Hari sudah larut saat Elizabeth menutup toko bunga. Ia langsung bergegas ke dalam kamar dan mengeluarkan tas besar miliknya, lalu mengemas semua pakaiannya. Elizabeth tidak punya pilihan lain kali ini, gadis itu memutuskan untuk pergi dan tidak lagi tinggal bersama Moris. Ia ingin berusaha untuk tetap menjauh dari Evan."Eli lihat ini, besok kita ada pesanan bunga sangat banyak—"Ucapan Moris terhenti saat gadis berkulit cokelat itu membuka pintu kamar Elizabeth. Moris terdiam sesaat dan masuk ke dalam memperhatikan Elizabeth yang mengemasi semua barang-barang dan pakaiannya. "Oh My God, Elizabeth... Kau mau ke mana?" tanya Moris menatapnya kaget. Elizabeth tersenyum manis pada sahabatnya itu. "Ris, mulai sekarang aku akan memulai hidup sendiri. Aku juga ingin punya tempat tinggal sendiri," jelasnya. "Ck! Oh Eli, bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu di luaran sana?! Lagipula kau mau pindah ke mana?" Moris mendekati Elizabeth dan merebut tasnya. Tatapan mata tajam dan bibir c
Beberapa hari berlalu dengan cepat, Elizabeth semakin sibuk dengan pekerjaannya.Setelah menyadari kebutuhan hidupnya semakin banyak, dari berobat, makannya, dan tagihan rumah. Elizabeth memutar otak untuk mendapatkan banyak uang.Gadis itu membuat suatu hiasan dan aksesoris bunga imitasi yang cantik, ia menjualnya di toko milik Moris. "Astaga Elizabeth, kau lihat! Pesanan hiasan dan bunga imitasi yang kau buat sangat banyak!" pekik Moris bertepuk tangan kesenangan. Elizabeth tersenyum lebar dan memeluk Moris dengan wajah berseri-seri. "Aku tidak menyangka Ris... Ternyata banyak juga yang menyukai hiasan bunga buatanku!" seru Elizabeth sangat bahagia. "Heem, memang! Aku tahu kau sangat berbakat, kawan!" seru Moris mengacungkan jempolnya. Di sana, Moris sibuk menghitung uang dari penjualan bunga imitasi buatan Elizabeth yang tidak disangka-sangka terjual semua dalam waktu yang sangat cepat. Elizabeth yang kini tengah membuat beberapa pesanan bunga, tiba-tiba Moris mendekatinya ke
"Bagaimana bisa kau melakukan itu, nak? Apa yang terjadi dengan kalian?!" Berta dan Meria begitu terkejut mendengar kabar yang Elizabeth ungkapkan pada mereka berdua tentang apa yang terjadi selama ini pada gadis itu. Dan Elizabeth menceritakan semuanya dari awal ia menikah hingga kini dengan jujur, pada kedua orang tersayangnya. Elizabeth tidak menutupi apapun, kecuali penyakitnya. "Mungkin karena Elizabeth dan Evan tidak memiliki kecocokan satu sama lain, dan bukan jodohnya. Jadi kami berdua memutuskan untuk berpisah, Nek, Bi," ujar Elizabeth menatap Neneknya dengan tatapan yang sedih. Berta langsung memeluk Elizabeth dengan sangat erat. Wanita tua berambut putih itu mendekap satu-satunya cucu yang sangat dia cintai. Dalam pelukan sang Nenek, Elizabeth tidak bisa menahan air matanya. Pelukan inilah yang bisa Elizabeth anggap seperti pulang ke rumah yang dia rindukan. "Maafkan Elizabeth ya, Nek... Perjodohan yang Kakek amanatkan, tidak bisa Elizabeth lakukan dengan baik." Gadi
Keesokan paginya, Evan mendatangi toko bunga milik Moris. Setelah semalaman suntuk ia tidak tenang karena memikirkan Elizabeth. Kali ini Evan akan memastikan sendiri apakah Elizabeth masih ada di tempat itu, atau memang benar-benar sudah pergi. Kedatangan Evan membuat gadis pemilik toko bunga itu nampak terkejut. Moris membukakan pintu dan menatap Evan dengan gugup. "Se-selamat pagi, Tuan,” sapa Moris berdiri di samping pintu menatap Evan. “Pagi Nona Moris,” balas laki-laki itu singkat. Moris berjalan mendekatinya dengan perasaan penuh tanda tanya dan rasa kaget yang masih melekat di dirinya. “Apa Tuan ada keperluan dengan saya, atau Tuan ingin memesan rangkaian bunga?" tawar Moris mendongak menatap Evan yang masih berdiri di depan meja kasir. "Keduanya," jawab Evan. "B-baiklah, silakan duduk Tuan..." Moris meraih sebuah kursi dan meletakkan di samping Evan. Laki-laki tampan berbalut setelan formal dan berkaca mata bening itu memperhatikan sekitar dengan sorot mata mencari-car
Setelah lima hari Nenek dan Bibi Elizabeth berada di Prancis. Hari ini mereka berpamitan untuk pulang kembali ke tempat asal mereka, di Austria. Elizabeth mengantarkan dua orang kesayangannya tersebut ke stasiun. Gadis itu merasa sedih saat mereka pulang, namun ia tidak punya pilihan lain untuk tetap tinggal. Ia masih harus menyelesaikan urusannya di sini."Eli, berjanjilah pada Bibi kalau kau akan pulang ke Salzburg lagi," ujar Bibi Meria menangkup kedua pipi Elizabeth. Gadis cantik itu mengangguk patuh. "Iya Bi, aku janji akan menyusul nanti." "Jaga dirimu baik-baik ya, Nak, Nenek berharap kau akan secepatnya menyusul kami." Nenek Berta menangis memeluk Elizabeth dengan sangat erat. Hari Elizabeth terasa nyeri saat ini, dia sendiri sejujurnya juga ingin pulang bersama mereka. Namun, Elizabeth tidak punya cukup banyak uang saat ini, apalagi kondisi tubuhnya belum sehat. Elizabeth menatap mereka berdua dengan wajah menahan kesedihan. Sekuat mungkin gadis itu tersenyum pada mereka
Elizabeth sudah berhenti bekerja di tempat Moris sejak kemarin. Gadis itu kini fokus mencari pekerjaan yang baru. Pagi ini, Elizabeth sudah bersiap pergi membawa surat lamaran pekerjaan, mendatangi satu tempat ke tempat lainnya."Semoga saja tidak sampai siang aku sudah mendapatkan pekerjaan, Ya Tuhan," ucap Elizabeth mempercepat langkahnya. Sampai tiba-tiba ia berhenti di depan sebuah toko alat musik, Elizabeth diam di sana menatap dari luar sebuah piano yang menarik perhatiannya.Kedua sudut bibirnya terangkat samar. Elizabeth mengingat masa kecilnya, dulu ia sering bermain piano dan cukup mahir memainkannya. Bahkan, menjadi pianis adalah cita-citanya. Hingga detik ini, cita-cita itu masih tersimpan di sudut hatinya yang terdalam. Dulu ia ingin meneruskan sekolah musiknya, namun karena keterbatasan biaya, ia tidak mampu melanjutkannya. Dan lagi, saat itu, Elizabeth terpaksa menikah dengan Evan hingga mau tak mau ia melepas mimpinya. "Apa suatu hari nanti aku punya kesempatan ber
Satu minggu ini sangat memusingkan bagi Evan yang terus memikirkan Elizabeth, istrinya yang menghilang entah ke mana. Bahkan gadis itu tidak menemuinya untuk membahas tentang gugatan cerai yang dia layangkan. Evan seperti gila tidak menemukan di mana Elizabeth saat ini berada. Laki-laki itu tengah duduk diam di ruangan kerjanya bersama Jericho yang membawa laporan pencarian yang sia-sia. "Dia masih tidak ada di tempat penjual bunga itu?" tanya Evan mengusap wajahnya frustrasi. "Tidak ada Tuan, ini sudah hari ketujuh kita mencari Nyonya," jawab Jericho. Evan berdecak marah, mengusap wajahnya putus asa. "Sial! Sialan kau Elizabeth!"Melihat kekesalan dan putus asanya seorang Evander Collin, membuat Jericho—ajudannya itu merasakan sesuatu yang aneh pada Tuannya. Ia yakin kalau Evan kini menyesal karena Elizabeth sudah pergi jauh dan entah berada di mana saat ini. Hanya saja, Tuannya itu enggan mengakuinya."Tuan, bagaimana kalau Tuan menemui laki-laki yang bersama Nyonya kapan hari?
Elizabeth menerima tawaran pekerjaan menjadi seorang pianis di rumah makan mewah yang berada di sebuah hotel bintang lima.Malam ini adalah malam pertama Elizabeth bekerja di sana, ia tidak menyangka bisa berada di dalam ruangan yang sangat indah dan melihat para tamu dari kalangan berkelas di tempat itu. 'Ya Tuhan, ini akan menjadi pengalaman paling luar biasa dalam hidupku,' batin Elizabeth menatap sekitar sebelum dia menekan tuts pianonya. Banyak lagu yang Elizabeth bawakan dari tiap melodi indah piano yang dia mainkan, tak jarang seseorang mendatanginya dan memintanya memainkan sebuah lagu. Setelah pekerjaannya selesai, Elizabeth pun bertemu dengan atasannya yang bernama Sonya, dia adalah salah satu teman Daniel di Prancis. "Kerja bagus, Nona Elizabeth, aku sangat puas dengan permainan pianomu. Aku harap kau bisa setiap hari ke sini," ujar Sonya tersenyum manis dan sopan. "Sama-sama Nona Sonya, kebetulan saya juga sangat suka bermain piano," jawab Elizabeth tersenyum manis.