“Ahsin, kau kenapa?” tanya Gea panik. “Perutku?” lirih Ahsin sambil terus menekan perutnya. “Perutmu tidak tahan pedas? Kenapa kau tidak bilang?”“Dan akhirnya, Ahsin masuk rumah sakit,” lirih Gea, kembali ke dunia nyatanya. Ia menoleh seblaknya yang berantakan. Charles tersenyum lebar. "Kau melamun ya. Apa kau katakan tadi? Kuli itu masuk rumah sakit setelah makan di sini?"Gea mengangguk. Ia terkejut ketika melihat seblak Charles yang tinggal separuh. "Charles, kau menyukainya? Perutmu tidak apa?"Charles tertawa. "Jangan khawatir. Mungkin gaya pola perutku sama buruknya denganmu.""Mulai sekarang, kau harus memperhatikan kesehatanmu. Sayang sekali orang sebrilian kamu tidak punya keturunan."Sendok Charles terangkat, hampir menyentuh rambut Gea. Spontan Gea mengernyit. "Kau menyumpahiku?"Gea tertawa kecil. "Bukan begitu maksudku."***Bunyi pintu terbuka. Spontan mata Ahsin terbuka. Sorot kecewa langsung terpancar di kedua mata itu. "Kenapa? Bos, kecewa?" "Sekarang kau bany
Kenyataan baru yang ia hadapi, Ahsin melupakannya. "Ya Allah, aku tidak tahu mengapa harus mengalami ini. Apakah ini hukuman-Mu karena sikapku selama ini kepadanya? Apapun itu, beri aku kesempatan meminta maaf padanya. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan atas agamaku? Sungguh, tanpa Ahsin terasa berat. Ya Allah ya Karim, sesak melihatnya tidak baik-baik saja, tapi aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku merindukannya dan aku melihatnya, tapi tak bisa mendekatinya. Apa yang harus kulakukan?" Gea tercenung. Di seperti malam ini tiga pertanyaan muncul dalam benak dan doanya. Mana yang harus ia dahulukan? Membantu Ahsin mengingatnya? Belajar ilmu agama, supaya dapat berdiri tegak tanpa Ahsin? Atau melakukan penyelidikan sendiri? "Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Ya Allah, beri aku petunjuk dari-Mu."***“Hari ini kau mau melakukan apa?” Gea mengerjapkan matanya. Susah payah ia membuka matanya sambil memaksa diri duduk. Ini subuh kesekian tanpa Ahsin. Itu juga berarti tanpa susu buat
“Tenang!” Ferry memukul meja. “Kalau kalian tidak melakukan kejahatan, kenapa harus sepanik ini?”Lyman dan Sinta saling bersitatap. “Soal pemecatan, nanti akan diserahkan kepada departemen SDM. Kalian yang melakukan kecurangan, tunggulah surat dari mereka. Juga ada pemindahan posisi dan tempat kerja.”Meski hanya lewat layar, suara Ahsin membuat ruangan menjadi senyap, dingin terasa menusuk. Gea tidak bisa konsentrasi. Pikirannya hanya ingin melihat wajah Ahsin. “Hari ini saya juga mengumumkan kepimpinan tetap dijalankan oleh Ferry.” Satu sama lain, hanya bersitatap, tanpa berani bersuara. Terlihat beberapa orang sudah puas. Meski kecewa, Lyman dan Sinta harus berpuas diri. Meski Ahsin tidak akan datang ke perusahaan, setidaknya Sinta dapat mendekati Ferry. Di sisi Gea, ia tidak lagi terkejut. Ia pun harus menyadari yang sekarang bukan Ahsin suaminya. Ia harus bersyukur, pemimpin tidak jatuh kepada ayah dan adiknya. Tanpa Zurra, ia masih bisa hidup di More.“Sedang wakilnya … Gea
