Setelah lima hari Nenek dan Bibi Elizabeth berada di Prancis. Hari ini mereka berpamitan untuk pulang kembali ke tempat asal mereka, di Austria. Elizabeth mengantarkan dua orang kesayangannya tersebut ke stasiun. Gadis itu merasa sedih saat mereka pulang, namun ia tidak punya pilihan lain untuk tetap tinggal. Ia masih harus menyelesaikan urusannya di sini."Eli, berjanjilah pada Bibi kalau kau akan pulang ke Salzburg lagi," ujar Bibi Meria menangkup kedua pipi Elizabeth. Gadis cantik itu mengangguk patuh. "Iya Bi, aku janji akan menyusul nanti." "Jaga dirimu baik-baik ya, Nak, Nenek berharap kau akan secepatnya menyusul kami." Nenek Berta menangis memeluk Elizabeth dengan sangat erat. Hari Elizabeth terasa nyeri saat ini, dia sendiri sejujurnya juga ingin pulang bersama mereka. Namun, Elizabeth tidak punya cukup banyak uang saat ini, apalagi kondisi tubuhnya belum sehat. Elizabeth menatap mereka berdua dengan wajah menahan kesedihan. Sekuat mungkin gadis itu tersenyum pada mereka
Elizabeth sudah berhenti bekerja di tempat Moris sejak kemarin. Gadis itu kini fokus mencari pekerjaan yang baru. Pagi ini, Elizabeth sudah bersiap pergi membawa surat lamaran pekerjaan, mendatangi satu tempat ke tempat lainnya."Semoga saja tidak sampai siang aku sudah mendapatkan pekerjaan, Ya Tuhan," ucap Elizabeth mempercepat langkahnya. Sampai tiba-tiba ia berhenti di depan sebuah toko alat musik, Elizabeth diam di sana menatap dari luar sebuah piano yang menarik perhatiannya.Kedua sudut bibirnya terangkat samar. Elizabeth mengingat masa kecilnya, dulu ia sering bermain piano dan cukup mahir memainkannya. Bahkan, menjadi pianis adalah cita-citanya. Hingga detik ini, cita-cita itu masih tersimpan di sudut hatinya yang terdalam. Dulu ia ingin meneruskan sekolah musiknya, namun karena keterbatasan biaya, ia tidak mampu melanjutkannya. Dan lagi, saat itu, Elizabeth terpaksa menikah dengan Evan hingga mau tak mau ia melepas mimpinya. "Apa suatu hari nanti aku punya kesempatan ber
Satu minggu ini sangat memusingkan bagi Evan yang terus memikirkan Elizabeth, istrinya yang menghilang entah ke mana. Bahkan gadis itu tidak menemuinya untuk membahas tentang gugatan cerai yang dia layangkan. Evan seperti gila tidak menemukan di mana Elizabeth saat ini berada. Laki-laki itu tengah duduk diam di ruangan kerjanya bersama Jericho yang membawa laporan pencarian yang sia-sia. "Dia masih tidak ada di tempat penjual bunga itu?" tanya Evan mengusap wajahnya frustrasi. "Tidak ada Tuan, ini sudah hari ketujuh kita mencari Nyonya," jawab Jericho. Evan berdecak marah, mengusap wajahnya putus asa. "Sial! Sialan kau Elizabeth!"Melihat kekesalan dan putus asanya seorang Evander Collin, membuat Jericho—ajudannya itu merasakan sesuatu yang aneh pada Tuannya. Ia yakin kalau Evan kini menyesal karena Elizabeth sudah pergi jauh dan entah berada di mana saat ini. Hanya saja, Tuannya itu enggan mengakuinya."Tuan, bagaimana kalau Tuan menemui laki-laki yang bersama Nyonya kapan hari?
Elizabeth menerima tawaran pekerjaan menjadi seorang pianis di rumah makan mewah yang berada di sebuah hotel bintang lima.Malam ini adalah malam pertama Elizabeth bekerja di sana, ia tidak menyangka bisa berada di dalam ruangan yang sangat indah dan melihat para tamu dari kalangan berkelas di tempat itu. 'Ya Tuhan, ini akan menjadi pengalaman paling luar biasa dalam hidupku,' batin Elizabeth menatap sekitar sebelum dia menekan tuts pianonya. Banyak lagu yang Elizabeth bawakan dari tiap melodi indah piano yang dia mainkan, tak jarang seseorang mendatanginya dan memintanya memainkan sebuah lagu. Setelah pekerjaannya selesai, Elizabeth pun bertemu dengan atasannya yang bernama Sonya, dia adalah salah satu teman Daniel di Prancis. "Kerja bagus, Nona Elizabeth, aku sangat puas dengan permainan pianomu. Aku harap kau bisa setiap hari ke sini," ujar Sonya tersenyum manis dan sopan. "Sama-sama Nona Sonya, kebetulan saya juga sangat suka bermain piano," jawab Elizabeth tersenyum manis.
