Di tempat lain, Elizabeth merenung memikirkan uang ganti rugi yang diminta oleh pelanggan yang memarahinya beberapa jam yang lalu. Gadis itu bingung bagaimana ia bisa mendapatkan uang dengan jumlah cukup banyak dalam waktu singkat."Tidak mungkin aku mengatakan ini pada Moris, pasti dia akan kecewa padaku," gumam Elizabeth. Dia menghentikan langkahnya dan duduk menekuk kedua lututnya di jalanan taman usai mengantarkan beberapa pesanan bunga. Kepalanya terasa pusing seketika. Dia tidak punya tempat untuk meminta pertolongan dalam keadaan seperti ini. Biaya pengobatannya sudah mahal, dan tabungan Elizabeth untuk pengobatan tidak mungkin dia ambil. "Tunggu..." Elizabeth menyentuh lehernya. Ia menatap kalung emas bermata hijau yang dia pakai. "Kalung dari Nenek, apa aku harus menjual ini?" Dalam diam Elizabeth berpikir, kalung yang ia pakai adalah kalung pemberian Neneknya sejak Elizabeth remaja, dan hanya ini satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Elizabeth menggelengkan kepa
Setelah kejadian kemarin, Elizabeth masih tidak menceritakan apapun pada Moris dan ia akan terus menyembunyikannya dengan baik. Dan malam ini Moris baru saja mengajak Elizabeth untuk makan malam bersama di luar. Keduanya kini tengah berjalan bersama untuk kembali pulang sembari bercanda tawa. Namun, saat tiba di seberang jalan di depan toko, Elizabeth dan Moris menatap tempat kerja sekaligus tempat tinggalnya yang kini porak poranda seperti baru saja diterjang badai. "Oh My God, Elizabeth! Mataku tidak salah lihat, kan?!" pekik Moris terkejut. Elizabeth menutup mulutnya tak percaya. “Moris, apa yang terjadi dengan toko bungamu?”Kedua gadis itu langsung berlari menyeberangi jalan, mereka berdiri di depan toko yang keadaannya kini sangat tak rapi lagi. Tanaman hias di luar hancur berserakan tak tersisa, bahkan kaca pintu retak. "Ya Tuhan, kenapa jadi begini? Apa yang terjadi?!" Elizabeth membuka pintu toko dan ternganga mendapati keadaan di dalam toko pun hancur berantakan. "Eliz
"Apa? Kau akan kembali ke Salzburg?!" Pekikan itu terdengar dari Daniel, laki-laki yang kini tengah duduk di hadapan Elizabeth."Iya Niel, tidak mungkin aku di sini melanjutkan pekerjaan kalau Moris saja memulainya dari awal, dia pasti juga harus menabung lebih banyak untuk memulihkan usahanya. Mungkin dalam waktu dekat aku memutuskan untuk kembali pulang." Daniel menghela napas pelan, laki-laki itu menatap Elizabeth dengan tatapan kasihan. Setelah dia terkejut mendapati toko bunga itu kini kacau karena ulah orang yang tidak mereka ketahui. "Elizabeth, apa kiranya kepulanganmu tanpa Evan tidak membuat Nenekmu kepikiran?" tanya Daniel. Elizabeth tersenyum pias. "Aku akan menjelaskannya." "Dia akan terkejut mengetahui kau dan Evan bercerai, apalagi kau sedang sakit. Nenek dan Bibimu di sana pasti akan syok." Jemari tangan Elizabeth meremas rok yang dia pakai. Demi Tuhan, Elizabeth bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. Daniel mencekal tangan Elizabeth dan menatapnya
Elizabeth merasa amat takut dan canggung setengah mati. Setelah dia menjauhi Evan dan memutuskan untuk tak bertemu lagi, kenapa sore ini laki-laki itu malah datang ke tempatnya? ‘Dari mana dia tahu keberadaanku?!’ batin Elizabeth tidak tenang.Teringat saat Moris mengatakan penolongnya adalah seseorang yang paling berpengaruh di kota, yang berbaik hati membantunya. Bagaimana Elizabeth bisa lupa bahwa suaminya adalah orang yang berkuasa… ‘Aku benar-benar bodoh!’ Elizabeth menggigit bibirnya gelisah. Tatapan Elizabeth teralih pada Evan yang tengah duduk menyilangkan satu kakinya, sedangkan Moris pergi ke luar untuk membeli sebuah hidangan makanan. "Jadi selama ini kau berada di sini?" Suara Evan yang berat dan dingin membuyarkan lamunan Elizabeth. Gadis itu sedikit menoleh. "Y-ya, tempat ini milik temanku." Bukannya ucapan atau perkataan yang Evan balaskan, melainkan kini laki-laki tampan itu tertawa pelan dan renyah dengan remeh, sebelum tawa itu lenyap dalam hitungan detik be
Elizabeth merasakan kondisinya menurun dua hari ini, lebih tepatnya saat ia baru saja bertemu dengan Evan. Gadis itu memutuskan untuk datang ke rumah sakit dan melakukan pengobatan rutinnya dengan tanganan dokter. Daniel, laki-laki berbalut jas putih itu terlihat cemas usai melakukan perawatan pada Elizabeth, ditemani dua suster yang kini melangkah keluar. "Kenapa kondisimu turun begini? Beberapa hari yang lalu padahal sudah lebih baik, Elizabeth. Apa yang terjadi?" tanya Daniel menatap Elizabeth yang masih berbaring. Elizabeth terdiam sejenak, rasanya tidak enak jika dia terus menerus menceritakan semuanya pada Daniel. "Aku baik-baik saja," jawab gadis itu. "Jangan bohong, Elizabeth. Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres padamu." Daniel kembali menatapnya dalam-dalam. Tatapannya membuat Elizabeth menggigit bibir menahan cemas. Sadar kalau dia tidak bisa menyimpan semuanya sendiri, Elizabeth akan merasa tertekan dan sakit. "Daniel, ternyata orang yang memberikan bantuan
Pagi ini di kediaman Evan sudah kedatangan Mamanya dan Clarisa yang datang bersama, nampaknya kedua wanita itu berjanjian. Melody merasa marah setelah mendengar cerita Clarisa bahwa semalam Clarisa dan Evan bertemu dengan Elizabeth bersama selingkuhannya. Wanita tua cantik itu tidak segan memerintah putranya untuk segera berpisah dengan Elizabeth. "Apa lagi yang kau harapkan dari wanita seperti dia, Evan! Sudah jelas dia mengkhianatimu, berselingkuh di depan kedua matamu!" pekik Melody dengan nada tinggi. "Bisa tidak bisa, cepat cerai darinya!" Evan berdehem pelan. "Itu urusanku Ma, aku bisa memutuskannya sendiri." "Ck! Mama harap kau tidak perlu menunggu-nunggu lagi untuk menghempaskan gadis itu!" Melody kembali berucap. Clarisa mencekal lembut tangan Melody dan berkata, “Tenanglah Tante, aku yakin Evan akan mengambil keputusan yang terbaik untuknya. Bukankah begitu, Van?”Tapi Evan hanya bergeming, tidak memberikan jawaban apa-apa. Melody masih memperhatikan putranya yang setia
Hari sudah larut saat Elizabeth menutup toko bunga. Ia langsung bergegas ke dalam kamar dan mengeluarkan tas besar miliknya, lalu mengemas semua pakaiannya. Elizabeth tidak punya pilihan lain kali ini, gadis itu memutuskan untuk pergi dan tidak lagi tinggal bersama Moris. Ia ingin berusaha untuk tetap menjauh dari Evan."Eli lihat ini, besok kita ada pesanan bunga sangat banyak—"Ucapan Moris terhenti saat gadis berkulit cokelat itu membuka pintu kamar Elizabeth. Moris terdiam sesaat dan masuk