“Apakah Nyonya sudah yakin?”
Elizabeth mengangguk pasti. "Aku tidak akan menyesali keputusanku," katanya serius. Wanita itu duduk di teras belakang rumahnya bersama seorang laki-laki tua berambut putih yang meletakkan sebuah berkas. Pengacara Clinton, orang kepercayaan Elizabeth yang dua hari lalu ia hubungi untuk meminta bantuan mengurus berkas penting. "Baiklah, saya harap Nyonya baik-baik saja." Anggukan pelan Elizabeth berikan. "Ya, aku pun berharap seperti itu. Terima kasih sudah membantuku, pengacara Clinton." "Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu berdiri dari duduknya, meraih tas kulit yang kini dia bawa pergi. Sedangkan Elizabeth masih duduk di kursi teras menatap sebuah dokumen yang ia usap dengan jemari kurusnya. Kedua mata Elizabeth terpejam merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu wajah pucatnya. Ia tidak mau menimbang-nimbang lagi keputusannya, mengingat mungkin usianya juga tidak akan panjang. "Permisi Nyonya, Tuan Evan sudah pulang. Beliau baru saja sampai," ujar seorang pelayan yang berdiri di samping Elizabeth. Tak ada jawaban apapun dari Elizabeth. Usai keributan beberapa hari yang lalu, Evan jadi jarang pulang. Bahkan Clarisa kini sudah bebas keluar masuk di dalam rumah ini. Exel pun terlihat mulai dekat dengan Clarisa. Hal itu membuat Elizabeth merasa putus asa dan ingin menyerah. Perlahan, Elizabeth berdiri dari duduknya, sembari merapatkan selendang kuning bermotif bunga-bunga yang menutup kedua pundaknya. "Di mana suamiku sekarang?" tanya Elizabeth pada pelayannya. "Ada di ruangan kerja, Nyonya." "Terima kasih, Bi." Elizabeth melangkah ke lorong samping rumah megah milik Evander. Jemarinya erat mencengkeram sebuah dokumen yang ia bawa. Dengan wajah pucat tanpa ekspresi apapun, Elizabeth berusaha kuat untuk menghadapi Evan. Setibanya di depan ruangan kerja sang suami, Elizabeth hendak mengetuk pintu kayu oak di depannya, namun suara seseorang di dalam sana cukup menyitanya. "Evan, nanti kalau ulang tahun Exel kita rayakan di hotel yang aku tunjukkan tadi, ya?" Suara Clarisa di dalam sana. "Terserah kau saja." Evan menjawabnya dengan santai. "Tapi apa Elizabeth akan kau ajak? Sebenarnya aku sedikit ragu dengan Elizabeth. Dia tidak sungguh-sungguh menyayangi Exel. Dia hanya mencintaimu, tidak dengan anak kita." "Bagaimanapun juga Elizabeth adalah istriku, Clarisa," Evan menjawab tegas. "Iya, aku tahu. Tapi—" Ucapan Clarisa terhenti seketika saat pintu ruangan itu terbuka. Baik Evan maupun Clarisa menatap sosok Elizabeth yang berdiri di ambang pintu. Elizabeth lantas berjalan mendekati meja suaminya. "Evan, bisakah luangkan waktu sebentar?" pinta Elizabeth dengan tatapan sendu. "Elizabeth—" "Ada hal penting yang ingin kusampaikan," sela Elizabeth memotong ucapan Evan. “Hanya di antara kita berdua.” Ia menatap lurus tepat pada Clarisa dengan raut datar. Tidak ada ketakutan yang terpancar pada wajah cantiknya. Senyuman tipis diberikan oleh mantan istri suaminya tersebut. Clarisa meraih tasnya di atas meja kerja Evan. "Tanpa kau menyuruhku, aku akan pergi, Nyonya Elizabeth Lawrence!" ucap Clarisa begitu sarkastik. Wanita dengan balutan dress biru tua itu langsung melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut. Kini hanya tersisa Evan dan Elizabeth saja. Iris biru mata indah Elizabeth menelisik paras wajah sempurna milik sang suami. Baru saja ia mengambil langkah mendekat, Evan berkata, "Aku sibuk, Elizabeth." "Sebentar saja, Evan...." Decakan lidah sebal terdengar dari pria itu. Namun, jemarinya masih menari-nari di atas keyboard laptopnya. "Bicarakan nanti. Jangan menggangguku,” kata Evan dengan nada datar. “Pergi dan tunggu aku di luar sepuluh menit lagi!" usirnya secara terang-terangan. Mendengar itu, Elizabeth benar-benar sudah tidak tahan! Ia menatap berkas yang ia bawa dan meletakkannya secara hati-hati di atas meja oak, tepat di samping tangan Evan berada. Iris mata abu-abu milik laki-laki itu melirik dokumen yang Elizabeth letakkan. Sontak saja Evan mendongak dengan ekspresi dingin tak percaya. "Dokumen perceraian?!" Beberapa detik Elizabeth menatap Evan dengan sendu. "Suamiku… mari akhiri pernikahan ini!" Mendengar ucapan Elizabeth, rahang Evan mengeras dengan wajah marah yang terlukis nyata. Sigap laki-laki itu berdiri dan menatap tajam istrinya dengan tatapan tak terima. "Apa maksudmu dengan surat cerai ini, Elizabeth?!"tanya Evan mengangkat berkas itu. Elizabeth tersenyum tipis. "Pernikahan kita bukanlah pernikahan yang kau inginkan sejak awal. Mamanya Exel… wanita yang kau cintai sudah kembali. Bukankah ini yang kau nanti-nanti?” katanya sambil menatap sepasang mata Evan yang menatapnya tajam. “Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah bisa berada di hatimu, kan?" "Kau bicara apa, Elizabeth?!" desis Evan. Jemarinya meremas berkas di tangannya. "Aku... aku sudah tidak tahan dengan pernikahan ini,” kata Elizabeth dengan suara bergetar. “Setelah kita bercerai, aku akan kembali ke Salzburg, pulang ke tanah asalku, tinggal bersama Nenek dan Bibi di sana. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Jadi kau bisa hidup bahagia dengan Clarisa dan Exel… tanpa aku." Elizabeth menunduk. Dengan tangan gemetar dan sepasang mata yang berkaca-kaca, ia melepaskan cincin pernikahannya dan meletakkannya di atas meja. "Maaf jika selama ini aku menyita banyak waktumu yang berharga. Tapi sekarang kau bebas, tidak ada pengganggu ini lagi dalam hidupmu." Garis rahang Evan semakin mengetat kuat, kedua tangan terkepal hingga kusut berkas di tangannya. "Wanita bodoh!" berang Evander, menggebrak keras meja kerjanya. Kedua mata Elizabeth melebar saat Evan dengan penuh kemarahan merobek-robek berkas perceraian yang ada di tangannya dan melemparkannya menjadi robekan kecil-kecil melayang di udara. "Kau pikir kau bisa berpisah denganku begitu saja?!" desis Evan lalu tertawa sumbang. Tubuh Elizabeth tersentak saat kedua telapak tangan besar Evan dengan cepat mencengkeram kuat kedua pundaknya dengan tatapan tak terima. "E-Evan..." Bibir Evander menipis marah, cengkeramannya kian kuat hingga terasa menyakitkan. Sepasang mata itu, tajam menusuk hati Elizabeth. "Dengar... sampai kapanpun tidak akan ada perceraian di antara kita, Elizabeth! Sekalipun kau menangis dan memohon, hal itu tak akan pernah terjadi!"Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya. Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima? Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan." Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah. Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas. Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini. "Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan. "Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya. Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap waj
Di dalam ruangan kerjanya, Evander Collin berdiam diri ditemani sebatang cerutu yang terbakar di antara jarinya. Laki-laki itu menatap lantai marmer mengkilap di ruangan pribadinya yang dipenuhi kertas yang ia robek-robek hancur. Evan merasa gelisah dan emosi memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Kenapa…," gumam laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan gelap yang tercetak jelas. "Apa sebenarnya yang kau inginkan, Elizabeth…" Evan menyergah napasnya frustrasi. Sejak tadi ia berusaha untuk fokus kembali bekerja, namun isi kepalanya kini dipenuhi oleh Elizabeth. Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan Evan. Nampak Jericho, asistennya yang kini masuk ke dalam ruangannya. "Apa informasi yang kau dapatkan? Katakan semuanya!" perintah Evan tegas. Laki-laki dengan pakaian formal itu menatap lurus pada sang tuan. "Nyonya Elizabeth meminta bantuan Tuan Clinton untuk mengurus surat perceraian, Tuan. Lebih tepatnya saat hari di mana Tuan dan Nyonya bertengkar h
Elizabeth terbaring di dalam sebuah ruangan bersama dokter yang menanganinya kini setelah Elizabeth menceritakan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk. Seorang dokter laki-laki berparas tampan memperhatikan Elizabeth yang berbaring menatap langit-langit dengan mata nanar. Jemarinya saling meremas dan bibir pucatnya yang terkatup. "Apa kau belum memberitahu suamimu tentang sakitmu ini, Elizabeth?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir. Laki-laki ini adalah seorang dokter muda sekaligus teman Elizabeth yang sama-sama berasal dari Austria. Elizabeth awalnya tak percaya kalau dia akan ditangani oleh dokter profesional, dan sahabatnya sendiri. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin tidak akan pernah, Niel." "Kondisimu semakin memburuk. Kalau kau terus merahasiakan sakit ini darinya, maka akan semakin rumit ke depannya." Elizabeth keukeuh mengatakan tidak. Percuma memberitahu suaminya soal penyakit yang ia derita, karena pria itu tidak akan peduli. Perlah
Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men
Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan-lahan, pandangannya mengedar menatap sebuah ruangan bernuansa putih dan aroma obat-obatan yang menyengat. Wajah tampan seorang laki-laki yang menyambutnya dengan raut penuh kecemasan. "Kau sudah sadar, apa kau merasa pusing? Ada rasa ingin muntah, Elizabeth?" Dokter muda itu, Daniel, menatap lekat-lekat wajah Elizabeth yang baru bangun pasca pingsan selama perjalanan dari hotel hingga sampai ke rumah sakit. Elizabeth menggelengkan kepalanya pelan setelah dirasa kepalanya tidak lagi sakit. "Kau kambuh dan pingsan di dalam taksi, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mengantarkanmu ke sini?" tanya Daniel. "Semua orang sibuk, Niel," jawab Elizabeth parau. "Hari ini ulang tahun anakku… tadi kepalaku sakit dan aku lupa membawa obat, jadi aku kabur ke sini." Daniel menghela napas dan menatapnya iba. Ia meraih sebotol air mineral dan menyerahkan pada Elizabeth. "Minumlah dulu, tenangkan sejenak pikiranmu. Aku akan mengantarkanmu pulang n
Elizabeth yang baru turun dari dalam mobil milik Daniel, terkejut melihat sosok laki-laki yang kini berdiri tegap di ambang pintu rumah megah di depan sana. Dan begitu pula dengan Daniel, laki-laki itu memperhatikan wajah Elizabeth yang berubah pucat dan cemas. "Elizabeth ayo, aku akan bantu jelaskan pada suamimu agar dia tidak salah paham." Daniel menoleh pada Elizabeth sambil tersenyum menenangkan. "I-iya, Niel," jawab Elizabeth ragu-ragu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga teras. Elizabeth meremas dress yang ia pakai saat sorot mata dingin Evan tertuju padanya. Detak jantungnya berpacu, entah bagaimana ia mengatakan perasaannya kini. Sosok Evan berdiri tegap dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai dari pesta. Wajahnya kaku dan sorot elangnya nyalang tertuju pada Elizabeth. "Evan," lirih Elizabeth menatap suaminya ragu. Iris mata hitam Evan teralihkan pada sosok laki-laki yang berdiri di samping Elizabeth. Evan tidak mendengarkan panggilan Elizabeth, justru
Pagi itu, Elizabeth merasakan tempat tidurnya bergerak perlahan, sebuah tangan mungil memeluknya dengan erat. Pipinya dihujani kecupan ringan dengan suara gemas sebelum terdengar bisikan lembut dan manis. "Mama... Mama, Exel sudah pulang," bisik anak itu membangunkan Elizabeth. Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan. Wajah lucu Exel yang pertama kali ia lihat, anak itu tersenyum memeluknya dengan erat. Elizabeth pun langsung memeluk putranya tersebut dengan tak kalah erat. "Sayang..." "Mama kenapa kemarin tidak ada? Mama ke mana? Exel nangis mencari Mama!" seru anak laki-laki itu menggembung kedua pipinya. Elizabeth duduk dan memangku Exel. Ia tersenyum menatap wajah tampan putranya yang nampak memprotesnya. "Mama ada urusan, Sayang. Maaf kalau Mama tidak berpamitan dengan Exel, jangan marah sama Mama ya nak," ujar Elizabeth mengusap pipi gembil bocah itu. Kedua mata Exel mengerjap pelan dan dia menggeleng tulus. "Tidak, Exel tidak marah sama Mama. Tapi Exel marah sama P
Hari-hari yang Elizabeth lalui kini menjadi sangat sepi dan kekosongan mengisi hidupnya. Lebih tepatnya saat Exel dijauhkan dan tidak dibawa pulang ke rumah oleh Evan selama beberapa hari ini. Pria itu sungguh menggenapi ucapannya tempo hari. Elizabeth tidak boleh mendekati Exel sama sekali. Elizabeth berusaha untuk berbesar hati. Meski terasa menyakitkan karena ia sangat menyayangi Exel, tapi ia memutuskan untuk terus melangkah ke depan. Ada hal yang harus ia prioritaskan lebih dulu. Siang ini, Elizabeth berjalan melangkahkan kakinya dengan cepat di lorong sepi rumah sakit. Ia sudah membuat janji cek up dengan dokter Daniel, sahabatnya. "Selamat siang," sapa Elizabeth membuka pintu ruangan periksa. Seorang laki-laki tampan dengan jas putihnya menoleh, Daniel menatapnya dan tersenyum. "Siang, Elizabeth." Daniel beranjak dari duduknya. "Kau berangkat dengan siapa?" "Sendirian, Niel." Elizabeth duduk di sebuah ranjang pemeriksaan seperti biasa. Laki-laki itu mengangguk sa