“Ferry, kau pasti mengerti kenapa mereka menatap seperti itu?”“Tidak masalah bagaimana orang menatap. Nyonya … eh … Kamu tetap perempuan yang harus saya hormati.”“Tapi kamu pimpinan di sini,” tukas Gea. “Pimpinan yang dibayar. Maafkan, saya tidak bisa berjalan bersisian dengan majikan.”Gea menarik lengan Ferry, sehingga mereka berjalan sejajar. Sontak beberapa mata membesar. Sinta mengepalkan tangannya.“Begini mungkin lebih nyaman,” seru Gea. “Pa, Kak Sinta telah merebut hati asisten Ferry!”“Sepertinya Papa harus memberinya pelajaran,” gumam Lyman sambil menekan dadanya.***Ferry menutup tirai blind. Ia juga menggeser kursi buat Gea. “Akan tidak bagus jika ada yang melihat ini,” ucap Gea sambil duduk. “Hargailah dirimu sebagai pemimpin.”“Jabatan saya hanya formalitas. Pengaturan semuanya diserahkan pada Nyonya.”“Jangan panggil saya Nyonya meski tidak ada orang lain. Biasakan itu. Tidak enak didengar karyawan lain,” sahut Gea. Gea menunduk. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. “
“Kakek?” batin Sinta. “Sudah sejauh ini? Kakek Buana?”Setelah terdiam sesaat, akhirnya Gea mengangguk. “Sore aku akan menjemputmu.”“Baiklah,” sahut Gea, kemudian keluar. Sinta merapatkan gerahamnya. “Ada apa?” tanya Ferry sambil berputar, kembali ke kursinya. Lyman menundukkan badannya sedikit. Hatinya sedikit terbakar, bahkan Ferry tidak menyuruhnya duduk, meski sebagai orang yang lebih tua. “Saya tahu, terpilihnya Bapak menjadi pemimpin, otomatis saya turun jabatan. Tapi mengapa ke kepala departemen pengembangan? Bukankah ada kursi direktur yang kosong?”“Itu akan diisi oleh Pak Bagus,” sahut Ferry cepat, “Ada keluhan?”Lyman terdiam. Ia teringat ucapan pewaris Buana yang mengatakan jika tidak setuju silakan keluar.“Tidak pantas saya mengeluh,” ucap Lyman dengan wajah tertunduk. “Aku cuma perlu bersabar. Tunggu sampai Sinta masuk ke rumah Buana. Aku akan membalas tindakanmu hari ini.”“Tapi bagaimana dengan aku? Mengapa aku jadi ke divisi Green Light?” Sinta yang sejak awal
"Tuan, Nyonya dapat mengembalikan data penyelewengan dana oleh yang sudah dihapus. Haruskah kita hapus kembali?”"Jangan, nanti malah membuatnya semakin curiga. Kita lihat saja dia mau melakukan apa.""Baik, Bos."***Tok tok. Gea mengangkat wajahnya. Terlihat senyum semringah si bule. Menularkan keceriaan pada Gea. "Bagaimana bisa sampai ke sini? Jalan-jalannya sudah?" Charles mengacak pinggangnya. "Kau lupa tadi janji mau cari-cari rumah?""Oh, iya. Aku lupa memberitahumu. Mendadak banyak pekerjaan dan sore ini aku harus ke rumah kakek. Maaf."Charles merengut. Gea tertawa kecil. "Maaf, kau pasti bosan sekali main sendirian. Kenapa tidak bekerja saja?"Mata Charles membulat. "Kau sama kejamnya dengan Bos. Besok ada rapat di More, lihat liburku belum selesai, dia sudah memaksaku hadir rapat. Aku punya firasat buruk kali ini. Semoga saja dia tidak menghajarku."Gea tergelak. Charles memajukan wajahnya. "Dengar, walau dia iparku, aku tidak segan memberontak."Gea tersenyum sambil m
