Setelah meninggalkan rumah, Elizabeth langsung mendatangi tempat Moris—tempat di mana ia akan tinggal dan bekerja mulai sekarang. Dengan senang hati, Moris menyambut Elizabeth. "Elizabeth, kau tidak perlu sungkan-sungkan, anggap saja di sini seperti rumahmu sendiri." Wanita dengan rambut ikal itu membukakan pintu kamar untuk Elizabeth, mereka masuk ke dalam sana. Ruangan yang tidak terlalu luas, namun bersih dan nyaman. Berisikan ranjang kecil, lemari kayu, dan ada beberapa box berisi kertas bunga di sana. Elizabeth tersenyum melihat ruangan itu. Ia merasa bersyukur bisa mendapatkan tempat tinggal yang baru secepat ini. "Terima kasih, Ris, kau sudah memberiku pekerjaan dan juga tempat tinggal. Aku berutang banyak padamu,” ucap Elizabeth dengan begitu tulus. "Santai saja, El. Sekarang kau bisa meletakkan pakaianmu di lemari kayu itu, dan istirahatlah." Moris tersenyum menepuk pundak Elizabeth. "Malam ini akan ada banyak pesanan bungaku yang datang dari Colmar, jadi nanti kau
Setelah dua hari Elizabeth pergi, Evan merasakan kejanggalan dalam hidupnya, termasuk dengan Exel yang sering banyak menangis mencari wanita itu. Pagi ini, kediaman Evan kedatangan Mama dan juga mantan istrinya, yang datang untuk menghibur Exel dan membujuknya untuk diajak bermain. "Evan, mulai sekarang biar aku saja yang menjaga Exel. Kau tidak perlu khawatir tentang anak kita," ujar Clarisa tersenyum manis pada Evan. "Ya, lagipula Clarisa ini Mama kandungnya Exel, Mama yakin kalau dia lebih pandai menjaga Cucu Mama daripada wanita tidak bertanggung jawab itu!" sahut Melody dengan dengusan kesal. Evan hanya diam dan mengangguk, laki-laki itu memperhatikan putranya yang hanya diam duduk di atas sofa memeluk boneka yang Elizabeth belikan beberapa bulan yang lalu. Anak itu tidak mau bermain, tidak mau bicara dengan siapapun. Dia juga susah makan, dan selalu menangis mengamuk tiap kali seseorang membujuknya. Evan mendekati sang putra dan mengusap pucuk kepala Exel dengan lemb
Pagi ini, di tempat lain, Elizabeth sangat sibuk dengan banyaknya pesanan bunga yang harus dia antarkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Wanita itu merasa senang dia bisa bebas dan bertemu dengan banyak orang di luar, hal yang selama ini tidak pernah ia rasakan sebab dirinya selalu terkurung di dalam rumah. Sekarang, Elizabeth merasa sangat mencintai pekerjaan barunya. "Akhirnya tinggal satu buket bunga lagi," ucap Elizabeth membawa seikat bunga berukuran sedang dalam keranjang sepedanya. Elizabeth menuntun sepedanya dan berjalan masuk ke dalam sebuah taman. Pemandangan pagi yang cukup cerah, Elizabeth tidak pernah merasakan kesejukan ini selama tiga setengah tahun tepatnya saat ia sudah menikah. 'Jadi seperti ini nikmatnya hidup yang sesungguhnya, apa ini yang namanya kebebasan? Tidak ada yang perlu aku tangisi lagi, dan aku yakin aku pasti sembuh dari sakitku.' Elizabeth memejamkan kedua matanya menarik napasnya dalam-dalam dan kembali berjalan dengan langkah penuh se
