Share

Bab 6. Suamiku, Mari Akhiri Pernikahan Ini

“Apakah Nyonya sudah yakin?”

Elizabeth mengangguk pasti. "Aku tidak akan menyesali keputusanku," katanya serius.

Wanita itu duduk di teras belakang rumahnya bersama seorang laki-laki tua berambut putih yang meletakkan sebuah berkas.

Pengacara Clinton, orang kepercayaan Elizabeth yang dua hari lalu ia hubungi untuk meminta bantuan mengurus berkas penting.

"Baiklah, saya harap Nyonya baik-baik saja."

Anggukan pelan Elizabeth berikan. "Ya, aku pun berharap seperti itu. Terima kasih sudah membantuku, pengacara Clinton."

"Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya permisi."

Laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu berdiri dari duduknya, meraih tas kulit yang kini dia bawa pergi.

Sedangkan Elizabeth masih duduk di kursi teras menatap sebuah dokumen yang ia usap dengan jemari kurusnya.

Kedua mata Elizabeth terpejam merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu wajah pucatnya. Ia tidak mau menimbang-nimbang lagi keputusannya, mengingat mungkin usianya juga tidak akan panjang.

"Permisi Nyonya, Tuan Evan sudah pulang. Beliau baru saja sampai," ujar seorang pelayan yang berdiri di samping Elizabeth.

Tak ada jawaban apapun dari Elizabeth.

Usai keributan beberapa hari yang lalu, Evan jadi jarang pulang. Bahkan Clarisa kini sudah bebas keluar masuk di dalam rumah ini. Exel pun terlihat mulai dekat dengan Clarisa.

Hal itu membuat Elizabeth merasa putus asa dan ingin menyerah.

Perlahan, Elizabeth berdiri dari duduknya, sembari merapatkan selendang kuning bermotif bunga-bunga yang menutup kedua pundaknya.

"Di mana suamiku sekarang?" tanya Elizabeth pada pelayannya.

"Ada di ruangan kerja, Nyonya."

"Terima kasih, Bi."

Elizabeth melangkah ke lorong samping rumah megah milik Evander. Jemarinya erat mencengkeram sebuah dokumen yang ia bawa.

Dengan wajah pucat tanpa ekspresi apapun, Elizabeth berusaha kuat untuk menghadapi Evan.

Setibanya di depan ruangan kerja sang suami, Elizabeth hendak mengetuk pintu kayu oak di depannya, namun suara seseorang di dalam sana cukup menyitanya.

"Evan, nanti kalau ulang tahun Exel kita rayakan di hotel yang aku tunjukkan tadi, ya?" Suara Clarisa di dalam sana.

"Terserah kau saja." Evan menjawabnya dengan santai.

"Tapi apa Elizabeth akan kau ajak? Sebenarnya aku sedikit ragu dengan Elizabeth. Dia tidak sungguh-sungguh menyayangi Exel. Dia hanya mencintaimu, tidak dengan anak kita."

"Bagaimanapun juga Elizabeth adalah istriku, Clarisa," Evan menjawab tegas.

"Iya, aku tahu. Tapi—"

Ucapan Clarisa terhenti seketika saat pintu ruangan itu terbuka. Baik Evan maupun Clarisa menatap sosok Elizabeth yang berdiri di ambang pintu.

Elizabeth lantas berjalan mendekati meja suaminya.

"Evan, bisakah luangkan waktu sebentar?" pinta Elizabeth dengan tatapan sendu.

"Elizabeth—"

"Ada hal penting yang ingin kusampaikan," sela Elizabeth memotong ucapan Evan. “Hanya di antara kita berdua.”

Ia menatap lurus tepat pada Clarisa dengan raut datar. Tidak ada ketakutan yang terpancar pada wajah cantiknya.

Senyuman tipis diberikan oleh mantan istri suaminya tersebut. Clarisa meraih tasnya di atas meja kerja Evan.

"Tanpa kau menyuruhku, aku akan pergi, Nyonya Elizabeth Lawrence!" ucap Clarisa begitu sarkastik.

Wanita dengan balutan dress biru tua itu langsung melenggang pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Kini hanya tersisa Evan dan Elizabeth saja. Iris biru mata indah Elizabeth menelisik paras wajah sempurna milik sang suami.

Baru saja ia mengambil langkah mendekat, Evan berkata, "Aku sibuk, Elizabeth."

"Sebentar saja, Evan...."

Decakan lidah sebal terdengar dari pria itu. Namun, jemarinya masih menari-nari di atas keyboard laptopnya.

"Bicarakan nanti. Jangan menggangguku,” kata Evan dengan nada datar. “Pergi dan tunggu aku di luar sepuluh menit lagi!" usirnya secara terang-terangan.

Mendengar itu, Elizabeth benar-benar sudah tidak tahan!

Ia menatap berkas yang ia bawa dan meletakkannya secara hati-hati di atas meja oak, tepat di samping tangan Evan berada.

Iris mata abu-abu milik laki-laki itu melirik dokumen yang Elizabeth letakkan. Sontak saja Evan mendongak dengan ekspresi dingin tak percaya.

"Dokumen perceraian?!"

Beberapa detik Elizabeth menatap Evan dengan sendu. "Suamiku… mari akhiri pernikahan ini!"

Mendengar ucapan Elizabeth, rahang Evan mengeras dengan wajah marah yang terlukis nyata.

Sigap laki-laki itu berdiri dan menatap tajam istrinya dengan tatapan tak terima.

"Apa maksudmu dengan surat cerai ini, Elizabeth?!"tanya Evan mengangkat berkas itu.

Elizabeth tersenyum tipis. "Pernikahan kita bukanlah pernikahan yang kau inginkan sejak awal. Mamanya Exel… wanita yang kau cintai sudah kembali. Bukankah ini yang kau nanti-nanti?” katanya sambil menatap sepasang mata Evan yang menatapnya tajam. “Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah bisa berada di hatimu, kan?"

"Kau bicara apa, Elizabeth?!" desis Evan. Jemarinya meremas berkas di tangannya.

"Aku... aku sudah tidak tahan dengan pernikahan ini,” kata Elizabeth dengan suara bergetar. “Setelah kita bercerai, aku akan kembali ke Salzburg, pulang ke tanah asalku, tinggal bersama Nenek dan Bibi di sana. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Jadi kau bisa hidup bahagia dengan Clarisa dan Exel… tanpa aku."

Elizabeth menunduk. Dengan tangan gemetar dan sepasang mata yang berkaca-kaca, ia melepaskan cincin pernikahannya dan meletakkannya di atas meja.

"Maaf jika selama ini aku menyita banyak waktumu yang berharga. Tapi sekarang kau bebas, tidak ada pengganggu ini lagi dalam hidupmu."

Garis rahang Evan semakin mengetat kuat, kedua tangan terkepal hingga kusut berkas di tangannya.

"Wanita bodoh!" berang Evander, menggebrak keras meja kerjanya.

Kedua mata Elizabeth melebar saat Evan dengan penuh kemarahan merobek-robek berkas perceraian yang ada di tangannya dan melemparkannya menjadi robekan kecil-kecil melayang di udara.

"Kau pikir kau bisa berpisah denganku begitu saja?!" desis Evan lalu tertawa sumbang.

Tubuh Elizabeth tersentak saat kedua telapak tangan besar Evan dengan cepat mencengkeram kuat kedua pundaknya dengan tatapan tak terima.

"E-Evan..."

Bibir Evander menipis marah, cengkeramannya kian kuat hingga terasa menyakitkan. Sepasang mata itu, tajam menusuk hati Elizabeth.

"Dengar... sampai kapanpun tidak akan ada perceraian di antara kita, Elizabeth! Sekalipun kau menangis dan memohon, hal itu tak akan pernah terjadi!"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ningke Endengi
pergi saja walaupun tanpa surat cerai asal kau tdk bersama dan jalani pengobatanmu dan hidup dengan damai menjadi wanita yg sangat cantik ðan terhormat
goodnovel comment avatar
Allwera Molle
keputusan yg bijak utk seorang wanita yg sdh di khianati
goodnovel comment avatar
D N
pergi dan tinggalkan rumah itu Elisabeth, biarkan dia merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang selama ini dia abaikan dan khianati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status