ke dalam memperhatikan Elizabeth yang mengemasi semua barang-barang dan pakaiannya. "Oh My God, Elizabeth... Kau mau ke mana?" tanya Moris menatapnya kaget. Elizabeth tersenyum manis pada sahabatnya itu. "Ris, mulai sekarang aku akan memulai hidup sendiri. Aku juga ingin punya tempat tinggal sendiri," jelasnya. "Ck! Oh Eli, bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu di luaran sana?! Lagipula kau mau pindah ke mana?" Moris mendekati Elizabeth dan merebut tasnya. Tatapan mata tajam dan bibir c
Beberapa hari berlalu dengan cepat, Elizabeth semakin sibuk dengan pekerjaannya.Setelah menyadari kebutuhan hidupnya semakin banyak, dari berobat, makannya, dan tagihan rumah. Elizabeth memutar otak untuk mendapatkan banyak uang.Gadis itu membuat suatu hiasan dan aksesoris bunga imitasi yang cantik, ia menjualnya di toko milik Moris. "Astaga Elizabeth, kau lihat! Pesanan hiasan dan bunga imitasi yang kau buat sangat banyak!" pekik Moris bertepuk tangan kesenangan. Elizabeth tersenyum lebar dan memeluk Moris dengan wajah berseri-seri. "Aku tidak menyangka Ris... Ternyata banyak juga yang menyukai hiasan bunga buatanku!" seru Elizabeth sangat bahagia. "Heem, memang! Aku tahu kau sangat berbakat, kawan!" seru Moris mengacungkan jempolnya. Di sana, Moris sibuk menghitung uang dari penjualan bunga imitasi buatan Elizabeth yang tidak disangka-sangka terjual semua dalam waktu yang sangat cepat. Elizabeth yang kini tengah membuat beberapa pesanan bunga, tiba-tiba Moris mendekatinya ke
Hauri terpukul hebat mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Lafenia. Bahkan Hauri membiarkan Lafenia pergi begitu saja beberapa detik yang lalu. Hauri membeku di atas ranjang rumah sakit dengan kehancuran yang ia rasakan saat ini. Satu fakta menyakitkan yang ia dengar membuatnya kehilangan harapan untuk segala hal dalam hidupnya. Isak tangisannya terdengar begitu jelas, gadis itu menutup wajahnya dengan selimut dan berbaring dengan tangisan kuat. "Kenapa? Kenapa mereka tidak mengatakan dari awal padaku ... kenapa?" tangis Hauri dengan pilu. Sakit yang Hauri rasakan di tubuhnya rasanya tidak sebanding dengan sakitnya kenyataan yang ia terima. Dunianya bagai runtuh seketika saat ia tahu, usianya tidak panjang lagi!Pintu kamar inap Hauri tiba-tiba terbuka, seorang suster kaget melihat Hauri menangis di sana dengan begitu ilu dan histeris. "Ya Tuhan! Nona, apa yang terjadi? Nona kenapa?" tanya suster itu terkejut. "Nona...!" Hauri menggeleng-gelengkan kepalanya, ia terbatuk-b
Setelah berjam-jam Hauri sendirian di dalam kamar inapnya. Barulah Exel datang saat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Namun, kedatangan Exel kali ini membuat Hauri terkejut karena dia mengajak Lafenia untuk ikut bersamanya. Wanita cantik itu membawa keranjang berisi buah-buahan. "Sayang, maaf aku tadi tidak sempat bilang padamu kalau aku akan ke kantor lebih dulu. Aku buru-buru," ujar Exel sembari duduk di samping Hauri. Gadis itu tersenyum manis. "Tidak papa, Exel. Aku berani sendirian..." Pandangan Hauri tertuju pada Lafenia yang kini tersenyum sambil berdiri di belakang Exel. Exel mengikuti arah pandang mata Hauri saat ini. Laki-laki itu menoleh sekilas pada Lafenia. "Oh ya, aku mengajak Lafenia. Dia tadi memang ingin ikut dan sekalian menjengukmu," jawab Exel tersenyum sembari mengusap pipi Hauri. "Iya Hauri. Maaf ya, aku tidak tahu kalau kau sedang tidak enak badan. Jadi ... aku memutuskan untuk menjengukmu." "Terima kasih atas kebaikanmu, Lafenia," uc
Pauline masih menemani Hauri selama dua jam lamanya dan Exel juga belum kembali hingga detik ini. Sesekali Pauline menatap jam dinding, karena beberapa menit lagi ia harus segera pergi ke kampus.Ekspresinya yang cemas membuat Hauri mudah menebaknya. "Pauline, apa kau tidak ke kampus? Ini sudah jam delapan," ujar Hauri. "Ta-tapi nanti Kakak sendirian. Kalau terjadi apa-apa dengan Kakak, bagaimana?" Pauline memasang wajah sedih. "Aku tidak usah masuk saja, Kak. Tapi nanti Kakak jangan bilang-bilang ke Papa dan Mama, ya, nanti Pauline dimarah—""Ekhem...!" Suara deheman keras dari arah sofa membuat dua gadis itu menatap ke arah Arthur. Raut wajah Pauline menjadi amat masan. "Kalau Kak Hauri aku yakin tidak akan mengadu. Tapi si batu karang itu pasti akan mengadu ke Papa! Dia memang manusia paling menyebalkan!" omel Pauline. Hauri tersenyum hangat mengusap punggung Pauline. "Lebih baik Pauline pergi ke kampus sekarang. Kakak tidak papa sendirian di sini. Setelah ini pasti Kak Exel
Setelah semalam penuh Exel menemani Hauri di rumah sakit, pagi ini laki-laki itu tertidur dengan posisi duduk sembari menggenggam telapak tangan Hauri. Sedangkan Hauri tidak tidur sama sekali, dia tidak bisa tidur atau bahkan memejamkan kedua matanya. 'Kasihan Exel, pasti punggungnya sakit,' batin Hauri mengulurkan tangannya mengusap punggung Exel dengan lembut. Kegiatannya terhenti saat ia mendengar suara getaran ponsel milik Exel di atas meja. Hauri meraih ponsel hitam itu dan melihat nama Lafenia di sana. "Lafenia," gumam Hauri ragu-ragu ia menjawab panggilan itu, namun Hauri tetap menjawabnya dan tidak berbicara lebih dulu. "Halo Exel, hari ini mobilku masih tidak bisa. Bisa tidak kau mampir lewat depan rumahku dan kita berangkat bersama?" kata Lafenia di balik panggilan itu. "Jam sembilan nanti kan kita ada meeting, aku juga ingin mengajakmu makan siang bersama di cafe favorit kita ... halo, Exel? Kau masih ada di sana, kan?" Hauri meremas pelan ponsel di tangannya. "A-anu
Setelah melepaskan kemejanya yang kotor terkena darah dari hidung Hauri, Exel menggantinya dengan sweater hitam yang Jericho belikan untuknya. Malam ini, Exel berjaga di rumah sakit untuk menemani Hauri yang belum sadar sejak pingsan beberapa jam lalu. Exel sendirian di dalam ruangan di mana Hauri masih terbaring dengan kedua mata terpejam. Mama dan Papanya terpaksa pulang karena mereka besok memiliki urusan yang sangat penting. Menatap kekasihnya membuat Exel merasa sedih dan kasihan. Ia meraih tangan Hauri dan menggenggamnya dengan hangat. "Sayang ... segeralah bangun, aku sangat mencemaskanmu, Hau," lirih Exel meletakkan satu telapak tangan Hauri di pipinya. Sejak tadi, Exel tidak beranjak sedikitpun. Ia masih setia berada di sana. Dokter mengatakan kalau Hauri pasti akan segera sadar dalam waktu yang cepat. Tapi, bagi Exel waktu tercepat adalah lima menit, bukan hingga berjam-jam, sama saja itu terlalu lama untuknya. "Andai kau tahu betapa aku sangat mencemaskanmu, Hauri...
