Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya.
Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima? Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan." Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah. Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas. Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini. "Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan. "Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya. Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap wajahnya dan mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Ia memperhatikan istrinya yang berdiri tegar. Meski wajah Elizabeth tampak sendu, tapi keteguhan hatinya tidak terbantahkan. "Apakah karena Clarisa?" tanya Evan, masih menatap Elizabeth tajam. Lidah Elizabeth terasa kelu untuk mengatakan iya. Hatinya nyeri menyadari nada remeh dalam suara suaminya itu. Namun, Elizabeth berusaha tidak menunjukkan rasa sakit hatinya. "Bukankah dengan bercerai akan mempermudah kamu? Aku tidak ingin menjadi penghalang," katanya, lalu mengalihkan tatapan dari Evan yang terus menatapnya tajam, seolah ingin mengulitinya. Sekali lagi Evan memukul meja kayu di depannya, rahangnya mengetat. Rasa kesalnya sama sekali tidak mereda. "Cukup! Jangan bertingkah seperti anak kecil sampai kau membawa-bawa perceraian, Elizabeth!" desis Evan. Pada akhirnya, ajakan perceraian itu hanya dianggap sebagai tindak kekanakan yang tidak serius. Elizabeth menggigit bibir, perasaannya menjadi getir. Apakah sebegitu tidak berharganya dirinya bagi Evan? Bahkan hal seserius ini tidak dianggap penting oleh suaminya itu. "Katakan padaku bila kau berubah pikiran," ucap Elizabeth. Nada suaranya terdengar teguh, tidak ingin melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Napas Evan naik turun dengan berat, pikirannya menjadi kacau dipenuhi kekesalan akan istrinya. Punggung kecil wanita itu menjauh darinya dengan langkah pasti, tidak menoleh ke belakang hingga ia menutup pintu. Namun, Elizabeth masih bisa mendengar suara Evan ketika berteriak, "Sekalipun kau merengek hingga menangis darah, kita tidak akan bercerai. Ingat itu Elizabeth!" Langkah Elizabeth berhenti tepat di depan pintu ruang kerja Evan yang tertutup rapat. Jantungnya berdegup dengan kencang setelah beberapa lama ia berusaha mencoba menguatkan diri di hadapan pria itu. "Kenapa... kenapa dia menolak? Bukankah dia membenciku?" Elizabeth menyandarkan punggungnya di pintu dan memejamkan kedua matanya yang berkaca-kaca. Suara teriakan penuh kekesalan didengar Elizabeth dari dalam ruangan kerja suaminya. Elizabeth pun tak tahu apa alasan Evan ingin mempertahankan pernikahan ini. Atau… mungkinkah laki-laki itu ingin lebih lama menyiksanya? Itukah alasan Evan marah padanya? "Ma... kenapa menangis?" Suara kecil dan mungil terdengar oleh telinga Elizabeth. Ia mendapati Exel yang berdiri di balik pintu kamarnya yang kini sedikit terbuka, tidak jauh dari ruangan Evan. Anak itu berjalan mendekati Elizabeth, mendongak menatap wajah sedih sang Mama. "Mama sedih ya, Papa marah-marah?" tanya anak itu menatap pintu ruangan kerja Evan. "Papa kenapa berteriak?" Cepat Elizabeth mengusap air matanya, ia memaksakan diri untuk tersenyum pada si kecil yang tidak tahu apapun ini. Elizabeth mengangkat tubuh mungil Exel. "Mama tidak papa Sayang. Papa juga tidak marah kok," jawab Elizabeth mengecup pipi Exel. Bocah itu mengulurkan tangannya mengusap pipi Elizabeth. Perhatian kecil Exel membuat hati Elizabeth seperti tercubit. "Mama jangan sedih, ada Exel di sini temani Mama," kata anak itu menghibur Elizabeth. "Iya Sayang, terima kasih banyak, Sayangnya Mama..." Elizabeth memeluk tubuh Exel. Di sana, Elizabeth tidak mendapati Clarisa. Mungkin wanita itu sudah pergi dari kediaman Evan, dan nampaknya Exel tadi tengah bersembunyi dari ibu kandungnya itu. Elizabeth menggendong Exel dan mengajak putranya naik ke lantai dua bersamanya. ** Malam ini Elizabeth mengalami kesulitan tidur, wanita itu terbaring lemah di atas ranjang layaknya seorang pasien. Ranjang sampingnya kosong, Evan tidak ada di sana. Mungkin dia pergi atau mungkin bisa saja ke tempat Clarisa. "Exel mau tidur sama Mama sama Papa! Ayolah Pa... Sekali saja, boleh ya, ya..." Suara kecil Exel terdengar merengek-rengek merayu. Elizabeth beranjak pelan sebelum pintu kamarnya terbuka. Di depan sana, ia melihat suaminya