Hari berganti, tapi kondisi Elizabeth masih belum kunjung membaik. Wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya dengan keadaan panik.
Elizabeth ketiduran selama dua jam setelah meminum obat, sampai ia lupa menjemput Exel di sekolah. "Ya Tuhan, sudah pukul berapa ini?!" Elizabeth menatap jam dinding di kamarnya. "Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? Exel pasti menangis menungguku!" Buru-buru Elizabeth keluar dari dalam kamar. Meskipun tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga, tapi ia tetap memaksakan diri. Langkahnya yang berat dipaksa menuruni anak tangga. Namun, saat Elizabeth belum menapaki lantai satu, pintu rumahnya pun terbuka lebar. Terdengar suara tangisan Exel yang membuat Elizabeth panik seketika. "Elizabeth!" teriakan seorang wanita memanggilnya dengan keras. "Mama..." Elizabeth menatap Mama mertuanya yang datang bersama Clarisa. Wanita itu kini tengah menggendong Exel yang memberontak dalam pelukannya. Sejenak Elizabeth terdiam. Bukankah kemarin Evan berkata kalau Clarisa kecelakaan? Tapi mengapa wanita itu tidak tampak terluka sama sekali?! Belum sadar dari keterkejutannya, Melodi menghampiri Elizabeth dengan tatapan murka dan amarah yang bergejolak. "Ohhh begini kau rupanya, hah?! Kau malas-malasan di rumah sementara cucuku menangis sendirian menunggumu di depan sekolah!" "Ma, aku bisa jelaskan... aku tidak malas-malasan di rumah, tapi aku sedang sakit." "Alasan!" sahut Clarisa memasang wajah sinisnya. "Kalau kau tidak becus mengurus Exel, harusnya kau bicara! Bukan malah seperti ini pada anakku!" Elizabeth menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak punya banyak tenaga untuk membela diri. "Clarisa, tidak begitu. Aku sungguh tidak berbohong. Aku ketiduran setelah meminum obat dan—" "Ketiduran kau bilang?!" teriak Melodi mendorong pundak Elizabeth agar menjauh dari Exel. "Apa jangan-jangan selama ini kau memperlakukan anakku dengan buruk karena Exel hanya anak tirimu?!" tuduh Clarisa murka. Elizabeth mencoba terus menyangkal segala tuduhan kedua wanita di depannya, bahwa apa yang mereka katakan tidak benar. Tapi tidak dengan Exel yang masih menangis mengulurkan tangannya ingin meminta gendong pada Elizabeth. Namun, Melodi dan Clarisa terus menahan anak kecil itu. "Mama... Huwaa, Exel mau ikut Mama!" teriak Exel menatap Elizabeth seolah meminta tolong. "Jangan berikan, Clarisa! Exel ini adalah anakmu! Dia hanya ibu tiri yang tidak tahu diri!" tuding Melodi pada Elizabeth. Air mata Elizabeth tidak mampu ditahan. Ia benar-benar merasa terpojok. Hingga terdengar suara klakson mobil di depan rumah. Dari luar, muncul Evan berjalan masuk ke dalam rumah. Iris mata hitam tajamnya menatap mereka satu per satu. "Apa yang terjadi di sini?" tanya Evan. Suaranya terdengar dingin sekaligus mengintimidasi, membuat Elizabeth segera mengusap air mata di pipinya. Clarisa mendekati Evan dengan Exel yang menangis di gendongannya. Wajah penuh amarahnya kini sudah berubah menjadi ekspresi sedih dan kecewa. "Evan, aku tidak menyangka kalau istrimu itu memperlakukan anakku seperti ini! Apa karena Exel anak tirinya dia jadi bersikap seenaknya?!" pekik wanita itu, tiba-tiba terisak pilu seolah hatinya baru saja disakiti. Evan menatap Elizabeth yang tertunduk dengan tubuh gemetar. Evan masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. "Elizabeth," panggil Evan, seolah meminta penjelasan. "Istrimu itu menelantarkan Exel di sekolahnya! Dia malah asik tidur-tiduran di rumah! Bayangkan kalau Exel sampai diculik orang jahat! Siapa yang akan bertanggung jawab?!" sentak Melodi meluapkan amarahnya. "Kalau tidak ada aku dan Mama, mau berapa jam lagi Exel menunggunya, Evan? Tiga jam anak kita menunggu wanita itu di depan gerbang sekolah sendirian. Bisa kamu bayangkan betapa ketakutannya anak kita?" cecar Clarisa sedih. Mendengar aduan mereka berdua, ekspresi Evan tampak mengeras. Matanya nyalang ke arah Elizabeth yang tidak mengatakan apapun selain suara isakannya yang terdengar samar-samar. "Apa itu benar, Elizabeth?" tanya Evan dengan garis rahang yang mengetat jelas. Elizabeth menatap Evan dengan sepasang mata berair. Ia mendekat dan meraih tangan suaminya. "Ini tidak seperti yang mereka katakan Evan. A-aku sedang tidak enak badan… jadi tadi aku tertidur setelah aku minum obat. Demi Tuhan, aku tidak berbohong—" "Tidak berbohong bagaimana?! Saat kami tiba di sini kau terlihat baik-baik saja!" sela Melodi berang. "Ya, aku juga melihat dengan mata kepalaku sendiri! Kalau kau memang tidak menyukai Exel, jangan perlakukan anakku seperti ini, Elizabeth!" timpal Clarisa sambil berderai air mata. Evan menepis tangan Elizabeth hingga wanita bertubuh kurus itu terhuyung ke belakang. Wajahnya terlihat menakutkan, garis rahangnya menegang dengan tangan terkepal. "Apakah semua yang mereka katakan semuanya benar? Kau lalai pada anakku?!" Tubuh Elizabeth tersentak, ia tertunduk menutup mulutnya dan menahan untuk tidak mengeluarkan suara isak tangisnya. "Aku benar-benar sakit, Evan... Aku tidak pernah sedikitpun berbohong padamu. Apa yang mereka katakan tidak benar! Aku tidak setega itu pada anak kita," terang Elizabeth, berusaha membela diri. "Anak kita, anak kita! Exel itu anak Clarisa dan Evan, bukan anakmu!" teriak Melodi menyahuti. "Biarkan aku saja yang merawat Exel kalau kau tidak sanggup, Elizabeth. Jangan memperlakukan anak kecil seperti ini, anakku tidak tahu apapun!" Clarisa terisak, masih terus mengarang cerita dan bersandiwara. Evan mencekal erat pundak Elizabeth dan menatapnya dengan dalam penuh kekesalan. "Aku tidak menyangka dengan apa yang kau lakukan, Elizabeth!" desis Evan. Suara Elizabeth tercekat. "Evan..." Evan segera menarik diri. Laki-laki itu lantas menatap Clarisa dan Mamanya. "Bawa Exel bersama kalian," katanya dengan nada dingin. Kedua wanita itu tampak puas dengan keputusan Evan, lalu berjalan keluar setelah memberikan senyuman sinis pada Elizabeth. Elizabeth memperhatikan Exel yang menjerit ke arahnya, seolah sedang meminta pertolongannya. Di sana tersisa Elizabeth dan Evan. Tangisan Elizabeth mereda perlahan-lahan. Kenyataan bahwa laki-laki ini tidak percaya sedikitpun meski ia sudah berkata jujur membuat Elizabeth merasa sedih. "Maafkan aku," ucap Elizabeth lirih dan pilu. "Aku hanya berharap kau percaya bahwa aku sangat menyayangi Exel seperti anakku sendiri." Evan yang berdiri memunggunginya, meliriknya tajam dengan bibir menipis. Kemarahan yang terasa begitu jelas dari Evan membuat Elizabeth takut. Ia tahu Evan sangat menyayangi Exel lebih dari apapun, dan pernyataan yang menyudutkannya tentu membuat Evan begitu marah pada Elizabeth. "Setelah kau lalai pada Exel hari ini?!" sentak Evan. "Kau sudah melewati batas, Elizabeth Lawrence!" Setelah mengatakan itu dengan penuh tekanan, Evan melangkah pergi tanpa mau mendengarkan semua alasan jujur dari istrinya. Elizabeth merasa tak kuat menopang tubuhnya. Wanita itu terduduk di lantai dengan napas naik turun. Dadanya sesak. Air matanya terasa kering untuk terus menangis. Elizabeth menutup wajahnya dan menekan kesedihan dalam dirinya. "Aku tidak tahan lagi, Ya Tuhan…” Elizabeth meremas dressnya sembari tertunduk bersimpuh di lantai. “Aku tidak sanggup lagi mempertahankan pernikahan ini!"“Apakah Nyonya sudah yakin?” Elizabeth mengangguk pasti. "Aku tidak akan menyesali keputusanku," katanya serius. Wanita itu duduk di teras belakang rumahnya bersama seorang laki-laki tua berambut putih yang meletakkan sebuah berkas. Pengacara Clinton, orang kepercayaan Elizabeth yang dua hari lalu ia hubungi untuk meminta bantuan mengurus berkas penting. "Baiklah, saya harap Nyonya baik-baik saja." Anggukan pelan Elizabeth berikan. "Ya, aku pun berharap seperti itu. Terima kasih sudah membantuku, pengacara Clinton." "Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu berdiri dari duduknya, meraih tas kulit yang kini dia bawa pergi. Sedangkan Elizabeth masih duduk di kursi teras menatap sebuah dokumen yang ia usap dengan jemari kurusnya. Kedua mata Elizabeth terpejam merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu wajah pucatnya. Ia tidak mau menimbang-nimbang lagi keputusannya, mengingat mungkin usianya juga tidak akan panjang. "Permisi
Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya. Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima? Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan." Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah. Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas. Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini. "Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan. "Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya. Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap waj
Di dalam ruangan kerjanya, Evander Collin berdiam diri ditemani sebatang cerutu yang terbakar di antara jarinya. Laki-laki itu menatap lantai marmer mengkilap di ruangan pribadinya yang dipenuhi kertas yang ia robek-robek hancur. Evan merasa gelisah dan emosi memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Kenapa…," gumam laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan gelap yang tercetak jelas. "Apa sebenarnya yang kau inginkan, Elizabeth…" Evan menyergah napasnya frustrasi. Sejak tadi ia berusaha untuk fokus kembali bekerja, namun isi kepalanya kini dipenuhi oleh Elizabeth. Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan Evan. Nampak Jericho, asistennya yang kini masuk ke dalam ruangannya. "Apa informasi yang kau dapatkan? Katakan semuanya!" perintah Evan tegas. Laki-laki dengan pakaian formal itu menatap lurus pada sang tuan. "Nyonya Elizabeth meminta bantuan Tuan Clinton untuk mengurus surat perceraian, Tuan. Lebih tepatnya saat hari di mana Tuan dan Nyonya bertengkar h
Elizabeth terbaring di dalam sebuah ruangan bersama dokter yang menanganinya kini setelah Elizabeth menceritakan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk. Seorang dokter laki-laki berparas tampan memperhatikan Elizabeth yang berbaring menatap langit-langit dengan mata nanar. Jemarinya saling meremas dan bibir pucatnya yang terkatup. "Apa kau belum memberitahu suamimu tentang sakitmu ini, Elizabeth?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir. Laki-laki ini adalah seorang dokter muda sekaligus teman Elizabeth yang sama-sama berasal dari Austria. Elizabeth awalnya tak percaya kalau dia akan ditangani oleh dokter profesional, dan sahabatnya sendiri. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin tidak akan pernah, Niel." "Kondisimu semakin memburuk. Kalau kau terus merahasiakan sakit ini darinya, maka akan semakin rumit ke depannya." Elizabeth keukeuh mengatakan tidak. Percuma memberitahu suaminya soal penyakit yang ia derita, karena pria itu tidak akan peduli. Perlah
Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men
Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan-lahan, pandangannya mengedar menatap sebuah ruangan bernuansa putih dan aroma obat-obatan yang menyengat. Wajah tampan seorang laki-laki yang menyambutnya dengan raut penuh kecemasan. "Kau sudah sadar, apa kau merasa pusing? Ada rasa ingin muntah, Elizabeth?" Dokter muda itu, Daniel, menatap lekat-lekat wajah Elizabeth yang baru bangun pasca pingsan selama perjalanan dari hotel hingga sampai ke rumah sakit. Elizabeth menggelengkan kepalanya pelan setelah dirasa kepalanya tidak lagi sakit. "Kau kambuh dan pingsan di dalam taksi, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mengantarkanmu ke sini?" tanya Daniel. "Semua orang sibuk, Niel," jawab Elizabeth parau. "Hari ini ulang tahun anakku… tadi kepalaku sakit dan aku lupa membawa obat, jadi aku kabur ke sini." Daniel menghela napas dan menatapnya iba. Ia meraih sebotol air mineral dan menyerahkan pada Elizabeth. "Minumlah dulu, tenangkan sejenak pikiranmu. Aku akan mengantarkanmu pulang n
Elizabeth yang baru turun dari dalam mobil milik Daniel, terkejut melihat sosok laki-laki yang kini berdiri tegap di ambang pintu rumah megah di depan sana. Dan begitu pula dengan Daniel, laki-laki itu memperhatikan wajah Elizabeth yang berubah pucat dan cemas. "Elizabeth ayo, aku akan bantu jelaskan pada suamimu agar dia tidak salah paham." Daniel menoleh pada Elizabeth sambil tersenyum menenangkan. "I-iya, Niel," jawab Elizabeth ragu-ragu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga teras. Elizabeth meremas dress yang ia pakai saat sorot mata dingin Evan tertuju padanya. Detak jantungnya berpacu, entah bagaimana ia mengatakan perasaannya kini. Sosok Evan berdiri tegap dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai dari pesta. Wajahnya kaku dan sorot elangnya nyalang tertuju pada Elizabeth. "Evan," lirih Elizabeth menatap suaminya ragu. Iris mata hitam Evan teralihkan pada sosok laki-laki yang berdiri di samping Elizabeth. Evan tidak mendengarkan panggilan Elizabeth, justru
Pagi itu, Elizabeth merasakan tempat tidurnya bergerak perlahan, sebuah tangan mungil memeluknya dengan erat. Pipinya dihujani kecupan ringan dengan suara gemas sebelum terdengar bisikan lembut dan manis. "Mama... Mama, Exel sudah pulang," bisik anak itu membangunkan Elizabeth. Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan. Wajah lucu Exel yang pertama kali ia lihat, anak itu tersenyum memeluknya dengan erat. Elizabeth pun langsung memeluk putranya tersebut dengan tak kalah erat. "Sayang..." "Mama kenapa kemarin tidak ada? Mama ke mana? Exel nangis mencari Mama!" seru anak laki-laki itu menggembung kedua pipinya. Elizabeth duduk dan memangku Exel. Ia tersenyum menatap wajah tampan putranya yang nampak memprotesnya. "Mama ada urusan, Sayang. Maaf kalau Mama tidak berpamitan dengan Exel, jangan marah sama Mama ya nak," ujar Elizabeth mengusap pipi gembil bocah itu. Kedua mata Exel mengerjap pelan dan dia menggeleng tulus. "Tidak, Exel tidak marah sama Mama. Tapi Exel marah sama P