"Mengapa presdir begitu menghormati Mbak Gea?" gumam Anggi. Sinta menghela napasnya. “Kak Gea memang cantik dan baik, disukai banyak pria. Entah kenapa ….”Anggi memperhatikan jam di tangannya. “Ayo kita berangkat, takut macet di jalan.”Sinta gagal menebar isu. Lagi-lagi ia harus menahan emosinya. ***“Ahsin!” Gea bergegas saat pintu ruang inap Ahsin terbuka. Betapa ia sangat ingin memeluk laki-laki itu. Namun, semuanya meluruh ketika melihat wajah Ahsin yang mencoba mengingatnya. “Bos, saya Gea. Asisten sementara. Kata Asisten Ferry, malam ini kakek … maksud saya, malam ini saya menemani Bos ke jamuan makan malam di rumah Tuan Besar,” ucap Gea terbata-bata.Mendadak matanya memanas. Gea mengira dengan melihat saja ia akan berpuas diri. Nyatanya, semakin dekat bertambah banyak yang ia inginkan. Ahsin mengangguk. “Bantu aku ke kamar mandi.”Gea mengangguk dan bergegas membantu Ahsin turun dari ranjang kemudian ke kamar mandi.Setelah Ahsin masuk ke kamar mandi ia mendekati Ferry. “
“Ahsin, kamu kenapa?” tanya Kakek panik. Gea was-was dengan kesehatan Kakek. Gea mendorong kursi roda Ahsin ke depan Kakek. “Tidak apa, Kek. Cuma kecelakaan kecil,” jawab Ahsin.“Yang menyebabkan pakai kursi roda kau bilang kecelakaan kecil?” cecar Kakek marah.“Aku ingin menyapa Paman dulu. Nanti akan ceritakan sama Kakek,” tukas Ahsin. Ia menekan tombol sehingga kursi bergeser sedikit. “Paman, maaf, baru bisa datang menyapa paman. Apa kabar, Paman?” Ahsin mengulurkan tangannya. Paman menyambut hangat. “Baik … baik. Lama tidak jumpa. Tidak menyangka kamu sudah sedewasa ini.”Ahsin memaksakan diri untuk memberikan senyuman yang paling ia benci.“Ahsin, apa yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba pakai kursi roda?” “Tidak apa, Paman.”“Sudah pakai kursi roda begini kau tidak apa-apa? Kenapa tidak bilang pada Kakek?” protes Kakek. “Kakek, biarkan Ahsin masuk dulu. Status Ahsin masih pasien, dia izin pulang demi bertemu Kakek.” Gea buka suara dengan khasnya pada seorang kakek. Kakek
“Gea!” Ahsin memegang bahu Gea. “Tenangkan dirimu.”“Bagaimana bisa tenang, Paman begini karena aku,” sahut Gea panik. “Gea, dengarkan aku.” Ahsin mengguncang bahu Gea. Seketika Gea terdiam. “Jangan menyalahkan diri. Paman melakukannya dengan senang hati. Kau juga lihat ‘kan senyumnya kemarin?”“Tapi ….”Ahsin mengusap wajah istrinya yang basah. “Selain itu, ternyata Paman mempunyai kanker paru-paru, jadi tusukan itu memparah kesehatannya yang buruk.”Gea menggenggam tangan Ahsin. “Kita ke sana ya. Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya.”“Paman belum sadar.”“Dia pasti dengar. Seperti kau bilang kemarin, kau mendengarnya hanya saja tidak bisa memberi respon.”Ahsin menghela napasnya. Ia merapikan rambut Gea. “Kau tidak menanyakan keadaanku? Kau tidak lihat, aku juga mengenakan gelang pasien?” Gea tergagap. Ia baru menyadari gelang yang dikenakan Ahsin. “Bukankah kau kelihatan baik-baik saja sekarang?” kilahnya.“Setidaknya kau bertanya perasaanku?” protes Ahsin dengan memasang
Ahsin sudah merasakan separuh nyawanya melayang. Ia tidak akan pernah rela Gea terluka untuknya. Namun, sepersekian detik ia dikejutkan fakta lain. “Paman?” seru Ahsin. Gea berbalik. Matanya membesar begitu melihat pisau yang dipegang Noura itu berada di badan Tuan Mirja.Noura tersentak. Pisau di tangannya terlepas. Badannya mendadak gemetaran. Ia sulit mempercayai penglihatannya. Bagaimana Tuan Mirja tiba-tiba menghalanginya? Melihat Noura yang syok, Ferry tidak membuang kesempatan itu. Ia berhasil meringkus Noura, sedang bodyguard lain menangkap anak buah Noura. Ferry menyerahkan Noura ke bodyguard lain. Ia segera menelpon ambulan.Ahsin menyambut tubuh Tuan Mirja yang hampir menyentuh tanah. “Kenapa Paman lakukan ini?” sesal Gea. Air matanya mendadak tumpah ruah. Tuan Mirja menyentuh pipi gigi dengan tangannya yang berlumuran darah. Ia menyunggingkan senyum. “Jangan menangis. Paman bahagia bisa melakukan ini. Keinginan Paman untuk menyelamatkan ibumu akhirnya tertunaikan hari
