. Tapi dia langsung pulang. Sepertinya dia tampak sedih," ujar Heiner.Exel tidak menjawab dan hanya diam. Bahkan dalam hatinya ia terkejut kalau istrinya datang ke kantor. "Hauri memang datang, mengantarkan makan siang untuk Tuan Exel. Tapi Tuan Exel justru makan s