Tidak terasa waktu berjalan dengan sangat cepat, sudah hampir memasuki minggu ke empat Evan tidak menemukan Elizabeth, namun dia masih kukuh tetap mencari sampai ia bisa menemukannya. Sore ini, laki-laki itu bersiap akan pergi. Di rumahnya ada Clarisa yang menjaga Exel, karena hari ini putra kecilnya sedang tidak enak badan. "Papa mau ke mana? Exel mau ikut," rengek anak laki-laki itu mendekati Evan yang baru saja menuruni anak tangga. "Papa ada acara penting, Sayang, di rumah saja dengan Mama Clarisa," jawab Evan mengusap pucuk kepala Exel dengan lembut. "Tidak mau, Exel mau ikut Papa," rengek anak itu memegangi tangan Evan. Evan terlihat rapi dengan balutan tuxedo hitam, serta memakai kaca mata bening dengan bingkai warna emas yang membuat Evan terlihat semakin tampan. Sore ini Evan ada acara penting, dia diundang untuk acara perayaan pesta ulang tahun perusahaan milik rekannya, dan ia sudah pasti akan datang. Dari belakang nampak Clarisa muncul, wanita itu langsung berj
"Kalau laki-laki itu selingkuhan Elizabeth, mengapa dia menolong Elizabeth secara diam-diam?" Gumaman penuh tanda tanya itu keluar dari bibir Evan setelah dia diberi kabar oleh Jericho tentang bagaimana bisa Elizabeth mendapatkan pekerjaan di hotel bintang lima dan menjadi seorang pianis dengan gaji mahal di sana.Ternyata itu semua berkat Daniel. Tapi, mengapa pria itu harus berbohong pada Elizabeth? Mengapa Daniel tidak mengatakan bahwa pemilik hotel tersebut sebenarnya bukan temannya, melainkan kerabat terdekat laki-laki itu?Karenanya, Evan mulai penasaran dengan hubungan Elizabeth dan Daniel yang sebenarnya. Sudah pasti bahwa Daniel memiliki perasaan khusus pada istrinya itu. Evan bisa melihatnya dengan jelas. Tapi bagaimana dengan Elizabeth?"Elizabeth…" bisik Evan menatap gadis cantik di depan sana.Rasa kesal tak mampu Evan tahan, laki-laki itu melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobilnya saat itu juga. Sementara Elizabeth, gadis itu berdiri di gang menuju pagar rum
Elizabeth tidak mengatakan apapun sehingga Daniel kembali bertanya, "Elizabeth, kau tidak papa kan?" Daniel lalu mengajaknya duduk sebuah kursi di dalam rumah. Elizabeth duduk dengan kepala tertunduk, barulah Daniel merogoh saku mantel hangat yang dia pakai dan mengambil sebuah sapu tangan miliknya. "Elizabeth—""Aku tidak papa, Niel," jawab gadis itu mengusap pipinya. Bahkan dia sendiri juga tidak tahu bila lipstik di bibirnya berantakan karena ulah Evan. Tapi instingnya membawa Elizabeth untuk mengelap bibirnya. "Sungguh? Tidak terjadi sesuatu denganmu?" Gelengan kepala diberikan oleh Elizabeth. Barulah Daniel menghela napasnya pelan dengan mata masih tertuju pada gadis di depannya ini. Ternyata Elizabeth tidak mau jujur padanya. Kenyataan itu membuatnya sedih."Kau sendiri, kenapa kembali? Bukannya kau sudah pulang, ya?" tanya Elizabeth menatap Daniel lekat-lekat. "Obatmu tertinggal di mobilku," jawab Daniel menyerahkan tas kecil berisi botol kecil di dalamnya. Elizabeth m
"Bertemu dengan istriku,” sahut Evan dengan wajah tanpa ekspresi. “Bukankah seorang suami bebas untuk menemui istrinya kapan saja?” Jawaban Evan begitu santai. Setelah ia tidak mendapati Elizabeth di tempat kerjanya, laki-laki itu langsung pergi ke kediaman Elizabeth.Evan kepikiran, kenapa Elizabeth tidak pergi bekerja? Apakah terjadi sesuatu pada gadis itu setelah kejadian semalam? Dan kini, saat melihat Elizabeth yang tampak pucat dengan kedua matanya yang sembab, Evan sadar bahwa wanita itu sedang tidak baik-baik saja. "Tidak Evan, kau tidak bisa seenaknya sendiri," sahut Elizabeth, menyadarkan Evan dari lamunan singkat. Dengan berani gadis itu mendongak menatapnya, sorot matanya sayu tapi tampak kukuh, tidak takut berhadapannya dengannya seperti kemarin. Evan terdiam. Wajahnya yang biasanya kaku dan dingin, kini sedikit lebih melunak melihat gadis itu. "Kau dan aku belum resmi bercerai, Elizabeth. Aku bisa menemuimu kapan saja aku mau," balas laki-laki itu. Mendengar jaw