Sampai sore hari, Elizabeth masih mengantarkan beberapa pesanan bunga. Meskipun merasa lelah, Gadis itu tidak sedikit pun mengeluh. Untuk pesanan terakhir, ia mengantar pesanan bunga di sebuah rumah makan. Elizabeth meninggalkan sepedanya di depan dan berjalan masuk ke dalam sana. "Tuan Jhony Ereland, di meja nomor dua belas," ucap Elizabeth membaca nama pemesan bunga pada kertas yang dia bawa. Elizabeth berjalan mendekati meja nomor dua belas di sudut ruangan. Seorang laki-laki yang tengah berbincang dengan ponselnya. "Permisi Tuan, apa benar Anda Tuan Jhony?" tanya Elizabeth mendekat. "Oh ya, saya sendiri—" Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu menoleh cepat, dia menghentikan ucapannya dan menatap Elizabeth dengan kening berkerut sebelum meletakkan ponselnya. Elizabeth menatap balik laki-laki itu dengan ekspresi bingung. Ia segera meletakkan buket bunga itu di atas meja. "Ini bunga yang Tuan pesan. Pembayarannya sudah Tuan kirim langsung ke toko, kan?" Elizabeth be
Seharian penuh Clarisa bersama Exel, bahkan petang ini wanita itu masih menemani anaknya di kediaman Evan. Clarisa sangat kesal dengan Exel yang sangat sulit sekali dibujuk untuk makan dan ingin makan disuapi oleh Elizabeth. "Exel, ayo makan sedikit saja, Sayang... Mama capek-capek memasakkan makanan yang kau minta," bujuk Clarisa duduk di samping Exel. "Tidak mau, masakan Tante tidak enak! Tidak seperti masakan Mamaku!" pekik Exel menutup mulutnya cepat. Clarisa berdecak kesal. "Mamamu tidak ada di sini, sekarang ayo makan! Dari siang kau belum makan, terus mengamuk seharian!" omel Clarisa. Exel menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan tetap menutup mulutnya. Dia menatap Clarisa dengan tatapan mata marah. Namun di sisi lain, anak itu takut pada Clarisa. "Exel mau makan masakan Mama! Tante pergi saja dari sini, Exel tidak suka Tante!" teriak Exel berdiri memeluk boneka gajahnya. Clarisa yang sudah kehabisan kesabaran, melemparkan piring di tangannya di depan Exel hingga b
Elizabeth menjalani pengobatan terapi di rumah sakit siang ini, setelah kemarin Daniel mengingatkannya. Kondisi Elizabeth kini masih lemas usai proses pengobatannya beberapa menit yang lalu, dia masih berbaring di atas ranjang di dalam sebuah ruangan bersama Daniel yang menemaninya. Dokter tampan itu tersenyum tulus menatap Elizabeth. "Ada kabar bagus, Elizabeth," ucap laki-laki itu setengah berbisik. "Ada apa?" Elizabeth mengerjapkan kedua mata birunya. "Apa tentang sakitku? Aku tidak papa kan, Niel?" Kekehan terdengar dari bibir Daniel. "Tidak papa. Justru sekarang kondisimu lebih baik dari yang kemarin-kemarin, sudah berangsur membaik beberapa persen." Senyuman yang terukir di bibir tipis Daniel seolah menular pada Elizabeth. Gadis itu ikut tersenyum lega. "Syukurlah. Terima kasih banyak, Niel, kau selalu ada untukku. Bahkan kau sudah membantuku sejauh ini," ucap Elizabeth dengan sangat tulus. Daniel mengangguk. "Sama-sama, Elizabeth. Asal kau selalu menjaga kesehatan
Hari sudah gelap, jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Evan baru saja keluar dari dalam ruangan kerjanya, laki-laki itu berjalan santai sembari memijit pangkal hidungnya. Namun, langkah lebar Evan terhenti saat ia mendengar suara lucu Exel yang nampak asik berbincang sendiri di dalam ruangan keluarga. "Exel, dia belum tidur?" Evan membuka pintu di depannya, ia melihat putranya yang tengah bermain bersama mainan-mainannya. Anak itu tidak lagi menangis, tidak marah-marah, tidak lesu dan melamun lagi. Exel bahkan kini tersenyum dan sangat ceria seperti saat bersama Elizabeth. 'Tumben sekali Exel tidak seperti biasanya, bahkan saat dia sendiri tanpa Clarisa.' Evan menepis rasa keheranan di benaknya. Ia berjalan mendekati Exel yang duduk di atas alas lantai dan asik berbincang dengan mainannya. "Sayang, kenapa belum tidur?" tanya Evan kini duduk di samping Exel. "Exel masih mau main, Pa," jawab anak itu sibuk sendiri. Evan menatap boneka koala berukuran sedang milik Exel. N
"Elizabeth, bisakah kau mengantarkan bunga ke alamat ini, aku ada acara penting dengan rekanku sekarang."Moris mendekati Elizabeth dan meletakkan sebuah kertas merah muda yang tertuliskan sebuah alamat suatu tempat. Elizabeth meraih kertas itu dan mengangguk. "Bisa, aku akan membuat dan mengantarkan pesanannya." "Baguslah, kalau begitu aku berangkat sekarang..." "Iya. Hati-hati, Ris!" Elizabeth tersenyum melambaikan tangannya.Sepeninggal Moris dari toko, Elizabeth langsung mengerjakan pesanan yang harganya cukup mahal. Beberapa bunga mawar merah pilihan yang berukuran besar, Elizabeth mencoba untuk berhati-hati mengerjakannya karena dari jenis dan bunga pilihan yang dipesan itu tidaklah murah. Butuh satu jam lebih gadis itu menyelesaikan bouquet bunga mawar tersebut. Hingga kini Elizabeth bisa bernapas lega setelah menyusunnya dengan cantik dan rapi. "Huffttt... Akhirnya selesai!" ucap Elizabeth lega, merasa puas dengan hasil kerjanya. Buru-buru Elizabeth bersiap untuk pergi m
Sepulang dari rumah sakit, Xander mengajak Pauline makan siang bersama di sebuah rumah makan mewah, yang berada di hotel bintang lima. Xander membebaskan Pauline untuk memilih makanan apapun yang diinginkan gadis itu. "Makan yang banyak, kalau ada yang ingin tambah bilang saja," ujar Xander menatapnya. "Emmm ... aku tadi tidak salah pilih menu kan, Kak?" tanyanya tiba-tiba. Ia menatap menu makanannya dan menatap lagi menu makanan milik Xander. Laki-laki itu paham, ia langsung menggeser piringnya ke hadapan Pauline. Barulah gadis itu tersenyum padanya. "Tidak marah, kan?" "Tidak, Pauline..." Xander mengusap pucuk kepala Pauline dengan lembut dan penuh kasih sayang. Gadis itu memakannya dengan lahap, Xander merasa lega melihat Pauline yang sangat bersemangat seperti ini. "Pauline, aku boleh bertanya sesuatu padamu...." Gadis itu mengangguk. "Tanya apa?" Xander tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya menyilakan rambut Pauline lagi ke belakang telinganya. "Kalau misalkan kau
"Tuan, sebentar lagi ada jadwal untuk bertemu dengan Tuan Wister pukul sepu—""Batalkan!" Xander menyela cepat. "Aku ada acara penting pagi ini." Julius yang berjalan di belakangnya pun langsung mencoret jadwal yang ditolak oleh Xander. Decakan kesal terdengar lagi dari bubur Xander. Laki-laki itu menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. "Aku harus pergi sekarang juga," ujar Xander menatap ajudannya tersebut. "Tuan mau ke mana?" Alih-alih menjawab, Xander justru bergegas pergi saat itu juga meninggalkan Julius di lorong kantor. Xander keluar dari dalam kantornya, ia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan penuh sambil mengumpat-umpat. "Bagaimana bisa meeting ini memakan waktu lebih lama dari dugaanku!" geramnya. "Gadis itu, pasti sendiri!" **Sementara di suatu tempat, Pauline duduk seorang diri di sebuah bangku tunggu di dalam rumah sakit. Gadis itu menunggu antrean namanya dipanggil di dalam poli kand
Usai lelah berjalan-jalan ke sana dan kemari, Xander mengajak Pauline duduk di sebuah bangku kayu di sebuah taman yang masih menjadi satu kawasan dengan pasar malam. Pauline menatap beberapa barang yang ia beli. Wajahnya sangat antusias dan ceria, hingga membuat Xander juga merasa senang. "Kau tidak lelah?" tanya Xander sambil menyilakkan rambut panjang Pauline ke belakang telinga. "Tidak, Kak." Pauline menatap lampu hias di tangannya dan sebuah jepit mutiara yang Xander belikan untuknya. "Aku akan memakai jepit ini besok, saat pergi ke rumah sakit." Xander menatapnya dengan senyuman tipis. "Ke rumah sakit?" "Heem, besok ada jadwal cek kandunganku. Tapi aku akan meminta antar Paman Jericho saja ke sana, nanti aku masuk sendiri..." Pauline memasang wajah pias. "Rasanya aneh, kadang juga nelangsa ... saat semua orang datang bersama suami mereka. Tapi..." Gadis itu menyentuh perutnya di balik dress panjang berwarna kuning cerah itu. "Anakku tidak punya seorang Papa ... bahkan aku
Xander tidak pernah main-main dengan ucapannya. Malam ini, laki-laki itu mengunjungi kediaman Evan, tepat pukul setengah tujuh malam. Kedatangannya dibukakan pintu oleh Pauline, lagi-lagi. Gadis itu mendongak menatap Xander yang tersenyum padanya. "Ka-Kak Xander kenapa ke sini? Kak Exel sudah pulang dan—""Aku ingin bertemu dengan Adiknya Exel," jawab laki-laki itu membungkukkan badannya tepat di hadapan wajah Pauline. Kedua pipi Pauline bersemu. Gadis itu mundur satu langkah dan mengulurkan tangannya meminta Xander masuk. Tak lama kemudian, tampak Evan keluar dari dalam ruangan kerjanya. Dia tersenyum saat melihat sosok Xander masuk ke dalam rumah dan diikuti Pauline di belakangnya. "Ternyata ada tamu," ujar Evan tersenyum. "Iya, Om." "Kau sudah membuat janji dengan Exel? Apa kalian sengaja ketemuan di sini?" tanya Evan kini duduk di hadapan Xander. Dari belakang muncul Elizabeth. "Mungkin Exel sebentar lagi juga ke sini." Xander terkekeh. "Tidak Om, Tante. Saya tidak membua
Evan dan Elizabeth pergi ke luar kota sejak petang. Mereka berdua meninggalkan Pauline di rumah dengan Exel dan Hauri. Pauline sudah bangun sejak pukul lima, tepatnya sejak Mama dan Papanya pergi. Hingga kini, gadis itu duduk di dalam rumah, diam melamun mengusap perutnya sembari menatap suasana pagi yang berkabut. "Aku ingin memakan sesuatu yang manis," ucap Aleena menatap perutnya dan mengelusnya pelan. "Kau ingin makan dengan apa, Nak? Kenapa Mama ingin makan yang manis-manis?" Pauline tersenyum. "Emm ... jam segini di mana ada orang menjual cupcake rasa stroberi? Ingin sekali rasanya..." Pauline yang tengah sibuk mengusap perutnya, tiba-tiba ia melihat cahaya lampu mobil yang menyala dan sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan rumahnya. Bila penjaga depan mengizinkan orang itu masuk ke pekarangan rumah, berarti orang itu adalah orang terdekat keluarganya. Gadis itu beranjak seketika. "Siapa?" gumamnya. Pauline berjalan membuka pintu rumahnya, udara dingin dan kabut pu
"Salah satu Cucu Keluarga Rowand menghamili adikku, dia merenggutnya tanpa belas kasih, adikku sempat hampir gila selama beberapa minggu gara-gara bajingan Arthur!" Mendengar cerita panjang lebar yang Exel ungkapkan, Xander hampir tak percaya sama sekali dengan kenyataan pahit tentang Pauline yang ia dengar. Rasa kesal dan marah membumbung di dalam hatinya. Tak heran bila Pauline yang dulunya gadis kecil ceria berubah murung seperti itu, bahkan tatapannya padanya seperti takut dan benci, padahal kali ini mereka bertemu setelah terpisah semenjak mereka masih kecil. Xander menyandarkan punggungnya di kursi kayu di teras samping rumah orang tua Exel. "Di mana sekarang laki-laki bernama Arthur itu?" tanya Xander dengan wajah dingin dan datar. "Entahlah. Aku dan Papa masih terus melakukan penelusuran dan pencarian pada keluarga Rowand," jawab Exel. "Mereka semua harus membayar apa yang telah mereka lakukan pada adikku." "Aku akan ikut mencari tahu tentang mereka," ujar Xander menatap