Gea tertawa. “Sekarang kau mengakui kehebatan seseorang yang hanya bisa belajar dengan otodidak?” ejek Gea lemas.Noura tersentil, tapi bukan waktunya memikirkan harga diri. Sudah berapa lama High tidak bisa diakses dan entah berapa milyar kerugian yang ia alami.Pria besar itu menyeret Gea dan mendudukkan ke kursi yang berhadapan dengan laptop. Noura mengambil pisaunya dan menodongkan ke leher. “Bersihkan.”“Kau pikir aku sebodoh itu? Kau akan membunuhku begitu Highmu kembali.”Plak. Sebuah tamparan mendarat ke pipi Gea. “Jangan keras kepala. Jika tidak, kau akan memohon kematian kepadaku.” Peuh. Gea menyemburkan ludahnya yang merah ke muka Noura, kemudian ia memasang wajah ejek. Plak. “Cepat lakukan!” teriak Noura. Ia semakin kesulitan mengendalikan emosinya. Kalau saja bukan karena ingat kerugian dan tuntutan yang akan dialaminya, ia tidak akan sesabar ini. “Begitu cara meminta. Noura, sekarang kau yang membutuhkanku.”Noura mengerjap. Terlihat kebimbangan di matanya. Gea teru
Tuan Mirja beralih pada dokter Austin. “Seberapa buruk, dokter?”“Seharusnya tidak apa, selama emosinya tidak dirangsang dan energinya tidak dikuras.”Mendadak Tuan Mirja jadi panik. “Dalam situasi ini bagaimana dia bisa tenang?” tukas Tuan Mirja. “Maafkan saya,” jawab dokter Austin. Tuan Mirja beralih pada Erwin. “Erwin, aku harus pergi. Tolong jaga Tuan Besar. Langsung saja telepon jika ada kabar.”Erwin mengangguk. Tuan Mirja berlalu, tetapi baru beberapa langkah ia berhenti. “Dokter, bisakah saya meminta waktu tinggal di sini sementara. Saya tidak bisa membayangkan kondisi ayah jika keduanya kenapa-napa.”“Saya mengerti. Pergilah.”“Terima kasih.” Tuan Mirja segera bergegas keluar. ***“Presdir, kemana saja? High diserang. Kami kewalahan.”Dengan gugup Noura membuka aplikasi lewat ponselnya. Benar saja, aplikasi tidak bisa diakses. Parahnya tampilan depan memperlihatkan tengkorak warna merah dengan dua tulang yang disilang. Ponselnya kembali berdering. Kali ini dari kepala bag
“Kau juga tahu itu?” Gea tersengal. Matanya memerah. Selain kesulitan bernapas, ia merasakan matanya nyaris keluar akibat urat lehernya yang dicekik. Tubuhnya bergerak-gerak ingin melakukan perlawanan, tapi apa yang dapat dilakukannya dengan tangan terikat.Noura melepas cekikannya. Napas Gea memburu. Berkali-kali ia batuk. "Aku tidak tahu siapa dia saat itu. Aku kira dia hanya seorang kuli,” ucapnya dengan napas masih tersengal.“Kuli?” Noura tergelak. "Kau pandai berbohong. Kenapa tidak menulis skenario saja? Mana ada orang ngajak nikah seorang kuli? Munafik!”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. Seketika pipi putih itu menjadi memerah. Gea tersenyum sinis. “Aku munafik, lalu kau? Kau pura-pura bersikap manis, padahal di belakang menyerang perusahaannya. Merusak rem mobilnya. Ah, aku masih ingat kau memanggilnya Kak Ahsin.” Gea meniru nada Noura di ujung kalimatnya. Amarah Noura memuncak. Ia mendorong dengan segenap tenaga sehingga Gea terlempar dengan kursi. Gea meringis.
“Bagaimana orang asing bisa masuk ke komplek ini?” gumam Ferry. Ahsin hanya bisa terdiam. Selama ini ia hanya curiga kepada pamannya hingga tak terpikirkan ada kemungkinan lain. “Ya.” Ahsin menoleh ke arah Ferry. “Bos, mobil yang dideskripsikan Tuan Muda ternyata kosong.”Ahsin dan Ferry tersentak. Sesaat mereka saling tatap. “Kalian di mana?” tanya Ferry. “Kami di luar kota arah timur.”“Kita dikecohkan,” gumam Ahsin sambil menggenggam kepalan tangannya. “Terus lakukan pencarian!”“Baik, Tuan Muda,” sahut seorang pria lewat telepon itu. Dokter Austin menatap cemas. Tuan Mirja bergabung bersama mereka. “Kau sudah menemukan mereka?”Ahsin menggeleng. “Ferry, hubungi Ricky!”“Baik, Bos.” Ferry langsung menekan nama Ricky dan mengaktifkan speaker ponselnya.“Hallo, Kak Ferry!”“Ricky, Tuan Muda mau bicara.”“Ricky, Gea diculik.”“APA?” pekik Ricky. “Kami kesulitan mencarinya. Dia tidak membawa ponsel juga bros yang kau berikan. Aku tidak tahu bagaimana kalian bisa melakukannya ta
“Eh, sadarkah kau beberapa hal yang dilakukan ibumu untukmu? Dari sini kita melihat ibumu sangat mencintaimu meski dia mengambil keputusan yang merugikannya.”“Di antaranya?”“Dia memberimu Gea Mas'udi. Dulu aku sempat bertanya-tanya mengapa nama belakangmu Mas'ud? Nama keluarga dari ibumu, bukan ayahmu. Dalam Islam itu tidak dibolehkan. Seorang anak harus mengikuti ayahnya.” Satu lagi pemahaman baru yang ia dapatkan. Mendadak kepalanya menjadi kusut. Ia memilih merebahkan kepala ke pangkuan Ahsin. Spontan Ahsin merapikan rambutnya. “Ternyata itu nama asli, bukan sematan. Nama yang tak bisa dihilangkan, seperti kebiasaan banyak orang ketika menikah berpindah ke nama suami. Mas'ud bukan nama belakang, tapi memang bagian dari namamu. Sehingga kemana pun kamu pergi Mas'ud ada dalam namamu. Dari situ, dapat kita pahami, ibumu ingin mengenalkan pada orang bahwa kamu putri Mas'ud. Meski disematkan nama ayahmu, orang-orang akan bisa mengenalimu bagian dari Mas'ud.”“Otakku makin kusut,” sun
“Ahsin, Gea, kalian ada di sini?” tanya Tuan Mirja begitu sampai ke ruang tengah. “Iya, Paman,” sahut Ahsin canggung. “Kenapa Ayah memanggilku?” tanya Tuan Mirja sambil duduk di sofa yang bersisian dengan Kakek. “Ayah tidak apa-apa, kan?” Kakek menggeleng. Ia menunjuk giok di atas meja itu dengan dagu. Melihat itu, seketika Tuan Mirja berubah raut mukanya. Gea yang sejak tadi memperhatikan Tuan Mirja dapat melihat ada luka yang sangat dalam wajah itu. “Paman, maaf. Saya baru menemukan giok ini di perbendaharaan ibu. Saya baru tahu kalau giok ini milik keluarga Buana. Paman, maaf, izinkan saya minta Paman menceritakannya kenapa giok ini ada di tangan ibu?” ucap Gea hati-hati.Tuan Mirja mengambil giok itu dengan raut sedih. Terlihat sebutir cairan bening menetes di pipi. “Kakek pasti sudah cerita pada kalian hubungan Paman dengan ibumu.”Gea mengangguk. Tuan Mirja menghela napas beratnya. Baru kali ini, Ahsin merasa iba dengan pamannya. “Aku sangat mencintai ibumu, bahkan aku tak
“Pamanmu berubah setelah seorang gadis yang bernama Atmiati Mas’ud bekerja di Buana. Sejak itu semuanya telah berubah.”Ahsin dan Gea saling tatap. Gea menahan napasnya. Meski ingatannya samar, Gea percaya ibunya orang baik. Namun, kenapa ibunya menjadi penyebab kekacauan yang dibuat Tuan Mirja? Ia berpikir, mungkinkah dulu ayahnya Ahsin dan Tuan Mirja memperebutkan ibunya?“Maksud Kakek gimana?” tanya Gea cemas. Ia merasakan jelas tangannya kini menjadi dingin. Beruntungnya, Ahsin masih menggenggam tangannya. Setidaknya kehangatan itu dapat membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, kemungkinan lain yang kembali membuatnya cemas. Ia takut ibunya mempunyai masa lalu yang membuat dirinya dibenci. “Mirja dan ibumu sempat menjadi sepasang kekasih.”Ahsin dan Gea tersentak, kemudian keduanya saling tatap. “Ibumu sebenarnya karyawan potensial di perusahaan. Kakek juga menyukai kepribadiannya. Sayangnya, Mirja saat itu telah ditunangkan sejak kecil demi memperkuat hubungan dua keluarga, terl