Elizabeth terbaring di dalam sebuah ruangan bersama dokter yang menanganinya kini setelah Elizabeth menceritakan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk. Seorang dokter laki-laki berparas tampan memperhatikan Elizabeth yang berbaring menatap langit-langit dengan mata nanar. Jemarinya saling meremas dan bibir pucatnya yang terkatup. "Apa kau belum memberitahu suamimu tentang sakitmu ini, Elizabeth?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir. Laki-laki ini adalah seorang dokter muda sekaligus teman Elizabeth yang sama-sama berasal dari Austria. Elizabeth awalnya tak percaya kalau dia akan ditangani oleh dokter profesional, dan sahabatnya sendiri. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin tidak akan pernah, Niel." "Kondisimu semakin memburuk. Kalau kau terus merahasiakan sakit ini darinya, maka akan semakin rumit ke depannya." Elizabeth keukeuh mengatakan tidak. Percuma memberitahu suaminya soal penyakit yang ia derita, karena pria itu tidak akan peduli. Perlah
Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men
Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan-lahan, pandangannya mengedar menatap sebuah ruangan bernuansa putih dan aroma obat-obatan yang menyengat. Wajah tampan seorang laki-laki yang menyambutnya dengan raut penuh kecemasan. "Kau sudah sadar, apa kau merasa pusing? Ada rasa ingin muntah, Elizabeth?" Dokter muda itu, Daniel, menatap lekat-lekat wajah Elizabeth yang baru bangun pasca pingsan selama perjalanan dari hotel hingga sampai ke rumah sakit. Elizabeth menggelengkan kepalanya pelan setelah dirasa kepalanya tidak lagi sakit. "Kau kambuh dan pingsan di dalam taksi, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mengantarkanmu ke sini?" tanya Daniel. "Semua orang sibuk, Niel," jawab Elizabeth parau. "Hari ini ulang tahun anakku… tadi kepalaku sakit dan aku lupa membawa obat, jadi aku kabur ke sini." Daniel menghela napas dan menatapnya iba. Ia meraih sebotol air mineral dan menyerahkan pada Elizabeth. "Minumlah dulu, tenangkan sejenak pikiranmu. Aku akan mengantarkanmu pulang n
Elizabeth yang baru turun dari dalam mobil milik Daniel, terkejut melihat sosok laki-laki yang kini berdiri tegap di ambang pintu rumah megah di depan sana. Dan begitu pula dengan Daniel, laki-laki itu memperhatikan wajah Elizabeth yang berubah pucat dan cemas. "Elizabeth ayo, aku akan bantu jelaskan pada suamimu agar dia tidak salah paham." Daniel menoleh pada Elizabeth sambil tersenyum menenangkan. "I-iya, Niel," jawab Elizabeth ragu-ragu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga teras. Elizabeth meremas dress yang ia pakai saat sorot mata dingin Evan tertuju padanya. Detak jantungnya berpacu, entah bagaimana ia mengatakan perasaannya kini. Sosok Evan berdiri tegap dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai dari pesta. Wajahnya kaku dan sorot elangnya nyalang tertuju pada Elizabeth. "Evan," lirih Elizabeth menatap suaminya ragu. Iris mata hitam Evan teralihkan pada sosok laki-laki yang berdiri di samping Elizabeth. Evan tidak mendengarkan panggilan Elizabeth, justru
Pagi itu, Elizabeth merasakan tempat tidurnya bergerak perlahan, sebuah tangan mungil memeluknya dengan erat. Pipinya dihujani kecupan ringan dengan suara gemas sebelum terdengar bisikan lembut dan manis. "Mama... Mama, Exel sudah pulang," bisik anak itu membangunkan Elizabeth. Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan. Wajah lucu Exel yang pertama kali ia lihat, anak itu tersenyum memeluknya dengan erat. Elizabeth pun langsung memeluk putranya tersebut dengan tak kalah erat. "Sayang..." "Mama kenapa kemarin tidak ada? Mama ke mana? Exel nangis mencari Mama!" seru anak laki-laki itu menggembung kedua pipinya. Elizabeth duduk dan memangku Exel. Ia tersenyum menatap wajah tampan putranya yang nampak memprotesnya. "Mama ada urusan, Sayang. Maaf kalau Mama tidak berpamitan dengan Exel, jangan marah sama Mama ya nak," ujar Elizabeth mengusap pipi gembil bocah itu. Kedua mata Exel mengerjap pelan dan dia menggeleng tulus. "Tidak, Exel tidak marah sama Mama. Tapi Exel marah sama P
Hari-hari yang Elizabeth lalui kini menjadi sangat sepi dan kekosongan mengisi hidupnya. Lebih tepatnya saat Exel dijauhkan dan tidak dibawa pulang ke rumah oleh Evan selama beberapa hari ini. Pria itu sungguh menggenapi ucapannya tempo hari. Elizabeth tidak boleh mendekati Exel sama sekali. Elizabeth berusaha untuk berbesar hati. Meski terasa menyakitkan karena ia sangat menyayangi Exel, tapi ia memutuskan untuk terus melangkah ke depan. Ada hal yang harus ia prioritaskan lebih dulu. Siang ini, Elizabeth berjalan melangkahkan kakinya dengan cepat di lorong sepi rumah sakit. Ia sudah membuat janji cek up dengan dokter Daniel, sahabatnya. "Selamat siang," sapa Elizabeth membuka pintu ruangan periksa. Seorang laki-laki tampan dengan jas putihnya menoleh, Daniel menatapnya dan tersenyum. "Siang, Elizabeth." Daniel beranjak dari duduknya. "Kau berangkat dengan siapa?" "Sendirian, Niel." Elizabeth duduk di sebuah ranjang pemeriksaan seperti biasa. Laki-laki itu mengangguk sa
Setelah meninggalkan rumah, Elizabeth langsung mendatangi tempat Moris—tempat di mana ia akan tinggal dan bekerja mulai sekarang. Dengan senang hati, Moris menyambut Elizabeth. "Elizabeth, kau tidak perlu sungkan-sungkan, anggap saja di sini seperti rumahmu sendiri." Wanita dengan rambut ikal itu membukakan pintu kamar untuk Elizabeth, mereka masuk ke dalam sana. Ruangan yang tidak terlalu luas, namun bersih dan nyaman. Berisikan ranjang kecil, lemari kayu, dan ada beberapa box berisi kertas bunga di sana. Elizabeth tersenyum melihat ruangan itu. Ia merasa bersyukur bisa mendapatkan tempat tinggal yang baru secepat ini. "Terima kasih, Ris, kau sudah memberiku pekerjaan dan juga tempat tinggal. Aku berutang banyak padamu,” ucap Elizabeth dengan begitu tulus. "Santai saja, El. Sekarang kau bisa meletakkan pakaianmu di lemari kayu itu, dan istirahatlah." Moris tersenyum menepuk pundak Elizabeth. "Malam ini akan ada banyak pesanan bungaku yang datang dari Colmar, jadi nanti kau
Setelah dua hari Elizabeth pergi, Evan merasakan kejanggalan dalam hidupnya, termasuk dengan Exel yang sering banyak menangis mencari wanita itu. Pagi ini, kediaman Evan kedatangan Mama dan juga mantan istrinya, yang datang untuk menghibur Exel dan membujuknya untuk diajak bermain. "Evan, mulai sekarang biar aku saja yang menjaga Exel. Kau tidak perlu khawatir tentang anak kita," ujar Clarisa tersenyum manis pada Evan. "Ya, lagipula Clarisa ini Mama kandungnya Exel, Mama yakin kalau dia lebih pandai menjaga Cucu Mama daripada wanita tidak bertanggung jawab itu!" sahut Melody dengan dengusan kesal. Evan hanya diam dan mengangguk, laki-laki itu memperhatikan putranya yang hanya diam duduk di atas sofa memeluk boneka yang Elizabeth belikan beberapa bulan yang lalu. Anak itu tidak mau bermain, tidak mau bicara dengan siapapun. Dia juga susah makan, dan selalu menangis mengamuk tiap kali seseorang membujuknya. Evan mendekati sang putra dan mengusap pucuk kepala Exel dengan lemb
Sepulang dari jalan-jalan bersama Exel beberapa menit yang lalu, tampak Alicia begitu gembira. Anak itu mengoceh ini dan itu sambil menunjukkan mainannya pada sang Mama. Ditemani Elizabeth dan juga Evan yang bersama mereka sekarang. "Wahh ... banyak sekali mainannya, Sayang?" tanya Elizabeth mengecupi pipi cucunya. "Papa Exel sama Mama Tante yang belikan buat Alicia, Oma. Terus ini boneka panda dari Kakak Vano," ujar anak itu menata semua bonekanya di atas sofa ruang keluarga. "Persis sekali dengan Pauline saat masih kecil," sahut Evan. Elizabeth menoleh. "Oh ya, Pa?" "Iya, Sayang." Pauline terkekeh geli, sampai akhirnya Alicia menarik lengan sang Mama. "Mama ayo tidur, Alicia mau tidur sama Mama," seru anak itu. "Ayo, Maa...!" Evan menatap putrinya. "Sudah, sudah, cepat anak Alicia tidur, Nak," ujarnya. "Iya, Pa." Pauline memasukkan semua boneka-boneka milik Pauline ke dalam paper bag ukuran besar dan membawanya naik ke lantai dua. Alicia tampak sangat ceria dan banyak be
Sore harinya, Exel tidak mengingkari janji untuk mengajak Alicia pergi jalan-jalan dengannya. Bahkan setelah siang tadi Alicia bertemu Exel dan menganggap kalau Exel sungguh-sungguh seorang Papanya, sejak saat itu juga Alicia tidak mau diturunkan dari gendongan Exel. Untung saja, Si kembar tidak banyak protes setelah mereka berdua paham kalau sebenarnya Alicia tidak memiliki Papa. "Dad, kita makan malam di sana yuk, Dad!" ajak Varo menunjuk sebuah rumah makan Jepang. "Iya, Sayang. Jangan lari, Vano!" pekik Exel saat kedua anaknya turun dari dalam mobil. Hauri menoleh pada Alicia yang kini berjinjit meminta gendong pada Exel. "Alicia, mau gendong Mama Hauri?" tawar wanita itu. "Tidak mau. Alicia mau gendong Papa saja, Mama Tante" jawab anak itu. Alicia tidak mau memanggil Mama secara langsung pada Hauri, hingga ia juga menyematkan nama Tante di belakangnya, sampai menjadi Mama Tante. Mereka semua berjalan masuk ke dalam rumah makan tersebut dan memilih tempat yang pas. "Papa,
"Eumm, lucu sekali. Pipinya seperti bakpao. Gemas sekali ya, Varo..." Vano tengkurap sambil menyangga dagu di samping Alicia yang tertidur pulas di atas ranjang di depan ruangan televisi. Anggukan diberikan oleh kembarannya. "Heem, tapi kenapa dia tidak bangun-bangun, kau kan sudah tidak sabar ingin membuatnya menangis!" "Bagaimana kalau kita gigit pipinya, pasti dia bangun!" seru Vano. Tanpa ragu lagi, Varo mendekati Alicia dan mengigit gemas pipi adik kecilnya tersebut. Ruangan yang mulanya sunyi dan sepi, seketika menggelegar dengan suara teriakan tangis Alicia. "Huwaaa ... Mama! Sakit! Huwaa ... Mama tolong!" terikat anak itu menangis hebat. Tampak Exel yang tak jauh dari sana, ia berlari lebih dulu. Exel melihat Alicia duduk sambil memegangi pipinya dan menangis keras-keras. Di sampingnya ada di kembar yang memasang wajah polos. "Astaga, Nak? Kenapa, Sayang?" tanya Exel langsung menggendongnya. "Pipi Alicia sakit! Mama...!" teriak anak itu keras-keras. Dari belakang mu