menggendong si kecil yang langsung cepat-cepat turun dan berlari pada Elizabeth. "Mama!" pekik anak itu. Elizabeth menyambutnya dengan pelukan. "Ada apa, Sayang? Kenapa Exel belum tidur?" tanya Elizabeth. "Dia ingin tidur denganmu," sahut Evan, laki-laki itu kini berdiri di depan cermin meja rias melepaskan arlojinya. Perhatian Elizabeth tersita, ia pikir Evan sudah tidak mau berbicara lagi dengannya, tapi ternyata Elizabeth salah. "Ya, aku juga ingin memeluk Exel setiap malam," ujar Elizabeth tersenyum mendekap tubuh kecil Exel. "Ayo Pa, cepat bobo di sini!" Exel menepuk-nepuk ruang kosong pada ranjang. Anak itu begitu nyaman memeluk Mamanya, mengoceh menceritakan betapa dia kesal sekali pada Clarisa yang mengejarnya. Sampai beberapa menit kemudian, Evan tiba-tiba muncul dan melangkah naik ke atas ranjang. Ia berbaring di samping Exel. "Cepat tidur Sayang," bisik Elizabeth mengusap pipi Exel. Anak itu sudah memejamkan kedua matanya, memeluk Elizabeth dengan sangat erat. Ekor mata Evan melirik istri dan putranya. Anaknya mudah sekali tertidur dalam pelukan Elizabeth. "Dua hari lagi ada pesta ulang tahun Exel, datanglah ke hotel milik keluarga kita," ujar Evan tiba-tiba. "Ya, aku akan datang," jawab Elizabeth. Setelah itu Evan kembali beranjak melihat putranya telah tertidur. Tanpa sepatah katapun, laki-laki itu berjalan keluar meninggalkannya di dalam kamar. Elizabeth bergeming membiarkan suaminya berlalu tanpa menahannya pergi seperti hari-hari yang lalu. Elizabeth meratap sedih sebelum ia kembali merengkuh erat tubuh mungil Exel untuk mendapatkan kekuatan. Ia merasa jalan yang akan dilaluinya tidak akan mudah....Di dalam ruangan kerjanya, Evander Collin berdiam diri ditemani sebatang cerutu yang terbakar di antara jarinya. Laki-laki itu menatap lantai marmer mengkilap di ruangan pribadinya yang dipenuhi kertas yang ia robek-robek hancur. Evan merasa gelisah dan emosi memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Kenapa…," gumam laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan gelap yang tercetak jelas. "Apa sebenarnya yang kau inginkan, Elizabeth…" Evan menyergah napasnya frustrasi. Sejak tadi ia berusaha untuk fokus kembali bekerja, namun isi kepalanya kini dipenuhi oleh Elizabeth. Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan Evan. Nampak Jericho, asistennya yang kini masuk ke dalam ruangannya. "Apa informasi yang kau dapatkan? Katakan semuanya!" perintah Evan tegas. Laki-laki dengan pakaian formal itu menatap lurus pada sang tuan. "Nyonya Elizabeth meminta bantuan Tuan Clinton untuk mengurus surat perceraian, Tuan. Lebih tepatnya saat hari di mana Tuan dan Nyonya bertengkar h
Elizabeth terbaring di dalam sebuah ruangan bersama dokter yang menanganinya kini setelah Elizabeth menceritakan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk. Seorang dokter laki-laki berparas tampan memperhatikan Elizabeth yang berbaring menatap langit-langit dengan mata nanar. Jemarinya saling meremas dan bibir pucatnya yang terkatup. "Apa kau belum memberitahu suamimu tentang sakitmu ini, Elizabeth?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir. Laki-laki ini adalah seorang dokter muda sekaligus teman Elizabeth yang sama-sama berasal dari Austria. Elizabeth awalnya tak percaya kalau dia akan ditangani oleh dokter profesional, dan sahabatnya sendiri. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin tidak akan pernah, Niel." "Kondisimu semakin memburuk. Kalau kau terus merahasiakan sakit ini darinya, maka akan semakin rumit ke depannya." Elizabeth keukeuh mengatakan tidak. Percuma memberitahu suaminya soal penyakit yang ia derita, karena pria itu tidak akan peduli. Perlah
Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men
Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan-lahan, pandangannya mengedar menatap sebuah ruangan bernuansa putih dan aroma obat-obatan yang menyengat. Wajah tampan seorang laki-laki yang menyambutnya dengan raut penuh kecemasan. "Kau sudah sadar, apa kau merasa pusing? Ada rasa ingin muntah, Elizabeth?" Dokter muda itu, Daniel, menatap lekat-lekat wajah Elizabeth yang baru bangun pasca pingsan selama perjalanan dari hotel hingga sampai ke rumah sakit. Elizabeth menggelengkan kepalanya pelan setelah dirasa kepalanya tidak lagi sakit. "Kau kambuh dan pingsan di dalam taksi, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mengantarkanmu ke sini?" tanya Daniel. "Semua orang sibuk, Niel," jawab Elizabeth parau. "Hari ini ulang tahun anakku… tadi kepalaku sakit dan aku lupa membawa obat, jadi aku kabur ke sini." Daniel menghela napas dan menatapnya iba. Ia meraih sebotol air mineral dan menyerahkan pada Elizabeth. "Minumlah dulu, tenangkan sejenak pikiranmu. Aku akan mengantarkanmu pulang n
Elizabeth yang baru turun dari dalam mobil milik Daniel, terkejut melihat sosok laki-laki yang kini berdiri tegap di ambang pintu rumah megah di depan sana. Dan begitu pula dengan Daniel, laki-laki itu memperhatikan wajah Elizabeth yang berubah pucat dan cemas. "Elizabeth ayo, aku akan bantu jelaskan pada suamimu agar dia tidak salah paham." Daniel menoleh pada Elizabeth sambil tersenyum menenangkan. "I-iya, Niel," jawab Elizabeth ragu-ragu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga teras. Elizabeth meremas dress yang ia pakai saat sorot mata dingin Evan tertuju padanya. Detak jantungnya berpacu, entah bagaimana ia mengatakan perasaannya kini. Sosok Evan berdiri tegap dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai dari pesta. Wajahnya kaku dan sorot elangnya nyalang tertuju pada Elizabeth. "Evan," lirih Elizabeth menatap suaminya ragu. Iris mata hitam Evan teralihkan pada sosok laki-laki yang berdiri di samping Elizabeth. Evan tidak mendengarkan panggilan Elizabeth, justru
Pagi itu, Elizabeth merasakan tempat tidurnya bergerak perlahan, sebuah tangan mungil memeluknya dengan erat. Pipinya dihujani kecupan ringan dengan suara gemas sebelum terdengar bisikan lembut dan manis. "Mama... Mama, Exel sudah pulang," bisik anak itu membangunkan Elizabeth. Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan. Wajah lucu Exel yang pertama kali ia lihat, anak itu tersenyum memeluknya dengan erat. Elizabeth pun langsung memeluk putranya tersebut dengan tak kalah erat. "Sayang..." "Mama kenapa kemarin tidak ada? Mama ke mana? Exel nangis mencari Mama!" seru anak laki-laki itu menggembung kedua pipinya. Elizabeth duduk dan memangku Exel. Ia tersenyum menatap wajah tampan putranya yang nampak memprotesnya. "Mama ada urusan, Sayang. Maaf kalau Mama tidak berpamitan dengan Exel, jangan marah sama Mama ya nak," ujar Elizabeth mengusap pipi gembil bocah itu. Kedua mata Exel mengerjap pelan dan dia menggeleng tulus. "Tidak, Exel tidak marah sama Mama. Tapi Exel marah sama P
Hari-hari yang Elizabeth lalui kini menjadi sangat sepi dan kekosongan mengisi hidupnya. Lebih tepatnya saat Exel dijauhkan dan tidak dibawa pulang ke rumah oleh Evan selama beberapa hari ini. Pria itu sungguh menggenapi ucapannya tempo hari. Elizabeth tidak boleh mendekati Exel sama sekali. Elizabeth berusaha untuk berbesar hati. Meski terasa menyakitkan karena ia sangat menyayangi Exel, tapi ia memutuskan untuk terus melangkah ke depan. Ada hal yang harus ia prioritaskan lebih dulu. Siang ini, Elizabeth berjalan melangkahkan kakinya dengan cepat di lorong sepi rumah sakit. Ia sudah membuat janji cek up dengan dokter Daniel, sahabatnya. "Selamat siang," sapa Elizabeth membuka pintu ruangan periksa. Seorang laki-laki tampan dengan jas putihnya menoleh, Daniel menatapnya dan tersenyum. "Siang, Elizabeth." Daniel beranjak dari duduknya. "Kau berangkat dengan siapa?" "Sendirian, Niel." Elizabeth duduk di sebuah ranjang pemeriksaan seperti biasa. Laki-laki itu mengangguk sa
Setelah meninggalkan rumah, Elizabeth langsung mendatangi tempat Moris—tempat di mana ia akan tinggal dan bekerja mulai sekarang. Dengan senang hati, Moris menyambut Elizabeth. "Elizabeth, kau tidak perlu sungkan-sungkan, anggap saja di sini seperti rumahmu sendiri." Wanita dengan rambut ikal itu membukakan pintu kamar untuk Elizabeth, mereka masuk ke dalam sana. Ruangan yang tidak terlalu luas, namun bersih dan nyaman. Berisikan ranjang kecil, lemari kayu, dan ada beberapa box berisi kertas bunga di sana. Elizabeth tersenyum melihat ruangan itu. Ia merasa bersyukur bisa mendapatkan tempat tinggal yang baru secepat ini. "Terima kasih, Ris, kau sudah memberiku pekerjaan dan juga tempat tinggal. Aku berutang banyak padamu,” ucap Elizabeth dengan begitu tulus. "Santai saja, El. Sekarang kau bisa meletakkan pakaianmu di lemari kayu itu, dan istirahatlah." Moris tersenyum menepuk pundak Elizabeth. "Malam ini akan ada banyak pesanan bungaku yang datang dari Colmar, jadi nanti kau