Pagi ini di kediaman Evan sudah kedatangan Mamanya dan Clarisa yang datang bersama, nampaknya kedua wanita itu berjanjian. Melody merasa marah setelah mendengar cerita Clarisa bahwa semalam Clarisa dan Evan bertemu dengan Elizabeth bersama selingkuhannya. Wanita tua cantik itu tidak segan memerintah putranya untuk segera berpisah dengan Elizabeth. "Apa lagi yang kau harapkan dari wanita seperti dia, Evan! Sudah jelas dia mengkhianatimu, berselingkuh di depan kedua matamu!" pekik Melody dengan nada tinggi. "Bisa tidak bisa, cepat cerai darinya!" Evan berdehem pelan. "Itu urusanku Ma, aku bisa memutuskannya sendiri." "Ck! Mama harap kau tidak perlu menunggu-nunggu lagi untuk menghempaskan gadis itu!" Melody kembali berucap. Clarisa mencekal lembut tangan Melody dan berkata, “Tenanglah Tante, aku yakin Evan akan mengambil keputusan yang terbaik untuknya. Bukankah begitu, Van?”Tapi Evan hanya bergeming, tidak memberikan jawaban apa-apa. Melody masih memperhatikan putranya yang setia
Hari sudah larut saat Elizabeth menutup toko bunga. Ia langsung bergegas ke dalam kamar dan mengeluarkan tas besar miliknya, lalu mengemas semua pakaiannya. Elizabeth tidak punya pilihan lain kali ini, gadis itu memutuskan untuk pergi dan tidak lagi tinggal bersama Moris. Ia ingin berusaha untuk tetap menjauh dari Evan."Eli lihat ini, besok kita ada pesanan bunga sangat banyak—"Ucapan Moris terhenti saat gadis berkulit cokelat itu membuka pintu kamar Elizabeth. Moris terdiam sesaat dan masuk ke dalam memperhatikan Elizabeth yang mengemasi semua barang-barang dan pakaiannya. "Oh My God, Elizabeth... Kau mau ke mana?" tanya Moris menatapnya kaget. Elizabeth tersenyum manis pada sahabatnya itu. "Ris, mulai sekarang aku akan memulai hidup sendiri. Aku juga ingin punya tempat tinggal sendiri," jelasnya. "Ck! Oh Eli, bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu di luaran sana?! Lagipula kau mau pindah ke mana?" Moris mendekati Elizabeth dan merebut tasnya. Tatapan mata tajam dan bibir c
Beberapa hari berlalu dengan cepat, Elizabeth semakin sibuk dengan pekerjaannya.Setelah menyadari kebutuhan hidupnya semakin banyak, dari berobat, makannya, dan tagihan rumah. Elizabeth memutar otak untuk mendapatkan banyak uang.Gadis itu membuat suatu hiasan dan aksesoris bunga imitasi yang cantik, ia menjualnya di toko milik Moris. "Astaga Elizabeth, kau lihat! Pesanan hiasan dan bunga imitasi yang kau buat sangat banyak!" pekik Moris bertepuk tangan kesenangan. Elizabeth tersenyum lebar dan memeluk Moris dengan wajah berseri-seri. "Aku tidak menyangka Ris... Ternyata banyak juga yang menyukai hiasan bunga buatanku!" seru Elizabeth sangat bahagia. "Heem, memang! Aku tahu kau sangat berbakat, kawan!" seru Moris mengacungkan jempolnya. Di sana, Moris sibuk menghitung uang dari penjualan bunga imitasi buatan Elizabeth yang tidak disangka-sangka terjual semua dalam waktu yang sangat cepat. Elizabeth yang kini tengah membuat beberapa pesanan bunga, tiba-tiba Moris mendekatinya ke
"Bagaimana bisa kau melakukan itu, nak? Apa yang terjadi dengan kalian?!" Berta dan Meria begitu terkejut mendengar kabar yang Elizabeth ungkapkan pada mereka berdua tentang apa yang terjadi selama ini pada gadis itu. Dan Elizabeth menceritakan semuanya dari awal ia menikah hingga kini dengan jujur, pada kedua orang tersayangnya. Elizabeth tidak menutupi apapun, kecuali penyakitnya. "Mungkin karena Elizabeth dan Evan tidak memiliki kecocokan satu sama lain, dan bukan jodohnya. Jadi kami berdua memutuskan untuk berpisah, Nek, Bi," ujar Elizabeth menatap Neneknya dengan tatapan yang sedih. Berta langsung memeluk Elizabeth dengan sangat erat. Wanita tua berambut putih itu mendekap satu-satunya cucu yang sangat dia cintai. Dalam pelukan sang Nenek, Elizabeth tidak bisa menahan air matanya. Pelukan inilah yang bisa Elizabeth anggap seperti pulang ke rumah yang dia rindukan. "Maafkan Elizabeth ya, Nek... Perjodohan yang Kakek amanatkan, tidak bisa Elizabeth lakukan dengan baik." Gadi
