“Begitu. Sepengetahuan Ayah, apa mereka mempunyai hubungan khusus?”“Mirja datang?”Spontan keduanya menoleh. Seorang perempuan paruh baya mendekati mereka.Mirja berdiri. “Hallo, Bi. Apa kabar?”***“Kalau mau menangis, menangislah!” ucap Charles kepada teman duduknya. Sepanjang perjalanan Gea hanya diam. “Untuk apa menangis? Aku merasa ini karma untukku. Selama ini aku ingin statusku dirahasiakan, akhirnya jadi beneran tidak diketahui. Ironisnya di saat seperti ini. Tak sekadar itu, jangankan merawat bahkan mendekatpun tidak boleh. Lebih menyesakkan, aku akan menjalani hari-hari penuh penyesalan. Aku tidak bisa minta maaf dan entah kapan akan berakhir.”“Oh no, Gea. ini bukan karma. Ini hanya ujian untuk kalian. Kau hanya perlu menahan diri, tidak mengacaukan peraturannya dan tetap setia padanya. Ngomong-ngomong apa yang membuatnya marah?”“Itu karenamu.”“What?! Bagaimana kalian bisa bertengkar karena aku?” pekik Charles.“Siang tadi aku mengenakan parfum yang kau berikan.”“Oh no
Charles tertawa. “Kamu beruntung Gea, dipertemukan dengan Ahsin. By the way, apa benar budaya patriarki di sini?”Gea mengangguk. “Ayahku dulu begitu. Semua dilakukan oleh ibu, padahal ibu juga harus bekerja. Hari masih gelap, ibu sudah sibuk, kemudian pulang kerja juga masih melakukan berbagai pekerjaan rumah tangga. Ayah dengan enaknya duduk di depan televisi masih minta dibuatkan kopi dan cemilan. Mengingat itu, kalau sekarang mungkin ayah sudah aku pukul.”Charles tergelak. “Beruntungnya ibu memiliki masa keemasan, dapat memperkerjakan beberapa pembantu untuk mengurus rumah.Tapi apa yang dilakukan ayah? Dia malah sibuk selingkuh bahkan punya anak. Membiayai selingkuhan dan anak haram dengan uang ibu. Tidak tahu diri.” Charles tersenyum melihat Gea yang mengepalkan tangan.Charles kembali meraih bahu Gea. “Nona, sebaiknya kita cari makanan. Barangkali otakmu bisa lebih stabil dan siapa tahu menemukan ide brilian.”“Ide yang bagus.”*** .“Kirim seseorang buat menjaga Gea secara
“Apa? Paman Mirja datang?”“Kenapa Bos begitu terkejut? Apa Paman salah satu orang yang dicurigai?”“Hubungan Paman dan almarhum ayah tidak begitu baik. Mereka sering bertengkar. Tante Mirna sering jadi penengah. Mencurigakan setelah ayah ibu kecelakaan, Tante Mirna mengirim Paman Mirja keluar negeri. Sempat terjadi perselisihan antara Kakek dengan Tante Mirna.” “Dan Tuan Mirja datang sebelum Bos kecelakaan. Tapi yang meminta Tuan Mirja kembali adalah Tuan Besar.”Mendadak Ferry meletakkan lututnya ke lantai. "Maaf, Bos. Saya lancang menyelidiki Tuan Mirja.""Berdirilah, kau pasti punya alasan. Katakanlah." "Setelah kecelakaan Bos, saya melakukan inspeksi diam-diam di rumah Bos dan Tuan Besar. Ternyata ada yang membocorkan informasi Nyonya pernah menginap di rumah. Tapi saksi tidak tahu kepada siapa karena pelaku ngobrol lewat telepon."“Lalu pelaku sudah diberi tindakan?” tanya Ahsin dengan luapan emosi. “Belum. Aku pikir, kita awasi saja dulu, siapa tahu nanti dia bertemu tuannya
“Ahsin, kau kenapa?” tanya Gea panik. “Perutku?” lirih Ahsin sambil terus menekan perutnya. “Perutmu tidak tahan pedas? Kenapa kau tidak bilang?”“Dan akhirnya, Ahsin masuk rumah sakit,” lirih Gea, kembali ke dunia nyatanya. Ia menoleh seblaknya yang berantakan. Charles tersenyum lebar. "Kau melamun ya. Apa kau katakan tadi? Kuli itu masuk rumah sakit setelah makan di sini?"Gea mengangguk. Ia terkejut ketika melihat seblak Charles yang tinggal separuh. "Charles, kau menyukainya? Perutmu tidak apa?"Charles tertawa. "Jangan khawatir. Mungkin gaya pola perutku sama buruknya denganmu.""Mulai sekarang, kau harus memperhatikan kesehatanmu. Sayang sekali orang sebrilian kamu tidak punya keturunan."Sendok Charles terangkat, hampir menyentuh rambut Gea. Spontan Gea mengernyit. "Kau menyumpahiku?"Gea tertawa kecil. "Bukan begitu maksudku."***Bunyi pintu terbuka. Spontan mata Ahsin terbuka. Sorot kecewa langsung terpancar di kedua mata itu. "Kenapa? Bos, kecewa?" "Sekarang kau bany
Kenyataan baru yang ia hadapi, Ahsin melupakannya. "Ya Allah, aku tidak tahu mengapa harus mengalami ini. Apakah ini hukuman-Mu karena sikapku selama ini kepadanya? Apapun itu, beri aku kesempatan meminta maaf padanya. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan atas agamaku? Sungguh, tanpa Ahsin terasa berat. Ya Allah ya Karim, sesak melihatnya tidak baik-baik saja, tapi aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku merindukannya dan aku melihatnya, tapi tak bisa mendekatinya. Apa yang harus kulakukan?" Gea tercenung. Di seperti malam ini tiga pertanyaan muncul dalam benak dan doanya. Mana yang harus ia dahulukan? Membantu Ahsin mengingatnya? Belajar ilmu agama, supaya dapat berdiri tegak tanpa Ahsin? Atau melakukan penyelidikan sendiri? "Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Ya Allah, beri aku petunjuk dari-Mu."***“Hari ini kau mau melakukan apa?” Gea mengerjapkan matanya. Susah payah ia membuka matanya sambil memaksa diri duduk. Ini subuh kesekian tanpa Ahsin. Itu juga berarti tanpa susu buat
“Tenang!” Ferry memukul meja. “Kalau kalian tidak melakukan kejahatan, kenapa harus sepanik ini?”Lyman dan Sinta saling bersitatap. “Soal pemecatan, nanti akan diserahkan kepada departemen SDM. Kalian yang melakukan kecurangan, tunggulah surat dari mereka. Juga ada pemindahan posisi dan tempat kerja.”Meski hanya lewat layar, suara Ahsin membuat ruangan menjadi senyap, dingin terasa menusuk. Gea tidak bisa konsentrasi. Pikirannya hanya ingin melihat wajah Ahsin. “Hari ini saya juga mengumumkan kepimpinan tetap dijalankan oleh Ferry.” Satu sama lain, hanya bersitatap, tanpa berani bersuara. Terlihat beberapa orang sudah puas. Meski kecewa, Lyman dan Sinta harus berpuas diri. Meski Ahsin tidak akan datang ke perusahaan, setidaknya Sinta dapat mendekati Ferry. Di sisi Gea, ia tidak lagi terkejut. Ia pun harus menyadari yang sekarang bukan Ahsin suaminya. Ia harus bersyukur, pemimpin tidak jatuh kepada ayah dan adiknya. Tanpa Zurra, ia masih bisa hidup di More.“Sedang wakilnya … Gea
“Ferry, kau pasti mengerti kenapa mereka menatap seperti itu?”“Tidak masalah bagaimana orang menatap. Nyonya … eh … Kamu tetap perempuan yang harus saya hormati.”“Tapi kamu pimpinan di sini,” tukas Gea. “Pimpinan yang dibayar. Maafkan, saya tidak bisa berjalan bersisian dengan majikan.”Gea menarik lengan Ferry, sehingga mereka berjalan sejajar. Sontak beberapa mata membesar. Sinta mengepalkan tangannya.“Begini mungkin lebih nyaman,” seru Gea. “Pa, Kak Sinta telah merebut hati asisten Ferry!”“Sepertinya Papa harus memberinya pelajaran,” gumam Lyman sambil menekan dadanya.***Ferry menutup tirai blind. Ia juga menggeser kursi buat Gea. “Akan tidak bagus jika ada yang melihat ini,” ucap Gea sambil duduk. “Hargailah dirimu sebagai pemimpin.”“Jabatan saya hanya formalitas. Pengaturan semuanya diserahkan pada Nyonya.”“Jangan panggil saya Nyonya meski tidak ada orang lain. Biasakan itu. Tidak enak didengar karyawan lain,” sahut Gea. Gea menunduk. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. “
“Kakek?” batin Sinta. “Sudah sejauh ini? Kakek Buana?”Setelah terdiam sesaat, akhirnya Gea mengangguk. “Sore aku akan menjemputmu.”“Baiklah,” sahut Gea, kemudian keluar. Sinta merapatkan gerahamnya. “Ada apa?” tanya Ferry sambil berputar, kembali ke kursinya. Lyman menundukkan badannya sedikit. Hatinya sedikit terbakar, bahkan Ferry tidak menyuruhnya duduk, meski sebagai orang yang lebih tua. “Saya tahu, terpilihnya Bapak menjadi pemimpin, otomatis saya turun jabatan. Tapi mengapa ke kepala departemen pengembangan? Bukankah ada kursi direktur yang kosong?”“Itu akan diisi oleh Pak Bagus,” sahut Ferry cepat, “Ada keluhan?”Lyman terdiam. Ia teringat ucapan pewaris Buana yang mengatakan jika tidak setuju silakan keluar.“Tidak pantas saya mengeluh,” ucap Lyman dengan wajah tertunduk. “Aku cuma perlu bersabar. Tunggu sampai Sinta masuk ke rumah Buana. Aku akan membalas tindakanmu hari ini.”“Tapi bagaimana dengan aku? Mengapa aku jadi ke divisi Green Light?” Sinta yang sejak awal