Di tengah acara pesta, Hauri menyempatkan dirinya ke kamar kecil karena ia ingin mencuci tangannya yang terasa lengket. Ditemani oleh Exel, Hauri masuk ke kamar kecil. Sedangkan Exel menunggu di luar sana. Saat Hauri melepaskan sarung tangannya, gadis itu mulai membasuh telapak tangannya dengan air dingin perlahan-lahan. "Hmm, yang baru saja diperkenalkan sebagai anggota baru Keluarga Collin, kelihatannya bangga dan sedikit norak, ya?" Suara itu terdengar dingin dan penuh sindiran. Hauri mengangkat wajahnya menatap cermin besar di hadapannya. Dapat ia lihat kalau ada Lafenia di belakangnya saat ini.Hauri lantas menoleh dan menatapnya dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu mengatakan itu, Laf?" tanya Hauri bingung. Lafenia terkekeh pelan, ia membasuh tangannya pada wastafel di samping Hauri. "Tidak papa, aku hanya berbicara fakta." Lafenia menatap tajam ke arah Hauri. "Apa kau pikir kau pantas bersanding dengan Exel? Kau berusaha untuk tampil sempurna dan menutupi kekuranganmu,
Sebuah pesta meriah digelar oleh Keluarga Collin di sebuah hotel bintang lima milik Evan. Pesta itu dihadiri oleh kalangan masyarakat kelas atas. Hauri datang bersama dengan Exel, gadis itu tampak sangat cantik dan anggun dengan balutan gaun panjang berwarna biru langit. Berjalan bersama Exel, bergandengan tangan tampak sangat serasi. Namun, untuk bergabung dengan banyak orang di dalam tempat itu, Hauri sangat tidak percaya diri. "Exel, aku malu..." Hauri mendongak menatap Exel dengan wajah ekspresi yang tak yakin. Ia bahkan menghentikan langkahnya di depan pintu utama di mana para tamu masuk berganti ke dalam sana. "Malu kenapa, Sayang? Kau sangat cantik malam ini," ujar Exel merangkul hangat pundak Hauri. "Bukan itu. Tapi aku tidak pernah masuk ke dalam pesta, bergabung dengan orang-orang seperti ini ... aku tidak percaya diri, Exel. Apalagi keluargaku juga tidak ada di sini," seru Hauri melingkarkan satu tangannya di tubuh belakang Exel. Exel mengusap pundak Hauri dan mencob
Malam ini Hauri tidak bisa tidur. Gadis itu bingung memikirkan bahwa besok Exel dan keluarganya akan mengadakan pesta. Hauri juga akan ikut diajak pergi ke pesta tersebut. Dan kini, Hauri belum tertidur sampai pukul sebelas malam. Sedangkan Exel sedang pergi keluar bersama Evan dan Arthur untuk mengurus keperluan kantor."Aku pakai gaun yang mana ya, untuk besok? Aku takut salah memakai pakaian, nanti penampilanku malah membuat Exel malu," gerutu Hauri, gadis itu mengusap wajahnya bingung. Hauri kembali membuka lemari pakaiannya. Di dalam lemari kayu berwarna putih itu, berisi penuh pakaian-pakaian baru yang Elizabeth dan Exel belikan untuk Hauri. Gaun-gaun dan dress-dress mahal yang tertata rapi di dalam lemari tersebut sampai Hauri bingung ingin memakai yang mana. "Hemm ... mungkin Pauline besok akan ikut. Apa aku meminta pendapat Pauline saja, ya?" Hauri segera meraih ponselnya di atas nakas, ia mencoba mengirimkan pesan pada Pauline dan Pauline membaca pesanannya. Segera Hau
Setelah kembali dari taman, Exel segera membawa Hauri untuk pulang, karena Elizabeth sudah berkali-kali menghubunginya dan memintanya agar segera membawa Hauri pulang. Sesampainya di rumah, ternyata semuanya sedang berkumpul di sana. Termasuk ada kedua orang tua Exel yang duduk berdua di ruang keluarga, mereka terlihat menanti kedatangan Exel dan Hauri. "Exel, kemarilah..." Evan melambaikan tangannya. Dengan hati-hati, Exel berjalan mendekati Mama dan Papanya bersama Hauri.Elizabeth tersenyum manis saat Hauri duduk di sampingnya. Wajah pucat Hauri membuat Elizabeth merasa kasihan tiap menatap gadis ini. Melihat kondisi Hauri, Elizabeth merasa seperti bercermin pada kondisinya di masa lalu. "Bagaimana kata dokter tadi setelah terapi, Nak?" tanya Elizabeth mengusap pipi Hauri yang memerah kedinginan. "Exel yang bertemu Dokter William, Ma. Hauri tadi masih di ruang perawatan," jawab Hauri dengan suara lirih. Kedua orang tuanya lantas melirik Exel dengan tatapan lekat. "Bagaimana