Keesokan paginya, Evan mendatangi toko bunga milik Moris. Setelah semalaman suntuk ia tidak tenang karena memikirkan Elizabeth. Kali ini Evan akan memastikan sendiri apakah Elizabeth masih ada di tempat itu, atau memang benar-benar sudah pergi. Kedatangan Evan membuat gadis pemilik toko bunga itu nampak terkejut. Moris membukakan pintu dan menatap Evan dengan gugup. "Se-selamat pagi, Tuan,” sapa Moris berdiri di samping pintu menatap Evan. “Pagi Nona Moris,” balas laki-laki itu singkat. Moris berjalan mendekatinya dengan perasaan penuh tanda tanya dan rasa kaget yang masih melekat di dirinya. “Apa Tuan ada keperluan dengan saya, atau Tuan ingin memesan rangkaian bunga?" tawar Moris mendongak menatap Evan yang masih berdiri di depan meja kasir. "Keduanya," jawab Evan. "B-baiklah, silakan duduk Tuan..." Moris meraih sebuah kursi dan meletakkan di samping Evan. Laki-laki tampan berbalut setelan formal dan berkaca mata bening itu memperhatikan sekitar dengan sorot mata mencari-car
Setelah lima hari Nenek dan Bibi Elizabeth berada di Prancis. Hari ini mereka berpamitan untuk pulang kembali ke tempat asal mereka, di Austria. Elizabeth mengantarkan dua orang kesayangannya tersebut ke stasiun. Gadis itu merasa sedih saat mereka pulang, namun ia tidak punya pilihan lain untuk tetap tinggal. Ia masih harus menyelesaikan urusannya di sini."Eli, berjanjilah pada Bibi kalau kau akan pulang ke Salzburg lagi," ujar Bibi Meria menangkup kedua pipi Elizabeth. Gadis cantik itu mengangguk patuh. "Iya Bi, aku janji akan menyusul nanti." "Jaga dirimu baik-baik ya, Nak, Nenek berharap kau akan secepatnya menyusul kami." Nenek Berta menangis memeluk Elizabeth dengan sangat erat. Hari Elizabeth terasa nyeri saat ini, dia sendiri sejujurnya juga ingin pulang bersama mereka. Namun, Elizabeth tidak punya cukup banyak uang saat ini, apalagi kondisi tubuhnya belum sehat. Elizabeth menatap mereka berdua dengan wajah menahan kesedihan. Sekuat mungkin gadis itu tersenyum pada mereka
Elizabeth sudah berhenti bekerja di tempat Moris sejak kemarin. Gadis itu kini fokus mencari pekerjaan yang baru. Pagi ini, Elizabeth sudah bersiap pergi membawa surat lamaran pekerjaan, mendatangi satu tempat ke tempat lainnya."Semoga saja tidak sampai siang aku sudah mendapatkan pekerjaan, Ya Tuhan," ucap Elizabeth mempercepat langkahnya. Sampai tiba-tiba ia berhenti di depan sebuah toko alat musik, Elizabeth diam di sana menatap dari luar sebuah piano yang menarik perhatiannya.Kedua sudut bibirnya terangkat samar. Elizabeth mengingat masa kecilnya, dulu ia sering bermain piano dan cukup mahir memainkannya. Bahkan, menjadi pianis adalah cita-citanya. Hingga detik ini, cita-cita itu masih tersimpan di sudut hatinya yang terdalam. Dulu ia ingin meneruskan sekolah musiknya, namun karena keterbatasan biaya, ia tidak mampu melanjutkannya. Dan lagi, saat itu, Elizabeth terpaksa menikah dengan Evan hingga mau tak mau ia melepas mimpinya. "Apa suatu hari nanti aku punya kesempatan ber
Satu minggu ini sangat memusingkan bagi Evan yang terus memikirkan Elizabeth, istrinya yang menghilang entah ke mana. Bahkan gadis itu tidak menemuinya untuk membahas tentang gugatan cerai yang dia layangkan. Evan seperti gila tidak menemukan di mana Elizabeth saat ini berada. Laki-laki itu tengah duduk diam di ruangan kerjanya bersama Jericho yang membawa laporan pencarian yang sia-sia. "Dia masih tidak ada di tempat penjual bunga itu?" tanya Evan mengusap wajahnya frustrasi. "Tidak ada Tuan, ini sudah hari ketujuh kita mencari Nyonya," jawab Jericho. Evan berdecak marah, mengusap wajahnya putus asa. "Sial! Sialan kau Elizabeth!"Melihat kekesalan dan putus asanya seorang Evander Collin, membuat Jericho—ajudannya itu merasakan sesuatu yang aneh pada Tuannya. Ia yakin kalau Evan kini menyesal karena Elizabeth sudah pergi jauh dan entah berada di mana saat ini. Hanya saja, Tuannya itu enggan mengakuinya."Tuan, bagaimana kalau Tuan menemui laki-laki yang bersama Nyonya kapan hari?
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat