Share

Bab 7. Sampai Kapanpun, Tidak ada Kata Cerai!

Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya.

Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima?

Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan."

Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah.

Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya.

"Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas.

Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini.

"Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan.

"Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya.

Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap wajahnya dan mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Ia memperhatikan istrinya yang berdiri tegar. Meski wajah Elizabeth tampak sendu, tapi keteguhan hatinya tidak terbantahkan.

"Apakah karena Clarisa?" tanya Evan, masih menatap Elizabeth tajam.

Lidah Elizabeth terasa kelu untuk mengatakan iya. Hatinya nyeri menyadari nada remeh dalam suara suaminya itu.

Namun, Elizabeth berusaha tidak menunjukkan rasa sakit hatinya. "Bukankah dengan bercerai akan mempermudah kamu? Aku tidak ingin menjadi penghalang," katanya, lalu mengalihkan tatapan dari Evan yang terus menatapnya tajam, seolah ingin mengulitinya.

Sekali lagi Evan memukul meja kayu di depannya, rahangnya mengetat. Rasa kesalnya sama sekali tidak mereda.

"Cukup! Jangan bertingkah seperti anak kecil sampai kau membawa-bawa perceraian, Elizabeth!" desis Evan.

Pada akhirnya, ajakan perceraian itu hanya dianggap sebagai tindak kekanakan yang tidak serius. Elizabeth menggigit bibir, perasaannya menjadi getir. Apakah sebegitu tidak berharganya dirinya bagi Evan? Bahkan hal seserius ini tidak dianggap penting oleh suaminya itu.

"Katakan padaku bila kau berubah pikiran," ucap Elizabeth. Nada suaranya terdengar teguh, tidak ingin melanjutkan pertengkaran di antara mereka.

Napas Evan naik turun dengan berat, pikirannya menjadi kacau dipenuhi kekesalan akan istrinya.

Punggung kecil wanita itu menjauh darinya dengan langkah pasti, tidak menoleh ke belakang hingga ia menutup pintu.

Namun, Elizabeth masih bisa mendengar suara Evan ketika berteriak, "Sekalipun kau merengek hingga menangis darah, kita tidak akan bercerai. Ingat itu Elizabeth!"

Langkah Elizabeth berhenti tepat di depan pintu ruang kerja Evan yang tertutup rapat. Jantungnya berdegup dengan kencang setelah beberapa lama ia berusaha mencoba menguatkan diri di hadapan pria itu.

"Kenapa... kenapa dia menolak? Bukankah dia membenciku?"

Elizabeth menyandarkan punggungnya di pintu dan memejamkan kedua matanya yang berkaca-kaca.

Suara teriakan penuh kekesalan didengar Elizabeth dari dalam ruangan kerja suaminya. Elizabeth pun tak tahu apa alasan Evan ingin mempertahankan pernikahan ini.

Atau… mungkinkah laki-laki itu ingin lebih lama menyiksanya? Itukah alasan Evan marah padanya?

"Ma... kenapa menangis?"

Suara kecil dan mungil terdengar oleh telinga Elizabeth. Ia mendapati Exel yang berdiri di balik pintu kamarnya yang kini sedikit terbuka, tidak jauh dari ruangan Evan.

Anak itu berjalan mendekati Elizabeth, mendongak menatap wajah sedih sang Mama.

"Mama sedih ya, Papa marah-marah?" tanya anak itu menatap pintu ruangan kerja Evan. "Papa kenapa berteriak?"

Cepat Elizabeth mengusap air matanya, ia memaksakan diri untuk tersenyum pada si kecil yang tidak tahu apapun ini.

Elizabeth mengangkat tubuh mungil Exel. "Mama tidak papa Sayang. Papa juga tidak marah kok," jawab Elizabeth mengecup pipi Exel.

Bocah itu mengulurkan tangannya mengusap pipi Elizabeth. Perhatian kecil Exel membuat hati Elizabeth seperti tercubit.

"Mama jangan sedih, ada Exel di sini temani Mama," kata anak itu menghibur Elizabeth.

"Iya Sayang, terima kasih banyak, Sayangnya Mama..." Elizabeth memeluk tubuh Exel.

Di sana, Elizabeth tidak mendapati Clarisa. Mungkin wanita itu sudah pergi dari kediaman Evan, dan nampaknya Exel tadi tengah bersembunyi dari ibu kandungnya itu.

Elizabeth menggendong Exel dan mengajak putranya naik ke lantai dua bersamanya.

**

Malam ini Elizabeth mengalami kesulitan tidur, wanita itu terbaring lemah di atas ranjang layaknya seorang pasien.

Ranjang sampingnya kosong, Evan tidak ada di sana. Mungkin dia pergi atau mungkin bisa saja ke tempat Clarisa.

"Exel mau tidur sama Mama sama Papa! Ayolah Pa... Sekali saja, boleh ya, ya..."

Suara kecil Exel terdengar merengek-rengek merayu. Elizabeth beranjak pelan sebelum pintu kamarnya terbuka.

Di depan sana, ia melihat suaminya menggendong si kecil yang langsung cepat-cepat turun dan berlari pada Elizabeth.

"Mama!" pekik anak itu.

Elizabeth menyambutnya dengan pelukan.

"Ada apa, Sayang? Kenapa Exel belum tidur?" tanya Elizabeth.

"Dia ingin tidur denganmu," sahut Evan, laki-laki itu kini berdiri di depan cermin meja rias melepaskan arlojinya.

Perhatian Elizabeth tersita, ia pikir Evan sudah tidak mau berbicara lagi dengannya, tapi ternyata Elizabeth salah.

"Ya, aku juga ingin memeluk Exel setiap malam," ujar Elizabeth tersenyum mendekap tubuh kecil Exel.

"Ayo Pa, cepat bobo di sini!" Exel menepuk-nepuk ruang kosong pada ranjang.

Anak itu begitu nyaman memeluk Mamanya, mengoceh menceritakan betapa dia kesal sekali pada Clarisa yang mengejarnya.

Sampai beberapa menit kemudian, Evan tiba-tiba muncul dan melangkah naik ke atas ranjang. Ia berbaring di samping Exel.

"Cepat tidur Sayang," bisik Elizabeth mengusap pipi Exel.

Anak itu sudah memejamkan kedua matanya, memeluk Elizabeth dengan sangat erat.

Ekor mata Evan melirik istri dan putranya. Anaknya mudah sekali tertidur dalam pelukan Elizabeth.

"Dua hari lagi ada pesta ulang tahun Exel, datanglah ke hotel milik keluarga kita," ujar Evan tiba-tiba.

"Ya, aku akan datang," jawab Elizabeth.

Setelah itu Evan kembali beranjak melihat putranya telah tertidur. Tanpa sepatah katapun, laki-laki itu berjalan keluar meninggalkannya di dalam kamar.

Elizabeth bergeming membiarkan suaminya berlalu tanpa menahannya pergi seperti hari-hari yang lalu.

Elizabeth meratap sedih sebelum ia kembali merengkuh erat tubuh mungil Exel untuk mendapatkan kekuatan. Ia merasa jalan yang akan dilaluinya tidak akan mudah.... 

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Jacinta De Oliveira
aku udah nagis lohhh
goodnovel comment avatar
Dewi Sri
knp sabar banget sich
goodnovel comment avatar
Allwera Molle
perempuan yg penuh keibuan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status