Sesampainya di rumah, Elizabeth berdiam diri di dalam ruangan pribadinya. Berjam-jam dia tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan.
"Ternyata kehadiranku sama sekali tak berarti untuk suamiku. Apa ini yang disebut cinta lama adalah pemenang yang sesungguhnya?" ucap Elizabeth lirih dan sedih. Air mata Elizabeth menetes, namun ia menyekanya cepat. Situasi menyedihkan ini membuat Elizabeth merindukan sosok Nenek dan Bibi yang merawatnya, dan mereka kini jauh berada di Vienna. Tak lama setelah itu terdengar suara klakson mobil yang cukup keras. "Dia sudah pulang." Elizabeth membuka gorden dan mengintip ke bawah sana. Rupanya benar, itu suara dari mobil Evan. Dengan perlahan-lahan, Elizabeth beranjak berdiri meninggalkan ruangan itu dan bergegas menemui sang suami di kamarnya. Elizabeth menarik gagang pintu kamar dan melangkah ke dalam, ia melihat Evan yang tengah melepaskan tuxedo hitamnya. "Kau sudah pulang? Tumben sekali sampai larut malam…" kata Elizabeth sambil berjalan ke arah Evan. “Dari mana saja?” "Ada urusan penting di luar," jawab Evan tak acuh sembari melepaskan kancing lengan kemejanya. Jawaban yang suaminya berikan membuat Elizabeth merasa tercekik. Jelas-jelas dia berbohong, suaminya tidak jujur. Sampai hati Evan berdusta pada Elizabeth demi mantan istrinya! Saat Evan hendak melangkah, Elizabeth menahan lengannya dan wanita itu mendongak menatap wajah tampan milik Evan dengan tatapan sayu. "Kalau aku boleh tahu… apa seharian ini kau menghabiskan waktumu dengan Clarisa?" tanya Elizabeth, tampak berusaha menekan perasaan sedihnya. Evan menatap Elizabeth sejenak, lalu berkata, "Siapapun yang aku temui, tidak ada urusannya denganmu, Elizabeth!" "A-aku hanya bertanya…." kata Elizabeth, terkejut dengan ucapan keras dari suaminya. Evan melepaskan tangan Elizabeth dari lengannya. "Aku sangat lelah hari ini, jangan membuatku kesal." "A-aku mengerti." Elizabeth membalikkan badannya melangkah mendekati ranjang dan duduk di sana. Laki-laki itu kini melepaskan kemeja putihnya, Evan hendak melangkah ke kamar mandi, tapi deringan ponsel menyita perhatiannya. Pria itu dengan cepat menjawab panggilan yang tampaknya sangat penting. "Halo... Apa?! Kecelakaan?! Di rumah sakit mana kau sekarang? Aku akan segera ke sana, tunggu sampai aku datang. Jangan ke mana-mana!" Suara Evan terdengar diliputi rasa cemas. Laki-laki itu segera memutus panggilan itu. Gegas Evan meraih kemeja di dalam lemari dan memakinya terburu-buru. Wajah dan ekspresinya menunjukkan kalau laki-laki itu tengah sangat mengkhawatirkannya sesuatu. Elizabeth yang penasaran, mendekati suaminya dan bertanya, "Ada apa? Kau mau ke mana malam-malam begini?" "Aku harus ke rumah sakit," jawab Evan datar. Wajah Elizabeth menjadi tegang. "Rumah sakit? Siapa yang sakit?" "Clarisa kecelakaan beberapa menit yang lalu. Aku harus segera ke sana!" Mendengar nama Clarisa yang disebut oleh sang suami, Elizabeth berdiri mematung dengan perasaan terluka. Lagi-lagi Clarisa. Dalam segala situasi, tampaknya sudah jelas kalau Elizabeth pasti akan selalu kalah dari wanita itu. "Apa dia tidak punya keluarga yang lain sampai-sampai harus kau yang datang?" Elizabeth memberanikan diri untuk bertanya di sisa-sisa pertahanan dirinya. Evan berdecak mendengar pertanyaan Elizabeth. "Ck! Aku terburu-buru Elizabeth! Clarisa sendirian di sana! Bagaimana kalau dia terluka parah?!" Bibir Elizabeth seketika terkatup rapat. Jemari tangannya meremas ujung dress yang kini ia pakai. Guratan panik dan cemas di wajah Evander begitu terpancar jelas, betapa khawatirnya dia mendengar kabar mantan istrinya kecelakaan. Saat Evan hendak melangkah ke arah pintu, Elizabeth mencekal lengan sang suami. "Nanti kau akan kembali pulang, kan?" tanyanya dengan suara bergetar. "Tidak bila dia terluka parah," ujar Evan melepaskan tangan Elizabeth begitu saja. Laki-laki itu berjalan terburu-buru meninggalkan Elizabeth dan kembali pergi untuk menemui mantannya yang tengah terluka di rumah sakit. Elizabeth terdiam menatap pintu kamar yang masih terbuka dengan nanar. "Padahal dia tidak pernah sepanik itu saat aku sakit. Tapi dengan Clarisa, aku merasakan betapa takutnya Evan kalau wanita itu terluka." Perlahan-lahan, Elizabeth melangkah mendekati ranjang. Kepalanya mendadak terasa berdenyut-denyut. Ia mengulurkan tangannya mengambil sebuah botol obat dia dalam laci dan meminum beberapa butir sebelum dia berbaring. Dalam waktu beberapa menit, Elizabeth mulai merasa kedua matanya mengantuk. Wanita itu berharap dengan dirinya tidur ia bisa melupakan masalah dan kesedihannya. Di ujung kesadarannya, Elizabeth bergumam lirih. “Jika kamu tahu tentang penyakitku, apakah kau juga akan mengkhawatirkanku…?”Hari berganti, tapi kondisi Elizabeth masih belum kunjung membaik. Wanita itu baru saja terbangun dari tidurnya dengan keadaan panik. Elizabeth ketiduran selama dua jam setelah meminum obat, sampai ia lupa menjemput Exel di sekolah. "Ya Tuhan, sudah pukul berapa ini?!" Elizabeth menatap jam dinding di kamarnya. "Astaga! Apa yang sudah aku lakukan? Exel pasti menangis menungguku!" Buru-buru Elizabeth keluar dari dalam kamar. Meskipun tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga, tapi ia tetap memaksakan diri. Langkahnya yang berat dipaksa menuruni anak tangga. Namun, saat Elizabeth belum menapaki lantai satu, pintu rumahnya pun terbuka lebar. Terdengar suara tangisan Exel yang membuat Elizabeth panik seketika. "Elizabeth!" teriakan seorang wanita memanggilnya dengan keras. "Mama..." Elizabeth menatap Mama mertuanya yang datang bersama Clarisa. Wanita itu kini tengah menggendong Exel yang memberontak dalam pelukannya. Sejenak Elizabeth terdiam. Bukankah kemarin Evan berkata kalau
“Apakah Nyonya sudah yakin?” Elizabeth mengangguk pasti. "Aku tidak akan menyesali keputusanku," katanya serius. Wanita itu duduk di teras belakang rumahnya bersama seorang laki-laki tua berambut putih yang meletakkan sebuah berkas. Pengacara Clinton, orang kepercayaan Elizabeth yang dua hari lalu ia hubungi untuk meminta bantuan mengurus berkas penting. "Baiklah, saya harap Nyonya baik-baik saja." Anggukan pelan Elizabeth berikan. "Ya, aku pun berharap seperti itu. Terima kasih sudah membantuku, pengacara Clinton." "Sama-sama Nyonya. Kalau begitu saya permisi." Laki-laki berbalut tuxedo abu-abu itu berdiri dari duduknya, meraih tas kulit yang kini dia bawa pergi. Sedangkan Elizabeth masih duduk di kursi teras menatap sebuah dokumen yang ia usap dengan jemari kurusnya. Kedua mata Elizabeth terpejam merasakan sejuknya semilir angin pagi yang menyapu wajah pucatnya. Ia tidak mau menimbang-nimbang lagi keputusannya, mengingat mungkin usianya juga tidak akan panjang. "Permisi
Elizabeth tertegun, tidak menyangka Evan akan semarah itu dengan permintaan cerai darinya. Bukankah seharusnya Evan senang karena ia bisa rujuk bersama mantan istrinya? Tapi mengapa… Evan justru tidak terima? Elizabeth berusaha menenangkan diri, lalu menatap Evan lekat. "Tapi aku ingin mengakhiri pernikahan ini, Evan." Ekspresi Evan tidak berubah, masih terlihat marah dan tak puas sekalipun berkas perceraian itu telah dirobek kecil-kecil hingga menjadi sampah. Sorot tajam mata hitam Evan tertuju pada Elizabeth yang berdiri teguh di hadapannya. Istrinya tidak pernah seperti ini sebelumnya. "Apa alasanmu menginginkan perceraian dariku?" Suara rendah Evander terdengar jelas. Elizabeth menggelengkan kepalanya, tak ingin menunjukkan air matanya di hadapan laki-laki ini. "Katakan Elizabeth," seru Evan lebih menekan. "Apakah alasanku bisa membuat hatimu berubah?" Elizabeth bertanya balik padanya. Evan mendengus lalu tawa sumbangnya kembali terdengar. Ia mengusap waj
Di dalam ruangan kerjanya, Evander Collin berdiam diri ditemani sebatang cerutu yang terbakar di antara jarinya. Laki-laki itu menatap lantai marmer mengkilap di ruangan pribadinya yang dipenuhi kertas yang ia robek-robek hancur. Evan merasa gelisah dan emosi memikirkan apa yang terjadi beberapa waktu yang lalu. "Kenapa…," gumam laki-laki itu dengan ekspresi dingin dan gelap yang tercetak jelas. "Apa sebenarnya yang kau inginkan, Elizabeth…" Evan menyergah napasnya frustrasi. Sejak tadi ia berusaha untuk fokus kembali bekerja, namun isi kepalanya kini dipenuhi oleh Elizabeth. Suara ketukan pintu ruangan membuyarkan lamunan Evan. Nampak Jericho, asistennya yang kini masuk ke dalam ruangannya. "Apa informasi yang kau dapatkan? Katakan semuanya!" perintah Evan tegas. Laki-laki dengan pakaian formal itu menatap lurus pada sang tuan. "Nyonya Elizabeth meminta bantuan Tuan Clinton untuk mengurus surat perceraian, Tuan. Lebih tepatnya saat hari di mana Tuan dan Nyonya bertengkar h
Elizabeth terbaring di dalam sebuah ruangan bersama dokter yang menanganinya kini setelah Elizabeth menceritakan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk. Seorang dokter laki-laki berparas tampan memperhatikan Elizabeth yang berbaring menatap langit-langit dengan mata nanar. Jemarinya saling meremas dan bibir pucatnya yang terkatup. "Apa kau belum memberitahu suamimu tentang sakitmu ini, Elizabeth?" tanya Daniel, nada suaranya terdengar khawatir. Laki-laki ini adalah seorang dokter muda sekaligus teman Elizabeth yang sama-sama berasal dari Austria. Elizabeth awalnya tak percaya kalau dia akan ditangani oleh dokter profesional, dan sahabatnya sendiri. Wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. "Mungkin tidak akan pernah, Niel." "Kondisimu semakin memburuk. Kalau kau terus merahasiakan sakit ini darinya, maka akan semakin rumit ke depannya." Elizabeth keukeuh mengatakan tidak. Percuma memberitahu suaminya soal penyakit yang ia derita, karena pria itu tidak akan peduli. Perlah
Hari ulang tahun Exel tepat jatuh pada hari ini. Sebuah pesta yang digelar cukup meriah di sebuah hotel milik keluarga Collin. Elizabeth berada di sana bersama para tamu-tamu yang lain. Ia memperhatikan Mama mertuanya yang tengah bersama Clarisa dan berbicara dengan para tamu undangan. "Nyonya Melodi rupanya lebih akrab dengan mantan menantunya ya, kasihan sekali Nona Elizabeth..." "Mungkin saja karena Nona Elizabeth tidak segera memberikan dia cucu, makanya dia mengabaikan menantunya sendiri." Suara ocehan orang itu terdengar di telinga Elizabeth. Di pesta itu, ia memang tidak terlihat seperti salah satu tuan rumah dari pihak pemilik pesta. Melainkan seperti seorang tamu yang terabaikan. Elizabeth tersenyum saat melihat Exel berjalan ke arahnya, anak itu tiba-tiba menarik lengannya untuk diajak ke sesuatu tempat. "Ma, ayo naik ke sana... Mama sama Papa temani Exel tiup lilin!" seru anak itu menggenggam tangan sang Mama. "Iya, Sayang," jawab Elizabeth tersenyum manis men
Kedua mata Elizabeth terbuka perlahan-lahan, pandangannya mengedar menatap sebuah ruangan bernuansa putih dan aroma obat-obatan yang menyengat. Wajah tampan seorang laki-laki yang menyambutnya dengan raut penuh kecemasan. "Kau sudah sadar, apa kau merasa pusing? Ada rasa ingin muntah, Elizabeth?" Dokter muda itu, Daniel, menatap lekat-lekat wajah Elizabeth yang baru bangun pasca pingsan selama perjalanan dari hotel hingga sampai ke rumah sakit. Elizabeth menggelengkan kepalanya pelan setelah dirasa kepalanya tidak lagi sakit. "Kau kambuh dan pingsan di dalam taksi, apa yang terjadi? Kenapa tidak ada yang mengantarkanmu ke sini?" tanya Daniel. "Semua orang sibuk, Niel," jawab Elizabeth parau. "Hari ini ulang tahun anakku… tadi kepalaku sakit dan aku lupa membawa obat, jadi aku kabur ke sini." Daniel menghela napas dan menatapnya iba. Ia meraih sebotol air mineral dan menyerahkan pada Elizabeth. "Minumlah dulu, tenangkan sejenak pikiranmu. Aku akan mengantarkanmu pulang n
Elizabeth yang baru turun dari dalam mobil milik Daniel, terkejut melihat sosok laki-laki yang kini berdiri tegap di ambang pintu rumah megah di depan sana. Dan begitu pula dengan Daniel, laki-laki itu memperhatikan wajah Elizabeth yang berubah pucat dan cemas. "Elizabeth ayo, aku akan bantu jelaskan pada suamimu agar dia tidak salah paham." Daniel menoleh pada Elizabeth sambil tersenyum menenangkan. "I-iya, Niel," jawab Elizabeth ragu-ragu. Mereka berdua berjalan menaiki anak tangga teras. Elizabeth meremas dress yang ia pakai saat sorot mata dingin Evan tertuju padanya. Detak jantungnya berpacu, entah bagaimana ia mengatakan perasaannya kini. Sosok Evan berdiri tegap dengan setelan tuxedo hitam yang ia pakai dari pesta. Wajahnya kaku dan sorot elangnya nyalang tertuju pada Elizabeth. "Evan," lirih Elizabeth menatap suaminya ragu. Iris mata hitam Evan teralihkan pada sosok laki-laki yang berdiri di samping Elizabeth. Evan tidak mendengarkan panggilan Elizabeth, justru