Pagi ini, di tempat lain, Elizabeth sangat sibuk dengan banyaknya pesanan bunga yang harus dia antarkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Wanita itu merasa senang dia bisa bebas dan bertemu dengan banyak orang di luar, hal yang selama ini tidak pernah ia rasakan sebab dirinya selalu terkurung di dalam rumah. Sekarang, Elizabeth merasa sangat mencintai pekerjaan barunya. "Akhirnya tinggal satu buket bunga lagi," ucap Elizabeth membawa seikat bunga berukuran sedang dalam keranjang sepedanya. Elizabeth menuntun sepedanya dan berjalan masuk ke dalam sebuah taman. Pemandangan pagi yang cukup cerah, Elizabeth tidak pernah merasakan kesejukan ini selama tiga setengah tahun tepatnya saat ia sudah menikah. 'Jadi seperti ini nikmatnya hidup yang sesungguhnya, apa ini yang namanya kebebasan? Tidak ada yang perlu aku tangisi lagi, dan aku yakin aku pasti sembuh dari sakitku.' Elizabeth memejamkan kedua matanya menarik napasnya dalam-dalam dan kembali berjalan dengan langkah penuh se
Sampai sore hari, Elizabeth masih mengantarkan beberapa pesanan bunga. Meskipun merasa lelah, Gadis itu tidak sedikit pun mengeluh. Untuk pesanan terakhir, ia mengantar pesanan bunga di sebuah rumah makan. Elizabeth meninggalkan sepedanya di depan dan berjalan masuk ke dalam sana. "Tuan Jhony Ereland, di meja nomor dua belas," ucap Elizabeth membaca nama pemesan bunga pada kertas yang dia bawa. Elizabeth berjalan mendekati meja nomor dua belas di sudut ruangan. Seorang laki-laki yang tengah berbincang dengan ponselnya. "Permisi Tuan, apa benar Anda Tuan Jhony?" tanya Elizabeth mendekat. "Oh ya, saya sendiri—" Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu menoleh cepat, dia menghentikan ucapannya dan menatap Elizabeth dengan kening berkerut sebelum meletakkan ponselnya. Elizabeth menatap balik laki-laki itu dengan ekspresi bingung. Ia segera meletakkan buket bunga itu di atas meja. "Ini bunga yang Tuan pesan. Pembayarannya sudah Tuan kirim langsung ke toko, kan?" Elizabeth be
Seharian penuh Clarisa bersama Exel, bahkan petang ini wanita itu masih menemani anaknya di kediaman Evan. Clarisa sangat kesal dengan Exel yang sangat sulit sekali dibujuk untuk makan dan ingin makan disuapi oleh Elizabeth. "Exel, ayo makan sedikit saja, Sayang... Mama capek-capek memasakkan makanan yang kau minta," bujuk Clarisa duduk di samping Exel. "Tidak mau, masakan Tante tidak enak! Tidak seperti masakan Mamaku!" pekik Exel menutup mulutnya cepat. Clarisa berdecak kesal. "Mamamu tidak ada di sini, sekarang ayo makan! Dari siang kau belum makan, terus mengamuk seharian!" omel Clarisa. Exel menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan tetap menutup mulutnya. Dia menatap Clarisa dengan tatapan mata marah. Namun di sisi lain, anak itu takut pada Clarisa. "Exel mau makan masakan Mama! Tante pergi saja dari sini, Exel tidak suka Tante!" teriak Exel berdiri memeluk boneka gajahnya. Clarisa yang sudah kehabisan kesabaran, melemparkan piring di tangannya di depan Exel hingga b
Elizabeth menjalani pengobatan terapi di rumah sakit siang ini, setelah kemarin Daniel mengingatkannya. Kondisi Elizabeth kini masih lemas usai proses pengobatannya beberapa menit yang lalu, dia masih berbaring di atas ranjang di dalam sebuah ruangan bersama Daniel yang menemaninya. Dokter tampan itu tersenyum tulus menatap Elizabeth. "Ada kabar bagus, Elizabeth," ucap laki-laki itu setengah berbisik. "Ada apa?" Elizabeth mengerjapkan kedua mata birunya. "Apa tentang sakitku? Aku tidak papa kan, Niel?" Kekehan terdengar dari bibir Daniel. "Tidak papa. Justru sekarang kondisimu lebih baik dari yang kemarin-kemarin, sudah berangsur membaik beberapa persen." Senyuman yang terukir di bibir tipis Daniel seolah menular pada Elizabeth. Gadis itu ikut tersenyum lega. "Syukurlah. Terima kasih banyak, Niel, kau selalu ada untukku. Bahkan kau sudah membantuku sejauh ini," ucap Elizabeth dengan sangat tulus. Daniel mengangguk. "Sama-sama, Elizabeth. Asal kau selalu menjaga kesehatan
Hari sudah gelap, jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Evan baru saja keluar dari dalam ruangan kerjanya, laki-laki itu berjalan santai sembari memijit pangkal hidungnya. Namun, langkah lebar Evan terhenti saat ia mendengar suara lucu Exel yang nampak asik berbincang sendiri di dalam ruangan keluarga. "Exel, dia belum tidur?" Evan membuka pintu di depannya, ia melihat putranya yang tengah bermain bersama mainan-mainannya. Anak itu tidak lagi menangis, tidak marah-marah, tidak lesu dan melamun lagi. Exel bahkan kini tersenyum dan sangat ceria seperti saat bersama Elizabeth. 'Tumben sekali Exel tidak seperti biasanya, bahkan saat dia sendiri tanpa Clarisa.' Evan menepis rasa keheranan di benaknya. Ia berjalan mendekati Exel yang duduk di atas alas lantai dan asik berbincang dengan mainannya. "Sayang, kenapa belum tidur?" tanya Evan kini duduk di samping Exel. "Exel masih mau main, Pa," jawab anak itu sibuk sendiri. Evan menatap boneka koala berukuran sedang milik Exel. N
"Elizabeth, bisakah kau mengantarkan bunga ke alamat ini, aku ada acara penting dengan rekanku sekarang."Moris mendekati Elizabeth dan meletakkan sebuah kertas merah muda yang tertuliskan sebuah alamat suatu tempat. Elizabeth meraih kertas itu dan mengangguk. "Bisa, aku akan membuat dan mengantarkan pesanannya." "Baguslah, kalau begitu aku berangkat sekarang..." "Iya. Hati-hati, Ris!" Elizabeth tersenyum melambaikan tangannya.Sepeninggal Moris dari toko, Elizabeth langsung mengerjakan pesanan yang harganya cukup mahal. Beberapa bunga mawar merah pilihan yang berukuran besar, Elizabeth mencoba untuk berhati-hati mengerjakannya karena dari jenis dan bunga pilihan yang dipesan itu tidaklah murah. Butuh satu jam lebih gadis itu menyelesaikan bouquet bunga mawar tersebut. Hingga kini Elizabeth bisa bernapas lega setelah menyusunnya dengan cantik dan rapi. "Huffttt... Akhirnya selesai!" ucap Elizabeth lega, merasa puas dengan hasil kerjanya. Buru-buru Elizabeth bersiap untuk pergi m
Di tempat lain, Elizabeth merenung memikirkan uang ganti rugi yang diminta oleh pelanggan yang memarahinya beberapa jam yang lalu. Gadis itu bingung bagaimana ia bisa mendapatkan uang dengan jumlah cukup banyak dalam waktu singkat."Tidak mungkin aku mengatakan ini pada Moris, pasti dia akan kecewa padaku," gumam Elizabeth. Dia menghentikan langkahnya dan duduk menekuk kedua lututnya di jalanan taman usai mengantarkan beberapa pesanan bunga. Kepalanya terasa pusing seketika. Dia tidak punya tempat untuk meminta pertolongan dalam keadaan seperti ini. Biaya pengobatannya sudah mahal, dan tabungan Elizabeth untuk pengobatan tidak mungkin dia ambil. "Tunggu..." Elizabeth menyentuh lehernya. Ia menatap kalung emas bermata hijau yang dia pakai. "Kalung dari Nenek, apa aku harus menjual ini?" Dalam diam Elizabeth berpikir, kalung yang ia pakai adalah kalung pemberian Neneknya sejak Elizabeth remaja, dan hanya ini satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Elizabeth menggelengkan kepa
Setelah kejadian kemarin, Elizabeth masih tidak menceritakan apapun pada Moris dan ia akan terus menyembunyikannya dengan baik. Dan malam ini Moris baru saja mengajak Elizabeth untuk makan malam bersama di luar. Keduanya kini tengah berjalan bersama untuk kembali pulang sembari bercanda tawa. Namun, saat tiba di seberang jalan di depan toko, Elizabeth dan Moris menatap tempat kerja sekaligus tempat tinggalnya yang kini porak poranda seperti baru saja diterjang badai. "Oh My God, Elizabeth! Mataku tidak salah lihat, kan?!" pekik Moris terkejut. Elizabeth menutup mulutnya tak percaya. “Moris, apa yang terjadi dengan toko bungamu?”Kedua gadis itu langsung berlari menyeberangi jalan, mereka berdiri di depan toko yang keadaannya kini sangat tak rapi lagi. Tanaman hias di luar hancur berserakan tak tersisa, bahkan kaca pintu retak. "Ya Tuhan, kenapa jadi begini? Apa yang terjadi?!" Elizabeth membuka pintu toko dan ternganga mendapati keadaan di dalam toko pun hancur berantakan. "Eliz
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat