Share

Bab 5. Mereka Merenggut Kebahagiaanku

Hari berganti, tapi kondisi Elizabeth masih belum kunjung membaik. Wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya dengan keadaan panik.

Elizabeth ketiduran selama dua jam setelah meminum obat, sampai ia lupa menjemput Exel di sekolah.

"Ya Tuhan, sudah pukul berapa ini?!" Elizabeth menatap jam dinding di kamarnya. "Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? Exel pasti menangis menungguku!"

Buru-buru Elizabeth keluar dari dalam kamar. Meskipun tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga, tapi ia tetap memaksakan diri.

Langkahnya yang berat dipaksa menuruni anak tangga. Namun, saat Elizabeth belum menapaki lantai satu, pintu rumahnya pun terbuka lebar.

Terdengar suara tangisan Exel yang membuat Elizabeth panik seketika.

"Elizabeth!" teriakan seorang wanita memanggilnya dengan keras.

"Mama..."

Elizabeth menatap Mama mertuanya yang datang bersama Clarisa. Wanita itu kini tengah menggendong Exel yang memberontak dalam pelukannya.

Sejenak Elizabeth terdiam. Bukankah kemarin Evan berkata kalau Clarisa kecelakaan? Tapi mengapa wanita itu tidak tampak terluka sama sekali?!

Belum sadar dari keterkejutannya, Melodi menghampiri Elizabeth dengan tatapan murka dan amarah yang bergejolak.

"Ohhh begini kau rupanya, hah?! Kau malas-malasan di rumah sementara cucuku menangis sendirian menunggumu di depan sekolah!"

"Ma, aku bisa jelaskan... aku tidak malas-malasan di rumah, tapi aku sedang sakit."

"Alasan!" sahut Clarisa memasang wajah sinisnya. "Kalau kau tidak becus mengurus Exel, harusnya kau bicara! Bukan malah seperti ini pada anakku!"

Elizabeth menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak punya banyak tenaga untuk membela diri.

"Clarisa, tidak begitu. Aku sungguh tidak berbohong. Aku ketiduran setelah meminum obat dan—"

"Ketiduran kau bilang?!" teriak Melodi mendorong pundak Elizabeth agar menjauh dari Exel.

"Apa jangan-jangan selama ini kau memperlakukan anakku dengan buruk karena Exel hanya anak tirimu?!" tuduh Clarisa murka.

Elizabeth mencoba terus menyangkal segala tuduhan kedua wanita di depannya, bahwa apa yang mereka katakan tidak benar.

Tapi tidak dengan Exel yang masih menangis mengulurkan tangannya ingin meminta gendong pada Elizabeth. Namun, Melodi dan Clarisa terus menahan anak kecil itu.

"Mama... Huwaa, Exel mau ikut Mama!" teriak Exel menatap Elizabeth seolah meminta tolong.

"Jangan berikan, Clarisa! Exel ini adalah anakmu! Dia hanya ibu tiri yang tidak tahu diri!" tuding Melodi pada Elizabeth.

Air mata Elizabeth tidak mampu ditahan. Ia benar-benar merasa terpojok.

Hingga terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Dari luar, muncul Evan berjalan masuk ke dalam rumah. Iris mata hitam tajamnya menatap mereka satu per satu.

"Apa yang terjadi di sini?" tanya Evan. Suaranya terdengar dingin sekaligus mengintimidasi, membuat Elizabeth segera mengusap air mata di pipinya.

Clarisa mendekati Evan dengan Exel yang menangis di gendongannya. Wajah penuh amarahnya kini sudah berubah menjadi ekspresi sedih dan kecewa.

"Evan, aku tidak menyangka kalau istrimu itu memperlakukan anakku seperti ini! Apa karena Exel anak tirinya dia jadi bersikap seenaknya?!" pekik wanita itu, tiba-tiba terisak pilu seolah hatinya baru saja disakiti.

Evan menatap Elizabeth yang tertunduk dengan tubuh gemetar. Evan masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

"Elizabeth," panggil Evan, seolah meminta penjelasan.

"Istrimu itu menelantarkan Exel di sekolahnya! Dia malah asik tidur-tiduran di rumah! Bayangkan kalau Exel sampai diculik orang jahat! Siapa yang akan bertanggung jawab?!" sentak Melodi meluapkan amarahnya.

"Kalau tidak ada aku dan Mama, mau berapa jam lagi Exel menunggunya, Evan? Tiga jam anak kita menunggu wanita itu di depan gerbang sekolah sendirian. Bisa kamu bayangkan betapa ketakutannya anak kita?" cecar Clarisa sedih.

Mendengar aduan mereka berdua, ekspresi Evan tampak mengeras. Matanya nyalang ke arah Elizabeth yang tidak mengatakan apapun selain suara isakannya yang terdengar samar-samar.

"Apa itu benar, Elizabeth?" tanya Evan dengan garis rahang yang mengetat jelas.

Elizabeth menatap Evan dengan sepasang mata berair. Ia mendekat dan meraih tangan suaminya.

"Ini tidak seperti yang mereka katakan Evan. A-aku sedang tidak enak badan… jadi tadi aku tertidur setelah aku minum obat. Demi Tuhan, aku tidak berbohong—"

"Tidak berbohong bagaimana?! Saat kami tiba di sini kau terlihat baik-baik saja!" sela Melodi berang.

"Ya, aku juga melihat dengan mata kepalaku sendiri! Kalau kau memang tidak menyukai Exel, jangan perlakukan anakku seperti ini, Elizabeth!" timpal Clarisa sambil berderai air mata.

Evan menepis tangan Elizabeth hingga wanita bertubuh kurus itu terhuyung ke belakang. Wajahnya terlihat menakutkan, garis rahangnya menegang dengan tangan terkepal.

"Apakah semua yang mereka katakan semuanya benar? Kau lalai pada anakku?!"

Tubuh Elizabeth tersentak, ia tertunduk menutup mulutnya dan menahan untuk tidak mengeluarkan suara isak tangisnya.

"Aku benar-benar sakit, Evan... Aku tidak pernah sedikitpun berbohong padamu. Apa yang mereka katakan tidak benar! Aku tidak setega itu pada anak kita," terang Elizabeth, berusaha membela diri.

"Anak kita, anak kita! Exel itu anak Clarisa dan Evan, bukan anakmu!" teriak Melodi menyahuti.

"Biarkan aku saja yang merawat Exel kalau kau tidak sanggup, Elizabeth. Jangan memperlakukan anak kecil seperti ini, anakku tidak tahu apapun!" Clarisa terisak, masih terus mengarang cerita dan bersandiwara.

Evan mencekal erat pundak Elizabeth dan menatapnya dengan dalam penuh kekesalan.

"Aku tidak menyangka dengan apa yang kau lakukan, Elizabeth!" desis Evan.

Suara Elizabeth tercekat. "Evan..."

Evan segera menarik diri. Laki-laki itu lantas menatap Clarisa dan Mamanya. "Bawa Exel bersama kalian," katanya dengan nada dingin.

Kedua wanita itu tampak puas dengan keputusan Evan, lalu berjalan keluar setelah memberikan senyuman sinis pada Elizabeth.

Elizabeth memperhatikan Exel yang menjerit ke arahnya, seolah sedang meminta pertolongannya.

Di sana tersisa Elizabeth dan Evan. Tangisan Elizabeth mereda perlahan-lahan. Kenyataan bahwa laki-laki ini tidak percaya sedikitpun meski ia sudah berkata jujur membuat Elizabeth merasa sedih.

"Maafkan aku," ucap Elizabeth lirih dan pilu. "Aku hanya berharap kau percaya bahwa aku sangat menyayangi Exel seperti anakku sendiri."

Evan yang berdiri memunggunginya, meliriknya tajam dengan bibir menipis. Kemarahan yang terasa begitu jelas dari Evan membuat Elizabeth takut.

Ia tahu Evan sangat menyayangi Exel lebih dari apapun, dan pernyataan yang menyudutkannya tentu membuat Evan begitu marah pada Elizabeth.

"Setelah kau lalai pada Exel hari ini?!" sentak Evan. "Kau sudah melewati batas, Elizabeth Lawrence!"

Setelah mengatakan itu dengan penuh tekanan, Evan melangkah pergi tanpa mau mendengarkan semua alasan jujur dari istrinya.

Elizabeth merasa tak kuat menopang tubuhnya. Wanita itu terduduk di lantai dengan napas naik turun. Dadanya sesak.

Air matanya terasa kering untuk terus menangis. Elizabeth menutup wajahnya dan menekan kesedihan dalam dirinya.

"Aku tidak tahan lagi, Ya Tuhan…” Elizabeth meremas dressnya sembari tertunduk bersimpuh di lantai. “Aku tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahan ini!"

Komen (4)
goodnovel comment avatar
ShÌntà Rusman
apa sih yg dipertahankan elizabet, kalo aku sih 3th dgn kondisi pernikahan kayak gitu, wes loe n gue end, dunia luas, laki² baik masih banyak, jadi perempuan kok lemah
goodnovel comment avatar
Ningke Endengi
sangat suka
goodnovel comment avatar
Yuli Yuliyuli
apa sih yang kamu pertahan kan Elisa? suami jahat mertua jahat bukan nya sembuh malah semakin parah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status