Malam ini Alicia tidak bisa tidur, anak manis itu merengek-rengek kecil dalam gendongan Pauline. Bahkan saat salju mulai turun malam ini. Alicia tidak bersemangat, mungkin karena Pauline sudah terlanjur janji padanya untuk mengajaknya liburan ke Jerman bertemu Oma, Opa, dan Papa Exel-nya."Mama bohong-bohong sama Alicia," isak anak itu tiba-tiba dalam gendongan Pauline. "Mama tidak sayang Alicia lagi..." Perlahan, Pauline menatapnya dengan lembut. "Sayang, Mama kan masih sibuk. Nanti kita hubungi Opa dulu," ujar Pauline. Alih-alih anak itu tenang, Alicia justru semakin menangis karena ia merasa dibohongi oleh sang Mama. "Alicia kangen Oma, Alicia mau ke rumah Oma, Mama," tangis anak itu keras-keras. "Ya ampun, Sayang..." Pauline mengusap punggung kecil Alicia dengan lembut. "Kita telfon Oma dan Opa, ya..." "Tapi Alicia maunya ke sana, ke rumah Oma, Mama! Ihhhh, Mama bad sekali, Alicia tidak mau sayang!" serunya membuang muka. Pauline menarik napasnya pelan, punggungnya terasa p
Lima Tahun Kemudian..."Huwa ... Mama, tolong Alicia! Aduhh ... Alicia jatuh, Mama!"Suara teriakan keras anak kecil itu berasal dari lantai satu di kediaman Keluarga Collin. Tampak anak kecil perempuan yang kini menangis menjerit di bawah anak tangga, terjatuh sambil membawa kue kesukaannya hingga terjatuh dan mengotori baju juga lantai. Suara jeritan keras anak itu membuat Pauline yang tadinya berada di dapur pun kini langsung berlari cepat menuju ruang tamu. Wanita cantik berambut hitam sepinggang itu tampak melebarkan kedua matanya melihat putri kecilnya tengkurap di atas lantas lantai. "Astaga, Alicia! Mau ke mana, Sayang?" Pauline berlari cepat mendekatinya. "Huwaa ... Mama, lantainya nakal, Alicia jatuh!" teriak anak itu. Dengan sigap Pauline langsung membangunkan putri kecilnya. Padahal baru saja ia berjalan ke dapur dan meninggalkan Alicia di ruang keluarga, tapi anak itu dengan gesit berjalan ingin naik ke lantai dua. Alicia Bernadette, anak manis berambut cokelat dan
Paris, Prancis Untuk kali pertama setelah ia dewasa, Pauline datang ke Prancis bersama kedua orang tuanya.Kedatangan mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Evan. Tentu saja, mereka sama sekali tidak keberatan dengan adanya Pauline di sana. Bahkan sekalipun Pauline harus menetap beberapa tahun sekalipun. "Akhirnya kalian datang juga, ya ampun..." Melody langsung mengulurkan kedua tangannya memeluk Pauline. "Cucu Oma, ya ampun Nak ... Oma sangat merindukanmu," ujar wanita tua itu. Pauline hanya terkekeh mendengarnya. "Iya, Oma. Pauline juga sangat merindukan Oma." Di sana juga ada Arshen yang kini memeluk Pauline. Gadis itu tampak sangat bahagia, tersenyum cerah seolah ia tiba di suatu tempat yang benar-benar ia cari selama ini. "Sudah, ajak Pauline ke kamarnya di atas, Ma. Biarkan dia istirahat dulu dan minta pelayan untuk membantunya," ujar Arshen. "Iya, Pa." Melody begitu senang. Mereka berdua bergegasnaik ke lantai dua. Dapat Evan lihat bahwa Mamanya sangat senang, mung
Keesokan harinya, Exel dan Hauri ikut mengantarkan Pauline ke bandara bersama Mama dan Papanya. Wajah Exel benar-benar sangat kesal dan sedih. Bagaimanapun juga, Exel adalah seorang Kakak yang sangat menyayangi Adiknya. "Sayang, jaga diri baik-baik, ya," ujar Exel mengusap pipi Pauline dan mengecupnya. Pauline mengangguk dan tersenyum. "Kakak ... sering-sering kabari Pauline. Dan, Pauline titip jangan sering-sering memarahi Kak Hauri ya, Kak," pinta Pauline. Exel dan Hauri tersenyum. Mereka berdua memeluk Pauline dengan sangat erat. Di tengah berita yang kini mencuat, Keluarga Xander mengecam dan mengelak pernyataan kalau Xander menikah dengan Pauline. Hingga itu semua simpang siur membuat semua orang bertanya-tanya. "Sudah," ujar Evan menatap ketiga anaknya, terutama pada Exel. "Papa dan Mama akan mengantar adikmu dulu, Exel. Jagalah rumah Papa, dan Hauri ... ingat, istirahat yang cukup, Nak." "Iya, Pa," jawab Hauri mengusap air matanya menatap Pauline sambil melambaikan tangan
Elizabeth tidak ingin berdiam diri dan memendam kesedihan yang dirasakan Pauline. Malam harinya, Elizabeth menyambut kepulangan Evan dari luar kota dengan wajah lesu dan kedua mata yang sembab. Evan tampak bingung dan bertanya-tanya, tidak biasanya istrinya memasang ekspresi seperti ini. "Sayang, ada apa?" tanya Evan mendekatinya. "A-ada yang ingin aku bicarakan, Sayang," jawab Elizabeth mengangkat wajahnya dengan kedua mata berkaca-kaca. "Tentang Pauline." Raut wajah Evan juga mendadak panik. Tanpa berkomentar ini dan itu, ia pun langsung mengangguk dan mengajak istrinya untuk duduk bersamanya. Tubuhnya masih lelah, tapi Evan selalu serius bila semuanya menyangkut Pauline. Elizabeth mengajak suaminya duduk di dalam ruang keluarga di lantai dua. Sejenak hening terjadi di antara mereka berdua. "Sayang, sepertinya kita tidak bisa melindungi Pauline untuk terus berada di sini," ujar Elizabeth tertunduk. "Apa maksudmu, Eli?" Evan menatap tajam istrinya. "Sore tadi Pauline menang
Pauline menangis sampai ia tiba di rumah. Namun, ia mencoba menghindar dari orang rumah hingga tangisannya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Jericho. Pauline masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap langit-langit kamarnya dengan kedua mata berkaca-kaca. 'Rasanya aku tidak percaya mendengar apa yang mereka katakan tadi tentangku...' Gadis itu tertunduk, air matanya jatuh menetes membasahi pipinya. Jemari tangan Pauline meremas bagian dada baju yang ia pakai. "Harusnya sejak awal aku memang tidak menaruh hati padanya. Kalau seperti ini, aku yang merasakan sakitnya." Gadis itu meringkuk di tengah ranjang kamarnya sambil memegangi perutnya. Membayangkan betapa bahagianya ia saat Xander menyayanginya seperti hari-hari kemarin, tidak keberatan dengan mengaku sebagai ayah untuk anaknya, tapi kenyataannya yang ia terima saat sangat menyakitkan untuk Pauline setelah ia mendengar percakapan Xander bersama Nenek dan Kakeknya.