Sampai sore hari, Elizabeth masih mengantarkan beberapa pesanan bunga. Meskipun merasa lelah, Gadis itu tidak sedikit pun mengeluh. Untuk pesanan terakhir, ia mengantar pesanan bunga di sebuah rumah makan. Elizabeth meninggalkan sepedanya di depan dan berjalan masuk ke dalam sana. "Tuan Jhony Ereland, di meja nomor dua belas," ucap Elizabeth membaca nama pemesan bunga pada kertas yang dia bawa. Elizabeth berjalan mendekati meja nomor dua belas di sudut ruangan. Seorang laki-laki yang tengah berbincang dengan ponselnya. "Permisi Tuan, apa benar Anda Tuan Jhony?" tanya Elizabeth mendekat. "Oh ya, saya sendiri—" Laki-laki dengan balutan tuxedo hitam itu menoleh cepat, dia menghentikan ucapannya dan menatap Elizabeth dengan kening berkerut sebelum meletakkan ponselnya. Elizabeth menatap balik laki-laki itu dengan ekspresi bingung. Ia segera meletakkan buket bunga itu di atas meja. "Ini bunga yang Tuan pesan. Pembayarannya sudah Tuan kirim langsung ke toko, kan?" Elizabeth be
Seharian penuh Clarisa bersama Exel, bahkan petang ini wanita itu masih menemani anaknya di kediaman Evan. Clarisa sangat kesal dengan Exel yang sangat sulit sekali dibujuk untuk makan dan ingin makan disuapi oleh Elizabeth. "Exel, ayo makan sedikit saja, Sayang... Mama capek-capek memasakkan makanan yang kau minta," bujuk Clarisa duduk di samping Exel. "Tidak mau, masakan Tante tidak enak! Tidak seperti masakan Mamaku!" pekik Exel menutup mulutnya cepat. Clarisa berdecak kesal. "Mamamu tidak ada di sini, sekarang ayo makan! Dari siang kau belum makan, terus mengamuk seharian!" omel Clarisa. Exel menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan tetap menutup mulutnya. Dia menatap Clarisa dengan tatapan mata marah. Namun di sisi lain, anak itu takut pada Clarisa. "Exel mau makan masakan Mama! Tante pergi saja dari sini, Exel tidak suka Tante!" teriak Exel berdiri memeluk boneka gajahnya. Clarisa yang sudah kehabisan kesabaran, melemparkan piring di tangannya di depan Exel hingga b
Elizabeth menjalani pengobatan terapi di rumah sakit siang ini, setelah kemarin Daniel mengingatkannya. Kondisi Elizabeth kini masih lemas usai proses pengobatannya beberapa menit yang lalu, dia masih berbaring di atas ranjang di dalam sebuah ruangan bersama Daniel yang menemaninya. Dokter tampan itu tersenyum tulus menatap Elizabeth. "Ada kabar bagus, Elizabeth," ucap laki-laki itu setengah berbisik. "Ada apa?" Elizabeth mengerjapkan kedua mata birunya. "Apa tentang sakitku? Aku tidak papa kan, Niel?" Kekehan terdengar dari bibir Daniel. "Tidak papa. Justru sekarang kondisimu lebih baik dari yang kemarin-kemarin, sudah berangsur membaik beberapa persen." Senyuman yang terukir di bibir tipis Daniel seolah menular pada Elizabeth. Gadis itu ikut tersenyum lega. "Syukurlah. Terima kasih banyak, Niel, kau selalu ada untukku. Bahkan kau sudah membantuku sejauh ini," ucap Elizabeth dengan sangat tulus. Daniel mengangguk. "Sama-sama, Elizabeth. Asal kau selalu menjaga kesehatan
Hari sudah gelap, jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam. Evan baru saja keluar dari dalam ruangan kerjanya, laki-laki itu berjalan santai sembari memijit pangkal hidungnya. Namun, langkah lebar Evan terhenti saat ia mendengar suara lucu Exel yang nampak asik berbincang sendiri di dalam ruangan keluarga. "Exel, dia belum tidur?" Evan membuka pintu di depannya, ia melihat putranya yang tengah bermain bersama mainan-mainannya. Anak itu tidak lagi menangis, tidak marah-marah, tidak lesu dan melamun lagi. Exel bahkan kini tersenyum dan sangat ceria seperti saat bersama Elizabeth. 'Tumben sekali Exel tidak seperti biasanya, bahkan saat dia sendiri tanpa Clarisa.' Evan menepis rasa keheranan di benaknya. Ia berjalan mendekati Exel yang duduk di atas alas lantai dan asik berbincang dengan mainannya. "Sayang, kenapa belum tidur?" tanya Evan kini duduk di samping Exel. "Exel masih mau main, Pa," jawab anak itu sibuk sendiri. Evan menatap boneka koala berukuran sedang milik Exel. N
"Elizabeth, bisakah kau mengantarkan bunga ke alamat ini, aku ada acara penting dengan rekanku sekarang."Moris mendekati Elizabeth dan meletakkan sebuah kertas merah muda yang tertuliskan sebuah alamat suatu tempat. Elizabeth meraih kertas itu dan mengangguk. "Bisa, aku akan membuat dan mengantarkan pesanannya." "Baguslah, kalau begitu aku berangkat sekarang..." "Iya. Hati-hati, Ris!" Elizabeth tersenyum melambaikan tangannya.Sepeninggal Moris dari toko, Elizabeth langsung mengerjakan pesanan yang harganya cukup mahal. Beberapa bunga mawar merah pilihan yang berukuran besar, Elizabeth mencoba untuk berhati-hati mengerjakannya karena dari jenis dan bunga pilihan yang dipesan itu tidaklah murah. Butuh satu jam lebih gadis itu menyelesaikan bouquet bunga mawar tersebut. Hingga kini Elizabeth bisa bernapas lega setelah menyusunnya dengan cantik dan rapi. "Huffttt... Akhirnya selesai!" ucap Elizabeth lega, merasa puas dengan hasil kerjanya. Buru-buru Elizabeth bersiap untuk pergi m
Di tempat lain, Elizabeth merenung memikirkan uang ganti rugi yang diminta oleh pelanggan yang memarahinya beberapa jam yang lalu. Gadis itu bingung bagaimana ia bisa mendapatkan uang dengan jumlah cukup banyak dalam waktu singkat."Tidak mungkin aku mengatakan ini pada Moris, pasti dia akan kecewa padaku," gumam Elizabeth. Dia menghentikan langkahnya dan duduk menekuk kedua lututnya di jalanan taman usai mengantarkan beberapa pesanan bunga. Kepalanya terasa pusing seketika. Dia tidak punya tempat untuk meminta pertolongan dalam keadaan seperti ini. Biaya pengobatannya sudah mahal, dan tabungan Elizabeth untuk pengobatan tidak mungkin dia ambil. "Tunggu..." Elizabeth menyentuh lehernya. Ia menatap kalung emas bermata hijau yang dia pakai. "Kalung dari Nenek, apa aku harus menjual ini?" Dalam diam Elizabeth berpikir, kalung yang ia pakai adalah kalung pemberian Neneknya sejak Elizabeth remaja, dan hanya ini satu-satunya harta berharga yang ia miliki. Elizabeth menggelengkan kepa
Setelah kejadian kemarin, Elizabeth masih tidak menceritakan apapun pada Moris dan ia akan terus menyembunyikannya dengan baik. Dan malam ini Moris baru saja mengajak Elizabeth untuk makan malam bersama di luar. Keduanya kini tengah berjalan bersama untuk kembali pulang sembari bercanda tawa. Namun, saat tiba di seberang jalan di depan toko, Elizabeth dan Moris menatap tempat kerja sekaligus tempat tinggalnya yang kini porak poranda seperti baru saja diterjang badai. "Oh My God, Elizabeth! Mataku tidak salah lihat, kan?!" pekik Moris terkejut. Elizabeth menutup mulutnya tak percaya. “Moris, apa yang terjadi dengan toko bungamu?”Kedua gadis itu langsung berlari menyeberangi jalan, mereka berdiri di depan toko yang keadaannya kini sangat tak rapi lagi. Tanaman hias di luar hancur berserakan tak tersisa, bahkan kaca pintu retak. "Ya Tuhan, kenapa jadi begini? Apa yang terjadi?!" Elizabeth membuka pintu toko dan ternganga mendapati keadaan di dalam toko pun hancur berantakan. "Eliz
"Apa? Kau akan kembali ke Salzburg?!" Pekikan itu terdengar dari Daniel, laki-laki yang kini tengah duduk di hadapan Elizabeth."Iya Niel, tidak mungkin aku di sini melanjutkan pekerjaan kalau Moris saja memulainya dari awal, dia pasti juga harus menabung lebih banyak untuk memulihkan usahanya. Mungkin dalam waktu dekat aku memutuskan untuk kembali pulang." Daniel menghela napas pelan, laki-laki itu menatap Elizabeth dengan tatapan kasihan. Setelah dia terkejut mendapati toko bunga itu kini kacau karena ulah orang yang tidak mereka ketahui. "Elizabeth, apa kiranya kepulanganmu tanpa Evan tidak membuat Nenekmu kepikiran?" tanya Daniel. Elizabeth tersenyum pias. "Aku akan menjelaskannya." "Dia akan terkejut mengetahui kau dan Evan bercerai, apalagi kau sedang sakit. Nenek dan Bibimu di sana pasti akan syok." Jemari tangan Elizabeth meremas rok yang dia pakai. Demi Tuhan, Elizabeth bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. Daniel mencekal tangan Elizabeth dan menatapnya