Hari berlalu, musim pun berganti. Usia kandungan Pauline sudah beranjak ke lima bulan dan sudah tampak menyembul besar. Bersama dengan sang Mama, pagi ini Pauline datang ke dokter untuk memeriksakan kondisi bayinya. Dan hasil pemeriksaan mengatakan kalau kandungan Pauline benar-benar sehat. "Sayang, sebelum pulang, Pauline tidak menginginkan sesuatu?" tawar Elizabeth menatap putrinya. "Kue, roti, atau buah?" "Emm ... Pauline ingin beli es krim di dekat taman, Ma. Seperti yang kemarin Kakak belikan," jawab gadis itu. "Oke, kita ke sana sekarang. Jalan kaki saja, bagaimana?" tawar Elizabeth. Dengan antusias Pauline menganggukkan kepalanya. Gadis itu berjalan ke sebuah kedai es krim bersama Mamanya. Pauline menatap taman yang tampak sangat ramai pagi ini. Ia melihat anak-anak kecil berlarian bersama orang tua mereka. "Sayang, ini es krimnya ... rasa stroberi, kan?" Elizabeth menyerahkan pada sang putri. "Iya, Ma. Terima kasih." Pauline tersenyum manis meraih es krim
Mual-mual hebat dialami oleh Pauline setiap hari hingga membuatnya frustasi. Namun, perhatian Mama dan Papanya tidak pernah luput sehari pun. Seperti pagi ini, Pauline baru saja memuntahkan isi perutnya, padahal ia baru saja sarapan. Hingga wajahnya sangat pucat dan tubuhnya lemas. "Sayang, minum teh hangatnya dulu, Nak..." Elizabeth meraih segelas teh yang dibawakan oleh pembantunya. Ia merangkul Pauline yang duduk memeluknya. Gadis itu meminum teh hingga habis dan diam dengan napas yang mulai teratur. "Sampai kapan aku seperti ini, Ma?" tanya gadis itu memeluk Elizabeth. "Aku tidak suka, anak ini sangat menyiksa!" "Hussss ... Sayang, tidak boleh bilang seperti itu, Nak." Elizabeth mendekapnya dengan hangat. Pauline menyembunyikan wajahnya dalam pelukan sang Mama. "Pauline gugurkan saja anak ini, Ma. Pauline tidak tahan lagi ... lagipula dia tidak punya seorang Papa. Hidupnya pasti akan menderita, lebih baik Pauline gugurkan saja...""Apa yang kau katakan, Sayang? Melakukan h
"Dia pasti puas melihat aku seperti ini! Dia pasti bahagia setelah membuatku seperti ini!" Suara teriakan itu berasal dari dalam kamar mandi. Malam ini Pauline tidak bisa tidur sama sekali, pikirannya sangat kacau. Ia bingung harus berbuat apa, hanya kebencian dan keputusan asaan yang terus menghantuinya hingga membuat gadis itu ingin menyerah hidup. "Kenapa aku harus hamil! Kenapa kau ada di dalam perutku! Aku benci dirimu, aku tidak mau menganggapmu sebagai anakku! Aarrgghhh ...!" Gadis itu memukuli lantai kamar mandi dan diam di bawah guyuran shower. Tak peduli bagaimana dinginnya air itu. Sementara di luar, Elizabeth tengah membuatkan sup kesukaan Pauline karena anak gadisnya sama sekali tidak mau makan. Elizabeth membuka pintu kamar Pauline, ia tidak menemukan anaknya di sana. "Pauline...." Elizabeth terlihat panik. Sebelum ia mendengar suara Isak tangis di dalam kamar mandi. Wanita itu bergegas membuka pintu kamar mandi. Kedua mata Elizabeth terbeliak melihat Pauline te